86
F. Pandangan Islam Terhadap Pembagian Harta Bagi Non Muslim
Wasiat dalam kewarisan hukum Islam merupakan suatu wadah untuk menampung hubungan antar generasi serta kedudukan masing-masing kaum krabat.
Banyak pendapat tentang hukum dari wasiat ini. Antara lain, pendapat ulama Jumhur yaitu sunat hukumnya dan boleh untuk melakukan wasiat kepada siapa saja yang
dikehendaki oleh si pemberi wasiat. Pendapat ibn Hazm mengatakan wasiat itu hukumnya wajib terutama untuk kaum krabat yang terhalang untuk mendapatkan
warisan. Berawal dari pemikiran ibn Hazm, maka muncul wasiat wajibah yaitu wasiat yang pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau
kehendak si pewasiat, akan tetapi penguasa atau hakim sebagai aparat negara mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberikan putusan wasiat wajibah
kepada kaum krabat tertentu. Ahli waris non muslim tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan
bagian dari harta peninggalan saudara kandungnya yang muslim. Upaya ini sebagai langkah positif bahwa hukum Islam tidaklah eksklusif dan diskriminatif terhadap
pemeluk agama yang lain, tapi hukum Islam dapat memberikan perlindungan dan rasa keadilan kepada non muslim, sebab Hukum Kewarisan Islam merupakan aspek
yang sangat penting keberadaannya dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia. Karena hukum kewarisan Islam itu mengatur tentang peralihan kekayaan antar
generasi dan kedudukan masing-masing kaum krabat. Persoalannya adalah Apakah masih ada hakim di peradilan agama yang menggunakan fikih dengan syariah untuk
memutus perkara diperadilan agama. Jika masih ada, tentunya putusan yang
Universitas Sumatera Utara
87
dihasilkan oleh peradilan agama akan berbeda-beda, meskipun dalam perkara yang sama, sehingga tidak ada kepastian hukum. Untuk itu, pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat perlu menerbitkan suatu undang-undang sebagai pedoman bagi hakim peradilan agama dalam membuat keputusan bagi saudara kandung non
muslim. Hadis Rasul Allah S.A.W.Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya Nabi
S.A.W. bersabda:“Orang Muslim tidak boleh mewarisi orang Kafir, dan orang Kafir tidak boleh mewarisi orang Muslim HR. muttafaq alaih.Dari
Abdullah bin Umar r.a., dia berkata: Rasul Allah s.a.w. bersabda:“tidak ada saling mewarisi antara dua pemeluk agama yang berbeda HR. Ahmad,
imam empat dan Turmudzi.
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005 yaitu: Dengan bertawakkal kepada Allah SWT memutuskan menetapkan fatwa tentang
kewarisan beda agama 1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-
orang yang berbeda agama antara muslim dengan non muslim; 2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan
dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah. Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non
muslim, apapun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dariayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam,
dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak
Universitas Sumatera Utara
88
beragama Islam, tidak berhak mendapatkanharta warisan dari pewaris yang muslim. Halini telah ditegaskan Rasulullah saw. Dalam sabdanya:
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi o r a n g k a f i r ,
d a n t i d a k
p u l a o r a n g
k a f i r mewarisi muslim. Bukhari dan Muslim Jumhur ulama berpendapat demikian,termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal.Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Muadz bin Jabal r.a. yang
mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak bolehmewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-islam
yaluwalaayula alaihi ung gul, tidak ada yangmengunggulinya.Sebagian ulama
ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hakmewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini
ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orangmurtad tidak dapat mewarisi orang Islam.Sementara itu, di
kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak.
Menurut mazhab Maliki, Syafii, dan Hambali jumhur ulama bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut
mereka, orang yang murtad berartitelah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah
saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi
Universitas Sumatera Utara
89
harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan:Seluruh harta peninggalan orang murtaddiwariskan kepada kerabatnya
yang muslim.Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakarash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, dan lainnya.Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih
rajih kuat dan tepat disbanding yang lainnya, karena harta warisan yangtidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa
sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
Waris beda agama adalah praktek waris yang amat pelik, di zaman modern, lebih-lebih ketika terjadi yang berhak menerima warisan adalah Muslim dari orang
tua atau kerabat yang masih kafir, seperti banyak kasus di beberapa tempat di dunia, termasuk di Indonesia. Keterangan yang menapikan kewarisan itu, dengan
menggunakan huruf La nafyiyah yang diartikan tidak, bukan la nahyi, larangan.
Huruf La nafyiyah ini mengandung faidah “tidak” dan dengan kata tidak ini, tidak dilakukan suatu tindakan hukum. Sabda Nabi yang berkaitan dengan menapikan
waris mewarisi antar agama ialah: 1. Hadis yang diterima dari Usamah bin Zaid dari
Nabi saw. “La yaritsu al-Muslim al-kafira wala alk-kafir al-muslima”, tidak mewarisi orang kafir kepada muslim, demikian orang Muslim kepada kafir Hr.
Bukhari dan Muslim. 2. Hadis lain dari Amr ni Syaib dari kakeknya Abdullah bin Amr dari Nabi saw,“La yatawaratsu ahlu millatain syatta, tidak waris mewarisi
penganut dua agama yang berbeda”, HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah.
Universitas Sumatera Utara
90
Dua hadis inilah yang menjadi standar kewarisan di kalangan umat Islam yang dianut oleh para ulama, sejak sahabat, ulama salaf dan khalaf. Namun demikian,
tidak menjadi ijma, karena ada beberapa sahabat tidak menyepakatinya kafir di dalam hadis itu masih umum dan memerlukan khas pengkhususnya atau mungkin taqyid-
nya, bila dianggap mutlaq. Maka kafir di situ kafir harbi, bukan kafir dzimmi. Umar dari kalangan al-Khulafa al-Rasyidin, Muadz, Muawiyah, tidak menerapkan praktek
hadis yang diriwayatkan di atas, bahkan sebaliknya dalam kasus tertentu, sebagaimana diriwayatkan, “Mereka mengambil waris dari orang kafir, tetapi tidak
sebaliknya, yaitu orang kafir dari orang Islam al-Mughni IX: 154, sebagai dikutip al-Qardhawi 2003: III, 675.
Dari kalangan ulama muta’akhirin ternyata sepakat dengan pendapat ulama di atas, tersebut, seperti dikutip Ibn Qayyim dari Ibn Taimiyah dan dikutip lagi oleh al-
Qardhawi 2003, III: 676, sebagai berikut: “Adapun kewarsian Muslim dari kafir berbeda pendapat di kalngan salaf. Kebanyakan dari kalangan mereka mengambil
pendapat yang menyatakan bahwa ia tiak memperoleh waris, sebagaimana orang kafir tidak memperoleh waris dari Muslim. Pendapat ini dikenal di kalangan ulama yang
empat dan para pengikutnya. Sebagian kelompok mengatakan, ‘Bahkan orang Muslim menerima waris dari kafir, tidak sebaliknya. Ini adalah pendapat Muadz bin
Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan. Muhammad bin al-Hanafiyah putra Ali ra dari istri selain Fatimah, dan Muhammad bin Ali bin al-Husein Abu Ja’far al-Baqir, Said bin
al-Musayyab, Masruq bin Ajda, Abdullah bin Mughaffal, al-Syu’bi, al-Nakha’i, Yahya bin Ya’mur, dan Ishaq ibn Rahawaih. Mereka katakan, ‘Kita memperoleh
Universitas Sumatera Utara
91
warisan dari mereka dan mereka tidak memperolehnya dari kita, sebagaimana kita bisa menikahi perempuan-perempuan mereka, tetapi tidak sebaliknya”. Namun,
kesahihan riwayat ini diragukan keabsahannya oleh Ibn Qudamah VI: 294. Artinya, di kalangan ulama hanbaliyah pun ada perbedaan tetang ketentuan waris ini.
Memang, keberadaan penolakan waris-mewarisi antara Muslim dan kafir itu adalah dua hadis di atas itu, sehingga menjadi dasar pula penolakan untuk menerima
waris dari kaum zindiq, munafiq, dan murtad. Padahal, menurut Ibn Taimiyah, “Dalam sunnah ‘mutawatir’, jelas sekali sesungguhnya Nabi saw. menetapkan
mereka dalam hukum lahiriyah sebagaimana kepada orang Islam, yaitu saling waris mewarisi. Abdullah bin Ubay meninggal, tetapi anaknya mengambil waris, juga yang
lainnya dari kalngan munafik……………….. Orang Murtad pun menurut Ali dan Ibn Masud, hartanya bagi ahli waris dari kaum Muslimin……………., sementara Ahli
Dzimmah, kalau membunuh dibunuh lagi pembunuhnuya, walau orang Islam dan kafir harbi dibunuh lagi”. Di sisi lain Umat Islam harus menempatkan diri yang
tertinggi, sebagaimana Nabi berssabda, “Al-Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih”, Islam
itu tinggi dan tidak adan yang lebih tinggi daripadanya”.Keterangan lain
menyebutkan dari Muadz bin Jabal, “Al-Islamu yazidu wala yanqushu”. HR. Abu al-Aswad. Kemudian Muadz menyatakan, wa li annana nankihu nisa’ahum wala
yankihuna nisa’ana fakadzalika naritsuhum wa la yaritsunana”. Ibn Qudamah,
VI: 294
Universitas Sumatera Utara
92
Problem yang dirasakan dengan dua hadis di atas ialah sebagai berikut: 1. Kerugian harta yang mestinya diambil umat Islam bisa jatuh kepada yang
lain, bahkan kepada lembaga-lembaga keagamaan non-Muslim yang selanjutnya digunakan untuk memurtadkan umat Islam.
2. Banyak muallaf yang sengsara atau hidup pas-pasan, padahal keluarganya berada.
3. Dimungkinkan seseorang yang tidak masuk Islam karena takut tidak kebagian warisan orang tuanya yang kaya itu. 4. Penguasaan harta dari
non-Muslim, dibenarkan oleh perundang-undangan negara sudah diatur di negara-negara modern sekarang. Mungkin hibah, wasiat, hadiyah, dari
mereka atau malah jual beli. Adalah kerugian bila harta itu dibiarkan tak ada “pemiliknya”.
Dalam persoalan ini, maka perkataan, la yaristu al-Muslim al-kafira wala al- kafir al-Muslima yang dimasud adalah kafir harbi, sementara dari kafir dzimmi tidak,
sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiyah. Bila memang masih keberatan secara syar’i dan dianggap melanggar ushul a-shariah, maka mungkin harta diambil jalan
tawassuth moderat, seperti dikemukakan oleh al-Qardhawi, yaitu “Ahli waris mengambil harta tersebut, sesuai dengan peraturan undang-undang di negara
tersebut, tetapi untuk kemaslahatan umat, dakwah, dan pendidikan Islam, sementara yang bersangkutan dengan pribadinya mengambil untuk sekedar menutupi kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
93
pokok hidupnya daripada harus menta-minta tasawwul kemana-mana, apalagi dengan membawa nama muallaf.”
Metode yang digunakan bisa dengan model takhshish, dari hadis-hadis yang masih bersifat amm atau teori maslahah tadi dengan alasan bahwa kafirnya kafir
dzimmi seperti diusulkan al-Qardhawi. Namun, berbeda dalam menggunakan metode, yaitu metode istihsan yang paling pas, yaitu mengambil cara yang paling baik yang
tidak bertentangan dengan ajaran pokok Alquran dan Sunnah, seperti pada kasus “tukar guling wakaf” karena ada yang lebih baik atau seperti kasus mengembalikan
Ka’bah ke tempat semula yang tidak sempat dilakukan Nabi” Dasar hukum berbeda agama sebagai penghalang saling mewarisi adalah
sebagai berikut : “ Orang islam tidak berhak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak berhak
mewarisi harta orang islam”. riwayat Bukhori dan Muslim. “Tidak dapat mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-beda”.
riwayat Ashab al-Sunan. Kedua hadits tersebut dikuatkan oleh firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 4 :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang mu’min”.
Selain hadits dan ayat di atas, Nabi Muhammad SAW mempraktekkan pembagian warisan, bahwa perbedaan agama menyebabkan antara mereka tidak bisa
saling mewarisi. Yaitu pada saat Abu Thalib meninggal dunia sebelum masuk islam, meninggalkan empat orang anak, Uqail, dan Talib yang belum masuk islam, dan Ali
Universitas Sumatera Utara
94
serta Ja’far yang telah masuk islam. Oleh Rosulullah SAW harta warisan diberikan kepada Uqail dan Talib. Ini menunjukan bahwa perbedaan agama menjadi
penghalang untuk bisa mewarsisi.
Universitas Sumatera Utara
95
BAB IV PANDANGAN PENGADILAN TERHADAP