Patogenesis Infeksi Penatalaksanaan Infeksi

2.1.3. Patogenesis Infeksi

Soil Transmitted Helminths STH Patogenesis infeksi Soil Transmitted Helminths STH merupakan interaksi dari respon imun tubuh manusia, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, dan terjadinya kekurangan nutrisi Ideham dan Pusarawati, 2007. Eosinofilia merupakan karakteristik berbagai infeksi cacing. Eosinofilia yang dijumpai pada sediaan darah perifer, sumsum tulang belakang, dan jaringan lainnya berkaitan dengan keberadaan ataupun migrasi cacing pada jaringan tubuh tersebut. Keadaan eosinofilia berperan secara signifikan dalam proses pembasmian cacing di dalam tubuh manusia dan resistensi terhadap infeksi cacing, di mana bertanggung jawab terhadap sejumlah proses inflamasi patologi. Infeksi kronis cacing secara khusus menyebabkan aktivasi sistem imunitas yang ditandai dengan profil sitokin tipe Th2 yang dominan dan tingkat imunoglobulin E yang tinggi, begitu juga proliferasi dan aktivasi eosinofil. Namun, respon tubuh manusia berupa produksi berbagai sitokin, antibodi spesifik dan nonspesifik imunoglobulin E IgE, serta mobilisasi eosinofil, basophil, dan sel mast tersebut tidak dapat sepenuhnya memproteksi Maguire, 2010b. Pada infeksi STH juga terjadi malnutrisi energi protein. Anak-anak yang diinfeksi oleh 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gr protein dari diet yang mengandung 30-50 gr protein per hari Ideham dan Pusarawati, 2007.

2.1.4. Diagnosis Infeksi

Soil Transmitted Helminths STH 2.1.4.1. Gejala Klinis 2.1.4.1.1. Gejala Klinis Askariasis Gejala klinis askariasis diklasifikasikan menjadi gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa Bethony et al., 2006. Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi pada saat di paru. Pada orang yang rentan, terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Di paru, antigen larva askariasis menyebabkan respon inflamasi sehingga terbentuk Universitas Sumatera Utara infiltrat eosinofilik yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat tersebut menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut dengan sindrom Loeffler Supali, Margono, dan Abidin, 2009. Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita. Umumnya, hanya infeksi dengan intensitas yang sedang dan berat pada saluran pencernaan dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen. Keadaan ini juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan nutrisi lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan pertumbuhan. Bethony et al., 2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009. Pada anak-anak, cacing dewasa dapat beragregasi ke dalam ileum dan mengakibatkan obstruksi parsial karena ukuran lumen ileum yang kecil. Berbagai konsekuensi yang berat dapat terjadi, antara lain intusepsi, volvulus, dan obstruksi total. Selanjutnya keadaan ini dapat mengakibatkan infark dan perforasi usus. Keadaan peritonitis dapat berakibat fatal, walaupun anak tersebut dapat bertahan, cacing dewasa yang berpindah tempat dapat mati dan menyebabkan peritonitis granulomatosa kronis Bethony et al., 2006. Secara khusus, anak yang mengalami obstruksi oleh Ascaris lumbricoides memiliki keadaan toksik dengan tanda dan gejala peritonitis. Pada beberapa kasus, massa dapat diraba di kuadran kanan bawah abdomen. Cacing dewasa dapat memasuki lumen apendiks, mengakibatkan kolik apendiks akut dan gangren di ujung apendiks, selanjutnya memberi gambaran klinis yang tidak dapat dibedakan dengan apendisitis. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides cenderung berpindah-pindah di dalam tubuh anak- anak yang mengalami demam tinggi, sehingga cacing tersebut dapat muncul dari nasofaring atau anus Ideham dan Pusarawati, 2007; Supali, Margono, dan Abidin, 2009. Askariasis hepatobilier dan pankreas terjadi jika cacing dewasa pada duodenum memasuki dan memblok orifisium dari ampula duktus bilier utama common bile duct, yang menyebabkan kolik bilier, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, dan abses hati. Berbeda dengan obstruksi usus, askariasis Universitas Sumatera Utara hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada orang dewasa, terutama wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran percabangan duktus bilier biliary tree orang dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing dewasa Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007.

2.1.4.1.2. Gejala Klinis Trikuriasis

Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi Maguire, 2010a. Pada trikuriasis, inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan kolitis Bethony, et al., 2006. Anak-anak yang menderita kolitis akibat trikuriasis kronis akan mengalami nyeri abdomen kronis, diare, anemia defisiensi besi, gangguan pertumbuhan, serta clubbing fingers. Anak-anak tersebut beresiko menderita sindrom disentri trikuris. Keadaan ini ditandai dengan tenesmus dengan banyak feses yang mengandung banyak mukus dan darah. Prolapus rektus sering terjadi dan cacing dewasa dapat ditemukan pada mukosa yang prolaps Maguire, 2010a.

2.1.4.1.3. Gejala Klinis Ankilostomiasis dan Nekatoriasis

Ankilostomiasis dan nekatoriasis dapat menimbulkan gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa Bethony et al., 2006. Larva filariform larva stadium tiga yang menembus kulit dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus berupa ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Pneumonitis yang disebabkan oleh infeksi larva cacing tambang tidak seberat pada infeksi larva Ascaris lumbricoides Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a. Manusia yang belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia, dan eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat pada mukosa usus halus Maguire, 2010a. Infeksi larva filariform Ancylostoma Universitas Sumatera Utara duodenale secara oral dapat menyebabkan sindrom Wakana, yang ditandai dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak Bethony et al., 2006. Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dihasilkan dari kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang dewasa pada mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita Fe dan protein Bethony, et al., 2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009. Cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10 cc per hari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes, dan akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh cacing tambang menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan gejala pucat, lemah, dipsnoe, terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein yang kronis dari infeksi berat cacing tambang dapat menyebabkan hipoproteinemia dan edema anasarka Bethony et al., 2006; Maguire, 2010a. Infeksi sedang dan anemia dapat mengganggu fisik, kognitif, dan intelektual pada anak yang sedang bertumbuh. Pada banyak kasus infeksi berat, anemia yang disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif Maguire, 2010a.

2.1.4.2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi Soil Transmitted Helminths STH berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia Supali, Margono, dan Abidin, 2009; Maguire, 2010a; WHO, 2012b. Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan ada-tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai ada- tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel darah putih, dan gula Swierczynski, 2010. Sedangkan, pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing. Pemeriksaan dilakukan Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan NaCl 0,85 dan lugol iodin. Pada pemeriksaan ini, kedua reagensia diteteskan pada kaca objek object glass, yaitu 1 tetes NaCl 0,85 di sisi kiri dan 1 tetes iodin di sisi kanan. Kemudian, sedikit spesimen feses seujung tangkai apliktor dilarutkan bersama dengan kedua reagensia yang telah diteteskan di kaca objek. Setelah itu, kaca objek ditutup dengan kaca dek dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x10 dan 10x40. Pemeriksaan kopromikroskopik ini memiliki kelemahan, yaitu tingkat kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Saat ini, teknik Kato-Katz merupakan metode kopromikroskopik yang dipergunakan secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia intestinal helminth Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization , 2012. Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing. Pemakaian sampel feses yang sedikit sekitar 41,7 mg menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses Glinz et al., 2010. Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Teknik pemeriksaan ini memfokuskan pada metode diagnosis parasitologi yang mampu melakukan skrining dengan menggunakan sampel feses dalam jumlah banyak, yaitu 0,5 gram atau bahkan 1 gram pada metode dengan konsentrasi eter atau teknik FLOTAC. Metode dengan konsentrasi eter sering dipergunakan dalam mendiagnosis infeksi cacing, terutama pada laboratorium khusus. Metode ini dapat mendiagnosis infeksi protozoa usus yang terjadi bersamaan Glinz et al., 2010. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa pemeriksaan dengan beberapa sampel ataupun penggunaan kombinasi beberapa metode diagnosis meningkatkan keakuratan diagnosis. Kadang metode dengan konsentrasi eter dan metode Kato-Katz dikombinasikan meningkatkan sensitivitas diagnosis infeksi cacing dan Universitas Sumatera Utara memperdalam pengertian mengenai poliparasitisme Fürst et al., 2012. Hal penting dalam metode dengan konsentrasi eter ini adalah penggunaan sampel feses yang difiksasi dengan sodium acetate-acetic acid-formalin SAF atau formalin yang diencerkan, sehingga sampel dapat disimpan dan dianalisis di waktu berikutnya. Bagaimanapun, perbedaan interlaboratorium yand besar telah diketahui dalam diagnosis infeksi cacing dan protozoa usus tertentu Glinz et al., 2010. Penelitian terbaru menyarankan pemakaian teknik FLOTAC dalam mendiagnosis infeksi STH pada manusia. Kelebihan teknik FLOTAC adalah elemen parasit, seperti telur cacing, terkumpul di bagian apikal kolum pengapungan sehingga mudah dibaca, misalnya dengan potongan transversal untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Selain itu, elemen parasit terpisah dari debris fekal sehingga mempermudah identifikasi dan perhitungan. Protokol teknik ini telah berkembang dari teknik FLOTAC dasar sensitivitas analitik secara teori = 1 telur per gram feses, teknik FLOTAC dual, teknik FLOTAC ganda, dan teknik FLOTAC pelet semua: sensitivitas analitik secara teori = 2 telur per gram feses. Pada pemeriksaan FLOTAC tunggal, 1 gram feses dianalisis, di mana jumlah sampel ini 24 kali lebih banyak daripada pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal tunggal. Hal ini menjelaskan tingkat kesensitivitasan FLOTAC yang lebih tinggi Knopp et al., 2008; Glinz et al., 2010. Intensitas infeksi STH terdiri atas intensitas ringan, sedang, dan berat. Pada askariasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 4.999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 5.000 sampai dengan 49.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 50.000 telur per gram feses. Pada trikuriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 1.000 sampai dengan 9.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 10.000 telur per gram feses. Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 1.999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 2.000 sampai dengan 3.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 4.000 telur per gram feses WHO, 2012a. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths Organisme Infeksi Intensitas Rendah telur per gram feses Infeksi Intensitas Sedang telur per gram feses Infeksi Intensitas Berat telur per gram feses Ascaris lumbricoides 1–4.999 5.000–49.999 50.000 Trichuris trichiura 1–999 1.000–9.999 10.000 Cacing tambang Necator americanus atau Ancylostoma duodenale 1–1.999 2.000–3.999 4.000 Dikutip dari WHO, 2012a Selain pemeriksaan kopromikrokospik, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR World Heatlh Organization, 2012. Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis infeksi STH. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat invasif seperti dengan pengambilan sampel darah, antibodi tetap terdeteksi setelah penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematode lainnya Knopp et al., 2008. Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada daerah endemis. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR dapat menjadi pemeriksaan baku ‘gold’ standard , tetapi perlu dilakukan validasi di berbagai latar epidemiologi yang berbeda untuk mengetahui skala pemakaiannya secara luas Becker et al., 2011. Larva Ascaris lumbricoides dapat ditemukan di sputum atau bahan aspirasi lambung sebelum telur cacing ditemukan di feses. Bentuk cacing dewasa yang besar, berwarna krem, dan tidak bersegmen dapat dengan mudah diidentifikasi bila cacing tersebut keluar melalui mulut, anus, ataupun hidung. Cacing yang terdapat di usus dapat dilihat melalui pemeriksaan foto polos radiografi. Pemeriksaan untrasonografi, computed tomography, dan ERCP endoscopic retrograde cholangipancreatography dapat memperlihatkan cacing yang terdapat di cabang saluran bilier dan duktus pankreas. Cacing yang tampak pada duktus bilier ataupun pankreas pada pemeriksaan ERCP dapat diekstraksi dengan forsep. Pada trikuriasis, tindakan untuk mendiagnosis juga dapat Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan mengidentifikasi cacing dewasa pada mukosa rektum yang prolaps atau melalui kolonoskopi Maguire, 2010a.

2.1.5. Penatalaksanaan Infeksi

Soil Transmitted Helminths STH Seluruh infeksi Ascaris lumbricoides, baik yang bersifat asimtomatik ataupun intensitas rendah, harus dilakukan tindakan penatalaksanaan. Pilihan obat berupa albendazol oral 400 mg dosis tunggal, mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg dua kali sehari dalam 3 hari, atau pirantel palmoat 11 mg kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram. Ketiga obat ini memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi. Penderita yang tidak sepenuhnya sembuh mengalami penurunan beban infeksi cacing yang diketahui melalui pemeriksaan telur cacing Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007; Maguire, 2010a. Albendazol bekerja dengan cara berikatan dengan β tubulin parasit sehingga menghambat polimarisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa. Akibatnya, persediaan glikogen cacing menurun, pembentukan ATP berkurang, dan cacing mati. Obat ini juga dapat merusak telur cacing. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat pengambilan glukosa oleh cacing secara ireversibel, sehingga terjadi deplesi glikogen pada cacing. Mebendazol menyebabkan sterilitas pada telur cacing. Pirantel palmoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dengan keadaan spastis Syarif dan Elysabeth, 2009. Invermektin oral 150-200 µg kg BB dosis tunggal, yang merupakan obat pilihan untuk strongiloidiasis dan onkosersiasis, juga efektif dalam mengobati askariasis. Levamisol oral 2,5 mg kg BB dosis tunggal juga merupakan obat alternatif yang direkomendasikan oleh WHO. Levamisol digunakan sebagai imunostimultan pada manusia dengan memperbaiki mekanisme pertahanan seluler dan memacu pematangan limfosit T. Piperazin sitrat pernah menjadi obat pilihan, tetapi bersifat neurotoksik dan hepatotoksik, Universitas Sumatera Utara serta tidak dipakai lagi di beberapa negara. Pirantel palmoat dan piperazin sitrat dinyatakan aman untuk digunakan selama masa kehamilan. WHO juga merekomendasikan pemakaian albendazol dan mebendazol selama masa kehamilan berdasarkan data yang telah diperoleh. Selain itu, kedua obat ini dapat digunakan dalam penatalaksanaan anak-anak di bawah 12 bulan Syarif dan Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a. Obat baru yang memiliki aktivitas melawan Ascaris lumbricoides termasuk nitazoksanid dan tribendimidin, yang terdaftar di Cina. Piperazin dapat menyebabkan paralisis flaksid pada cacing sehingga berperan dalam melepaskan obstruksi. Jika terdapat dalam sediaan sirup, obat ini dapat diberikan melalui nasogastric tube . Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi bakteri, dan bila gejala akut reda diberikan obat antelmintik untuk mencegah kekambuhan Maguire, 2010a. Dosis tunggal albendazol, mebendazol, dan pirantel pamoat dapat menyembuhkan kurang dari 50 penderita trikuriasis serta menurunkan beban akibat infeksi cacing kurang dari 60. Pemakaian albendazol selama tiga hari 400 mg hari secara oral atau mebendazol 100 mg dua kali sehari lebih efektif untuk infeksi ringan dan sedang. Pada infeksi berat, pemberian albendazol selama 5-7 hari atau kombinasi albendazol dan invermektin yang dikonsumsi satu kali memiliki tingkat kesembuhan dan penurunkan intensitas infeksi yang lebih tinggi Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a. Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, pemberian terapi besi dapat memperbaiki kadar hemoglobin menjadi normal, tetapi anemia akan terjadi kembali apabila terapi antelmintik tidak diberikan. Albendazol 400 mg dosis tunggal merupakan terapi pilihan. Pemberian mebendazol 100 mg yang diberikan dua kali sehari dalam 3 hari lebih efektif daripada diberikan 500 mg dosis tunggal. Pemberian pirantel palmoat dengan dosis 11 mgkgBB diperlukan untuk mengeliminasi atau menurunkan angka infeksi berat Syarif dan Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a. Universitas Sumatera Utara

2.1.6. Pencegahan Infeksi