Pendapat Para Ulama Islam Tentang Warisan Non Muslim

52 orang yang masuk Islam dan dengan adanya perluasan wilayah. Dan Islam tidak akan berkurang karena orang yang murtad lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang masuk Islam 81 . 3. Kemungkinan hadits ini belum sampai kepada kalangan yang berpendapat bahwa seorang Muslim bisa menjadi ahli waris bagi Ahli Kitab. Demikian yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi ra 82 .

C. Pendapat Para Ulama Islam Tentang Warisan Non Muslim

Perlu diketahui bahwa mayoritas ulama tidak menggunakan penafsiran analogyqiyas, sebab dalam hal waris mewarisi terdapat dalil dari sunnah yang kuat yang sama sekali bertentangan dengan dalil analogyqiyas. Dan qiyas yang bertentangan dengan nash yang shahih, maka qiyas ini batil 83 . Disamping itu, pendapat yang kedua dianut oleh para khalifah semenjak Mu’awiyah ra., menjadi penguasa, dan berakhir sampai berkuasanya khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra., Maka mulai saat itu, beliau mengembalikan masalah tersebut dengan merujuk kepada ajaran sunnah yang pertama kali 84 . Imam Ibnu Qayyim telah menjelaskan panjang lebar tentang persoalan warisan orang muslim dari orang kafir dalam kitabnya “Ahkam Ahl Adz-Dzimmah”. Ia telah memberikan pendapat yang memuaskan didalam kitabnya. Pendapat tersebut telah dipilihnya sebagai pendapat yang paling kuat. Dari gurunya, Ibnu Taimiyah, ia telah berpendapat yang cukup menjadi solusi. Ia berkata: “Adapun persoalan warisan seorang muslim dari orang kafir, Para ulama salaf telah berbeda pendapat di dalamnya. Sebagian besar dari mereka berpendapat, bahwa orang muslim tidak memberikan hak warisan kepada orang kafir, sebagaimana seorang kafir tidak memberikan hak warisan kepada orang muslim. Inilah pendapat yang paling terkenal dikalangan tokoh keempat madzhab dan pengikut-pengikut mereka. Salah satu golongan dari mereka 81 Ibnu qudamah, Loc cit 82 Al-Nawawi, Loc .cit. 83 Dr, Abdul Kaim Zaidan, op cit, juz. XI, hal.204 84 Al-Nawawi, al-Majmu’,juz XVII, hal.191. Universitas Sumatera Utara 53 berkata; “Orang muslim dapat menerima hak warisan dari orang kafir, tanpa sebaliknya.” Ini pendapat Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sofyan, Muhammad bin Hanafiyyah, Muhammad bin Ali bin Al-Husain Abu Jafar Al-Baqir, Said bin Musayyab, Masruq bin Al-Ajda, Abdullah bin Mughaffal, Yahya bin Yamar dan Ishaq bin R,hawaih. Pendapat inilah yang diambil oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah 85 .Mereka berkata: “Kita menerima warisan dari mereka sedangkan mereka tidak menerima warisan dari kita, sebagaimana kita menikahi perempuan-perempuan mereka dan mereka tidak menikahi perempuan-perempuan kita. 86 ” Adapun mereka yang tidak memperbolehkan warisan adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim muttafaq ‘alaih: “Orang muslim tidak memberikan warisan kepada orang kafir kepada orang kafir, dan orang kafir tidak memberikan warisan kepada orang muslim...” Itulah dalil yang dijadikan sandaran oleh mereka yang melarang warisan orang munafik, zindik dan warisan orang murtad 87 . Kemudian ulama Ibnu Taimiyah berkata: “Dan telah ditetapkan dengan sunnah mutawatir, bahwa Rasulullah SAW menjalankan hak warisan orang-orang zindik dan munafik seperti biasanya sesuai dengan hukum-hukum yang tampak bagi kaum muslimin; mereka memberitakan dan menerima warisan. Abdullah bin Ubay dan lain-lainnya dimana kemunafikan mereka disebutkan dalam Al-Quran meninggal dunia, lalu Rasulullah SAW dilarang untuk menshalatkan dan memintakan ampunan untuknya. Sekalipun begitu, orang-orang mukmin diperbolehkan untuk menerima warisan dari mereka. Sebagaimana Abdullah bin Ubay telah memberikan warisan kepada anaknya, dan Rasulullah tidak mengambil sedikit pun dari warisan orang-orang munafik. Beliau tidak menjadikan sedikitpun dari harta warisan tersebut sebagai harta rampasan. Bahkan, Beliau memberikan harta tersebut kepada ahli waris mereka, karena yang demikian itu merupakan perkara yang diketahui dengan keyakinan. 88 ” 85 http:www.jkmhal.comMentarjih Pendapat Syaikh Islam Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim. Tg 02072012 17:44 86 Ibid 87 Ibid 88 Ibid Universitas Sumatera Utara 54 Maka telah diketahui secara umum, bahwa unsur-unsur penyebab dalam mendapatkan warisan, terkait dengan hal-hal lahir dan tidak ada hubungannya dengan keimanan hati atau kecenderungan batin seseorang. Oleh karena itu, orang-orang munafik yang secara lahir terlihat membela orang-orang Islam dari serangan musuh- musuhnya akan mendapatkan dan menerima warisan. Sekalipun pada kenyataannya mereka memusuhi Islam. Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat. 1. Menurut Ahlur-Rahmi Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi saudara perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu, dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada. Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syariyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits. 2. Menurut Ahlut-Tanzil Universitas Sumatera Utara 55 Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok induk ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada yang masih hidup, tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafii. Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh- contoh seperti berikut: Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah 12 bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah 12 bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian mahjub disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya: Anak kandung pr. 12, Sdr. kandung pr. 12, Sdr. laki-laki seayah mahjub. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah 12 bagian, keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam 16 sebagai penyempurna dua per tiga 23, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam 16 bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam 16 bagian sebagai ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya: Sdr. kand. Pr. 36, sdr. pr. seayah 16, sdr. pr. 16, seibu paman kand. 16 Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris. Universitas Sumatera Utara 56 Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu sampai sanadnya kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi saudara perempuan ayah dan bibi saudara perempuan ibu kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi dari pihak ayah dengan dua per tiga 23 bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi dari pihak ibu. Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Masud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Masud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Masud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka. Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris. 3. Menurut Ahlul Qarabah Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka para ashabah adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan. Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita. Universitas Sumatera Utara 57 Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah: Orang-orang ahli waris yang bernisbat kepada pewaris. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris. Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut: Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Yang dinisbati oleh pewaris: Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu kakek dari ibu. Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu. Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris: Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan. Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya. Universitas Sumatera Utara 58 Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu: Bibi saudara perempuan ayah pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman saudara laki-laki ibu pewaris, dan bibi saudara perempuan ibu, dan paman saudara ayah ibu. Keturunan dari bibi saudara perempuan ayah, keturunan dari pamannya saudara laki-laki ibu, keturunan bibinya saudara perempuan ibu, keturunan paman saudara laki-laki ayah yang seibu, dan seterusnya. Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya paman dan bibi dari ayah. Juga pamannya saudara ayah yang seibu mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah. Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas Butir e dan seterusnya. Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris. Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah: Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari ashabah bi nafsihi. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah dekatnya keturunan dengan sang ahli waris shahibul fardh atau ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah dekatnya dengan kekerabatan, dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul ashabah. Universitas Sumatera Utara 59 Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris anak, cucu, dan seterusnya. Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki keponakan. Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman dari pihak ayah dan ibu. Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya. Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat. 1. Menurut Ahlur-Rahmi Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi saudara perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu, dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada. Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid yang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syariyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits. 2. Menurut Ahlut-Tanzil Universitas Sumatera Utara 60 Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok induk ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada yang masih hidup, tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafii. Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh- contoh seperti berikut: Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah 12 bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah 12 bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian mahjub disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya: Anak kandung pr. 12, Sdr. kandung pr. 12, Sdr. laki-laki seayah mahjub. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah 12 bagian, keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam 16 sebagai penyempurna dua per tiga 23, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam 16 bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam 16 bagian sebagai ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya: Sdr. kand. Pr. 36, sdr. pr. seayah 16, sdr. pr. 16, seibu paman kand. 16 Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris. Universitas Sumatera Utara 61 Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu sampai sanadnya kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi saudara perempuan ayah dan bibi saudara perempuan ibu kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi dari pihak ayah dengan dua per tiga 23 bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi dari pihak ibu. Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Masud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Masud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Masud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka. Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris. 3. Menurut Ahlul Qarabah Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka para ashabah adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan. Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita. Universitas Sumatera Utara 62 Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah: Orang-orang ahli waris yang bernisbat kepada pewaris. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris. Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut: Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Yang dinisbati oleh pewaris: Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu kakek dari ibu. Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu. Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris: Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan. Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya. Universitas Sumatera Utara 63 Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu: Bibi saudara perempuan ayah pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman saudara laki-laki ibu pewaris, dan bibi saudara perempuan ibu, dan paman saudara ayah ibu. Keturunan dari bibi saudara perempuan ayah, keturunan dari pamannya saudara laki-laki ibu, keturunan bibinya saudara perempuan ibu, keturunan paman saudara laki-laki ayah yang seibu, dan seterusnya. Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya paman dan bibi dari ayah. Juga pamannya saudara ayah yang seibu mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah. Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas Butir e dan seterusnya. Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris. Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah: Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari ashabah bi nafsihi. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah dekatnya keturunan dengan sang ahli waris shahibul fardh atau ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah dekatnya dengan kekerabatan, dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul ashabah. Universitas Sumatera Utara 64 Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris anak, cucu, dan seterusnya. Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki keponakan. Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman dari pihak ayah dan ibu. Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya. 89 89 Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang ISNET Homepage | MEDIA Homepage Program Kerja | Koleksi | Angg Pembagian Waris Menurut Islam oleh Muhammad Ali ash- Shabunipenerjemah A.M.BasamalahGema Insani Press, 1995Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740Tel.021 7984391-7984392-7988593Fax.021 7984388 ISBN 979-561-321-9.diunduh 11072013.jam;1430wib 90 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta Bulan Bintang, 1979,hal. 63 Universitas Sumatera Utara 65

BAB III DASAR PEMBERIAN WASIAT WAJIBAH

Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)

6 113 140

Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

3 114 148

Analisa Yuridis Penetapan Ahli Waris Berdasarkan Hukum Waris BW (Putusan Pengadilan Negeri Jember No. 67/Pdt.G/2011/PN.Jr)

5 33 10

Kedudukan Cucu Angkat Terhadap Pemberian Wasiat Wajibah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Nomor 149/Pdt.G/2009/PTA Sby)

0 5 16

Hak Suami Sebagai Ahli Waris Dalam Komplikasi Hukum Islam (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Di Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor : 753/Pdt.G/2011/PA.Cn.)

0 11 104

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

2 4 20

BAB II DASAR-DASAR PENGATURAN WARISAN ANTARA SEORANG MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM HUKUM ISLAM A. Pembagian Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam - Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No.

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

0 0 23

Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

0 0 17