31
dalam bahasa Jawa. Penamaan orang Jawa dikaitkan dengan jenis kelamin dan status sosial. Dalam hal ini Suhandono 2000: 1 menyatakan bahwa penamaan merupakan
salah satu fungsi bahasa, yakni sebagai alat untuk mengidentifikasikan sesuatu. Dengan penaman orang dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi orang di lingkungan
sekitarnya.
Adapun kata vulgar ialah kata-kata yang carut dan kasar atau kampungan
Yusuf, 1995: 307. Dengan demikian kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun yang berlaku
dalam masyarakat berpendidikan. Tegasnya, kata vulgar dalam masyarakat berpendidikan atau di kalangan intelek dipandang tabu untuk diucapkan atau digunakan
dalam berkomunikasi. Antara diksi dan pencitraan kata terdapat hubungan yang erat. Diksi yang dipilih
harus menghasilkan pengimajian agar apa yang ingin diungkapkan menjadi lebih konkret dan dapat dihayati melalui penglihatan, pendengaran, atau citra rasa. Untuk
membangkitkan citraan pembaca, maka kata-kata dalam karya sastra harus diperjelas dengan kata-kata konkret lihat Waluyo, 1991: 78
–81.
2. Kalimat
Unsur kedua yang membentuk wujud verbal karya sastra dan menentukan gaya pengarang adalah kalimat, yakni cara pengarang menyusun kalimat-kalimat dalam
karyanya. Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya inversi, gaya kalimat tanya, perintah, dan elips. Demikian pula
karakteristik, panjang-pendek, struktur, dan proporsi sederhana-majemuknya termasuk gaya kalimat. Termasuk di dalamnya sarana retorika yang berupa kalimat hiperbola
Pradopo, 2004: 11, juga paradoks, klimaks, antiklimaks, antitesis, dam koreksio. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, ditinjau dari kepentingan gaya bahasa,
kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walaupun kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan kata Nurgiyantoro, 1998: 292-293.
Sebuah gagasan, pesan baca: struktur batin, dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat baca: struktur lahir yang berbeda-beda struktur dan kosakatanya.
Karena dalam sastra pengarang memiliki kebebasan penuh dalam mengkreasikan
32
bahasa guna mencapai efek tertentu, adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar.
Penyimpangan struktur kalimat itu dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan
sebagainya. Kesemuanya itu dimaksudkan pengarang untuk mencapai efek estetis tertentu di samping juga untuk menekankan pesan atau gagasan tertentu. Hal inilah yang
dikenal sebagai pengedepanan foregrounding, yang dipandang sebagai salah satu ciri bahasa sastra.
3. Wacana
Salah satu unsur stilistika RDP yang menarik untuk dikaji adalah gaya wacana. Wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang memiliki hierarki tertinggi dalam
gramatika Kridalaksana, 1982: 179. Gaya wacana ialah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat baik dalam prosa maupun puisi.
Gaya wacana dapat berupa dua kalimat atau lebih, paragraf, bait, keseluruhan karya sastra baik prosa seperti novel dan cerpen, maupun keseluruhan puisi. Termasuk dalam
gaya wacana dalam sastra adalah gaya interferensi dan alih kode Pradopo, 2004: 12. Kedua gaya itu
–interferensi dan alih kode-- digunakan untuk memperoleh efek tertentu sesuai dengan unsur-unsur bahasa yang digunakan, misalnya untuk menciptakan efek
atau setting lokal, nasional, dan internasional atau universal. Interferensi adalah bilingualisme penggunaan bahasa lain oleh bahasawan yang
bilingual secara individual dalam bahasa Kridalaksana, 1983: 86. Gaya interferensi adalah penggunaan bahasa asing dalam bahasa sendiri atau bahasa campuran dalam
karya sastra. Penggunaan bahasa campuran itu kadang-kadang mengganggu pemahaman bagi pembaca yang pengetahuan bahasanya terbatas Pradopo, 2004: 13.
Akan tetapi, dalam karya sastra interferensi tersebut kadang-kadang diperlukan untuk mencapai efek tertentu.
Adapun alih kode code switching adalah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan pesan atau situasi lain, atau adanya partisipan lain
Kridalaksana, 1983: 86. Dalam karya sastra, gaya alih kode itu sering dimanfaatkan pengarang untuk menciptakan efek tertentu misalnya setting lokal, sesuai dengan pesan
atau gagasan dalam karya sastra.
33
4. Bahasa Figuratif Figurative Language