perubahan watak, kepribadian ataupun karakter sejak awal hingga akhir cerita, sedangkan tokoh dinamis merupakan kebalikan dari tokoh statis, tokoh dinamis
mengalami perubahan watak, ataupun kepribadian pada awal cerita dan pada akhir cerita. Kedua, apakah tokoh tersebut meupakan tokoh tertutup Geschlossen atau
terbuka Offen. Tokoh tertutup adalah jenis tokoh yang digambarkan wataknya secara jelas tersurat dalam roman, pembaca pada umumnya lebih mudah
memahami tokoh tertutup karena pengarang menyampaikan secara lugas. Tokoh terbuka juga merupakan kebalikan dari tokoh terbuka, tokoh terbuka tidak
digambarkan secara jelas oleh pengarang bagaimana watak dan kepribadiannya tersirat sehingga pembaca harus menilai ataupun menyimpulkan sendiri
bagaimana watak dan kepribadian tokoh dalam suatu roman. Ketiga, apakah tokoh tersebut merupakan tokoh sederhana Typisiert atau tokoh rumit Komplex.
Perbedaan yang membedakan kedua jenis ini adalah terliha dari banyak sedikitnya watak yang dimiliki oleh tokoh. Jika seorang tokoh memiliki dua watak atau lebih
dan bertentangan satu sama lain maka tokoh tersebut dikatakan sebagai tokoh rumit. Jika seorang tokoh hanya memiliki satu watak maka tokoh tersebut
merupakan tokoh sederhana.
C. Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan suatu kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan Endraswara, 2006: 96. Psikologi sastra berdiri
dari dua cabang ilmu yang berbeda, yakni ilmu psikologi dan ilmu sastra. Psikologi menurut Walgito 2004: 10 dalam Pengantar Psikologi Umum
merupakan suatu ilmu yang meneliti serta mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas yang dipandang sebagai manifestasi dari kehidupan psikis
manusia. Berbeda dengan psikologi, sastra memiliki dua pengertian, yakni ilmu sastra dan karya sastra. Ilmu sastra merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan, sedangkan karya sastra merupakan karya seni yang diciptakan oleh pengarang atau pun kelompok masyarakat yang bermediakan bahasa, sehingga
psikologi sastra merupakan salah satu kajian sastra yang bersifat interdisipliner, karena memahami dan mengkaji sastra dengan menggunakan berbagai konsep dan
kerangka teori yang ada dalam psikologi. Karya sastra merupakan salah satu tempat untuk mengaplikasikan ilmu
psikologi, hanya saja kaitannya bukan dengan manusia dari dunia nyata namun manusia secara fiksional. Pada umumnya, psikologi sastra mempertanyakan
mengapa tokoh-tokoh dalam karya sastra tersebut mengalami permasalahan- permasalahan kejiwaan. Untuk mengkaji karakter tokoh-tokoh yang terdapat
dalam sebuah novel atau drama, seorang peneliti atau kritikus sastra perlu menguasai berbagai konsep psikologi, terutama yang berhubungan dengan watak
dan kondisi kejiwaan tokoh. Dalam kajian sastra yang menggunakan pendekatan psikologi sastra, hubungan antara psikologi dan sastra akan terjadi, yaitu ketika
peneliti akan membaca dan mengkaji karya sastra, pengarang yang menciptakannya, dan peneliti yang mengalami berbagai proses kejiwaan ketika
membaca karya sastra tersebut dan mengkaji dengan menggunakan konsep- konsep yang terdapat dalam psikologi.
Asumsi dasar penelitian psikologi sastra terdiri dari beberapa hal, salah satunya adalah anggapan bahwa karya sastra merupakan suatu produk dari
aktivitas kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar subconcious kemudian setelah muncul baru dituangkan ke dalam bentuk
secara sadar concious, sehingga kekuatan karya sastra dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar ke dalam
sebuah karya sastra. Asumsi berikutnya ialah ketika meneliti perwatakan tokoh secara psikologis, secara tidak langsung juga meneliti aspek-aspek pemikiran dan
perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya tersebut semakin
hidup. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis akan
menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa, seperti kutipan yang terdapat dalam roman Der
Steepenwolf karya Hermann Hesse, “ich kann all diese Freuden, die mir ja
erreichbar wären und um die tausend andre sich mühen und drängen, nicht verstehen
, nicht teilen“ Hesse, 1927: 25 yang artinya “Aku tidak bisa memahami atau merasakan kebahagiaan itu, meski semuanya berada dalam
jangkauanku, di mana ribuan orang ber usaha mendapatkannya“. Hesse selaku
pengarang menggambarkan aspek kejiwaan Harry sebagai tokoh utama dengan sangat jelas. Harry digambarkan sebagai sosok manusia yang hambar dan tidak
memiliki gairah dalam hidup, sampai-sampai untuk merasakan kebahagiaan yang orang lain rasakan pun ia tidak mampu.
Berdasarkan kutipan yang telah disampaikan di paragraf sebelumnya, nampak bahwa sesungguhnya karya sastra dan psikologi memiliki hubungan yang
erat, karena bagaimana pun sastra dan psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia, selain memiliki objek yang sama keduanya juga memiliki
kesamaan untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, perbedaannya, psikologi bersifat nyata sedangkan sastra bersifat imajinatif.
Endraswara 2006: 97 menyatakan bahwa psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan, pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis
tokoh dalam karya sastra, kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari
pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra, dan yang ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek
psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya. Berdasarkan
pernyataan tersebut, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan tekstual, yakni mengkaji aspek psikologis tokoh utama beserta
permasalahan psikologis yang dialaminya.
D. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud dalam Sastra