877
obyektif berdasarkan proporsi yang ditetapkan, bukan berdasarkan rekaan gambling dan jauh dari subyektivitas penilai.
13
E. Perkembangan Tes Profisiensi Bahasa Arab di Indonesia
Gagasan untuk melakukan standarisasi kompetensi berbahasa Arab bagi lulusan Perguruan Tinggi, khususnya PTAIN, sebenarnya sudah lama muncul. Sejak Menteri Agama RI Mukti Ali
menunjukkan kelemahan mendasar sivitas akademika IAIN waktu itu, yaitu: lemah dalam penguasaan bahasa asing Arab dan Inggris dan lemah dalam penguasaan metodologi penelitian,
usaha untuk menggairahkan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia mulai mendapat perhatian cukup serius. Beberapa IAIN kemudian memperbarui kurikulum bahasa Arabnya. Sebagai
contoh misalnya IAIN Jakarta pada tahun 1980-an dengan menerbitkan buku al-Arabiyyah bi al- Namâdzij atau IAIN Surabaya dengan Durûs al-Lughah al-
‟Arabiyyah. Namun demikian, upaya standarisasi kompetensi berbahasa Arab di era 1980-an dan
1990-an tampaknya redup dan kurang mendapat perhatian sewajarnya dari para pengambil kebijakan, baik di tingkat pusat Kemenag RI maupun di level institusional IAIN dan STAIN
atau PTAI lainnya. Pembelajaran bahasa Arab dalam banyak kasus cenderung menjadi ‖urusan
domestik institusional‖ daripada ―urusan akademik nasional‖. Sistem pembelajaran bahasa Arab di PTAI Perguruan Tinggi Agama Islam, menurut pengamatan saya, cenderung mengikuti
‖selera‖ masing-masing dosennya. Meskipun ‖sistem dan orientasi pengajaran bahasa Arab‖ pernah dilokakaryakan beberapa kali di IAIN Jakarta 2000 dan telah disepakati bahwa orientasi
dan fokus utama pembelajaran bahasa Arab di IAIN Jakarta adalah pengembangan keterampilan membaca mahârah al-
qirâ‟ah atau fahm al-maqru‟, namun operasionalisasinya sangat bergantung kepada dosen yang bersangkutan. Standar kurikulum termasuk bahan ajar, standar
isi, standar proses pembelajaran, standar metode dan media, standar pengelolaan, dan standar lainnya tampaknya belum disepakati dan dijadikan sebagai komitmen bersama.
Pada tahun 1999 Pusat Bahasa dan Budaya PBB, sekarang PPBPusat Pengembangan Bahasa IAIN Jakarta mulai merintis pembuatan tes standar bahasa Arab yang kemudian terkenal
dengan nama TOAFL Test of Arabic as a Foreign Language. Meski tidak dilandasi oleh hasil penelitian dan uji validitas yang memadai, model ini terus bergulir dan gayung pun bersambut,
sehingga keberadaan TOAFL ini memperoleh momentum yang cukup menggembirakan.
13
Thu‘aimah dan Mannâ‘, op.cit., h. 100-101.
878
Pimpinan IAIN saat itu merespon cukup positif, bahkan sejak tahun 2000 Program Pascasarjana IAIN Jakarta telah menetapkan penggunaan TOAFL sebagai tes masuk dan tes keluar standar
kelulusan. Bahkan ketika almarhum Prof. Dr. Harun Nasution masih menjadi Direktur Program Pascasarjana IAIN, TOAFL juga digunakan
–atas saran beliau— sebagai materi tes masuk di beberapa Program Pascasarjana di luar UIN Jakarta, seperti: PPs. IAIN Palembang, IAIN
Lampung, STAIN Mataram, dan IAIN Padang, bahkan juga PPs. Studi Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Ketika IAIN berubah menjadi UIN Mei 2002 dan meniatkan dirinya menuju universitas riset berkelas internasional international research university, kebutuhan terhadap
peningkatan kemampuan berbahasa asing menjadi meningkat. Dengan alasan peningkatan dan standarisasi kualitas calon lulusan, Pimpinan UIN tampaknya kemudian merasa perlu membuat
kebijakan standarisasi kemampuan dengan menerbitkan terbitnya SK Rektor No.241 Tahun 2005 tentang standar kelulusan S1, S2, dan S3. Dalam SK ini, antara lain dinyatakan bahwa lulusan S1
Jurusan atau Prodi yang berbasis keagamaan seperti: PAI, Tafsir Hadis, Perbandingan Madzhab harus memenuhi TOAFL dengan skor minimal 450, setara dengan lulusan S2,
sedangkan lulusan S3 wajib menunjukkan skor 500. Saat ini, standarisasi kemampuan bahasa Arab tampaknya tidak hanya diberlakukan oleh
UIN Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta IKLA‘= Ikhtibar Kafa‟ah al-Lughah al- ‟Arabiyyah dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang juga membuat tes bahasa standar serupa
tetapi tidak sama. Bahkan STAIN Salatiga juga memiliki standar sendiri dalam bentuk ILAiK. Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2007, Depag RI melalui Direktur Pertais waktu itu, Dr. Arief
Furqan, MA . juga pernah memberi ―proyek akhir tahun‖ kepada IAIN Surabaya untuk
merumuskan standar kompetensi berbahasa Arab lulusan PTAI, namun disayangkan hasil proyek ini tidak begitu jelas dan terekspos bahkan beberapa personil UPB IAIN Surabaya yang semula
studi banding TOAFL ke UIN Jakarta juga tidak sedikitpun melibatkan UIN Jakarta dalam proses standarisasi dimaksud sumber:
www.nu.or.id , 24 september 2007.
Proyek serupa seminar dan workshop standarisasi tes bahasa Arab juga telah dilakukan oleh Universitas al-Azhar Indonesia bekerja sama dengan Ditpertais pada Desember 2009 lalu.
Dalam forum ini juga sudah disepakati akan ‖disinergikan dan distandarkan‖ berbagai model tes bahasa Arab yang ada, namun hingga saat ini, belum jelas juga wujud konkrit standarisasinya
879
berikut mekanisme penerapannya. Dalam beberapa kali memberi pelatihan dan konsultasi, IAIN Banjarmasin, IAIN Pontianak, dan STAIN Pekalongan juga sudah membuat tes bahasa Arab
standar ‖mirip‖ TOAFL. Selain itu, IMLA Ittihad Mudarrisi al-Lughah al-
„Arabiyyah juga sudah pernah merancang standarisasi hal yang sama, hanya saja hingga sekarang belum terrealisir, karena
berbagai persoalan, antara lain masalah pendanaan. Di beberapa IAIN seperti Imam Bonjol Padang dan PTAI lainnya beberapa tahun terakhir juga ―ikut-ikutan‖ mensosialisasikan
penggunaan TOAFL, minimal dalam brosur promosi mereka, meskipun realitasnya boleh jadi tidak dilaksanakan. Berbagai lembaga kursus bahasa Arab juga gencar menawarkan jasa
pelayanan kursus TOAFL untuk menangkap peluang ―pasar mahasiswa‖ yang merasa butuh ―jalan tol‖ menuju kelulusan sesuai dengan standar yang disyarakatkan.
F. TOAFL sebagai Tes Profisiensi Bahasa Arab