77
Maka syariat lslam dalam pelaksanaan hukum kewarisan, hibah, dan wasiat sangat mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga tidak ada
hak dikurangi dan dilebihkan tanpa memperhatikan kemaslahatan kepada semua pihak di dalam keluarga di dalam orang yang meninggal itu.Firman Allah:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” QS Al-Qashash, 28:77
D. Pengertian Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
99
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan syara’.
100
Wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal
dunia.
101
Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu
99
Fathur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hal. 63
100
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000, Jilid 6, hal. 1930
101
Suparman, e.all., Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997, hal. 163
Universitas Sumatera Utara
78
dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain.
102
Sudah menjadi kesepakatan sebagian ulama ijma’ bahwa perbedaan agama muslim dan non Muslim merupakan salah satu faktor penghalang untuk dapat
mewarisi. Hal tersebut dapat dilihat dalam satu kitab fiqh yang artinya: “Telah sepakat para ulama fuqoha bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk
mewarisi, yaitu: perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama.”Sebagian ulama mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin jabal r.a yang mengatakan bahwa
seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskam kepada oramg kafir
103
.Dalam tafsir Ahkam”Ali ashobuny artinya Kami orang-orang Islam beriman dengan nabi dan kitab anda, maka andainya anda beriman dengan nabi dan
kitab kami, maka kami akan menikahkan anak-anak kami dengan kalian
104
. Dalam hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari
Usamah Ibn Zaid yang artinya sebagai berikut: “Tidak mewarisi seorang muslim terhadap orang non muslim demikian juga tidak mewarisi orang non-Muslim terhadap
orang Muslim” Sedangkan untuk kebalikannya, yaitu dapat atau tidaknya ahli waris Muslim mewarisi pewaris non-Muslim, dalam hal ini telah terjadi perbedaan
pendapat. Menurut kalangan Jumhur Ulama ahli waris Muslim tetap tidak dapat mewarisi pewaris non-Muslim, sesuai dengan hadits di atas. Sedangkan menurut
102
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam,Syafi;I, Hazairin dan HKI, Pontianak : Romeo Grafika, 2006, hal. 98
103
Ahmad Sarwat, Fiqh Mawaris, Penerbit DU Center, cetakan keempat, hal.64.
104
H.M Hasballah Thaib, Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press Medan, 2004, hal.169.
Universitas Sumatera Utara
79
Muadz Ibn Jabal, Muawiyah, Masruk generasi sahabat dan Ibnu Musayab generasi tabi’in serta kalangan Syi’ah Imamiyah, ahli waris Muslim dapat mewarisi pewaris
non-Muslim, dengan alasan adanya hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai berikut: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tingga dari padanya.”
Dan pendapat Ibn Hazm yang lainnya, yang artinya sebagai berikut: “Diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak
mewarisi disebabkan adanya perbudakan, adanya kekufuran non-Muslim, karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan karena bukan ahli waris,
maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya, dalam hal ini tidak ada batasan tertentu. Apabila ia tidak berwasiat bagi mereka, maka tidak boleh
tidak ahli waris atau wali yang mengurus wasiat untuk memberikan wasiat tersebut kepada mereka kerabat menurut kepatutan.”
105
“Andaikan kedua orang tua atau salah satunya tidak beragama Islam non- Muslim atau menjadi budak, atau salah satu dari keduanya. Apabila ia tidak
berwasiat, maka harus diberikan harta kepada orang tua, tidak boleh tidak. Setelah itu ia boleh berwasiat sekehendaknya. Apabila berwasiat bagi tiga
orang kerabat di atas, hal itu telah memadai…”
106
Dari uraian Ibn Hazm di atas tampak jelas bahwa kedua orang tua yang tidak mewarisi, salah satunya disebabkan tidak beragama Islam non-Muslim, wajib diberi
wasiat. Apabila seorang Muslim sewaktu hidupnya tidak berwasiat, maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksakan wasiat tersebut. Dengan demikian
kewajiban berwasiat tidak hanya bersifat diyani akan tetapi juga bersifat qodloi, artinya tidak hanya sebagai tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perintah
agama berwasiat
akan tetapi
juga dapat
dipaksakan apabila
ia lalai
melaksanakannya karena sudah menyangkut kepentingan masyarakat.
105
Ibid
106
Ibid
Universitas Sumatera Utara
80
Adapun yang dimaksud kerabat menurut Ibnu Hazm adalah semua keturunan yang memiliki hubungan nasab dengan ayah dan Ibu sampai terus ke bawah,
maksudnya sampai ke cucu dan seterusnya. Sekalipun Ibnu Hazm tidak menentukan batasan ukuran harta wasiat wajibah bagi setiap kerabat, tetapi beliau sendiri telah
sepakat bahwa wasiat wajibah tidak boleh melebihi dan 13 harta untuk keseluruhannya. Apabila kerabat yang tidak mewarisi banyak, maka tiga orang
kerabat yang diberi wasiat wajibah sudah dianggap memadai, sebagaimana dalam kutipan di atas.
Dengan demikian, menurut Jumhur Ulama lafadz “kutiba” dalam ayat kewajiban berwasiat tidak menunjukkan kepada wajib lagi, tetapi beralih menjadi
sunat, itupun bukan berwasiat untuk ahli waris sebagaimaan hadits di atas. Kecuali itu, wasiat yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba seperti zakat kafarat dan
utang yang belum dibayar tetap wajib hukumnya. Sedangkan menurut Ibnu Hazm ayat kewajiban berwasiat tetap berlaku muhkam yang dikhususkan bagi orang tua
dan kerabat yang tidak mewarisi karena berbagai hal di antaranya adanya perbedaan agama non-Muslim.
Sekalipun antara jumhur Ulama dan Ibnu Hazm ada perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum berwasiat, tetapi ulama dari kalangan Syafi’iyah,
Hanafiyah dan Hanabilah telah membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak beragama Islam non-Muslim dengan syarat yang diberikan wasiat tidak memerangi
umat Islam, jika tidak demikian maka wasiatnya batal, tidak sah. Perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat mewarisi sebagaimana dikemukakan para ulama di
Universitas Sumatera Utara
81
atas, nampaknya masih tetap mewarnai hukum kewarisan Islam dewasa ini. Undang- Undang kewarisan Mesir dan Syria menyatakan secara tegas bahwa antara Muslim
dan non-Muslim tidak dapat saling mewarisi. Sedangkan di Indonesia, sekalipun Pasal 173 KHI tidak menyatakan perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat
mewarisi, namun Pasal 171 huruf b dan c KHI menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus dalam keadaan beragama Islam. Hal ini dapat dipahami apabila salah
satunya tidak beragama Islam maka di antara keduanya tidak dapat saling mewarisi. Tetapi karena di Indonesia terdapat pluralitas hukum, yaitu adanya hukum Adat dan
hukum Perdata Barat BW di samping hukum Islam yang memungkinkan masyarakat Muslim melakukan pilihan hukum hak opsi dalam penyelesaian
sengketa warisnya sesuai dengan ketentuan Penjelasan Umum angka 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka antara orang Muslim dan non-Muslim
mungkin saja dapat saling mewarisi karena dalam hukum Adat dan hukum Perdata barat BW perbedaan agama tidak dijadikan sebagai penghalang untuk dapat
mewarisi.
E. Wasiat Wajibah bagi Pewaris Non Muslim