Praktik Kerja Magang di Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dengan Topik Khusus : Kajian Ilmiah Istiĥālah (Transformasi ) Babi

(1)

INTERNSHIP PROGRAM IN THE ASSESSMENT INSTITUTE FOR

FOODS, DRUGS AND COSMETICS, THE INDONESIAN COUNCIL OF

ULAMA (IFDC-ICU) WITH SPECIFIC TOPIC :

SCIENTIFIC STUDY OF PIG

ISTIĤÂLAH

(TRANSFORMATION)

Rosy Hutami1, Joko Hermanianto1, Lukmanul Hakim2

1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

2

The Assessment Institute for Foods, Drugs and Cosmetics, The Indonesian Council Of Ulama (LPPOM MUI), LPPOM MUI, IPB Baranangsiang, Bogor

Phone: +62 857 81262579, e-mail: rosyhutami@gmail.com

ABSTRACT

The development of industry and food technology can not be avoided. The problem then arises when the products resulting from technological developments and the food industry is changing the food component that involves the halal status of food produced. Reviewing raw material is one of the LPPOM MUI strategy to protect the Muslim consumers. In Usl Fiqh, change can be identified as

istiĥālah (transformation). Presently, it is not explicitly distinguished about changes including

istiĥālah in the category criteria, limits, or a clear and measurable indicators. Therefore, scientific

research is necessary to provide an explicit definition of the concept of istiĥālah. Changes that occur will be identified in terms of chemical, physical, molecular, and biochemical changes of components. This research will discuss about the change of pig collagen into gelatin refer to the change pattern of ethanol into acetic acid. There was descriptive research methode used, the non-experimental reseach when the object datas have been available. The datas are collected by studying the literatures and also by interviewing, discussing, and audiencing the experts. The result of ethanol into acetic acid changes are included molecular changes, physical changes, chemical changes, and biochemical changes. When the identified changes in transformation of collagen into gelatin are only include physical and chemical changes. It means the pattern of changes is different. The changes (istihalah) in food also can be classified info six models based on the halal-haram status of the raw materials, agents, and the products.


(2)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Makanan dan minuman yang halal merupakan suatu keniscayaan bagi umat muslim. Setiap muslim dituntut untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal serta baik seperti yang

tercantum dalam Q. S. Al Baqarah 168, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu

musuh yang nyata bagimu”. Makanan dan minuman tersebut harus berasal dari bahan yang halal, diproses dengan proses yang dapat menjamin kehalalannya, dan diperoleh dengan cara yang halal. Makanan dan minuman yang tersedia tidak cukup hanya sekedar aman dari segi kimia, fisika, dan mikrobiologi, tetapi juga mampu menentramkan umat. Berdasarkan hal ini, maka timbul suatu konsep keamanan pangan secara rohani yang menyangkut status kehalalan pangan yang dihasilkan.

Saat ini, halal bukan lagi sekedar persoalan agama, yaitu Islam, namun halal sudah menjadi isu global. Berdasarkan hasil survei lembaga survei Amerika Serikat, Pew Research Center (2011), jumlah pendudukmuslim pada tahun 2010 mengambil porsi 23.40 % dari total penduduk dunia atau sekitar 1.6 miliar. Jumlah ini diproyeksikan akan mengalami peningkatan sebesar 3% pada tahun 2030 mendatang atau mengambil 26.4 % dari total populasi dunia atau setara dengan 2.2 miliar jiwa. Jumlah ini tentunya menjadi pertimbangan tersendiri bagi para produsen pangan agar dapat memproduksi pangan yang terjamin kehalalannya sebab hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah permintaan produk pangan di pasar global. Kriteria halal yang dibutuhkan konsumen harus senantiasa terpenuhi sehingga produsen tetap mendapat kepercayaan dari konsumen serta roda bisnis tetap dapat tumbuh dan berkembang.

Disisi lain, perkembangan ilmu dan teknologi pangan tidak dapat dihindari. Hal ini menyebabkan banyaknya produk-produk baru dari hasil olahan pangan tersebut yang apabila diidentifikasi baik secara kimia, fisika, maupun organoleptik mengalami perubahan sifat dari bahan asalnya. Di dalam Islam, perubahan suatu komponen pangan dari bahan asalnya dikenal dengan istilah istiĥālah.

Perubahan suatu bahan pangan dapat menyebabkan perubahan status kehalalan bahan pangan yang dihasilkan. Di dalam kajian fiqh Islam masih belum ada identifikasi yang jelas antara suatu perubahan dengan perubahan lainnya yang dapat dikategorikan ke dalam istiĥālah yang seharusnya dapat digolongkan berdasarkan kriteria, batasan, atau indikator yang jelas dan terukur. Ketidakjelasan di dalam memahami hakikat gejala istiĥālah ini menimbulkan kesulitan di dalam penetapan hukum-hukum bagi permasalahan - permasalahan yang ada. Kesulitan ini tidak terlepas dari adanya keterkaitan antara istiĥālah dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari umat muslim, terutama di dalam dunia industri yang berhubungan dengan proses pengolahan material bahan pangan atau lainnya yang kemungkinan besar tidak terlepas dari persoalan suci-najis dan halal-haram.

Salah satu contoh bahan pangan yang marak menjadi bahasan di bidang istiĥālah adalah gelatin. Gelatin merupakan produk dengan pertumbuhan pasar yang pesat. Pada tahun 2003, pasar gelatin dunia mencapai 278,300 ton, yaitu terdiri dari 42.4% gelatin yang berasal dari kulit babi, 29.3% gelatin yang berasal dari kulit sapi, 27.6% gelatin yang berasal dari tulang babi dan sapi, dan 0.7% berasal dari sumber lain (GEA, 2010). Diantara produsen utama gelatin adalah negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Amerika Selatan, serta negara-negara Asia seperti Thailand, Cina, dan Jepang. Data ini menunjukkan bahwa gelatin yang diekstrak dari hewan babi masih mendominasi pasaran dunia. Disisi lain, permintaan yang besar akan gelatin di dunia membuka peluang untuk


(3)

2 memanfaatkan perbedaan pendapat ulama dalam menentukan status halal-haram gelatin dari babi, sehingga sangatlah riskan bagi konsumen muslim. Oleh sebab itu, kajian ilmiah mengenai konsep

istiĥālah dilakukan untuk memberikan rumusan batasan yang tegas dan terukur mengenai konsep

istiĥālah sehingga dapat menjadi rumusan awal penentuan apakah suatu perubahan dapat dikategorikan sebagai suatu istiĥālah atau bukan yang nantinya akan memudahkan penentuan status halal-haram suatu bahan pangan.

Selain melakukan kajian mengenai istiĥālah babi, melalui kegiatan magang ini diharapkan pengetahuan dasar mengenai Sistem Jaminal Halal dapat dikuasai sebab hal ini juga merupakan hal yang penting menyangkut perkembangan halal-haram bahan pangan di Indonesia. LPPOM MUI juga memfasilitasi pengkajian status kehalalan bahan baku atau bahan tambahan pangan yang akan digunakan di dalam suatu produk untuk menjaga kesinambuangan status halal dari produk yang dihasilkan. Baik Sistem Jaminan Halal maupun pengkajian bahan, keduanya merupakan bagian dari upaya menerapkan jaminan mutu halal yang ada dalam suatu perusahaan. Menurut Muhandri dan Kadarisman (2005), jaminan mutu merupakan bagian dari manajemen mutu yang memfokuskan kepada pemberian keyakinan bahwa persyaratan mutu dipenuhi sehingga dapat dihasilkan pangan yang halal dan baik yang merupakan syarat bagi yang penting bagi konsumen muslim di Indonesia.

Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis sangat tertarik untuk melakukan praktek kerja magang di LPPOM MUI, mengingat lembaga ini merupakan satu-satunya lembaga di Indonesia yang mengurusi pengkajian, sertifikasi halal dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kehalalan pangan, kosmetika, dan obat-obatan di Indonesia. LPPOM MUI memiliki tenaga ahli yang kompeten di bidangnya. Hal inilah yang membuat LPPOM MUI memiliki kepercayaan yang tinggi di tingkat global dalam mengurusi jaminan kehalalan pangan, kosmetika, dan obat-obatan. Dengan demikian, penulis berharap melalui kegiatan magang ini kompetensi dan pengetahuan penulis di bidang kajian bahan pangan dari status kehalalannya serta pengetahuan dasar mengenai Sistem Jaminan Halal dapat bertambah sekaligus dapat membantu LPPOM MUI dalam merintis kajian ilmiah mengenai istiĥālah babi. Luaran dari magang ini, yaitu publikasi ilmiah tentang istiĥālah babi yang diharapkan dapat menjadi rintisan awal bagi kajian ilmiah istiĥālah selanjutnya.

1.2

TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum

1.Mengaplikasikan ilmu dan teknologi pangan yang telah dipelajari di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

2.Mempelajari secara umum penerapan sistem jaminan halal di industri.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.Melakukan kajian ilmiah mengenai istiĥālah babi berdasarkan literatur dan diskusi pakar. 2.Mempelajari pengkajian status kehalalan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong

untuk mendapatkan perizinan penggunaan dalam produk pangan.

1.2.3 Tolak Ukur Ketercapaian

Mahasiswa yang melakukan magang diharapkan dapat memiliki kompetensi berikut: 1.Menguasai sistem jaminan halal yaitu dapat membuat sistem jaminan halal. 2.Membuat jurnal sesuai judul, minimal satu jurnal.

1.2.4 Manfaat

Melalui praktek kerja magang ini diharapkan dapat dihasilkan suatu masukan bagi LPPOM MUI berupa kontribusi kajian mengenai istiĥālah babi, publikasi ilmiah terkait konsep

istiĥālah, serta meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam menguasai sistem jaminan halal di industri pangan.


(4)

3

II.

PROFIL INSTANSI

2.1

SEJARAH LPPOM MUI

Halal dan haram bagi umat Islam merupakan sesuatu yang sangat penting sebab hal ini merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan. Perintah untuk mengonsumsi yang halal dan larangan menggunakan yang haram sangat jelas dalam tuntunan agama Islam. Oleh karena itu, tuntutan terhadap produk halal juga semakin gencar disuarakan konsumen muslim, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.

Ada beberapa kasus yang berkaitan perkembangan kehalalan di Indonesia yang mengawali sejarah perkembangan LPPOM MUI. Salah satunya adalah kasus lemak babi pada tahun 1988. Isu yang berawal dari kajian Dr. Ir. Tri Susanto dari Universitas Brawijaya Malang ini kemudian berkembang menjadi isu nasional yang berdampak pada perekonomian nasional.

Kesadaran akan tanggung jawab untuk melindungi ketrentraman batin masyarakat mendorong Majelis Ulama Indonesia untuk mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau lebih dikenal sebagai LPPOM MUI. Lembaga ini didirikan sebagai bagian dari upaya untuk memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan, obat dan kosmetika.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 pasal 11 ayat 2 menyebutkan bahwa pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun, setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan sebagai produksi yang halal, sesuai ketentuan produsen wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya. Oleh karena itu, untuk menghindari timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan halal dan juga untuk kepentingan kelangsungan atau kemajuan usaha produsen pangan, pangan yang dinyatakan sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih dahulupada lembaga yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan ketentraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama. Lembaga keagama yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Semenjak didirikan pada tanggal 6 Januari 1989, LPPOM MUI telah memberikan peranannya dalam menjaga kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat. Pada awal-awal tahun kelahirannya, LPPOM MUI giat mengadakan seminar, diskusi-diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu syari‟ah, dan kunjungan–kunjungan yang bersifat studi banding serta muzakarah. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama. Pada awal tahun 1994, barulah LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal pertama.

LPPOM MUI memiliki visi menjadi lembaga sertifikasi halal terpercaya di Indonesia dan dunia untuk memberikan ketenteraman bagi umat Islam dan menjadi pusat halal dunia yang memberikan informasi, solusi dan standar halal yang diakui secara nasional dan internasional. Untuk mewujudkan visi tersebut LPPOM MUI memiliki beberapa misi, yaitu membuat dan mengembangkan standar sistem pemeriksaan halal, melakukan sertifikasi halal untuk produk-produk halal yang beredar dan dikonsumsi masyarakat, mendidik dan menyadarkan masyarakat untuk senantiasa mengonsumsi produk halal, serta memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenai kehalalan produk dari berbagai aspek.


(5)

4 Saat ini, LPPOM MUI memiliki dua kantor, yaitu LPPOM MUI Pusat Jakarta dan LPPOM MUI Bogor, serta sebanyak 32 LPPOM MUI cabang provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kantor LPPOM MUI Pusat Jakarta, berlokasi di Gedung Majelis Ulama Indonesia Jalan Proklamasi No. 51, Lantai III, Menteng Jakarta Pusat. Kantor LPPOM MUI Bogor, berlokasi di Kampus IPB Baranangsiang, Jalan Raya Padjajaran Bogor.

LPPOM MUI telah mengalami tiga periode kepengurusan. Periode pertama dipimpin oleh Dr. Ir. M. Amin Aziz, yaitu sejak pendirian LPPOM MUI pada tahun 1989 hingga tahun 1993. Periode kedua merupakan periode kepengurusan di bawah pimpinan Prof. Dr. Aisjah Girindra, yaitu sejak tahun 1993 hingga tahun 2006. Periode ketiga kepengurusan dipegang oleh Dr. Ir. H. M. Nadratuzzaman Hosen dari tahun 2006 hingga 2009. Selanjutnya mulai tahun 2010, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si dipercaya untuk memegang amanah sebagai pimpinan LPPOM MUI hingga tahun 2015.

Sejak tahun 2005 hingga tahun 2010, LPPOM MUI telah mensertifikasi halal sebanyak 75,514 produk baik produk nasional maupun produk impor. Jika membandingkan jumlah produk yang bersertifikat halal pada tahun 2010 sebanyak 21,837 produk dengan tahun 2009 sebanyak 10,550 produk, maka peningkatan jumlah produk bersertifikat halal sebesar 100 persen. Peningkatan jumlah produk bersertifikat halal tersebut sejalan dengan melonjaknya tingkat kepedulian masyarakat terhadap produk halal. Menurut hasil survei LPPOM MUI yang dilakukan pada 2010 lalu, kepedulian masyarakat terhadap kehalalan produk meningkat dari hanya 70 persen menjadi sekitar 92.2 persen. Kecenderungan tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi LPPOM MUI ke depan.

Jika dibandingkan dengan jumlah produk yang beredar di Indonesia, berdasarkan data Badan POM RI pada tahun 2011, jumlah produk teregistrasi sebanyak 113,515, sedangkan yang memiliki Sertifikat Halal MUI sebanyak 41,695. Artinya hanya 36.73 persen saja dari produk beredar dan teregistrasi yang memiliki sertifikat halal MUI. Dalam rangka meningkatkan jumlah produk bersertifikat halal MUI dan upaya melindungi serta menentramkan masayarakat Indonesia, maka perlu merubah prinsip voluntary (sukarela) menjadi mandatory (wajib) dalam proses sertifikasi halal. Artinya, LPPOM MUI ke depannya harus mampu menjawab berbagai tantangan. Di dalam negeri, lembaga ini harus lebih meningkatkan perannya dalam melindungi dan menenteramkan hati konsumen, sekaligus meningkatkan pelayanan prima kepada para produsen yang menghendaki sertifikasi halal.

Sedangkan di tingkat global/internasional, lembaga ini harus siap menghadapi perdagangan bebas, yang mungkin saja bisa merugikan hak-hak konsumen Muslim di Indonesia, sehingga perdagangan bebas (Free Trade) dapat diarahkan menjadi Fair Trade (Perdagangan Berkeadilan), adil dalam melindungi hak konsumen Muslim. Untuk tujuan tersebut, LPPOM MUI terus berusaha meningkatkan jumlah dan kompetensi auditor yang sampai dengan Januari 2011 terdiri atas 415 orang tenaga ahli dari berbagai bidang ilmu, termasuk ahli pangan, ahli kimia, dan ahli syariah yang tersebar di Pusat dan Daerah.

2.1

LOGO HALAL DAN LOGO ORGANISASI

Logo yang digunakan LPPOM MUI disajikan pada Gambar 1. Logo ini digunakan sebagai logo organisasi dan logo pelabelan produk yang sudah disertifikasi halal.


(6)

5 Gambar 1. Logo halal LPPOM MUI

2.3

RUANG LINGKUP KERJA LPPOM MUI

Sesuai dengan misi LPPOM MUI maka ruang lingkup kerja LPPOM MUI meliputi : 1. Pembuatan dan pengembangan standar sistem pemeriksaan halal yang tertuang dalam Sistem

Jaminan Halal.

2. Penerapan sertifikasi halal untuk produk-produk halal yang beredar dan dikonsumsi masyarakat. 3. Usaha mendidik dan menyadarkan masyarakat untuk senantiasa mengkonsumsi produk halal. 4. Pemberian informasi yang lengkap dan akurat mengenai kehalalan produk dari berbagai aspek.

LPPOM MUI dalam menjalankan fungsi organisasinya memiliki perangkat organisasi yaitu : 1) direktur, 2) bidang auditing, 3) bidang sistem jaminan halal, 4) bidang penelitian dan pengkajian ilmiah, 5) bidang sosialisasi dan promosi, 6) bidang informasi halal, 7) bidang standar dan pelatihan, 8) bidang pembinaan LPPOM daerah, dan 9) bidang organisasi dan kelembagaan. Susunan pengurus LPPOM MUI selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tugas direktur merupakan penanggung jawab secara keseluruhan pelaksanaan organisasi LPPOM MUI, berkoordinasi dengan Komisi Fatwa MUI, Ketua Komisi Fatwa dan Ketua MUI untuk menandatangani sertifikat halal. Bidang auditing bertugas melaksanakan kegiatan auditing produk halal dan melaporkannya kepada Komisi Fatwa untuk difatwakan halal. Bidang auditing bertugas memimpin tim auditor untuk membahas hasil-hasil auditing yang dilakukan para auditor. Bidang penelitian dan pengkajian ilmiah bertugas melakukan kajian status kehalalan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong jika terjadi penggantian bahan atau penambahan bahan baru pada produk yang sudah memiliki sertifikat halal. Bidang sosialisasi bertugas melaksanakan sosialisasi halal ke masyarakat luas, baik konsumen, produsen, maupun instansi terkait lainnya. Bidang informasi halal bertugas menyebarluaskan informasi halal di Indonesia maupun di tingkat internasional kepada masyarakat luas. Media promosi dan informasi halal yang dikelola oleh divisi sosialisasi dan divisi informasi antara lain Kuis Halal “Halal is My Life” melalui media elektronik,

website LPPOM MUI (www.halalmui.org), Direktori Halal 2010 dan 2011 LPPOM MUI, serta majalah dwibulanan Jurnal Halal.


(7)

6

III.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

TINJAUAN UMUM MAKANAN DAN MINUMAN

3.1.1 Makanan dan Minuman (Pangan) Halal dan Thayyib

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman (UU RI No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan).

Konsumsi makanan halal merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Halal dan baik secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu untuk mendapatkan pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen Muslim. Kata halal berasal dari kata halla yang berarti lepas atau tidak terikat.

Pangan yang halal adalah pangan yang diijinkan untuk dikonsumsi atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi (Girindra, 2005). Dalam hal ini, pangan yang baik dapat diartikan sebagai pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higiene baik dan kandungan gizinya yang baik.

Berdasarkan ayat berikut, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang

terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan

itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q. S. Al Baqarah : 168). Thayyib” di sini adalah sesuatu

yang dipandang lezat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Syafi’i dan ulama lainnya. Menurut

Imam Malik dan ulama lainnya, “Ia (thayyib) adalah halal. Kata ini digunakan sebagai penguat firman-Nya “Halalan”. Berdasarkan hal ini, makna “thayyib” secara syar’i di dalam Al Qur’an

merujuk pada tiga pengertian, yaitu :

1) Sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran, sebagaimana pendapat Imam Ibn Katsir.

2) Sesuatu yang lezat, sebagaimana pendapat Imam al-Syafi’i.

3) Halal itu sendiri, yaitu sesuatu yang suci. Tidak najis, dan tidak diharamkan, sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Al Thabari (Yaqub, 2008).

3.1.2 Makanan dan Minuman (Pangan) Non Halal

Halal berati boleh, sedangkan haram berarti tidak boleh (Qardhawi, 2000). Sebagai umat muslim, peraturan halal juga telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman bahwa “Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi,

binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang

dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala”.

Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 173, Girindra (2005) menyatakan bahwa makanan yang diharamkan meliputi :

1. Bangkai, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya.

2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir.

3. Daging babi, mayoritas ulama menyatakan bahwa seluruh bagian babi haram untuk dikonsumsi, baik daging, lemak, tulang, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, maupun


(8)

7 semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya.

4. Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah

Dari semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu khamar.

Khamar ialah minuman yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasullah saw. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Daud dari Abdullah bin Umar : Setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamr) dan setiap khamr adalah diharamkan (Departemen Agama RI, 2003).

3.2

TINJAUAN

SYAR’IAH

MAKANAN DAN MINUMAN

3.2.1 Ayat Al Qur’an Mengenai Halal-Haram Makanan dan Minuman

“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging)

hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak

ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”(Q. S. Al Baqarah :

173).


(9)

8

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang

disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Peyanyang. Mereka bertanya kepadamu (Muhammad),

“Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.” (Q. S. Al Maidah :3-5)

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang

diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi-karena semua itu kotor- atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena mengingikan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Penampun, Maha

Penyayang.” (Q. S. Al An‟am : 145)

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, tetapi barang siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. An Nahl : 115)


(10)

9

3.2.2 Hadits Mengenai Halal-Haram Makanan dan Minuman

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam

bersabda: Sesungguhnya Allah ta‟ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firman-Nya: Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kusut dan berdebu. Dia mengangkatkan kedua

tangannya ke langit seraya berkata: “Ya Tuhanku, Ya Tuhanku”, padahal makanannya haram,

minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan. (Riwayat Muslim).

Ibnu Abbas berkata bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW “Ya Rasulullah,

doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah.” Apa jawaban Rasulullah

SAW, “Wahai Sa‟ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan

menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba,

maka neraka lebih layak baginya.” (HR At-Thabrani).

I. Hewan yang Diharamkan untuk Dimakan :

1. Keledai piaraan (jinak)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa keledai jinak itu haram untuk dimakan. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Anas bin Malik,


(11)

10

Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata, "Daging keledai telah banyak di konsumsi. " Selang beberapa saat orang tersebut datang lagi sambil berkata, "Daging keledai telah banyak di konsumsi." Setelah beberapa saat orang tersebut datang lagi seraya berkata, "Keledai telah binasa." Maka beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru di tengah-tengah manusia, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis." Oleh karena itu, mereka menumpahkan periuk yang di gunakan untuk memasak daging tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim).

Akan tetapi boleh mengkonsumsi kuda sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Dalilnya

adalah hadits Jabir bin „Abdillah, beliau berkata,

“Ketika perang Khaibar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang makan daging keledai jinak dan membolehkan memakan daging kuda." (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Binatang buas yang bertaring

Setiap hewan yang bertaring yang digunakan untuk menyerang mangsanya, baik hewan liar (seperti singa, serigala, macan tutul,dan macan kumbang) maupun hewan piaraan (seperti anjing dan kucing rumahan) haram untuk dimakan. Hal ini terlarang berdasarkan hadits Abu Hurairah, Nabi

shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.(HR. Muslim)

Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata:

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.

(HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu „Abbas, beliau berkata:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan memiliki taring–menurut ulama

Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”

Ibnu Hajar Al Asqolani (1339) dalam Fathul Bari mengatakan:

“Termasuk hewan yang dikecualikan dari kehalalan untuk dimakan adalah buaya karena ia memiliki taring untuk menyerang mangsanya.”


(12)

11 Imam Ahmad mengatakan:

“Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.”

3. Setiap burung yang bercakar

Setiap burung yang bercakar dan cakarnya ini digunakan untuk menyerang mangsanya (seperti burung elang), maka haram untuk dimakan. Dalilnya adalah hadits Ibnu „Abbas, beliau berkata:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.”( HR. Muslim).

Yang dimaksud dengan mikhlab (cakar) adalah cakar yang digunakan untuk memotong dan merobek seperti pada burung nasar dan burung elang. Artinya di sini, syarat diharamkan burung yang bercakar adalah apabila cakarnya digunakan untuk menerkam atau menyerang mangsanya. Oleh karena itu, ayam jago, burung pipit, dan burung merpati tidak termasuk yang diharamkan.

4. Hewan jallalah

Hewan jallalah adalah hewan yang mengkonsumsi yang najis–atau mayoritas konsumsinya najis–. Para ulama mengatakan bahwa daging atau susu dari hewan jalalah tidak boleh dikonsumsi. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad (dalam salah satu pendapatnya) dan Ibnu Hazm.

Dasar pelarangan hal ini adalah hadits Ibnu „Umar,

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang

dihasilkan darinya.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hewan al jallalah bisa dikonsumsi lagi apabila bau-bau najisnya hilang setelah diberi konsumsi makanan yang bersih, inilah pendapat yang shahih. Ada riwayat dari para salaf, diantara mereka memberikan rentan waktu hewan al jalalah tadi diberi makan yang bersih-bersih sehingga bisa halal dimakan kembali. Ada riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu „Umar,

“Ibnu „Umar mengkarantina (memberi makan yang bersih-bersih) pada ayam jalalah selama tiga

hari.” Dikeluarkan pula oleh All Baihaqi dengan sanad yang bermasalah dari „Abdullah bin „Amr secara marfu’ (dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam) yang menyatakan bahwa hewan al jalalah

tidaklah dikonsumsi sampai hewan tersebut diberi makan yang bersih selama 40 hari. (Hajar, 1379). Hewan jalalah ini juga bisa terdapat pada ikan seperti lele yang biasa diberi pakan berupa kotoran tinja. Jika diketahui demikian, sudah seharusnya ikan semacam itu tidak dikonsumsi kecuali jika ikan tersebut kembali diberi pakan yang bersih-bersih.


(13)

12 5. Setiap hewan yang diperintahkan oleh syari’at untuk dibunuh

Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh, maka ia haram untuk dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah tikus, kalajengking, burung gagak, al hadaya (mirip burung gagak), anjing (yang suka menggigit), ular, dan tokek.

Dari „Aisyah, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari dan

Muslim).

An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah

Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang

diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.”

Sedangkan yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan dimaksud untuk anjing

semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas, macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu „Uyainah, Imam Asy

Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.

Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, beliau mengatakan:

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh tokek, beliau menyebut hewan

ini dengan hewan yang fasik” (HR. Muslim). An Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim dengan judul Bab “Dianjurkannya membunuh cecak.”

Dari Ummu Syarik –radhiyallahu „anha-, ia berkata:

“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak. Beliau bersabda,

“Dahulu cecak ikut membantu meniup api (untuk membakar) Ibrahim 'alaihis salam.” (HR. Bukhari).


(14)

13

Barang siapa yang membunuh cecak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.” (HR. Muslim). 6. Setiap hewan yang dilarang oleh syari’at untuk dibunuh

Hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka ia dilarang untuk dikonsumsi karena jika dilarang untuk dibunuh berarti dilarang untuk disembelih. Lalu bagaimana mungkin seperti ini dikatakan boleh dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah semut, lebah, burung hudhud, burung shurod (kepalanya besar, perutnya putih, punggungnya hijau), dan katak.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata:

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari „Abdurrahman bin „Utsman, ia berkata:

Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al

Khottobi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa katak itu haram dikonsumsi dan ia tidak

termasuk hewan air yang dibolehkan untuk dikonsumsi.” Imam Ahmad mengatakan, “Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.”

II.Minuman yang Diharamkan untuk Diminum

Dari Ibnu „Umar ra., ia berkata : “Umar pernahberdiri berkhutbah di mimbar, ia berkata, “Amma ba‟du. Sesungguhnya telah turun ketetapan haramnya khamr, dan khamr itu (terbuat) dari lima

macam, yaitu dari anggur, kurma kering, madu, gandum yang bagus, dan sya‟ir (gandum biasa).


(15)

14

Dari Jabir bin „Abdullah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Minuman yang dalam jumlah banyak memabukkan, maka sedikitpun juga haram” (HR Ibnu Majah juz 2, hal 1125, no. 3393).

Dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Thalhah bertanya kepada Nabi SAW tentang beberapa anak

yatim yang mewarisi khamr, belaiu SAW menjawab, “Buanglah! (Abu Thalhah) bertanya, “Apakah tidak boleh saya jadikan cuka?” Jawab beliau, “Tidak.” (HR Abu Daud juz 3, hal 329, no. 3675).

3.2.3 Pendapat Ulama mengenai Halal-Haram Makanan dan Minuman

Al Qur’an tidak menyebutkan pengharaman sesuatu pun dari binatang darat kecuali secara

khusus daging babi juga bangkai, dan darah, serta semua binatang yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dengan bentuk pembatasan yang haram atas empat macam secara global dan sepuluh macam secara terinci (Qardhawi, 2000). Namun

dijelaskan di dalam Al Qur’an tentang halal-haram, “Ia menghalalkan kepada mereka segala yang

baik dan mengharamkan kepada mereka segala yang kotor.” (Q.S. Al-A‟raf : 157).

Maksud jallalah (yang kotor) adalah semua binatang yang dirasa kotor oleh selera dan perasaan orang pada umumnya, meskipun beberapa orang mungkin menganggapnya tidak demikian. Contohnya Rasulullah saw. mengharamkan untuk menyantap daging keledai jinak di Perang Khaibar.

“Rasulullah saw. melarang makan daging keledai jinak pada hari Perang Khaibar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Bukhari Muslim yang lainnya ada juga pengharaman jenis hewan lain, yaitu“Diharamkan binatang yang memiliki taring, seperti binatang buas dan yang memiliki cakar,

seperti bangsa burung.” (HR. Bukhari). Binatang buas yang dimaksud adalah binatang yang memangsa binatang lain, atau memakan dengan kejam seperti singa, macan, serigala, dan semisalnya. Sedangkan yang dimaksud dengan binatang yang memiliki cakar dan kuku tajam dari jenis burung misalnya adalah burung rajawali dan elang (Qardhawi, 2000).

Madzhab Ibnu Abbas menyebutkan bahwa tidak ada yang haram kecuali empat jenis yang

dituturkan dalam Al Qur’an. Ia sepertinya menganggap bahwa hadits-hadits larangan untuk binatang buas dan lain-lain hanya memberikan makna dibenci bukan diharamkan, atau mungkin riwayat ini belum sampai kepadanya. Ia berkata, “Masyarakat Jahiliyah zaman dahulu memakan banyak jenis makanan dan meninggalkan banyak jenis juga lantaran dianggap kotor. Lalu Allah SWT mengutus Nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya. Allah halalkan yang halal dan haramkan yang haram. Apa yang dihalalkan, maka dia halal hukumnya dan apa yang diharamkan maka ia haram hukumnya, sedangkan yang didiamkan maka ia dapat ditoleransi. Lalu ia membaca, “Katakanlah, „Tiada

kuperoleh dalam wahyu yang diturunkan kepadaku makanan yang diharamkan…‟” (Q.S. Al An‟am

145).

Dengan ayat ini Ibnu Abbas melihat bahwa daging keledai jinak halal saja hukumnya. Imam Malik mengikuti madzhab Ibnu Abbas ini, yaitu ia tidak mengatakan haramnya binatang buas dan semisalnya, melainkan hanya memakruhkannya.


(16)

15 Ada suatu ketetapan bahwa penyembelihan yang syar‟i tidak ada pengaruhnya pada binatang-binatang yang memang haram hukumnya, dalam hal memakan dagingnya, kecuali pada sucinya kulit tanpa harus disamak (Qardhawi, 2000).

3.3

TINJAUAN

SYAR’IAH ISTIĤĀLAH

Salah satu hal yang berkaitan dengan najis adalah istiĥālah. Istiĥālah menurut Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah perubahan (konversi) dan peralihan sebuah hakikat benda. Sedangkan menurut Ibn’Abidin, istiĥālah ada dua macam; (1) perubahan suatu benda dari suatu sifat ke sifat lainnya dan (2) perubahan suatu benda dari satu hakikat ke hakikat lainnya.

Al-„Allamah Ibn Qasim al-Ghazali dari kalangan Syafi’iyah menuturkan bahwa istiĥālah adalah perubahan sesuatu dari sifat yang satu ke sifat yang lain. Jika demikian, istiĥālah ada dua macam ; 1. Perubahan suatu benda dari sifat yang satu ke sifat yang lain.

2. Perubahan suatu benda dari hakikat yang satu ke hakikat yang lain.

Sebagai contoh adalah perubahan khamr menjadi cuka. Perubahan ini terjadi karena peralihan sifat dari khamr ke cuka. Adapun contoh yang kedua adalah perubahan anjing, jika jatuh ke tempat pembuatan garam, maka ia akan berubah menjadi garam, dan jika terbakar, maka ia menjadi abu. Perubahan ini terjadi karena peralihan hakikat dari anjing ke garam atau abu. Menurut Yaqub (2008), berdasarkan contoh kasus perubahan khamr menjadi cuka, maka istiĥālah dapat diklasifikasikan menjadi dua; istiĥālah dengan sendirinya dan istiĥālah dengan campur tangan manusia. Contoh yang pertama, perubahan khamr menjadi cuka tanpa ada campur tangan atau rekayasa manusia. Contoh yang kedua, perubahan khamr menjadi cuka dengan campur tangan manusia. Misalnya memasukkan sesuatu ke dalam khamr hingga terjadi perubahan menjadi cuka, atau memindahkan khamr dari suatu tempat ke tempat yang lain hingga akhirya berubah menjadi cuka.

Istiĥālah adalah suatu proses di mana substansi asli produk tertentu berhasil dilewati, dan hasil akhirnya adalah produk atau bahan tersebut telah benar-benar berubah dari produk asli ke produk lain yang berbeda bahan maupun atributnya. Hal ini dapat terjadi secara alami atau dengan bantuan manusia.

Berikut ini adalah pendapat para fuqaha berbagai mazhab mengenai masalah-masalah fiqh yang berhubungan dengan istiĥālah.

1. Fuqaha al-Hanafiyah

Para ulama Hanafi menyatakan kesucian khamr apabila telah berubah menjadi cuka dengan sendirinya atau dengan sengaja atau dengan upaya-upaya manusia seperti dengan memasukkan atau mencampurkan sesuatu ke dalamnya, memindahkan dari tempat terik ke tempat teduh, atau sebaliknya, menyalakan api di dekatnya, atau dengan cara apa saja. Benda-benda najis berubah menjadi suci apabila substansinya ber-istiĥālah, seperti perubahan menjadi garam atau terbakar api (Al Ikhlas 1985).

2. Fuqaha al-Malikiyyah

Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa istiĥālah merupakan proses pencuci. Di dalam proses pembuatan cuka, menurut pendapat yang kuat dari mazhab Maliki, tidak ada perbedaan apakah berproses dengan sendirinya, ataukah dengan sengaja diolah, sama saja hasilnya berupa cuka yang suci. Akan tetapi, al Qurtubi menceritakan riwayat dari Imam Malik yang membedakan proses alami dengan proses buatan. Walaupun demikian, para ulama Malikiyyah berpendapat apabila khamr

dipadatkan dan hilang sifat memabukkannya, maka ia menjadi suci, dengan catatan sekiranya mencair kembali sifat memabukkannya tetap hilang. Perubahan khamr menjadi cuka itu suci karena merupakan hasil istiĥālah dari seluruh sifat-sifat khamr dan keluar dari sebutan atau namanya menjadi sifat-sifat dengan nama yang dikhususkan bagi keduanya. Hal ini terjadi sebagaimana darah dan


(17)

16 makanan-makanan hewan yang najis menjadi daging yang suci, sebagaimana pula terbentuknya buah anggur atau sayuran dari kotoran dan benda najis lainnya (Muhammad, 1977).

3. Fuqaha asy-Syafi’iyah

Menurut Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa al- istiĥālah bukanlah proses pensuci, kecuali dalam tiga kasus berikut :

a. Istiĥālah menjadi hewan, karena kehidupan (ruh) jelas-jelas mempengaruhi di dalam meniadakan sifat najis, sedangkan istiĥālah menjadi selain hewan, seperti bangkai anjing jatuh di tambak garam kemudian berubah menjadi garam, atau pupuk kandang dibakar sehingga menjadi abu, maka istiĥālah demikian tidak menjadi benda suci.

b. Kulit yang disamak berdasarkan pendapat bahwa proses penyamakan kulit termasuk iĥālah

(istiĥālah) bukan izālah, yakni bukan pengilangan najis atau pembersihan kulit itu dari najis-najis yang mengotorinya, tapi pengubahan najis itu menjadi kulit yang suci.

c. Khamar yang berubah secara alami menjadi cuka, sedangkan jika melalui proses buatan, para ulama Syafi‟iy membedakan di antara dua hal :

1) Cuka tetap najis jika diproses dengan cara memasukkan sesuatu ke dalam khamr asalnya. 2) Menjadi suci jika diproses dengan cara memindahkan khamar asalnya dari tempat panas terik

ke tempat yang teduh, atau sebaliknya, atau dengan cara membuka tutup wadahnya untuk mempercepat masuknya udara yang mengubahnya menjadi cuka.

Dalam pemahaman ulama Syafi’iyah, istiĥālah benar-benar efektif terutama dalam dua proses saja, yaitu penyamakan kulit dan perubahan khamar menjadi cuka. Hewan-hewan yang terjadi melalui istiĥālah benda-benda najis dan dihukumi suci bukan karena semata-mata terjadinya istiĥālah, melainkan eksistensi ruhnyalah yang mensucikan. Jika ruhnya lenyap, jadilah bangkai yang najis. Demikian pula, misik, alaqah, susu, dan sebagainya. Dihukumi suci bukan karena proses istiĥālah, melainkan karena ada dalil-dalil yang lain.

4. Fuqaha al-Hanabilah

Menurut pendapat yang kuat dari Ulama Hanabilah, istiĥālah tidak mensucikan benda-benda najis. Sebab, Nabi saw. melarang memakan al-jallalah dan susunya karena kebiasaannya memakan benda-benda najis. Seandainya al-jallalah suci karena istiĥālah, tentu Nabi tidak akan melarangnya. Oleh karena itu, apabila anjing masuk ke tempat pembuatan garam, atau mati di dalamnya sehingga menjadi garam, atau kotoran kering dan najis dibakar sehingga menjadi abu, maka hukumnya najis. Ada beberapa benda hasil istiĥālah yang dihukumi suci, dikecualikan dari ketentuan di atas, yaitu : a. Segumpal darah di dalam rahim yang berubah menjadi hewan yang suci.

b. Kulit najis yang telah di samak, berdasarkan penyamakan termasuk iĥālah.

c. Khamr setelah berubah menjadi cuka dengan sendirinya. Jika sengaja dibuat cuka, maka hukum cuka hasil istiĥālah itu tetap najis karena ada larangan dari Nabi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, dan Imam Tirmiziy (Ibn, 1988).

Muhammad Bāqiral-Majlisiy memahami istiĥālah sebagai gejala perubahan benda sebagaimana ia bedakan menjadi sembilan macam :

1. Abu yang dihasilkan pembakaran benda-benda najis 2. Asap yang ditimbul dari benda-benda najis

3. Arang yang dihasilkan dari pembakaran benda-benda najis 4. Tembikar yang diolah dari tanah najis (mutanajjis)

5. Benda-benda najis yang berubah menjadi tanah atau cacing , ulat dan sejenisnya 6. Adonan roti yang menggunakan air mutanajjis

7. Babi yang terbenam di ladang garam hingga berubah menjadi garam, atau kotoran yang telah berubah menjadi lumpur hitam


(18)

17 8. Nutfah najis yang berubah menjadi hewan suci, air najis yang berubah menjadi kencing hewan

yang dagingnya halal, pakan najis yang berubah menjadi kotoran hewan yang halal dagingnya, darah yang berubah menjadi nanah atau bagian tubuh hewan yang tak berdarah merah, kotoran yang berubah menjadi tumbuhan, atau buah-buahan

9. Uap yang timbul dari cairan najis

Pengertian dan pembedaan gejala istiĥālah menjadi sembilan macam yang dikemukakan oleh al-Maqdisiy nampaknya didasarkan atas hasil yang terjadi dari proses istiĥālah, bukan dari jenis proses istiĥālah-nya. Sebab, abu, asap, arang, atau tembikar diperoleh dari proses yang relatif sama, yaitu pembakaran melalui persentuhan dengan api. Roti yang dicontohkan di atas diperoleh melalui pemanggangan. Cacing, ulat, hewan suci dan bagian tubuhnya, yang terjadi dari najis terbentuk melalui proses biologis. Uap yang timbul dari cairan najis dapat terjadi melalui kenaikan suhu. Babi yang berubah menjadi garam, kotoran yang berubah menjadi lumpur hitam, dan lain-lainnya, terjadi melalui proses penguraian yang sangat rumit, dengan bantuan mikroorganisme.

3.4

TINJAUAN ILMIAH

KOLAGEN DAN GELATIN

3.4.1 Kolagen

Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan ikat putih (white connetive tissue) yang meliputi hampir 30 persen dari total protein pada jaringan danorgan tubuh vertebrata dan invertebrata. Pada mamalia, kolagen terdapat di kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan ikat. Demikian juga pada burung dan ikan, sedangkan pada avertebrata kolagen terdapat pada dinding sel (Bailey and Light, 1989).

Molekul kolagen tersusun dari kira-kira dua puluh asam amino yang memiliki bentuk agak berbeda bergantung pada sumber bahan bakunya. Asam amino glisin, prolin, dan hidroksiprolin merupakan asam amino utama kolagen. Asam-asam amino aromatik dan sulfur terdapat dalam jumlah yang sedikit. Hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino pembatas dalam berbagai protein (Chaplin and Nyachoti, 2005).

Untuk saat ini, sekitar 27 jenis kolagen telah teridentifikasi (Schrieber dan Garies, 2007). Molekul kolagen terdiri dari tiga rantai α yang saling terkait yang disebut triple-heliks kolagen, strukturnya mengadopsi struktur 3D yang menyediakan bentuk geometri ideal untuk ikatan antar-rantai hidrogen (Nijenhuis, 1997). Setiap antar-rantai heliks berputar berlawanan.

Triple-heliks memiliki panjang sekitar 300 nm, dan memiliki berat molekul sekitar 105 kDa (Papon et al., 2007). Struktur triple-heliksnya distabilkan oleh ikatan antar-rantai hidrogen tersebut. Denaturasi dari kolagen menyebabkan hilangnya konformasi triple-helix (Papon et al.,

2007).

Kolagen adalah satu-satunya protein mamalia yang mengandung sejumlah besar hidroksiprolin dan hidroksilisin dengan kadar total asam imino (prolin dan hidroksiprolin) yang tinggi. Total urutan glisin–proline–hidroksiprolin merupakan hal yang utama yang mempengaruhi kestabilan terhadap panas dari kolagen (Burjandze, 2000).

3.4.2 Gelatin

Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Susunan asam aminonya hampir mirip dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Chaplin dan Nyachoti, 2005). Komposisi asam amino dari gelatin sangat dekat dengan kolagen induknya dan dikarakterisasi oleh urutan triplet Gly-XY yang berulang, dimana X adalah prolin dan Y sebagian besar merupakan hidroksiprolin (Eastoe dan Leach, 1977). Sumber


(19)

18 terbanyak dari gelatin adalah kulit babi (46%), kulit sapi (29.4%), serta tulang babi dan sapi (23.1%) (Gómez-Guillén et al., 2009).

Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glikol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organik lainnya. Menurut Norland (1997), gelatin mudah larut pada suhu 71.1oC dan cenderung membentuk gel pada suhu 48.9 oC. Sedangkan menurut Montero et al. (2000), pemanasan yang dilakukan untuk melarutkan gelatin sekurang-kurangnya 49oC atau biasanya pada suhu 60 – 70oC.

Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid (Parker, 1982). Menurut Utama (1997), sifat-sifat seperti itulah yang membuat gelatin lebih disukai dibandingkan bahan-bahan semisal dengannya seperti gum xantan, keragenan dan pektin.

3.4.3 Pembuatan Gelatin

Gelatin terbuat dari denaturasi termal dari kolagen. Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses ini terletak pada proses perendamannya. Berdasarkan kekuatan ikatan kovalen silang protein dan jenis bahan yang diekstrak, maka penerapan jenis asam maupun basa organik dan metode ekstraksi lainnya seperti lama hidrolisis, pH dan suhu akan berbeda-beda (Gilsenan et al., 2000).

Menurut Hinterwaldner (1977), proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga tahap : 1) tahap persiapan bahan baku antara lain penghilangan komponen non kolagen dari bahan baku, 2) tahap konversi kolagen menjadi gelatin, dan 3) tahap pemurnian gelatin dengan penyaringan dan pengeringan.

Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit dan tulang. Kulit atau tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih selama 1 –2 menit (Pelu et al., 1998). Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang biasa disebut degresing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 32–80oC sehingga dihasilkan kelarutan lemak yang optimum (Wars dan Courts, 1977).

Pada tulang, sebelum dilakukan pengembungan terlebih dahulu dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer disebut ossein (Utama, 1997). Menurut Wiyono (1992), asam yang biasa digunakan dalam proses demineralisasi adalah asam klorida dengan konsentrasi 4–7 %. Sedangkan menurut Hinterwaldner (1977), proses demineralisasi ini sebaiknya dilakukan dalam wadah tahan asam selama beberapa hari sampai dua minggu.

Selanjutnya pada kulit dan ossein dilakukan tahap pengembungan (swelling) yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi gelatin (Surono et al.,

1994). Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartarat dan asam lainnya yang aman dan baunya tdak meyengat. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat, dan sulfat. Jenis pelarut alkali yang umum digunakan adalah sodium karbonat, sodium hidroksida, potassium karbonat dan potasium hidroksida (Choi and Regestein, 2000).

Menurut Ward dan Court (1977) asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak


(20)

19 daripada larutan basa. Oleh karena itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen. Menurut Utama (1997), tahapan ini harus dilakukan dengan tepat (waktu dan konsentrasinya) jika tidak tepat akan terjadi kelarutan kolagen dalam pelarut yang menyebabkan penurunan rendemen gelatin yang dihasilkan.

Tahapan selanjutnya, kulit dan ossein diekstraksi dengan air yang dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Suhu minimum dalam proses ekstraksi adalah 40–50oC (Choi and Regenstein, 2000) hingga suhu 100oC (Viro 1992). Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam suasana asam pada pH 4–5 karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non kolagen, sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan (Hinterwaldner, 1997). Apabila pH lebih rendah perlu penanganan cepat untuk mencegah denaturasi lanjutan (Utama, 1997).

Larutan gelatin hasil ekstraksi kemudian dipekatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengeringan. Pemekatan dilakukan untuk meningkatkan total solid larutan gelatin sehingga mempercepat proses pengeringan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 40– 50oC (Choi and Regenstein, 2000) atau 60–70oC (Pelu et al., 1998). Pengecilan ukuran dilakukan untuk lebih memperluas permukaan bahan, sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Dengan demikian gelatin yang dihasilkan mudah digunakan.

Kulit yang telah direndam dicuci dengan air mengalir hingga mencapai pH 6-7, karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non-kolagen pada kulit sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan (Hinterwaldner, 1977).

Ekstraksi dilakukan pada suhu 60oC sistem water bath, dimana perbandingan kulit dengan air adalah 1 : 2. Pemanasan perlu dilakukan karena gelatin umumnya akan melarut dalam air hangat (T≥ 40C) (Ross-Murphy, 1991). Ekstraksi dengan air hangat akan melanjutkan perusakan ikatan-ikatan silang, serta untuk merusak ikatan hidrogen yang menjadi faktor penstabil struktur kolagen.

Gelatin yang diperoleh dari ekstraksi disaring dengan kain katun untuk dipisahkan dari kulit dan memperoleh filtrat yang jernih. Filtrat kemudian didinginkan dalam lemari pendingin (15oC) untuk memadatkan struktur gel gelatin. Pendinginan akan membentuk gel yang thermoreversibel. Proses pendinginan pada temperatur 15oC, yaitu dibawah temperatur leleh (Tm) gelatin.

Pendinginan mengakibatkan transisi struktur gulungan yang acak menjadi struktur helik yang baru dan akan memperkuat kekuatan gel gelatin yang dihasilkan. Struktur helik yang baru bentuk tersebut tidak sama dengan struktur asli kolagen, karena terbatasannya jumlah tripel helik yang terbentuk kembali.

3.5

SISTEM JAMINAN HALAL (LPPOM MUI 2008)

Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan, dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI (LPPOM MUI, 2008). Sistem jaminan halal merupakan kerangka kerja yang dipantau terus-menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya peluang perubahan, baik secara internal maupun secara eksternal. Kerangka sistem jaminan halal digambarkan dalam bentuk siklus operasi yang ditampilkan pada gambar berikut :


(21)

20 Gambar 2. Siklus operasi SJH (LPPOM MUI, 2008)

Penjelasan siklus operasi tersebut adalah sebagai berikut : I. Kebijakan halal

Pernyataan kebijakan halal adalah langkah awal dan menjadi dasar (jantung) dalam: 1. Menyusun manual SJH (Planning)

2. Melaksanakan SJH (Implementation)

3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan SJH (Monitoring and Evaluation) 4. Tindakan perbaikan terhadap pelaksanaan SJH (Corrective Action)

II. Perencanaan (Planning)

Perusahaan menyusun manual SJH standar III. Pelaksanaan (Implementation)

Perusahaan melaksanakan semua yang telah direncanakan seperti tertulis dalam Manual SJH. Hal ini didukung dengan bukti-bukti pelaksanaanya.

IV. Pemantauan dan Evaluasi (Monitoring and Evaluation)

Perusahaan memantau dan mengevaluasi seberapa jauh pencapaian pelaksanaan dapat memenuhi tujuan sesuai yang direncanakan.

V. Tindakan perbaikan (Corrective Action)

Perusahaan memperbaiki kesalahan dan belajar dari kesalahan serta memperbaiki perencanaannya untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Pengembangan sistem jaminan halal didasarkan pada konsep total quality management yang terdiri atas empat unsur utama yaitu komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa penambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa rework, tanpa reject, tetap inspectio. Karena itu dalam prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect, dan zero risk (three zero consept). Artinya material haram tidak boleh ada pada level apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada resiko merugikan yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Sistem jaminan halal merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal.


(22)

21

IV.

METODOLOGI

4.1

LOKASI MAGANG

Praktik magang ini dilakukan di kantor Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-Obatan Majelis Ulama Indonesia, Jalan Raya Padjajaran Bogor 16144, Kampus IPB Baranang Siang.

4.2

WAKTU MAGANG

Kegiatan ini dilakukan mulai dari tanggal 7 Februari 2011 sampai dengan 7 Juni 2011.

4.3

METODE MAGANG

4.3.1

Kegiatan Magang

Kegiatan magang dilakukan pada Divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah LPPOM MUI. Kegiatan yang dilakukan antara lain :

1. Membuat matriks dan surat keterangan perizinan penggunaan bahan baku dan bahan tambahan pangan.

Matriks dan surat keterangan bahan baku dan bahan tambahan pangan dibuat apabila suatu perusahaan sudah mengajukan permintaan pengkajian bahan baku dengan syarat melampirkan dokumen spesifikasi bahan, diagram alir proses, dan atau sertifikat halal bahan baku dari lembaga yang diakui MUI.

2. Mempelajari mekanisme penentuan perizinan penggunaan bahan baku dan bahan tambahan pangan melalui Divisi Pengkajian Ilmiah.

Mekanisme penentuan perizinan penggunaan bahan baku dan bahan tambahan pangan adalah dengan melakukan identifikasi titik kritis dari bahan yang diajukan melalui spesifikasi bahan, diagram alir proses, dan atau sertifikat halal bahan dari lembaga yang diakui MUI. Identifikasi titik kritis sangat erat kaitannya dengan pengetahuan bahan, sehingga pengetahuan akan bahan baku dan bahan tambahan pangan penting untuk dikuasai.

3. Mengikuti kegiatan International Workshop on Halal Regulation and Standard for Slaughtering

pada tanggal 18 April 2011 di IPB International Convention Center.

Kegiatan yang dilakukan dalam workshop ini adalah menjadi pemandu bagi para tamu internasional serta mendengarkan pemaparan materi dari para pemakalah. Materi yang disampaikan antara lain Indonesian Standard for Halal Slaughtering, Halal Slaughtering Practice in Australia for Cattle, Halal Slaughtering Practice for Poultry, The Importance of Halal Slaughtering for Quality Meat, Functional Foods and Health Benefits, Functional Materials Production Using Compressed Hot Solvent Process, dan Regulation for Consumer Protection.

4. Mengikuti rapat pembuatan Pedoman Persyaratan Bahan Halal LPPOM MUI 2011

Kegiatan yang dilakukan di dalam rapat ini adalah membuat notulensi rapat Pedoman Persyaratan Bahan Halal LPPOM MUI 2011.

5. Mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal

Pelatihan yang diikuti yaitu pelatihan Sistem Jaminan Halal yang diselenggarakan pada tanggal 24 - 26 Mei 2011. Materi pelatihan berisi pemahaman dasar mengenai sistem jaminan halal, syarat menjadi auditor halal internal perusahaan, identifikasi bahan baku dan proses, penetuan titik kritis kehalalan produk, dan pengambilan keputusan status halal suatu produk.


(23)

22

4.3.2 Kajian Topik Khusus : Isti lah Babi

Metode yang digunakan pada penulisan kajian topik khusus adalah metode deskriptif. Metode deskriptif menurut Sevilla et al. (1993) merupakan kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Penulisan ini dilakukan studi pustaka yang membandingkan aspek molekul, kimia, fisik, dan organoleptik antara etanol dengan asam asetat, serta antara kolagen dengan gelatin. Metode penulisan yang digunakan dalam membuat kajian topik khusus ini terdiri dari pendahuluan, pengumpulan data, analisis dan sintesis data, serta penarikan kesimpulan dan saran.

1. Pendahuluan

Tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan, antara lain : 1.1 Penentuan gagasan

Penelitian ini mengangkat gagasan yaitu perlunya memberikan definisi yang tegas dan terukur mengenai konsep istiĥālah, sebab konsep istiĥālah yang ada selama ini belum memiliki parameter yang jelas maupun terukur secara ilmiah. Pendefinisian dilakukan melalui identifikasi perubahan yang terjadi dalam konteks istiĥālah berdasarkan pola dasar istiĥālah yaitu transformasi etanol menjadi asam asetat. Gagasan khusus dari kajian ilmiah ini adalah melakukan identifikasi terhadap perubahan kolagen menjadi gelatin sehingga didapatkan data yang berguna untuk mendefinisikan apakah perubahan dari kolagen babi ke dalam gelatin dapat atau tidak dapat digolongkan ke dalam istiĥālah. Identifikasi dimulai dengan mencari perubahan apa saja yang terjadi dalam transformasi etanol menjadi asam asetat untuk selanjutnya dibandingkan dengan perubahan yang terjadi di dalam transformasi kolagen menjadi gelatin. Pendekatan terhadap perubahan yang terjadi dilihat dari segi molekuler, kimia, fisika, dan organoleptik.

Selain itu juga dilakukan pengelompokan istiĥālahyang terjadi dalam perkembangan ilmu dan teknologi pangan ke dalam enam model istiĥālahberdasarkan referensi dari jurnal syari‟ah. 1.2 Penentuan hipotesis

Hipotesis digunakan sebagai acuan studi literatur. Hipotesis dalam kajian ini adalah bahwa di dalam transformasi etanol menjadi asam asetat dan transformasi kolagen menjadi gelatin terjadi perubahan. Perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan fisik, kimia, molekuler, dan biokimia. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan status kehalalan bahan pangan.

2. Pengumpulan data

Tahap ini merupakan tahap pengumpulan data primer dan sekunder dari wilayah studi. 2.1 Sumber data

1. Data primer : data yang diperoleh secara langsung dari sumber (dalam hal ini LPPOM MUI) dan pakar kimia, biokimia, dan istiĥālah. Data primer didapatkan peneliti melalui bank data LPPOM MUI, wawancara, diskusi, dan audiensi dengan pakar.

2. Data sekunder : data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung berupa kajian literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

2.2 Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui pengumpulan data primer dan data sekunder :

1. Data primer (diskusi/audiensi dengan pakar)

Diskusi/audiensi dengan pakar dilakukan untuk mencari informasi mengenai suatu hal yang diteliti. Diskusi beberapakali dilakukan dengan beberapa tim ahli kehalalan pangan dari LPPOM MUI dan juga beberapa guru besar dari Institut Pertanian Bogor di bidang kimia


(24)

23 dan biokimia. Diskusi dilakukan untuk mendapatkan penjelasan mengenai kajian bahan baku serta hakikat perubahan dari kolagen menjadi gelatin. Selain itu, peneliti juga melakukan audiensi dengan ilmuwan teknik biokimia internasional yang juga aktif dalam pembahasan kehalalan bahan pangan untuk membahas mengenai perubahan kolagen menjadi gelatin yang dikaitkan dengan istiĥālah.

2. Data sekunder

Data yang digunakan dalam kajian ilmiah istiĥālah babi sebagian besar merupakan data sekunder, yaitu didapatkan melalui kajian literatur. Literatur yang digunakan adalah buku-buku serta data-data penelitian sebelumnya yang relevan untuk dijadikan acuan yaitu berupa jurnal, situs ilmiah, dan e-book hingga didapatkan kesimpulan yang merujuk pada identifikasi perubahan bahan pangan.

3. Analisis dan sintesis data

Analisis yang dilakukan pada kajian istiĥālah ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.

3.1 Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif merupakan analisis dari data kuantitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk angka atau diangkakan. Analisis ini di antaranya digunakan dalam mengidentifikasi kandungan asam amino dari kolagen dan gelatin.

3.2 Analisis kualitatif

Analisis kualitatif merupakan analisis dari data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat sketsa dan gambar. Analisis kualitatif ini diantaranya digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan karakteristik beberapa sifat fisik dan organoleptik dari etanol dan asam asetat serta kolagen dan gelatin.

4. Penarikan kesimpulan dan saran

Dari hasil analisis kemudian ditarik kesimpulan dan saran mengenai karakteristik perubahan yang terjadi dari etanol menjadi asam asetat serta kolagen menjadi gelatin yang dikaitkan dengan istiĥālah.


(25)

24

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1

HASIL DAN MANFAAT KEGIATAN MAGANG

Kegiatan magang di LPPOM MUI pada Divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah meliputi kegiatan :

5.1.1 Membuat matriks dan surat keterangan perizinan penggunaan bahan baku dan bahan tambahan pangan pada Divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah

Matriks dan surat keterangan perizinan penggunaan bahan merupakan dokumen luaran dari kegiatan pengkajian bahan dari Divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah. Umumnya pengkajian dilakukan apabila ada penambahan atau penggantian bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk suatu produk yang sudah memiliki sertifikat halal oleh perusahaan. Pengajuan penggunaan bahan baru oleh perusahaan bertujuan untuk menjaga kesinambungan status halal dari produk yang dihasilkan. LPPOM MUI menerima pengajuan pengkajian bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong dari perusahaan melalui kiriman pos, email, faksimili, maupun diantarkan langsung ke LPPOM MUI. Perusahaan mengirimkan surat permintaan pengkajian bahan disertai dengan dokumen identitas bahan seperti spesifikasi bahan, diagram alir proses, dan atau sertifikat halal dari bahan yang diajukan. Kelengkapan berkas yang dibutuhkan untuk pengkajian tergantung tingkat kompleksitas proses dan kekritisan bahan yang diajukan. Semakin kompleks suatu proses pengolahan pangan atau semakin kritis bahan yang digunakan, maka dokumen yang dibutuhkan semakin lengkap. Apabila dokumen atau keterangan bahan yang diajukan perusahaan belum lengkap, Divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah akan mengirimkan pemberitahuan tertulis kepada perusahaan untuk melengkapi dokumen yang dibutuhkan.

Pengkajian bahan dilakukan berdasarkan informasi yang terdapat di dalam berkas-berkas yang diajukan perusahaan yang dikaitkan dengan pengetahuan bahan dan proses pengolahan pangan yang dimiliki oleh para tenaga ahli LPPOM MUI bagian Divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah. Dari spesifikasi bahan, dan diagram alir proses dapat diketahui identitas bahan dan tingkat kekritisannya. Namun, untuk bahan-bahan tertentu seperti produk mikrobial, produk hewani dan turunan hewan, serta bahan penolong karbon aktif harus disertai dengan sertifikat halal dari lembaga yang diakui MUI. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Divisi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah diputuskan bahan dapat digunakan sebagai komponen yang halal ataupun tidak. Hasil kajian dituangkan dalam bentuk matriks bahan yang akan disampaikan kepada perusahaan bersama dengan jawaban tertulis berupa surat resmi yang ditandatangani oleh direktur LPPOM MUI. Komponen informasi yang penting dalam matriks meliputi nama bahan, nama produsen, nama supplier, kelengkapan data pendukung (spesifikasi bahan, diagram alir bahan, sertifikat analisis, material safety data sheet, dan sertifikat halal), nama lembaga pemberi sertifikat halal, informasi tambahan, dan rekomendasi jawaban. Contoh surat perizinan penggunaan bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 2 dan contoh matriks bahan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pembuatan matriks dan surat perizinan penggunaan bahan memberikan pelajaran bagi penulis bahwa ketelitian dalam bekerja dan penguasaan bidang ilmu sangat penting untuk dimiliki. Dalam kegiatan magang ini, kesalahan penulisan, ketidak cermatan dalam membaca informasi, dan keterbatasan pengetahuan dapat berakibat fatal sebab akan menyangkut status halal haram suatu bahan pangan.


(26)

25

5.1.2 Mempelajari mekanisme penentuan perizinan penggunaan bahan baku dan bahan tambahan pangan melalui Divisi Pengkajian Ilmiah

Adanya perubahan bahan baku, bahan tambahan, maupun bahan penolong yang digunakan dalam suatu proses produksi sangat mungkin terjadi di perusahaan. Meskipun suatu produk sudah memiliki sertifikat halal, namun apabila suatu perusahaan bermaksud menggunakan bahan baru dalam proses produksinya, perusahaan harus melaporkan terlebih dahulu kepada LPPOM MUI. Tujuannya adalah agar kesinambungan status kehalalan produk tetap terjaga. Selanjutnya LPPOM MUI melakukan pengkajian terkait bahan yang diajukan berdasarkan dokumen yang dimiliki oleh bahan yang diajukan. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan antara lain spesifikasi bahan, diagram alir proses (flow process chart), dan sertifikat halal dari lembaga sertifikasi yang diakui oleh LPPOM MUI. Setiap bahan dapat berbeda kebutuhan dokumennya dalam hal penerimaan status halal. Untuk mendapatkan izin penggunaan bahan terkait status kehalalannya, dari suatu bahan bisa saja hanya dibutuhkan spesifikasi, atau diagram alir proses, atau bahkan hanya dibutuhkan sertifikat halal. Namun adakalanya perusahaan juga perlu mencantumkan ketiga jenis dokumen tersebut untuk digunakan dalam pengkajian.

Berikut ini akan dijelaskan bagaimana suatu bahan dapat lolos pengkajian atau dengan kata lain bahan dapat digunakan sebagai bahan yang halal berdasarkan kajian dokumen. Data yang diperoleh merupakan data dari perusahaan-perusahaan yang mengajukan pengkajian status kehalalan bahan baru ke LPPOM MUI untuk mendapatkan persetujuan pemakaian bahan tersebut. Contohnya adalah sebagai berikut :

1. Gluten Gandum

Gluten adalah salah satu jenis protein khas yang terkandung di dalam gandum. Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein tepung. Gluten terdiri dari protein gliadin dan glutenin. Gluten membuat adonan kenyal dan dapat mengembang, karena bersifat memerangkap udara (Edwards et al., 2003).

Gluten dapat digunakan untuk membuat daging imitasi (terutama daging bebek) untuk hidangan vegetarian dan vegan. Tepung roti banyak mengandung gluten, sementara tepung kue lebih sedikit. Proses pembuatan gluten gandum dapat dilihat pada Gambar 3.

Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada titik kritis yang ditemukan dalam proses pembuatan gluten gandum (wheat gluten) sebab proses yang terjadi merupakan proses fisik. Selain itu, bahan tambahan yang digunakan hanyalah air yaitu pada proses pencucian tanpa adanya bahan penolong lain. Berdasarkan hasil kajian bahan dan proses dapat diputuskan bahwa gluten gandum (wheat gluten) yang dimaksud dapat digunakan.

2. Sweet Whey Powder Laktodou

Sweet whey powder didapatkan dari whey cair yang mengalami ultrafiltrasi sehingga dihasilakan konsentrat dan dikeringkan. Whey powder adalah padatan yang terbuat dari cairan yang merupakan hasil samping industri keju. Sweet whey powder (SWP) mengandung 70% laktosa (gula susu) dan kurang dari 2% lemak. Sweet whey powder memiliki kadar kalsium yang tinggi (47mg/100g) yaitu sebesar 35% dari total kalsium susu (136mg/100g) (Saleh, 2004). Selain itu, SWP juga merupakan sumber protein yang moderat. Sweet whey powder digunakan dalam banyak jenis bahan makanan dan produk olahan susu. Whey powder memiliki kemampuan untuk membentuk busa. Sifat fungsional dari SWP dapat berbeda tergantung sumbernya (Banavara et al.,2003). Mengingat rawannya sumber hasil samping industri keju, maka persyaratan dokumen bahan ini yaitu sertifikat halal (LPPOM MUI, 2011). Pada proses pembuatan keju, ada tahap penggumpalan atau koagulasi,


(27)

26 proses koagulasi ini dapat menggunakan enzim yaitu enzim rennet. Apabila menggunakan enzim, maka perlu ditelusuri sumber enzim tersebut, yaitu dapat berasal dari hewan ataupun mikroba. Keduanya merupakan faktor kritis. Apabila berasal dari produk mikrobial maka harus dipastikan bahwa sumber energi yang digunakan mikroba dalam menghasilkan enzim harus berasal dari bahan yang halal, sedangkan apabila berasal dari hewan maka perlu dipastikan bahwa hewan tersebut

merupakan hewan halal yang disembelih secara syar’i.

Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan gluten gandum 3. Dekstrosa Mohohidrat

Dekstrosa atau D-glukosa adalah glukosa sederhana (monosakarida) yang diproses secara komersial dari hidrolisis pati menggunakan bahan penolong asam atau enzim, kemudian dipucatkan (bleaching), dikristalkan dan dikeringkan (LPPOM MUI 2011). Dektrosa terbentuk akibat molekul glukosa berotasi dan terpolarisasi cahaya ke kanan. Enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis pati dapat berasal dari tumbuhan atau produk mikrobial. Apabila merupakan produk mikrobial, maka harus dipastikan bahwa sumber energi yang digunakan mikroba dalam menghasilkan enzim harus berasal dari bahan yang halal. Selain enzim ada juga bahan pemucat atau bleaching agent yang merupakan faktor kritis. Sebab bleaching agent dapat berasal dari karbon aktif yang bisa bersumber dari tulang hewan (LPPOM MUI, 2011). Apabila berasal dari tulang hewan maka bleaching agent


(28)

27 harus memiliki sertifikat halal. Oleh karena itu, perlu dilampirkan diagram alir dan atau spesifikasi teknis dari sumber enzim atau bleaching agent yang digunakan. Jika tidak ada, maka produsen wajib mencantumkan sertifikat halal dari dekstrosa yang digunakan.

5.1.3 Mengikuti International Workshop Halal Slaughtering

Penulis mengikti kegiatan International Workshop on Halal Regulation and Standard for Slaughtering pada tanggal 18 April 2011 di IPB International Convention Center. Kegiatan yang dilakukan dalam workshop ini adalah menjadi pemandu bagi para tamu internasional serta mendengarkan pemaparan materi dari para pemakalah. Materi yang disampaikan antara lain

Indonesian Standard for Halal Slaughtering, Halal Slaughtering Practice in Australia for Cattle,

Halal Slaughtering Practice for Poultry, The Importance of Halal Slaughtering for Quality Meat, Functional Foods and Health Benefits, Functional Materials Production Using Compressed Hot Solvent Process, dan Regulation for Consumer Protection.

5.1.4 Mengikuti rapat pembuatan Pedoman Persyaratan Bahan Halal LPPOM MUI 2011

Rapat pembuatan pedoman Persyaratan Bahan Halal ini diikuti oleh para auditor. Pedoman ini menetapkan persyaratan persetujuan bahan halal dengan tujuan sebagai berikut : (1) mejadi panduan bagi perusahaan dalam mempersiapkan dokumen bahan yang memenuhi persyaratan sertifikasi halal LPPOM MUI, (2) menjadi panduan bagi auditor halal dalam memeriksa bahan yang memenuhi persyaratan sertifikasi halal LPPOM MUI.

Rapat ini memutuskan bahan-bahan apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam pedoman beserta mekanisme/syarat untuk diproses sebagai bahan yang halal. Penulis menjadi notulen dalam kegiatan ini. Sebelumnnya LPPOM MUI sudah memiliki pedoman persyaratan bahan yang dibuat pada bulan Maret 2011. Pembuatan pedoman panduan ini dilakukan untuk memperbaharui dan melengkapi pedoman yang sudah ada, mengingat banyaknya bahan yang harus dijelaskan melalui pedoman ini. Kegiatan yang dilakukan di dalam rapat ini adalah membuat notulensi rapat Pedoman Persyaratan Bahan Halal LPPOM MUI 2011.

5.1.5 Mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal

Pelatihan yang diikuti yaitu pelatihan Sistem Jaminan Halal yang diselenggarakan pada tanggal 24 - 26 Mei 2011. Materi pelatihan berisi pemahaman dasar mengenai sistem jaminan halal, syarat menjadi auditor halal internal perusahaan, identifikasi bahan baku dan proses, penetuan titik kritis kehalalan produk, dan pengambilan keputusan status halal suatu produk. Pelatihan ini mayoritas diikuti oleh calon auditor halal internal di suatu perusahaan. Melalui pelatihan ini penulis memahami urgensi proses dan produk halal serta pentingnya menjaga kesinambungan jaminan mutu halal yang ada pada suatu perusahaan. Dalam pelatihan ini juga dilakukan simulasi membuat manual halal. Hasil identifikasi titik kritis produk sari buah wortel nenas hasil simulasi pembuatan manual halal dapat dilihat pada Lampiran 4. Struktur organisasi manajemen halal hasil simulasi pembuatan manual halal dilihat pada Lampiran 5. Sedangkan hasil identifikasi titik kritis peluang kontaminasi proses produksi dari bahan haram najis dan tindakan pencegahannya dapat dilihat pada Lampiran 6.

5.2

HASIL KAJIAN TOPIK KHUSUS :

ISTIĤĀLAH

(TRANSFORMASI)

Konsep istiĥālah atau “perubahan” dilatarbelakangi oleh hadits riwayat Abu Daud yang menceritakan adanya rencana pengubahan dari khamr (etanol) menjadi cuka. “Dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Thalhah bertanya kepada NabiSAW tentang beberapa anak yatim yang mewarisi khamr, beliau SAW menjawab, "Buanglah !". (Abu Thalhah) bertanya, "Apakah tidak boleh saya


(1)

51 Lampiran 1. Susunan pengurus LPPOM MUI

I. Dewan Penasehat

Ketua : Ketua Umum MUI Pusat Wakil Ketua : Wakil Ketua Umum MUI Pusat Anggota :

 Menteri Agama RI  Menteri Kesehatan  Menteri Pertanian RI  Menteri Perdagangan RI  Menteri Perindustrian RI  Rektor IPB

 Ketua MUI yang membidangi Komisi Fatwa

 Ketua MUI yang membidangi Komisi Perekonomian dan Produk Halal Sekretaris : Sekretaris Jenderal MUI Pusat

II. Dewan Pembina

Ketua : Prof.Dr.Hj. Aisyah Girindra Sekretaris : Drs. H. Zainut Tauhid Saadi, M.Si Anggota :

 Dr. H. Anwar Abbas, M.Ag. MM  Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS  Ir. Mustofa Zuhad Mughni

 Drs. K. A. Endin

 Ir. Chilwan Pandji, M. Apt. Sc III. Dewan Pelaksana Harian/Eksekutif

Direktur Pelaksana/Eksekutif : Ir. Lukmanul Hakim, M.Si Wakil Direktur : Ir. Hj. Osmena Gunawan Wakil Direktur : Ir. Muti Arintawati, M.Si Wakil Direktur : Ir. Sumunar Jati

Bendahara : Dra. Hj. Chairunisa, MA Wakil Bendahara : Drs. H. Zuhdi

Kepala Bidang Auditing : Dr. Ir. Mulyorini R. Hilwan, MS : Dr. Liesbetini Hartoto, MS Kepala Bidang Sistem Jaminan Halal : Ir. Muslich, M. Si

Kepala Bidang Penelitian dan Pengkajian Ilmiah : Prof. Dr. Purwatiningsih : Dr. Budiatman Satiawihardja Kepala Bidang Sosialisasi dan Promosi Halal : Lia Amalia, SS, S.Si., MT Kepala Bidang Informasi Halal : Farid Mahmud, SH Kepala Bidang Standard dan Pelatihan : Ir. Hendra Utama Kepala Bidang Pembinaan LPPOM Daerah : Ir. Nur Wahid M.Si

Kepala Bidang Organisasi dan Kelembagaan : Drs. H. Akhmad Baidun, M.Si Tenaga Ahli

Ketua : Prof. Dr. Khaswar Syamsu Sekretaris : Dr. Fery Kusnandar Anggota

 Prof. Dr. H. Norman Razief Azwar  Prof. Dr. Djumali Mangunwidjaja  Dr. Hasyim, DEA

 Dr. Rarah Ratih Adji  Dr. Heni Nuraini  Dr. Serdanawati Yasni  Dr. Mirzan T Razak


(2)

52 Lampiran 2. Surat izin penggunaan bahan baku


(3)

53 Lampiran 3. Matriks bahan baku


(4)

54 Lampiran 4. Hasil identifikasi titik kritis produk sari buah wortel nenas

No Nama Bahan Titik Kritis Informasi

Kunci

Tindakan Koreksi

Verifikasi Dokumentasi

1 Gula pasir Bahan

penolong (karbon aktif) Flow chart process atau sertifikat halal Tolak bahan jika informasi di kemasan tidak sesuai dengan SH Peringatan pemasok Tindakan perbaikan, verifikasi

2 Vitamin C Sumber

bahan Flow chart process atau sertifikat halal Tolak bahan jika informasi di kemasan tidak sesuai dengan SH Peringatan pemasok Tindakan perbaikan, verifikasi

3 Asam sitrat Sumber

bahan Flow chart process atau sertifikat halal Tolak bahan jika informasi di kemasan tidak sesuai dengan SH Peringatan pemasok Tindakan perbaikan, verifikasi

4 Air minum Bahan

penolong (resin) Flow chart process atau sertifikat halal Tolak bahan jika informasi di kemasan tidak sesuai dengan SH Peringatan pemasok Tindakan perbaikan, verifikasi

5 Clarifier Sumber

bahan Sertifikat halal Tolak bahan jika informasi di kemasan tidak sesuai dengan SH Peringatan pemasok


(5)

55 Lampiran 5. Struktur organisasi manajemen halal

Gambar Struktur Organisasi Manajemen Halal

Lampiran 6. Hasil identifikasi titik kritis peluang kontaminasi proses produksi dari bahan haram/najis dan tindakan pencegahannya


(6)

56

No. Prosedur Titik Kritis Informasi

Kunci

Tindakan Koreksi Verifikasi Dokumentasi

1. Penambahan

bahan Asal usul bahan Bahan harus sesuai engan matriks yang telah diketahui oleh LPPOM MUI

 Hentikan

penggunaan bahan yang tidak ada dalam matriks  Bersihkan peralatan yang tekontaminasi

 Karantina

produk yang terlanjur ditambahkan bahan yang tidak sesuai matriks Cek peralatan produksi. Cek SOP yang relevan. Tindakan koreksi, verifikasi.

2. Pencampuran

bahan Kemungkinan adanya bahan tidak halal Identitas produk (ID produk), daftar bahan

Cek dan pastikan bahan yang diambil dari gudang untuk produksi halal dan dari produsen/pemasok yang disetujui Cek sesesuaian dengan kebutuhan halal Daftra bahan yang telah diketahiu oleh LPPOM MUI

3. Penggunaan

alat Tidak menggunakna alat yang didedikasikan halal Harus menggunakan alat yang didedikasikan untuk produksi halal

Hentikan produksi jika menggunakan alat yang tidak didedikasikan untuk produksi halal

Cek SOP yang relevan Tindakan koreksi, verifikasi

4. Pembersihan

alat

Residu produk Residu dari produk tidak halal

Bersihkan alat secara keseluruhan Cek catatan pembersihan , SOP Tindakan koreksi, verifikasi

5. Pengemasan Kemungkinan

tercampur dengan bahan yang tidak halal Identitas kemasan dan line kemasan dipastikan aman dari segi kehalalan

Hentikan pengemasan jika menggunakan bahan yang tidak sesuai

Cek alat Tindakan

koreksi, verifikasi


Dokumen yang terkait

Fatwa majelis ulama Indonesia (MUI) tentang nikah beda Agama dan respon para pemuka Agama terhadapnya

0 7 58

SERTIFIKASI HALAL PADA PRODUK PANGAN STUDI PADA LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA LAMPUNG

0 3 14

Praktik magang di LPPOM MUI dan tinjauan ilmiah keharaman daging bangkai dan produk darah dalam islam

1 31 174

Analisis Proses Sertifikasi Halal dan Kajian Ilmiah Alkohol sebagai Substansi dalam Khamr di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)

2 13 328

Evaluasi proses sertifikasi halal indonesia di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)

6 25 135

SERTIFIKASI HALAL PRODUK LOKAL OLEH LEMBAGA PENGKAJIAN OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA (LP POM) MUI SUMATERA BARAT.

0 1 11

Eksistensi Dan Tanggungjawab Majelis Ulama Indonesia (Mui) Dalam Penerapan Sertifikasi Serta Labelisasi Halal Produk Pangan Di Indonesia ( Existence And Responsibility Of Majelis Ulama Indonesia (MUI) In Application And Certification Labeling Halal Food P

0 0 17

SERTIFIKASI HALAL MAJELIS ULAMA INDONESIA (STUDY FUNGSI PENGAWASAN LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN, OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA (LPPOM)) PROVINSI LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 1 115

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PROSEDUR PENGAJUAN SERTIFIKASI HALAL PADA PRODUK MAKANAN OLAHAN KERIPIK PISANG (Studi pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika) Majelis Ulama Indonesia ( LPPOM MUI) Provinsi Lampung - Raden Intan Repository

0 6 150

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN SERTIFIKASI HALAL SUATU PRODUK DI INDONESIA (Studi pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan)

0 0 88