Syarat-syarat bagi orang yang menta’dilkan dan men-tarjih-kan dapatkah pen-ta’dil-an dan pentarjihan seseorang tanpa menyebutkan sebab- sebabnya. Jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih- kan rawi-rawi. Perlawanan antara jarh

Jalan-Jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah- masalahnya. Keadilan rawi dapat diketahui dengan salah satu dari kedua ketetapan berikut : Pertama, dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil bisy-syurah. Seperti : Anas bin Malik, Sufyan ats- Tyasaury, Syu’bah bin al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy, Ahmad dsb. Kedua, dengan pujian dari seseorang yang adil tazkiyah, yaitu ditetapkan sebagai seorang rawi yang adil oleh para orang yang adil, ini dapat dilakukan : a. seorang rawi yang adil b. setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan orang yang merdeka maupun budak. Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui 2 jalan : a. berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaiban fasik atau pendusta. b. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab- sebab dia cacat.

1. Syarat-syarat bagi orang yang menta’dilkan dan men-tarjih-kan

Bagi orang yang men-ta’dil-kan mu’adil dan orang yang men-jarh-kan jarih diperlukan syarat-syarat. Yakni : 1. Berilmu pengetahuan. 2. Taqwa. 3. Wara’ orang yang selalu menjauhi perbuatan ma’siat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat. 4. Jujur. 5. Menjauhi fanatic golongan. 6. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentarjihkan.

2. dapatkah pen-ta’dil-an dan pentarjihan seseorang tanpa menyebutkan sebab- sebabnya.

I. Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima. Adapun mentajrihkan tidak diterima. II. Untuk ta’dil harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak. III. Untuk kedua-duanya harus dsebutkan sebab-sebabnya. IV. Untuk kedua-duanya tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Pendapat yang pertama adalah pendapat yang banyak dianut oleh para muhadditsin, semisal : Bukhory, Muslim, Abu Dawud, dll.

3. Jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih- kan rawi-rawi.

1. Minimal 2 orang. 2. Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan soal syahadah. 3. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun soal syahadah.

4. Perlawanan antara jarh dan ta’dil

Apabila terdapat ta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian yang lain men-tajrih-kan dalam hal ini ada 4 pendapat. 1. Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak dari pada jarhnya. Sebab bagi jarh mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil. 2. Ta’dil harus didahulukan daripada jarh, sebab si Jarh dalam meng-aib-kan si rawi kurang tepat. 3. Bila jumlah mu’adilnya lebih banyak dari pada jumlah jarh, maka yang didahulukan adalah ta’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan. 4. masih tetap dalam keta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih- kannya.

5. Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dilkan dan menjarhkan rawi.