Correction Model (ECM)

Correction Model (ECM)

Variabel

Koefisien Regresi

Kointegrasi

Koefisien Regresi ECM Konstanta

9,504571 S_INF

0,002534 S_IR

-0,179024 Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1

Tabel 4.6 menunjukkan hasil simulasi koefisien jangka panjang menggunakan ECM. Dapat kita lihat bahwa hasil estimasi ECM konsisten dengan hasil yang diperoleh dari regresi kointegrasi.

6. Uji Statistik

a. Uji t

Uji t merupakan pengujian secara individual terhadap setiap koefisien regresi semua variabel independen untuk melihat signifikansi dari variabel independen.

1) Pengaruh Variabel Independen dalam Jangka Pendek

Pengujian secara individual terhadap setiap koefisien regresi ECM dalam jangka pendek memperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.7. Pengaruh Variabel Independen Jangka Pendek Terhadap

Variabel Dependent

DS_INF -0.766236 0.4484 Tidak Signifikan pada a = 5% DS_IR

2.246113 0.0308 Signifikan pada a = 5% DLTB

-0.755277 0.4549 Tidak Signifikan pada a = 5%

Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 (Lampiran 10, hal: 107)

 Koefisien dari variabel DS_INF sebesar -0.002501 dengan probabilitas 0,4484 tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5%, artinya variabel

DLKURS pada tingkat signifikansi 5%.  Koefisien dari variabel DS_IR sebesar 0.017548 dengan probabilitas

0,0308 signifikan pada tingkat signifikansi 5%, artinya variabel DS_IR secara individu berpengaruh terhadap variabel dependen DLKURS pada tingkat signifikansi 5%.

 Koefisien dari variabel DLTB sebesar -0.018014 dengan probabilitas 0,4549 tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5%, artinya variabel

DLTB secara individu tidak berpengaruh terhadap variabel dependen DLKURS pada tingkat signifikansi 5%.

2) Pengaruh Variabel Independen dalam Jangka Panjang

Pengujian secara individual terhadap setiap koefisien regresi ECM dalam jangka panjang memperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.8. Pengaruh Variabel Independen Jangka Panjang Terhadap

Variabel Dependent

S_INF(-1) -4.738974 0.0000 Signifikan pada a = 5% S_IR(-1)

-4.704012 0.0000 Signifikan pada a = 5% LTB(-1)

-5.246456 0.0000 Signifikan pada a = 5%

Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 (Lampiran 10, hal: 107)

 Koefisien dari variabel S_INF(-1) sebesar 0.002534 dengan probabilitas 0,0000 signifikan dan positif pada tingkat signifikansi 5%, artinya variabel S_INF(-1) secara individu berpengaruh terhadap variabel dependen DLKURS pada tingkat signifikansi 5%.

 Koefisien dari variabel S_IR(-1) sebesar -0.006350 dengan probabilitas 0,0000 signifikan dan negatif pada tingkat signifikansi 5%, artinya

DLKURS pada tingkat signifikansi 5%.  Koefisien dari variabel LTB(-1) sebesar -0.179024 dengan probabilitas

0,0000 signifikan dan negatif pada tingkat signifikansi 5%, artinya variabel LTB(-1) secara individu berpengaruh terhadap variabel dependen DLKURS pada tingkat signifikansi 5%.

b. Uji F (Uji Secara Bersama-sama)

Uji F merupakan pengujian bersama-sama variabel independen yang dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Hipotesanya adalah:

 Apabila nilai F hitung < F tabel , maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen secara signifikan.

 Apabila nilai F hitung > F tabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen secara bersama-sama mampu mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

Hasil pengolahan dari estimasi model ECM memperoleh nilai F hitung adalah sebesar 6.420321 dengan probabilitas signifikansinya sebesar 0,000056 yang berarti signifikan pada taraf signifikansi 5%. Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama dalam jangka pendek dan jangka panjang variabel selisih tingkat inflasi, selisih tingkat suku bunga, dan neraca perdagangan Indonesia mempunyai pengaruh yang signifikan/nyata terhadap nilai tukar rupiah pada derajat signifikansi 5%.

Koefisien Determinasi (R 2 ) menjelaskan seberapa besar variasi perubahan variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi perubahan variabel independen. Uji ini dapat dilihat dari koefisien determinasi R 2 . Besarnya R 2 menunjukkan pengaruh yang dijelaskan oleh variabel dependen. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nilai R 2 sebesar 0.548462, yang berarti bahwa 54,84 persen dari variasi variabel perubahan nilai tukar dapat dijelaskan oleh variasi variabel perubahan selisih laju inflasi, perubahan selisih tingkat suku bunga, dan perubahan neraca perdagangan Indonesia, sedangkan sisanya 45,16 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model.

7. Uji Asumsi Klasik

a. Uji Multikolinieritas

Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya lebih dari satu hubungan linear pasti di antara beberapa atau semua variabel independen dari model regresi (Gujarati, 2004: 341), disamping itu masalah ini juga timbul jika antara variabel independen berkorelasi dengan variabel pengganggu. Untuk menguji ada tidaknya multikolinearitas, dilakukan

pengujian dengan metode Klein, yaitu membandingkan nilai (r 2 ) dengan nilai R 2 . apabila nilai R 2 > (r 2 ), berarti tidak terjadi gejala multikolinearitas. Sedangkan apabila nilai R 2 < (r 2 ) berarti terjadi gejala multikolinearitas. Tabel 4.8 di bawah ini menunjukkan bahwa semua variabel bebas mempunyai nilai r 2 yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai R 2 . Hasil

Variabel r 2 R 2 Kesimpulan DS_INF-DS_IR

0.375779 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DS_INF-DLTB

0.012980 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DS_INF-S_INF(-1)

0.180208 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DS_INF-S_IR(-1)

0.004219 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DS_INF-LTB(-1)

0.126289 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DS_IR-DLTB

0.002808 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DS_IR-S_INF(-1)

0.159605 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DS_IR-S_IR(-1)

0.042169 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DS_IR-LTB(-1)

0.004004 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DLTB-S_INF(-1)

0.018749 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DLTB-S_IR(-1)

0.001029 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas DLTB-LTB(-1)

0.200324 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas S_INF(-1)-S_IR(-1)

0.381336 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas S_INF(-1)-LTB(-1)

0.003366 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas S_IR(-1)-LTB(-1)

0.041927 0.548462 Tidak terjadi multikolinieritas

Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 (Lampiran 11, hal: 108-113)

b. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi regresi yang mempunyai varian yang tidak sama sehingga penaksir OLS tidak efisien, baik dalam sampel kecil maupun sampel besar. Beberapa metode untuk mendeteksi heteroskedastisitas yaitu uji Park, uji Glejser, uji White, dan uji Breusch-Pagan-Godfrey. Pengujian heteroskedastisitas dalam penelitian ini akan menggunakan uji White.

Dalam uji white ditawarkan dua jenis pengujian, yaitu: White Heteroscedasticity (no cross term) dan White Heteroscedasticity (cross term). Untuk penelitian ini digunakan pengujian White Heteroscedasticity (no cross

term ) disebabkan banyak menggunakan variabel bebas. Jika nilai χ 2 hitung (nilai Obs*R- squared) lebih kecil dari χ 2 tabel dan nilai probabilitas dari semua

Obs*R- squared) lebih besar dari χ 2 tabel dan nilai probabilitas dari semua variabel kurang atau lebih kecil dari nilai taraf signifikansi 5%, maka pada model tersebut terdapat masalah heteroskedastisitas. Hasil pengujian heteroskedastisitas dengan uji White Heteroscedasticity (no cross term) tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 4.10. Hasil Uji White

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 0.879144 Prob. F(8,36) 0.5431 Obs*R-squared

7.354606 Prob. Chi-Square(8)

0.4989 Scaled explained SS

7.434391 Prob. Chi-Square(8)

Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 Lampiran 12, hal:114)

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0,4989 lebih dari tingkat signifikansi 5%, sehingga dapat disimpulkan pada model penelitian tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.

c. Uji Autokorelasi

Uji autikorelasi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi diantara rangkaian variabel yang diperoleh. Dalam penelitian ini untuk mendetetksi ada tidaknya masalh autokorelasi akan digunakan Lagrange Multiplier Test , yaitu berupa regresi atas semua variabel lag t dari nilai residual regresi ECM.

Kriteria pengujiannya adalah nilai (n-1) R 2 dibandingkan dengan χ 2 . Dimana χ 2 adalah nilai kritis Chi Square yang ada dalam tabel statistik Chi Square . Jika (n-1) R 2 lebih besar dari χ 2 , maka terdapat autokorelasi, dan jika

sebaliknya maka tidak terjadi autokorelasi.

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.390781 Prob. F(2,35) 0.6794 Obs*R-squared

0.982917 Prob. Chi-Square(2)

Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 Lampiran 13, hal: 115)

Dari tabel di atas didapat nilai (n-1) R 2 adalah sebesar 0,982917 sedangkan nilai χ 2 (α = 0,05 ; df = 2) dalam tabel statistik Chi Square sebesar 10,5966. Dengan demikian dapat dilihat bahwa nilai (n-1) R 2 lebih kecil dari

χ 2 , maka pada model penelitian ini tidak terjadi masalah autokorelasi.

8. Interpretasi Ekonomi

a. Pengaruh Selisih Laju Inflasi terhadap Nilai Tukar Rupiah

Nilai koefisien regresi dalam jangka pendek dari hasil estimasi ECM degan WLS untuk variabel selisih laju inflasi yaitu sebesar -0,002501 dengan probabilitas sebesar 0,4484, hal tersebut menunjukkan bahwa variabel selisih laju inflasi antara Indonesia dan Amerika Serikat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek.

Akan tetapi, dalam jangka panjang, variabel selisih laju inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Koefisien variabel selisih laju inflasi dalam jangka panjang sebesar 0,002534 dan signifikan pada tingkat signifikansi 5% yang ditunjukkan dengan probabilitas sebesar 0,0000. Hal ini menunjukkan bahwa elastisitas perubahan selisih laju inflasi Indonesia dan Amerika Serikat mempengaruhi variasi perubahan depresiasi nilai tukar dalam jangka panjang sebesar 0,002534%, ceteris paribus .

penelitian ini yang menyatakan bahwa selisih laju inflasi berpengaruh terhadap perubahan nilai tukar dalam jangka panjang. Hal itu menunjukkan bahwa teori Purchasing Power Parity (PPP) berlaku dalam jangka panjang, sesuai dengan Mark (2000) yang menyatakan bahwa PPP sebagai teori pengaruh nilai tukar nominal dalam jangka panjang. Teori PPP menyatakan bahwa nilai tukar domestik dipengaruhi oleh inflasi domestik maupun inflasi luar negeri.

Hasil penelitian ini juga memperkuat temuan empiris dari penelitian Wibowo dan Amir (2005) yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah”, dan penelitian Lee dan Boon (2007) yang berjudul

“Macroeconomic factors of exchange rate volatility: Evidence from four neighbouring ASEAN Economies ”. Mereka menemukan bahwa selisih laju inflasi berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai tukar.

b. Pengaruh Selisih Tingkat Suku Bunga Terhadap Nilai Tukar Rupiah

Nilai koefisien regresi dalam jangka pendek dari hasil estimasi ECM degan WLS untuk variabel selisih tingkat suku bunga yaitu sebesar 0,017548 dengan probabilitas sebesar 0,0308, hal tersebut menunjukkan bahwa variabel selisih tingkat suku bunga antara Indonesia dan Amerika Serikat berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek. Hasil tersebut berarti elastisitas perubahan selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika Serikat mempengaruhi variasi perubahan depresiasi nilai tukar dalam jangka pendek sebesar 0,017548%. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis awal penelitian dikarenakan dalam jangka pendek kenaikan Nilai koefisien regresi dalam jangka pendek dari hasil estimasi ECM degan WLS untuk variabel selisih tingkat suku bunga yaitu sebesar 0,017548 dengan probabilitas sebesar 0,0308, hal tersebut menunjukkan bahwa variabel selisih tingkat suku bunga antara Indonesia dan Amerika Serikat berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek. Hasil tersebut berarti elastisitas perubahan selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika Serikat mempengaruhi variasi perubahan depresiasi nilai tukar dalam jangka pendek sebesar 0,017548%. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis awal penelitian dikarenakan dalam jangka pendek kenaikan

Dalam jangka panjang variabel selisih tingkat suku bunga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Koefisien variabel selisih tingkat suku bunga dalam jangka panjang sebesar -0,006350 dan signifikan pada tingkat signifikansi 5% yang ditunjukkan dengan probabilitas sebesar 0,0000, hasil ini berarti elastisitas perubahan selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika Serikat mempengaruhi variasi perubahan apresiasi nilai tukar dalam jangka panjang sebesar 0,006350%.

Hasil ini sesuai dengan teori uncovered interest rate parity yang menyatakan bahwa modal akan mengalir pada negara yang menawarkan tingkat imbalan yang lebih tinggi atau menawarkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dengan asumsi variabel lain tidak berubah atau konstan.

Hasil ini juga memperkuat temuan empiris dari penelitian Kardoyo dan Kuncoro (2002) yang berjudul “Analisis Kurs Valas dengan Pendekatan Box-

Jenkins”, dan penelitian Lee dan Boon (2007) yang berjudul “Macroeconomic factors of exchange rate volatility: Evidence from four neighbouring ASEAN Economies ”. Mereka menemukan bahwa teori paritas suku bunga (interest rate parity ) berlaku dalam mempengaruhi fluktuasi nilai tukar.

Rupiah

Nilai koefisien regresi dalam jangka pendek dari hasil estimasi ECM degan WLS untuk variabel neraca perdagangan Indonesia yaitu sebesar - 0,018014 dengan probabilitas sebesar 0,4549, hal tersebut menunjukkan bahwa variabel neraca perdagangan Indonesia tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek.

Dalam jangka panjang variabel neraca perdagangan Indonesia mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Koefisien variabel neraca perdagangan Indonesia dalam jangka panjang sebesar -0.179024 dan signifikan pada tingkat signifikansi 5% yang ditunjukkan dengan probabilitas sebesar 0,0000, hasil ini berarti elastisitas perubahan neraca perdagangan Indonesia mempengaruhi variasi perubahan apresiasi nilai tukar dalam jangka panjang sebesar 0,179024%.

Kenaikan dalam neraca perdagangan Indonesia berarti nilai ekspor lebih besar daripada nilai import dalam suatu periode. Kenaikan nilai ekspor tersebut berarti ada kenaikan dalam penawaran valuta asing, sehingga kenaikan tersebut menyebabkan terapresiasinya nilai tukar rupiah, ceteris paribus.

Perbandingan antara hasil analisis data menggunakan Error Correction Model , dengan hipotesis penulis dapat diamati dalam Tabel 4.11 sebagai berikut:

Menggunakan Error Correction Model (ECM)

Pengaruh Variabel Independen terhadap Nilai Tukar Rp/$

Variabel Jangka Pendek

Variabel Jangka Panjang

DS_INF