TINJAUAN LITERATUR

TINJAUAN LITERATUR

Daur Hidrologi

Daur hidrologi menunjukkan gerakan air di permukaan bumi. Selama berlangsungnya daur hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah habis tersebut, air tersebut akan tertahan sementara di sungai, danau, dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau mahkluk lain. Siklus hidrologi adalah proses yang diawali oleh evaporasi kemudian terjadinya kondensasi dari awan hasil evaporasi (Dumairy, 2002).

Sebagian air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran permukaan (surface run off). Aliran permukaan sebagian akan meresap kedalam tanah menjadi aliran bawah permukaan melalui proses infiltrasi (infiltration) dan perkolasi (percolation). Apabila kondisi tanah memungkinkan sebagian air infiltrasi akan mengalir kembali ke dalam sungai (river), atau genangan lainnya seperti waduk, danau sebagai interflow. Sebagian dari air dalam tanah dapat muncul lagi ke permukaan tanah sebagai air eksfiltrasi (exfiltration) dan dapat terkumpul lagi dalam alur sungai atau langsung menuju ke laut (Soewarno, 2000).

Zona Agroklimat

Cuaca dan iklim dinyatakan dengan susunan nilai unsur fisika atmosfer (disebut unsur cuaca atau unsur iklim) yang terdiri dari : radiasi surya, lama penyinaran surya, suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan arah

Cuaca adalah nilai sesaat dari atmosfer, serta perubahan dalam jangka pendek (kurang dari 1 jam hingga 24 jam di suatu tempat di bumi), sedangkan iklim adalah sintetis atau kesimpulan dari unsur-unsur cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu tempat atau di suatu wilayah. Klimatologi atau ilmu iklim dapat dibagi menjadi berbagai cabang keilmuan iklim. Salah satunya adalah klimatologi yang menekankan pembahasan tentang permasalahan iklim di bidang pertanian (Handoko, 1995).

Oldeman (1979) mengklasifikasikan iklim berdasarkan pertumbuhan vegetasi. Kriteria dalam klasifikasi iklim ini didasarkan pada perhitungan bulan basah (BB), bulan lembab (BL), dan bulan kering (BK) yang batasannya memperhatikan peluang hujan, hujan efektif, dan kebutuhan air tanaman. Dalam penentuan klasifikasi iklimnya, Oldeman menggunakan ketentuan panjang periode bulan dan bulan kering berturut-turut. Untuk keperluan praktis klasifikasi iklim menurut Oldeman ini cukup berguna khususnya dalam klasifikasi lahan pertanian pangan di Indonesia. Bulan basah adalah bulan dengan rata-rata curah hujan lebih besar 200 mm, bulan lembab adalah bulan dengan rata-rata curah hujan100 mm – 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan dengan rata-rata curah hujan lebih kecil 100 mm, angka 200 mm dipergunakan dengan alasan kebutuhan air tanaman padi sawah termasuk perkolasinya mendekati angka sekitar 200 mm. Sedangkan angka 100 mm karena untuk tanaman palawija akan kekurangan air jika curah hujan lebih kecil dari 100 mm. Setelah menentukan kriteria bulan basah dan bulan kering langkah selanjutnya adalah mencari harga rerata curah hujan masing-masing bulan.

Menurut Oldeman (1979) klasifikasi iklim dibagi menjadi 5 tipe utama yang didasarkan pada jumlah bulan basah berturut-turut. Subdivisinya dibagi menjadi 4 yang didasarkan kepada jumlah bulan kering berturut-turut, termasuk pembagian iklim utama dan subdivisinya. Dari 5 iklim utama dan 4 subdivisinya tersebut maka tipe iklim dapat dikelompokkan menjadi 16 daerah agroklimat Oldeman mulai dari A1 sampai E5 (Guslim, 2007).

Topografi

Topografi (relief) adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peran topografi melalui 4 cara, yaitu :

1. Jumlah air hujan yang dapat meresap atau disimpan oleh massa tanah.

2. Kedalaman air tanah.

3. Besarnya erosi yang terjadi.

4. Arah pergerakan air yang membawa bahan-bahan terlarut dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

(Hanafiah, 2005).

Topografi mempengaruhi pembentukan tanah secara langsung menyebabkan terbukanya permukaan bumi terhadap pengaruh matahari, angin dan udara dan

1. Topografi datar : permukaan tanah yang datar atau hampir datar tanpa kenampakan tanda-tanda run off dan erosi. Tetapi juga tidak menjadi tempat penggenangan air atau penimbunan bahan yang dihanyutkan.

2. Topografi miring : permukaan tanah miring yang menampakkan adanya tanda-tanda run off yang lambat dan adanya erosi kecil yang oleh vegetasi lebat biasanya tersembunyi.

3. Topografi curam : permukaan tanah curam sudah jelas menampakkan tanda-tanda run off dan erosi yang merusak, hanya tak tampak jika tertutup hutan.

(Darmawijaya, 1992)

Sifat Fisik Tanah

Sebagai benda alam, tanah merupakan sistem dispersi tiga fase yang selalu berada dalam keseimbangan dinamis. Ketiga fase tersebut, yaitu fase padat, fase cair dan fase gas, merupakan sistem yang selalu berubah tetapi selalu berada dalam keadaan seimbang. Pada keadaan kering, misalnya rongga yang ditempati udara tanah lebih banyak dibandingkan rongga yang ditempati cairan. Jika tanah itu berubah menjadi basah, baik yang terjadi akibat pengairan atau hujan, maka rongga yang berisi udara berkurang dan rongga yang berisi cairan bertambah. Jika tanah digemburkan, misalnya dengan pengolahan tanah, maka bagian relatif yang terisi udara bertambah, dan bagian relatif padatan berkurang. Sebaliknnya, jika tanah Sebagai benda alam, tanah merupakan sistem dispersi tiga fase yang selalu berada dalam keseimbangan dinamis. Ketiga fase tersebut, yaitu fase padat, fase cair dan fase gas, merupakan sistem yang selalu berubah tetapi selalu berada dalam keadaan seimbang. Pada keadaan kering, misalnya rongga yang ditempati udara tanah lebih banyak dibandingkan rongga yang ditempati cairan. Jika tanah itu berubah menjadi basah, baik yang terjadi akibat pengairan atau hujan, maka rongga yang berisi udara berkurang dan rongga yang berisi cairan bertambah. Jika tanah digemburkan, misalnya dengan pengolahan tanah, maka bagian relatif yang terisi udara bertambah, dan bagian relatif padatan berkurang. Sebaliknnya, jika tanah

Sifat fisis tanah tergantung pada jumlah, bentuk, susunan dan komposisi mineral dari partikel-partikel tanah, macam dan jumlah bahan organik, volume dan bentuk pori-porinya serta perbandingan air dan udara menempati pori-pori pada waktu tertentu. Beberapa sifat fisik tanah yang terpenting adalah tekstur, bobot isi, porositas dan permeabilitas.

A. Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah perbandingan relatif (dalam persen) fraksi-fraksi pasir, debu, dan liat. Tekstur tanah penting kita ketahui karena komposisi ketiga fraksi butir-butir tanah tersebut akan menentukan sifat fisik tanah. Jika tanah lapisan atas yang bertekstur liat dan dan berstruktur granuler mempunyai bobot isi 1,0 sampai

dengan 1,3 gr/cm 3 , sedangkan yang bertekstur kasar mempunyai bobot isi antara 1,3

3 sampai dengan 1,8 gr/cm 3 dan bobot isi air yaitu 1 gr/cm (Hanafiah, 2005).

Tanah yang didominasi pasir akan banyak mempunyai pori-pori makro (besar) disebut lebih porous, tanah yang didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori messo (sedang) agak porous, sedangkan yang didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro atau tidak poreus. Makin porous tanah maka akan mudah akar untuk berpenetrasi serta makin mudah air dan udara untuk bersirkulasi (drainase dan aerasi baik : air dan udara banyak tersedia bagi tanaman), tetapi makin mudah pula air untuk hilang dari tanah. Makin tidak porous tanah maka akan Tanah yang didominasi pasir akan banyak mempunyai pori-pori makro (besar) disebut lebih porous, tanah yang didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori messo (sedang) agak porous, sedangkan yang didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro atau tidak poreus. Makin porous tanah maka akan mudah akar untuk berpenetrasi serta makin mudah air dan udara untuk bersirkulasi (drainase dan aerasi baik : air dan udara banyak tersedia bagi tanaman), tetapi makin mudah pula air untuk hilang dari tanah. Makin tidak porous tanah maka akan

Tekstur tanah dibagi menjadi 12 kelas dan pada diagram segitiga tekstur tanah USDA. Tanah yang berkomposisi ideal adalah 22,5 – 52,5 % pasir, 30 – 50 % debu, dan 10 -30 % liat dan disebut bertekstur lempung.

Berdasarkan kelas tekstur tanahnya maka tanah digolongkan menjadi :

a. Tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir berarti tanah yang mengandung minimal 70% pasir atau bertekstur pasir atau pasir berlempung

b. Tanah bertekstur halus atau tanah berliat berarti tanah yang mengandung minimal 37,5% liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir.

c. Tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung, terdiri dari :

1. Tanah bertekstur sedang tetapi agak kasar meliputi tanah yang bertekstur lempung berpasir (sandy loam) atau lempung berpasir halus.

2. Tanah bertekstur sedang meliputi yang bertekstur lempung berpasir sangat halus, lempung (loam), lempung berdebu (silty loam) atau debu (silt).

3. Tanah bertekstur sedang tapi agak halus mencakup lempung liat (clay loam), lempung liat berpasir (sandy clay loam) atau lempung liat berdebu (sandy silt loam).

Tanah berlempung merupakan tanah dengan proporsi pasir, debu dan liat sedemikian rupa sehingga sifatnya berada diantara tanah berpasir dan berliat. Jadi aerasi dan tata udara serta air yang cukup baik, kemampuan menyimpan, menghantarkan dan menyediakan air untuk tanaman tinggi serta mampu menyediakan hara tanaman (Islami dan Utomo, 1995).

B. Bobot Isi

Bobot isi atau kerapatan massa tanah kondisi lapangan yang dikering- ovenkan persatuan volume. Contoh tanah yang digunakan untuk menetapkan berat jenis harus diambil secara hati-hati dari dalam tanah. Pengambilan contoh tanah tidak boleh merusak struktur tanah asli. Terganggunya struktur tanah dapat mempengaruhi jumlah pori-pori tanah, demikian pula berat persatuan volume. Gumpal-gumpal tanah yang diambil dari lapangan untuk penentuan kerapatan isi atau bobot isi itu dibawa ke laboratorium untuk dikering-ovenkan dan ditimbang (Darmawidjaja, 1992).

C. Porositas

Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga indikator kondisi drainase dan aerasi tanah (Kartasapoetra, 1989).

Agregat tanah sebaiknya mantap agar tidak mudah hancur oleh adanya gaya dari luar, seperti pukulan butir hujan. Dengan demikian tidak mudah erosi sehingga pori-pori tanah tidak mudah tertutup oleh partikel tanah halus hingga infiltrasi tertahan dan run off menjadi besar (Sarief, 1985).

Gumpal tanah yang digunakan untuk menentukan kerapatan isi juga dapat pula digunakan untuk menentukan ruang pori-pori total. Untuk menentukan ruang pori-pori, gumpalan tanah diletakkan di atas pan yang berisi air, hingga tanah jenuh air dan kemudian tanah ditimbang. Persentase volume yang ditempati oleh pori- pori kecil, dalam tanah-tanah berpasir adalah rendah, yang menunjukkan kapasitas memegang air yang rendah. Sebaliknya pada top soil bertekstur halus, memiliki lebih banyak ruang pori total yang sebagian besar terdiri dari pori-pori kecil. Hasilnya adalah tanah dengan kapasitas memegang air yang besar (Foth, 1998)

Tanah yang mempunyai struktur yang baik, ruang porinya tinggi sehingga bobot volumenya rendah. Apabila terjadi seperti itu maka akan sangat berpengaruh pada tingkat penyediaan oksigen di daerah perakaran dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi kemampuan tanaman untuk menyerap hara. Nilai porositas pada tanah pertanian bervariasi dari 40 sampai 60%. Porositas dipengaruhi oleh ukuran partikel dan struktur. Tanah berpasir mempunyai porositas rendah (40%) dan tanah lempung mempunyai porositas tinggi, jika strukturnya baik dapat mempunyai porositas 50-60% (Islami dan Utomo, 1995).

D. Permeabilitas

Permeabilitas merupakan tanah untuk mentransfer air atau udara. Permeabilitas biasanya diukur dengan istilah jumlah air yang mengalir melalui tanah dalam waktu yang tertentu dan ditetapkan sebagai cm/jam.

E. Kedalaman Efektif

Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus akar tanaman. Kedalaman efektif tanah diklasifikasikan sebagai berikut :

K 0 = lebih dari 90 cm (dalam) K 1 = 90 cm sampai 50 cm (sedang) K 2 = 50 cm sampai 25 cm (dangkal) K 3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal)

(Arsyad, 1989)

Hubungan Antara Air Permukaan dan Air Tanah

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1980), air tanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang- ruang antar butir-butir tanah dan di dalam retak-retak batuan. Linsley et al (1989), menyebutkan sumber-sumber air tanah antara lain : air meteorik (meteoric water), hampir semua air tanah Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1980), air tanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang- ruang antar butir-butir tanah dan di dalam retak-retak batuan. Linsley et al (1989), menyebutkan sumber-sumber air tanah antara lain : air meteorik (meteoric water), hampir semua air tanah

Jika suatu aliran berhubungan langsung dengan air tanah pada suatu akuifer bebas, aliran tersebut dapat menerima atau memberikan air tanah, tergantung pada permukaan air nisbi. Ada tiga tipe sungai yang diklasifikasikan menurut permukaan air nisbi, yaitu :

a) Aliran emeferal, yang hanya mengalir setelah terjadinya hujan badai yang

menghasilkan limpasan permukaan yang memadai. Permukaan air tanah selalu berada di bawah dasar sungai.

b) Aliran intermitten (terputus), yang mengalir selama musim penghujan saja. Selanjutnya debit air ini terdiri atas pemberian limpasan permukaan dan air tanah pada dasar sungai. Permukaan air tanah berada di atas dasar sungai hanya selama musim-musim hujan. Pada musim kemarau, permukaan tersebut berada di bawah dasar sungai.

c) Aliran perennial (sungai permanen), mengalir sepanjang tahun dengan debit- debit yang lebih tinggi selama musim-musim penghujan. Debit sungai terdiri atas pemberian limpasan permukaan dan air tanah pada dasar sungai. Permukaan air tanah selalu berada di atas dasar sungai (Sechyan, 1990)

Pengukuran Debit Air

Debit adalah suatu koefisien yang menyatakan banyaknya air yang mengalir dari suatu sumber per satuan waktu, biasanya diukur dalam satuan liter per detik. Untuk memenuhi kebutuhan air pengairan (irigasi bagi lahan-lahan pertanian), debit air harus lebih cukup untuk disalurkan ke saluran-saluran (induk-sekunder- tersier) yang telah dipersiapkan di lahan-lahan pertanian (Dumairy, 1992).

Agar supaya penyaluran air pengairan ke suatu areal lahan pertanian dapat diatur dengan sebaik-baiknya (dalam arti tidak berlebihan atau agar dapat dimanfaaatkan seefisien mungkin) maka dalam pelaksanaannya perlu dilakukan pengukuran-pengukuran debit air. Dengan distribusi yang terkendali, dengan bantuan pengukuran-pengukuran tersebut, maka masalah kebutuhan air pengairan selalu teratasi tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat petani pemakai air (Kartasapoetra, 1994).

Pengukuran debit dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain :

a) Pengukuran volume air sungai

b) Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang melintang sungai (untuk pengukuran kecepatan digunakan pelampung atau pengukur arus dengan kincir)

c) Pengukuran dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan dalam aliran sungai.

d) Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume (aliran air cepat)

(Arsyad, 1989).

Dari berbagai cara tersebut di atas, yang paling sering dilakukan adalah cara ke-b, pengukuran berdasarkan kecepatan aliran dan luas penampang melintang, sebab mudah dilaksanakan. Debit air sungai yang diukur dengan cara ini dapat dihitung berdasarkan rumus :

Q = VxA ………………………………........ (1)

Dimana :

3 Q = Debit air (m /detik)

V = Kecepatan aliran air rata-rata (m/detik)

3 A = Luas penampang yang melintang (m )

(Asdak, 1995).

Besarnya kecepatan permukaan aliran sungai (dalam m/detik) adalah :

Dimana :

L = Jarak antara dua titik pengamatan (m) T = Waktu perjalanan benda apung (detik)

Jaringan Irigasi

Irigasi adalah usaha pengadaan dan pengaturan air secara buatan, baik air tanah maupun air permukaan, untuk menunjang pertanian. Pengaturan pengairan bagi pertanian tidak hanya tertuju untuk penyediaan air di daerah-daerah yang kurang mendapatkan curah hujan saja, melainkan juga untuk mengurangi berlimpahnya air hujan di daerah-daerah yang kelebihan air dengan maksud untuk mencegah peluapan air dan kerusakan tanah (Kodoatie dan Sjarief, 2005).

Berdasarkan teknik bangunannya, irigasi digolongkan menjadi irigasi teknis, irigasi semi teknis, dan irigasi sederhana. Irigasi teknis adalah irigasi yang dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan atau teknik bangunan air, wilayah layanannya sangat luas, sumber airnya juga besar, berupa sungai atau waduk yang besar. Irigasi semi teknis adalah irigasi yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip teknik bangunan air tetapi hanya untuk melayani wilayah yang tidak begitu luas, meliputi 2 – 4 desa. Sumber airnya merupakan sungai yang tidak begitu besar. Irigasi sederhana adalah irigasi yang dibuat secara sangat sederhana, hanya melayani satu desa, sumber airnya berupa sungai yang kecil (Kartasapoetra, 1994).

Yang dimaksud dengan jaringan irigasi adalah prasarana irigasi, yang pada pokoknya terdiri dari bangunan dan saluran pemberi air pengairan beserta perlengkapannya. Berdasarkan pengelolaannya dapat dibedakan menjadi :

1. Jaringan Irigasi Utama 1. Jaringan Irigasi Utama

2. Jaringan Irigasi Tertier Merupakan jaringan air pengairan di petak tertier, mulai air keluar dari

bangunan ukuran tertier, terdiri dari saluran tertier dan kuarter termasuk bangunan pembagi tertier dan kuarter, beserta bangunan pelengkap lainnya yang terdapat di petak tertier. Sistem irigasi adalah sistem usaha penyediaan air dan pengaturan air untuk pertanian. Sumber irigasi bisa dari air permukaan atau dari air tanah (Kodoatie dan Sjarief, 2005).

Prediksi Erosi dan Evaluasi Erosi

Prediksi Erosi

Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan dan laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan sudah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari. Prediksi erosi adalah alat bantu untuk

Dari beberapa metode untuk memperkirakan besarnya erosi, metode universal soil loss equation (USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978) adalah metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan besarnya erosi. Persamaannya yaitu

A = R K LS C P ……………………………………………………….. (3)

dimana :

Besarnya erosi yang terjadi (A) dalam ton/ha/tahun, ditentukan oleh perkalian dari faktor-faktor berikut :

Faktor (R) adalah curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan

intensitas hujan maksimum 30 menit (I 30 ) tahunan.

R= ∑ EI/100X ……………………………………………………… (4)

Dengan :

R = Faktor Erosivitas hujan

n = jumlah kejadian hujan dalam kurun waktu satu tahun (musim hujan)

X = jumlah tahun atau musim hujan

(HH) (H24) …………………………………………… (5)

Dengan :

Hb = curah hujan bulanan (cm) HH = jumlah hari hujan per bulan (hari)

H 24 = curah hujan maksimum 24 jam dalam bulan tersebut (cm) Faktor (K) erodibilitas tanah (ton/joule) yaitu angka yang menunjukan

mudah tidaknya partikel-partikel tanah terkelupas dari agregat tanah oleh gempuran air hujan. Nilai erodibilitas tanah tinggi berarti bahwa tanah itu peka atau mudah tererosi dan nilai erodibilitas tanah itu rendah hal ini akan berarti resistensi atau daya tahan tanah itu kuat dengan perkataan lain tanah tahan (resisten) terhadap erosi (Utomo, 1989).

Faktor (K) ini ditentukan dari data struktur, tekstur, permeabilitas dan bahan organik (persen). Komponen-komponen yang ditentukan adalah tekstur tanah (persen pasir halus, persen debu dan persen liat). Kode struktur tanah ditentukan mengacu pada ukuran diameter dan kelas sturktur tanah disesuaikan dengan kelas dan kode stuktur tanah. Kode permeabilitas profil tanah berdasarkan kecepatan atau laju permeabilitas profil tanah yang disesuaikan dengan kelas dan kode permeabilitas profil tanah. Nilai K ditentukan dengan persamaan Wischmeier dan smith, (1978) yaitu:

100 K = 1,292 {2,1 M -4 x 10 x (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)} ……. (6)

Dimana :

M = (% pasir halus + debu) (100 - % liat)

a = bahan organik (%) (% C x 1,724)

b = kode struktur tanah

c = kode permeabilitas tanah (Arsyad, 1989).

Tabel 1. kode struktur tanah

Kode Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Kode

Granuler sangat halus (< 1 mm)

1 Granuler halus (1 – 2 mm)

2 Granuler sedang sampai kasar (2 – 10 mm)

3 Berbentuk blok, blocky, plat, massif

4 (Arsyad, 1989).

Tabel 2. kode permeabilitas profil tanah

Kelas Permeabilitas

Kecepatan (cm/jam)

Kode

Sangat lambat

6 Lambat

5 Lambat sampai Sedang

3 Sedang sampai Cepat

2 Cepat

Tabel 3. klasifikasi kelas erodibilitas tanah di Indonesia

Tingkat Erodibilitas

Nilai K

Kelas

Sangat rendah

1 Rendah

2 Agak Rendah

4 Agak tinggi

6 Sangat tinggi

Kemiringan suatu lereng (S) dapat dinyatakan dalam satuan derajat (%), di kelompokan menjadi 7 kelas yaitu : datar (0 – 3%), landai atau berombak (3–8%), agak miring atau bergelombang (8–15%), miring berbukit (15-30%), agak curam (30-45%), curam (45-65%), dan sangat curam (>65%) (Rahim, 2003).

Kemiringan mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan permukaan. Pada dasarnya semakin curam suatu lereng maka persentase kemiringan semakin tinggi, dan laju limpasan permukaan semakin cepat. Jadi, dengan meningkatnya persentase kemiringan, erosi semakin besar. Panjang lereng (L) mempengaruhi energi untuk erosi, terutama karena panjang lereng mempengaruhi volume limpasan permukaan sehingga juga mempengaruhi kemampuan untuk mengerosi tanah (Utomo, 1989).

Faktor indeks topografi L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang dan kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Panjang lereng pada aliran air permukaan, yaitu lokasi berlangsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya deposisi

Faktor LS ditentukan dengan menggunakan persamaan (Wischmeier dan Smith, 1978), yaitu:

2 LS = x ( 0,00138 s + 0,00965 s + 0,0138 ) ……………………….. (7)

Dimana:

L = panjang lereng (m) S = kemiringan lereng (%)

Faktor pengelolaan tanaman (C) adalah perbandingan antara besarnya erosi pada lahan dengan tanaman dan pengelolaan tertentu terhadap erosi dari tanah yang dibuka. Faktor C ini menunjukan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, serasah, keadaan permukaan tanah, dan pengelolaan tanah terhadap besarnya tanah yang hilang (erosi) (Haan, 1987).

Vegetasi dan pohon-pohonan dapat menghambat atau mencegah berlangsungnya erosi tanah-tanah permukaan, tetapi bergantung pada jenis dan keadaan tumbuhnya. Kalau tumbuhnya jarang sehingga banyak bagian tanah permukaan yang terbuka, pengrusakan dan penghanyutan tentu tidak dapat dicegah. Namun kalau pertumbuhannya rimbun dan rapat (misalnya tanaman-tanaman rendah, rumput-rumputan) erosi dapat lebih dihambat atau dicegah (Kartasapoetra, 1989).

Pengaruh teknik konservasi tanah (P) adalah perbandingan antara erosi pada tanah dengan tindakan konservasi tertentu terhadap tanah tanpa tindakan konservasi. Tindakan konservasi antara lain: pengolahan dan penanaman menurut kontur,

Pengaruh teknik konservasi tanah (P) terhadap besarnya erosi dianggap berbeda dari pengaruh yang dikarenakan dalam persamaan USLE. Faktor P tersebut dipisahkan dari faktor C. Tingkat erosi yang terjadi sebagai akibat pengaruh aktifitas pengelolaan dan konservasi tanah bervariasi, terutama tergantung pada kemiringan lereng (Arsyad, 1989).

Efektifitas tindakan konservasi dalam pengendalikan erosi tergantung pada panjang dan kemiringan lereng. Pencangkulan dan penanaman searah kontur dapat mengurangi erosi tanah pada lahan miring hingga sampai 50% selanjutnya tanah yang hilang pada strip kontur mengalami penurunan 25 sampai 40% (Suripin, 2004).

Laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/Ha/tahun yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan. Besarnya laju erosi yang masih dapat ditoleransikan dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus dibawah ini:

T = Laju erosi yang masih ditoleransikan (ton/Ha/tahun)

DE = Kedalaman efektif (mm) Fd = Faktor kedalaman t = Umur guna sumber daya tanah (tahun)

Evaluasi Erosi

Evaluasi erosi bertujuan untuk mengetahui potensi atau bahaya erosi suatu wilayah atau bidang tanah dan mengetahui tingkat atau besarnya erosi yang telah terjadi. Evaluasi dengan tujuan untuk mengetahui potensi erosi atau ancaman erosi tersebut disebut evaluasi potensi erosi atau evaluasi ancaman erosi. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan berbagai metode prediksi erosi, seperti USLE.

Selanjutnya bahaya erosi dinyatakan dalam Indeks Bahaya Erosi yang didefinisikan sebagai berikut:

Erosipoten sial ( ton / Ha / tahun )

Indeks Bahaya Erosi = …………… (9)

T ( ton / Ha / tahun )

Dimana T adalah besarnya erosi yang masih dapat dibiarkan. Indeks Bahaya Erosi dikelompokkan sebagai tertera dibawah ini:

Tabel 4. klasifikasi indeks bahaya erosi

Harkat Nilai Indeks Bahaya Erosi

Sangat Tinggi

>10,01

(Hammer, 1981).