68
2. Konsep Interpretasi dan Pemahaman
Setiap penafsir harus mampu membedakan antara pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Penafsir harus dapat membuat sirkularitas ketiganya secara berkelindan
sehingga ketiganya saling terkait satu dengan lainnya. Dalam konteks ini Ricoeur dalam Sumaryono, 2003: 110 menyatakan bahwa pemahaman, interpretasi, dan
penjelasan pada hakikatnya semu belaka. Hal ini dapat dipahami karena tidak ada penafsir yang mau mendekatkan diri pada apa yang tersembunyi di balik teks jika ia
tidak menghayati sendiri suasana makna yang dicarinya. Itulah sebabnya seorang penafsir harus menggumuli interpretasinya sendiri.
Dalam pemahaman kata sebagai simbol menurut Sumaryono 2003: 110-111 terdapat tiga langkah utama yang berlangsung dari
‘penghayatan atas simbol-simbol‘ ke gagasan tentang ‘berpikir dari simbol-simbol‘. Pertama, adalah langkah simbolik atas
pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalan yang cermat atas makna. Ketiga, adalah langkah filosofis yakni berpikir
dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
3. Konsep Teks
Hermeneutik selalu berhubungan dengan kata tertulis sebagai kata yang diucapkan Sumaryono, 2003: 107. Tugas hermeneutik adalah mencari daya dalam
teks untuk memproyeksikannya keluar yang memungkinkan hal teks itu timbul ke permukaan di samping dinamika internal yang mengatur struktur kerja di dalam teks.
Sejalan dengan pandangan di atas, teks selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi, atau aliran yang hidup dalam macam-macam gagasan. Teks harus ditafsirkan
dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian dan pewarnaan dengan situasi pembaca sendiri dalam kurun waktu yang khusus. Oleh karena itu, penjelasan struktural
cenderung objektif sedangkan pemahaman hermeneutik cenderung subjektif. Teks merupakan korpus yang otonom Ricoeur, 1985: 128. Artinya, teks
memiliki kemandirian, totalitas yang berciri khas empat hal. 1 Dalam teks, makna yang terdapat pada ‘apa yang dikatakan‘ terlepas dari proses pengungkapannya,
sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan. 2 Teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara. Seperti bahasa lisan, apa yang dimaksudkan teks
tidak lagi terikat dengan apa yang dimaksudkan penulis. 3 Sebuah teks tidak lagi terikat kepada konteks semula ostensive reference. Teks tidak terikat pada konteks asli
69
pembicaraan. Apa yang ditunjuk teks adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri. 4 Teks tidak lagi terikat kepada audiens awal, seperti bahasa lisan terikat
kepada pendengarnya. Setiap teks sastra memiliki makna dari interpretasi pengarangnya. Karya sastra
yang merupakan interpretasi pengarang atas lingkungan sosialnya dihadapi pembaca dan ditangkap dengan interpretasi pula. Meminjam istilah Gadamer dalam Sutopo,
2002: 27, makna setiap karya sastra akan selalu diciptakan kembali oleh pembacanya, atau mendapatkan makna baru yang diciptakan oleh pembacanya. Pemaknaan karya
sastra akan menjadi kaya nuansa yang bergantung pada keluasan wawasan dan kreativitas pembaca. Dalam istilah teori Resepsi Sastra, kedalaman dan keluasan makna
karya sastra bergantung pada horison harapan pembaca. Makin dalam dan luas horison harapan pembaca, makin dalam dan luas pula makna karya sastra yang dapat
diungkapkan.
BAB III WUJUD STILISTIKA TRILOGI NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
Karya sastra merupakan karya seni yang mengungkapkan gagasan tentang kehidupan yang kompleks baik dimensi kemanusiaan, sosial politik, ketuhanan,
moralitas, maupun perspektif jender dengan menggunakan bahasa sebagai media ekspresinya. Dengan kata lain pada hakikatnya media terpenting untuk mencapai efek
makna dalam karya sastra adalah intensitas pemanfaatan segenap potensi bahasa. Itu sebabnya bahasa karya sastra merupakan bahasa yang unik dan khas yang memiliki
daya ekspresif , asosiatif, dan daya pukau untuk mencapai efek estetis. Sebagai media komunikasi, bahasa karya sastra yang estetik tidak terlepas dari
latar sosiohistoris dan ideologi pengarangnya. Demikian pula RDP, tidak dapat dipisahkan dari latar sosiohistoris Ahmad Tohari dan gagasan yang ingin
diungkapkannya. Tohari yang akrab dengan alam pedesaan dengan segala problema dan tradisinya, dengan pengalaman hidup masa lalunya dan profesinya sebagai jurnalis,
melatarbelakangi keunikan dan kekhasan bahasa RDP. Kajian stilistika RDP akan menganalisis berbagai pemanfaatan segenap potensi
bahasa yang unik dan khas Tohari dalam mengekspresikan gagasan. Analisis stilistika RDP dilakukan dengan menggabungkan pendapat para pakar terutama Abrams 1981:
193, Leech Short 1981: 75-80, Pradopo 2004: 9-14, Sayuti 2000: 174, dan Keraf 1991: 124-145. Dalam hal ini kajian stilistika RDP akan difokuskan dan dibatasi
pada pembahasan lima unsur yakni: 1 gaya kata diksi, 2 gaya kalimat, 3, gaya wacana, 5 bahasa figuratif, dan 5 citraan. Hal ini berdasarkan alasan bahwa kelima
unsur tersebut dipandang dominan fungsinya dalam stilistika RDP untuk menciptakan efek makna dalam rangka mencapai efek estetik.
A. Gaya Kata Diksi
Deskripsi gaya kata diksi pada bagian ini dilakukan dengan memperhatikan wujud kata sebagai simbol serta maknanya sesuai dengan latar belakang Tohari sebagai
pengarang RDP. Kajian diksi RDP juga melihat fungsi kata sebagai media ekspresi pengarang dalam mengungkapkan gagasan dalam karya sastranya. Oleh karena itu,