Halal dan Thoyyib Hukum dan Regulasi Penyembelihan dalam Islam

6

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Halal dan Thoyyib

Bahan pangan yang dikonsumsi hendaknya memperhatikan aspek nutrisi dan keamanannya seperti yang tertuang dalam QS Al Baqarah: 168 dan QS Al Maidah: 88 bahwa makanan yang dikonsumsi hendaklah makanan yang halal dan baik thoyib. Menurut Girindra 2008, kata halalan berasal dari bahasa Arab secara etimologis halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Kata halalan juga berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan- ketentuan yang melarangnya. Halal juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Makanan yang halal adalah semua jenis makanan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang atau haram dan atau yang telah diproses menurut syariat agama Islam Keputusan bersama Menkes dan Menag No.427men.kesksbVIII1985. Hal-hal yang termasuk ke dalam kriteria makanan dan minuman yang halal Apriyantono 2001 adalah segala jenis makanan yang tidak mengandung dan tidak terjadi kontak langsung dengan sesuatu yang dianggap haram menurut Islam baik pada tahap persiapan, pemrosesan, transportasi dan penyimpanan. Kata thoyyib berarti lezat, baik, sehat, menentramkan, dan paling utama. Kata thoyyib dalam konteks makanan berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak kadaluarsa atau tercampur benda najis. Berbeda dari aspek halalan, aspek thoyyiban sepatutnya melalui pertimbangan rasio dengan mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui upaya ini manusia bisa mempertimbangkan dan membedakan makanan yang menguntungkan atau yang merugikan kesehatan jasmani dan rohani Girindra 2008.

B. Hukum dan Regulasi Penyembelihan dalam Islam

Tuntunan penyembelihan hewan harus dipenuhi mengenai syarat penyembelihan yang dapat membuat hewan halal untuk dikonsumsi. Syarat ini terbagi menjadi tiga, yaitu syarat yang berkaitan dengan hewan yang akan disembelih, syarat yang berkaitan dengan orang yang akan menyembelih, dan syarat yang berkaitan dengan alat untuk menyembelih Tuasikal 2007. Syarat hewan yang disembelih, yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai sudah mati. Allah Ta’ala berfirman, ﺎ إ مﺮ ﻜ ﺔﺘ ا “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai…” QS. Al Baqarah: 173 Syarat orang yang akan menyembelih, yaitu yang pertama adalah berakal, baik itu seorang muslim atau ahli kitab Yahudi atau Nashrani. Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan orang Majusi sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama. Hal ini dikarenakan selain muslim dan ahli kitab tidak murni mengucapkan nama Allah ketika menyembelih. Sedangkan ahlul kitab masih dihalalkan sembelihan mereka karena Allah Ta’ala berfirman, مﺎ ﻃو ﺬ ا اﻮ وأ بﺎ ﻜ ا ﻜ Artinya: Makanan sembelihan ahlul kitab Yahudi dan Nashrani itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka QS. Al Ma-idah: 5. Makna makanan ahlul kitab di sini adalah sembelihan mereka, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, ‘Atho’, Al Hasan Al Bashri, Makhul, Ibrahim An Nakho’i, As Sudi, dan Maqotil bin Hayyan. Namun, yang harus diperhatikan adalah 7 sembelihan ahlul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, misalnya mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal berdasarkan firman Allah Ta’ala, ﺮ ﻜ ﺔ ا مﺪ او و ﺮ ﺰ ﺨ ا ﺎ و هأ ﺮ ﻐ Artinya: Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah QS. Al Ma-idah: 3 Menurut Shihab 1999, memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang siapa yang dimaksud dengan Ahl Al-Kitab dan apakah umat Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl Al-Kitab. Dan apakah selain dari mereka, seperti penganut agama Budha dan Hindu, dapat dimasukkan ke dalamnya. Mayoritas ulama menilai bahwa hingga kini penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap halal, jika memenuhi syarat-syarat yang lain. Salah satu syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih binatang atas nama selain Allah. Dalam konteks ini, ditemukan rincian dan perbedaan penafsiran para ulama, menyangkut wajib tidaknya menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan bagaimana dengan Ahl Al-Kitab masa kini. Al- Quran menyatakan, Artinya: Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan binatang-binatang halal yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia benar benar hendak menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas QS Al-Anam 6: 118-119. Syarat penyembelihan antara lain menyebut nama Allah ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama Allah padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan, maka hasil sembelihannya tidak boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan bagi yang lupa untuk menyebutnya atau dalam keadaan bisu, maka hasil sembelihannya boleh dimakan. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al An’am:121, ﺎ و اﻮ آﺄ ﺎ ﺮآﺬ ا ا إو 8 Artinya: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan QS. Al An’am: 121 Berdasarkan hadits Rofi’ bin Khodij, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ﺎ ﺮﻬ أ مﺪ ا ﺮآذو ا ا ، ﻮ ﻜ Artinya: Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan. Inilah yang dipersyaratkan oleh mayoritas ulama yaitu dalam penyembelihan hewan harus ada tasmiyah penyebutan nama Allah atau basmalah. Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah adalah sunnah dianjurkan. Mereka beralasan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, نأ ﺎ ﻮ اﻮ ﺎ ﻰ - ﻰ ﺻ ﷲا و - نإ ﺎ ﻮ ﺎ ﻮ ﺄ ﺎ ﻻ ىرﺪ ﺮآذأ ا ا مأ ﻻ لﺎ » اﻮ أ ﻮ آو « . ﺎ اﻮ ﺎآو ﻰﺜ ﺪ ﺪﻬ ﺮ ﻜ ﺎ . Ada sebuah kaum berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam. Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl Al-Kitab Yahudi atau Nasrani. Namun, pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan wajib tasmiyah basmalah itulah yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Sedangkan dalil yang disebutkan oleh Imam Asy Syafi’i adalah untuk sembelihan yang masih diragukan disebut nama Allah ataukah tidak. Maka untuk sembelihan semacam ini, sebelum dimakan, hendaklah disebut nama Allah terlebih dahulu Tuasikal 2007. Syarat penyembelihan berikutnya adalah tidak disembelih atas nama selain Allah. Hal yang dimaksudkan di sini adalah mengagungkan selain Allah baik dengan mengeraskan suara atau tidak. Maka hasil sembelihan seperti ini diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, ﺮ ﺖ ﻜ ﺔﺘ ا مﺪ او و ﺮ ﺰ ﺨ ا ﺎ و هأ ﺮ ﻐ “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah. ” QS. Al Ma-idah: 3 Terpenuhinya syarat terpancarnya darah dalam penyembelihan juga merupakan syarat penyembelihan yang harus dipenuhi. Dan hal ini akan terwujud dengan dua ketentuan, yaitu alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Syarat alat untuk menyembelih dibagi menjadi dua, yaitu menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong. Hal ini dikarenakan maksud dari menyembelih adalah memotong urat leher, kerongkongan, saluran pernafasan dan saluran darah. Syarat yang kedua, yaitu tidak menggunakan tulang dan kuku. Dalilnya adalah hadits Rofi’ bin Khodij, 9 ﺎ ﺮﻬ أ مﺪ ا ﺮآذو ا ا ، ﻮ ﻜ ، ا ﺮ ﻈ او ، ﻜﺛﺪ ﺄ و ﻚ ذ ، ﺎ أ ا ٌﻈ ﺎ أو ﺮ ﻈ ا ىﺪ ﺔﺸﺒ ا Artinya: Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah sekarang bernama Ethiopia. Ketentuan kedua adalah dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut. Ketentuan penyembelihan yang ketiga adalah alat untuk menyembelih. Komisi Fatwa MUI Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa penyembelihan hewan secara mekanis pemingsanan merupakan modernisasi berbuat ihsan kepada hewan yang disembelih sesuai dengan ajaran Nabi dan memenuhi persyaratan ketentuan syar’i dan hukumnya sah dan halal. Hadits Nabi Riwayat Muslim dari Syaddad bin Aus tentang penyembelihan, yaitu “Bahwanya Allah menetapkan ihsan berbuat baik atas tiaptiap sesuai tindakan. Apabila kamu ditugaskan membunuh maka dengan cara baiklah kamu membunuh dan apabila engkau hendak menyemelih maka sembelihlah dengan cara baik. Dan hendaklah mempertajam salah seorang kaum akan pisaunya dan memberikan kesenangan kepada yang disembelinya yaitu tidak disiksa dalam penyembelihannya” C. Hukum dan Regulasi tentang Daging Bangkai dan Darah Kehalalan produk hewani telah memiliki pedoman baku, terutama bagi umat Islam. Beberapa ayat Al-Quran menerangkan tentang hukum mengkonsumsi daging bangkai dan darah di antaranya Al Baqarah: 173, Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu daging bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Al Baqarah: 173. 10 Surat Al Maidah: 3 menyebutkan, Artinya : Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat- Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Al Maidah: 3. Surat Al An’aam: 145 menyebutkan, Artinya : Katakanlah, Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu daging bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Al An’aam: 145. Darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir dan terpancar. Surat An Nahl: 115 menyebutkan, 11 Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu memakan daging bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang An Nahl: 115. Sementara itu, perundang-undangan Indonesia juga telah mengatur tentang peredaran produk tidak layak konsumsi atau dalam kajian ini dianggap sebagai daging bangkai. Berikut adalah perundangan Indonesia yang memuat mengenai ketentuan produk tidak layak konsumsi : 1. Undang-Undang No.7 Tahun 1996 pasal 21 tentang Pangan, yakni setiap orang dilarang mengedarkan: d. Pangan yang kotor, busuk, tengik, berpenyakit dan berasal dari daging bangkai Apabila terjadi pelanggaran dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000 enam ratus juta rupiah. 2. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Di dalam Bab IV pasal 8 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. 3. Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner di dalam Bab II pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat. 4. Keputusan Menteri Pertanian No.306KptsTN.33041994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya. Di dalam Bab II pasal 5 disebutkan bahwa unggas ditolak untuk disembelih apabila dalam pemeriksaan ante-mortem ternyata unggas tersebut dalam keadaan sudah mati dan hewan tersebut harus dimusnahkan.

D. Ketentuan Bangkai Belalang dan Ikan dalam Islam