15
PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS NON MUSLIM
” Studi Putusan PA No. 0141Pdt.P2012PA.Sby. belum pernah
dilakukan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Pendapat Gorys Keraf tentang definisi teori adalah
42
: “Asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya
untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada”. Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial
sangat ditentukan oleh teori
43
. Menurut Soerjono Soekanto, teori
44
adalah suatu sistim yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya untuk
menjelaskan aneka macam gejala sosial yang dihadapinya dan memberikan pengarahan pada aktifitas penelitian yang dijalankan serta memberikan taraf
pemahaman tertentu.
Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research menjelaskan teori
45
: “Suatu teori adalah seperangkat konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan
merinci hubungan antarvariabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”.Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
46
Teori yang dipergunakan adalah teori keadilan yaitu keadilan melalui wahyu Allah SWT, secara filsafat hukum Islam keadilan ilahiyah adalah dialektika
muktazilah dan asy’ariah, gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik buruk untuk
menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya
42
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, hal.6.
43
Ibid, hal 6.
44
Ibid,.hal. 13
45
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, op. cit. hal.133
46
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : CV. Mandar Maju, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
16
manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu Allah., sedang hukum produk manusia yaitu perubahan masyarakat harus diikuti dengan perubahan
hukum.
47
Tesis dasar mu’tazilah manusia sebagai yang bebas bertanggung jawab dihadapan allah secara adil selanjutmya baik dan buruk dapat diketahui melalui nalar
berdasarkan wahyu.Tesis
pokok mereka
bahwa keadilan
bergantung pada
pengetahuan obyektif tentang kebaikan dan keburukan, kaum mu’tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan
demikian menegakkan obyektivisme rasionalis.
48
Kaum mu’tazilah mendapat tantangan dari kaum asy’ariah yang menentang bahwa gagasan akal merupakan otonomi pengetahuan etika. Mereka menyebutkan
bahwa baik dan buruk itu datangnya dari Allah, konsep asyariah ini tentang pengetahuan etika
dikenal sebagai subyektivisme teistis, bahwa semua nilai-nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan berdasarkan wahyu.
Kedua pandangan teologis tersebut menyatakan bahwa kaum mu’tazilah berpendapat dimana manusia sebagai mahluk yang bertanggung jawab dalam
menentukan terhadap kehendak nalarnya berdasarkan wahyu, sedangkan asy’ariah bahwa manusia sebagai mahluk yang menjalan etika naluri sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu umat religius Kami berikan aturan
dan jalan tingkah laku. Apabila Allah menghendaki, niscaya kamu
47
Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa,hal, 102.
48
Mumtaz Ahmad ed,Masalah-Masalah Politik Islam, Bandung Mizan, 1994,hal.154-155.
Universitas Sumatera Utara
17
dijadikan-Nya satu umat berdasarkan pada aturan dan jalan itu, tetapi, ia tidak melakukan demikian. Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-
Nya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah yaitu, bersaing satu samalain dalam berbuat baik. Karena Allah-lah kamu semua akan kembali,
lalu Ia akan memberitahukan kepadamu kebenaran mengenai apa yang kamu perselisihkan itu.”
49
Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan tertentu, yang diakui secara
obyektif, tak soal dengan perbedaan keyakinan-keyakinan religius. Cukup menarik, manusia yang idael disebutkan sebagai menggabungkan kebajikan moral tersebut
dengan kepasrahan religius yang sempurna. Bahkan, “barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”.
50
Jelaslah, disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara keadilan obyektif dan teistis, dimana keadilan obyektif diperkuat lagi oleh tindakan-
religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab
bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal untuk mengatakan
bahwa Al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan positif dalam masyarakat yang
berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi. Karena Al-
49
Al-Qur’an surah Al-maidah: 48
50
Al-Qur’an surah Al-Baqoroh: 112
Universitas Sumatera Utara
18
Quran mengakui keadilan teitis dan obyektif, maka mungkin untuk mengistilahkannya keadilan natural dalam arti yang dipakai oleh Aristoteles – yaitu, suatu produk dari
kekuatan natural bukan dari kekuatan sosial.
2. Konsepsi