Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis Salinitas Di Kawasan Mangrove Pola Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat

(1)

PERWILAYAHAN KOMODITAS BUDIDAYA BERBASIS

SALINITAS DI KAWASAN MANGROVE POLA

SILVOFISHERY BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT

ALDIANO RAHMADYA

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis Salinitas Di Kawasan Mangrove Pola Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Aldiano Rahmadya C24070046


(3)

RINGKASAN

Aldiano Rahmadya. C24070046. Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis Salinitas Di Kawasan Mangrove Pola Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Kadarwan Soewardi dan Sigid Hariyadi.

Silvofishery merupakan suatu kegiatan budidaya perikanan yang dikombinasikan dengan pengelolaan hutan mangrove. Tambak-tambak berbasis silvofishery yang berada di daerah Blanakan Subang berbentuk tambak tradisional dimana pengisian tambak dilakukan ketika air pasang sehingga air akan masuk ke dalam tambak melalui inlet atau pintu masuk air, sumber air untuk pengisian tambak adalah sungai Blanakan dan saluran-saluran yang terdapat pada kawasan tambak silvofishery. Kekuatan pasang surut dan masukan air tawar membuat salinitas air ketika pasang tidak sama pada seluruh kawasan tambak. Untuk itu perlu dilakukan penelitian terhadap distribusi salinitas di kawasan hutan angrove di pesisir Blanakan. Penelitian ini dilakukan pada area tambak Desa Jayamukti kecamatan Blanakan dengan waktu pengambilan yaitu bulan Mei-Agustus 2011, dengan tujuan untuk mengetahui distribusi salinitas untuk kepentingan budidaya. Pengambilan contoh air dilakukan pada saat pasang pertama pukul 04.00-10.00 WIB dan pasang kedua pukul 15.00-21.00 WIB yang diambil pada sungai Blanakan dan saluran tengah area tambak dengan masing-masing tempat terdapat tiga stasiun yaitu bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Selain itu dilakukan pengambilan data di sepanjang tiga saluran besar yang berasal dari sungai Blanakan yang di sebut oleh masyarakat setempat Kalimalang. Jenis data yang dikumpulkan untuk keperluan penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa nilai salinitas selama penelitian, sedangkan data sekunder adalah data pasang surut DISHIDROS.

Jenis pasang yang terjadi pada Blanakan Subang adalah pasang surut tipe campuran dominan ganda dengan stasiun pengukuran yang terdekat adalah Cirebon. Dari hasil pengukuran nilai salinitas dan suhu ketika pasang diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai salinitas pada masing-masing stasiun pada sungai Blanakan dan saluran tambak. Pada sungai Blanakan bagian hulu kisaran nilai salinitas ketika pasang pertama adalah 0-2PSU dan pasang kedua 0-19PSU, bagian tengah sungai 5-7PSU dan 3-25PSU, dan bagian hilir 16-20PSU dan 10-34PSU, sedangkan untuk saluran tambak bagian hulu nilai salinitas pada pasang pertama dan kedua berkisar 1-3PSU dan 0-2PSU, bagian tengah 17-19PSU dan 6-13PSU, dan bagian hilir 33-36PSU dan 23-35PSU. Jenis biota yang umum dibudidayakan adalah ikan bandeng, udang windu dan mujair dengan sistem pembesaran polikultur.

Dapat disimpulkan bahwa rambatan pasang yang tidak bisa menjangkau seluruh area pertambakan membuat sebaran salinitas tambak desa Jayamukti kecamatan Blanakan tidak merata dan terjadi perbedaan salinitas pada bagian hulu, tengah dan hilir. Penyesuaian waktu pengambilan air dengan waktu pasang serta penyesuaian biota yang akan dibudidayakan diperlukan dalam mengoptimalkan produktivitas tambak.


(4)

iv

PERWILAYAHAN KOMODITAS BUDIDAYA BERBASIS

SALINITAS DI KAWASAN MANGROVE POLA

SILVOFISHERY BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT

ALDIANO RAHMADYA C24070046

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis Salinitas Di Kawasan Mangrove Pola Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Aldiano Rahmadya Nomor Pokok : C24070046

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

I. Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr.Ir.Kadarwan Soewardi Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc NIP.19481101 197903 1 001 NIP. 1959118 198503 1 005

Mengetahui,

II.Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002


(6)

vi

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis Salinitas Di Kawasan Mangrove Pola

Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Januari 2012


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Ir. Kadarwan Soewardi, selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Sigid Haryadi, M.Sc selaku pembimbing II yang telah memberikan masukan, arahan, nasihat dan bimbingan selama penulisan skripsi ini.

2. Bapak Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan dan Bapak Dr. Ir Hefni Effendi, M.Phil selaku penguji tamu atas saran dan kritiknya.

3. Seluruh staf Tata Usaha Manajemen Sumberdaya Perairan terutama Mba Widar, Bagian Produktivitas dan Lingkungan (Bu Ana, Kak Budi dan Mas Adon) serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

4. Bapak Dr.Ir. Rahmad Kurnia. M.Sc selaku Pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penulis menjalani studi.

5. Keluarga tercinta Mama, Papa, Kakak, Ica serta saudara-saudara keluarga besar atas doa, kasih sayang, dukungan serta motivasi yang diberikan

6. Tim Silvo Subang : Andi (Jon), Bang Ray, Oci, Tyson, Yoga dan Kak Yayan, dan semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebutkan satu persatu.

7. Teman-teman MSP 44, adik-adik kelas MSP 45 dan 46 atas doa, bantuan, kerja sama, dan semangatnya selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.


(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Juni 1989, merupakan anak ketiga dan terakhir dari pasangan Dodik Ambari dan Dinar Syamsiar. Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di TK Estetika (1993-1994). Pada tahun 1994-2000 penulis menempuh pendidikan di SDN Pengadilan 1 Kota Bogor. Tahun 2000 penulis lulus dari SDN Pengadilan 1 Kota Bogor, kemudian dilanjutkan di SMPN 1 Kota Bogor (2001-2004) dan di SMAN 2 Kota Bogor (2004-2007). Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2007. Penulis memilih program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis pernah melakukan magang di Laboratorium Kesehatan Ikan BBPAT Sukabumi tahun 2009.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis Salinitas Di Kawasan Mangrove Pola Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 3

1.4. Manfaat ... 3

2. TINJUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Mangrove ... 4

2.2. Silvofishery ... 5

2.3. Salinitas ... 7

2.4. Suhu ... 8

3. METODELOGI ... 9

3.1. Waktu Pelaksanaan ... 9

3.2. Alat dan Bahan ... 10

3.3. Prosedur Penelitian... 10

3.4. Metode Analisis ... 11

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

4.1. Kondisi Umum ... 12

4.2. Pasang Surut ... 13

4.3. Salinitas ... 13

4.3.1. Salinitas sungai ... 13

4.3.2. Salinitas tengah tambak ... 19

4.4. Suhu ... 21

4.5. Pembahasan ... 24

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

5.1. Kesimpulan ... 29

5.2. Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30


(10)

x

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Biota budidaya dengan nilai toleransi ... 26


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Skema alur rumusan masalah penelitian ... 3 2. Tipe atau model tambak pada sistem sivofishery menurut

Buku Lahan Basah Buatan di Indonesia ... 6 3. Peta lokasi penelitian dan titik pengambilan contoh ... 9 4. Peta skematik lokasi titik pengambilan contoh air untuk

Pembuatan peta ... 10 5. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang

pertama bagian permukaan Sungai Blanakan ... 14 6. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang

kedua bagian dasar Sungai Blanakan ... 14 7. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang

kedua bagian permukaan Sungai Blanakan ... 16 8. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang

kedua bagian dasar Sungai Blanakan ... 16 9. Distribusi salinitas Sungai Blanakan secara vertikal

saat pasang air laut pada stasiun hulu, tengah,dan hilir ... 18 10. Distribusi salinitas saluran tengah tambak Jayamukti saat

pasang air laut pada stasiun hulu, tengah dan hilir ... 20 11. Grafik suhu Sungai Blanakan pada saat pasang

pertama dan kedua ... 22 12. Grafik suhu saluran tengah pada saat pasang

pertama dan kedua ... 23 13. Skematik sebaran salinitas Desa Jayamukti pasang pertama ... 25 14. Skematik sebaran salinitas Desa Jayamukti pasang kedua ... 26


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ... 33

2. Gambar keadaan lokasi penelitian Sungai Blanakan dan keadaan tambak silvofishery ... 34

3. Gambar peta skematik lokasi penelitian sungai Blanakan ... 35

4. Contoh perhitungan bilangan Formzhal ... 36

5. Grafik perbandingan data pengamatan pasut Blanakan Dan Dishidros stasiun Cirebon ... 37

5. Grafik prediksi pasang surut bulan Mei-Agustus Dishidros AL ... 38

6. Data penelitian Sungai Blanakan ... 40

7. Data penelitian saluran tengah tambak ... 41


(13)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem pesisir merupakan daerah yang unik dimana daerah daratan dan lautan bertemu dan saling berinteraksi, biota yang hidup di dalamnya sangat beragam mulai dari berbagai jenis hewan hingga tanaman. Hutan mangrove adalah salah satu tumbuhan yang tumbuh di daerah pesisir, tanaman mangrove ini hidup di daerah estuary dimana terdapat tumbuhan atau pohon-pohon yang khas dan mampu beradaptasi dengan salinitas air laut. Hutan mangrove sendiri tidak seluruhnya berada di air asin, sebagian dari mangrove masih terkena dampak dari air tawar yang mengalir dari darat karenanya hutan mangrove sering kali disebut dengan hutan pasang surut. Hutan mangrove menyebar luas di daerah khatulistiwa lebih tepatnya pada daerah tropis dan sedikit di subtropika. Mangrove memiliki banyak manfaat seperti penahan gelombang, daerah nursery ground dan nutrient trap.

Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas yaitu antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar dan sebagian terdapat di Pulau Jawa, namun kini semakin berkurang karena digunakan sebagai daerah pertambakan. Pertambakan dianggap dapat meningkatkan perikanan Indonesia dan memberikan keuntungan yang besar, sehingga banyak orang berduyun-duyun membuka hutan mangrove menjadi tambak-tambak udang dan ikan. Menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) luas kawasan mangrove KPH Purwakarta kawasan mangrove bervegetasi hanya 6.328,65 ha (39.81%) dan kawasan yang tidak bervegetasi 9.568,56 ha (60.19%)

Perkembangan yang tidak disertai dengan penataan dan pengelolaan ruang yang memadai sehingga banyak kawasan mangrove yang mengalami kerusakan. Untuk mengatasi hal tersebut diperkenalkan pola pemanfaatan yang baru, dengan menggabungkan antara kegiatan pertambakan di dalam hutan mangrove yang dikenal dengan pola silvofishery. Pola ini telah dikenal sejak tahun 1980 yang dimulai di Birma, kemudian di adopsi oleh departemen Kehutanan untuk digunakan di Indonesia untuk mencegah kerusakan hutan mangrove, pada saat yang sama member kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan hutan mangrove yang ada. Pola silvofishery tersebut sudah diterapkan di Indonesia salah satunya di daerah Blanakan Subang. Tambak-tambak pola silvofihsery yang terdapat di


(14)

2

Blanakan Subang merupakan tambak tradisional dimana sumber airnya berasal dari campuran air sungai dengan air laut.

Pengisian tambak dilakukan ketika air pasang sehingga air akan masuk ke dalam tambak melaui inlet atau pintu masuk air. Dengan demikian air yang didapat nilai salinitasnya tidak merata pada setiap tambak karena tergantung jarak dari laut dan besar kecilnya kekuatan pasang.

Sehubungan dengan hal tersebut maka setiap wilayah di dalam kawasan hutan mangrove tidak akan selalu sama kualitas airnya. Sehingga petambak tidak akan mendapatkan salinitas yang sama disetiap kawasan hutan mangrove. Kondisi ini belum tentu dipahami oleh petambak sehingga bisa terjadi ketidaksesuaian kualitas air tambak dengan komoditas ikan atau udang yang dipelihara. Pada akhirnya produksi tambak kurang optimal dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen.

Untuk itu penelitian terhadap kondisi perairan di kawasan hutan mangrove perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi salinitas perairan di wilayah hutan mangrove secara keseluruhan pada saaat pasang, sehingga hal ini dapat membantu mengoptimalkan produksi tambak di kawasan hutan mangrove

1.2. Rumusan Masalah

Dalam memenuhi kebutuhan air yaitu mengganti atau menambahkan air, tambak-tambak silvofishery memanfaatkan waktu pasang untuk mengisi tambak. Kekuatan pasang yang tidak dapat menjangkau seluruh kawasan dan adanya masukan air tawar membuat terjadinya gradasi salinitas atau terdapat perbedaan salinitas dibagian hulu, tengah dan hilir, serta perbedaan antara permukaan dan dasar sungai yang merupakan salah satu sumber air untuk mengisi tambak.

Dengan demikian jika air tersebut digunakan untuk pengisian tambak, maka salinitas air tambak-tambak pada bagian hulu, tengah dan hilir akan berbeda. Hal tersebut akan berengaruh terhadap pemilihan jenis biota yang dipilih sesuai dengan salinitas daerah tempat biota tersebut akan dibudidaya. Sehingga kisaran salinitas daerah hulu, tengah dan hilir perlu diketahui agar dapat dibuat suatu peta sederhana untuk dijadikan acuan dalam pemilihan jenis biota agar produktivitas dari tambak-tambak yang ada lebih optimal


(15)

Gambar 1. Skema alur rumusan masalah penelitian

1.3. Tujuan

Mengetahui distribusi salinitas area tambak silvofishery dan sungai pada saat pasang di Blanakan Subang untuk kepentingan pegelolaan budidaya tambak.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menentukan kebijakan pengelolaan di daerah silvofishery Blanakan Subang secara berkelanjutan.

Kebutuhan air Tambak Sylvofishery

Pengisian air saat pasang

Berpengaruh pada jenis biota yang dibudidaya

Perlu diketahui kisaran salinitas daerah hulu, tengah dan hilir

Terdapat gradasi salinitas karena jangkauan kekuatan pasang


(16)

4

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Mangrove

Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken (1987) mangrove merupakan suatu ragam dari komunitas pantai yang didominasi oleh bebrapa spesies pohon dan semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sementara itu, menurut UU Nomor 5 tahun 1967, kata mangrove berarti vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang atau dataran koral mati, yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau lumpur, atau pada pantai berlumpur. Komposisi jenis tumbuhan penyusun komunitas mangrove ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas (Bengen 1997 dalam Siahainenia 2008).

Mangrove banyak sekali manfaatnya bagi manusia baik dari segi ekologis, biologis, maupun segi ekonomis. Fungsi ekologis dari hutan mangrove adalah menyediakan nutrien bagi berbagai organisme air di sekitar hutan mangrove. Selain itu, sistem perakaran vegetasi hutan mangrove yang menyediakan tempat berlindung yang baik bagi berbagai biota yang hidup di dalamnya. Fungsi lainnya adalah mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Disamping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Bengen 1999 dalam Djamali 2004).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43). Menurut Indrajaya 1992 dalam Djamali 2004 bahwa pengubahan fungsi hutan


(17)

mangrove menjadi fungsi lain secara tidak wajar akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak sesuai dengan kaifah pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Berwick 1983 dalam Dahuri dkk.1996 dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi lahan pertanian, perikanan yaitu:

a. Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground.

b. Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar karena subtrat hutan mangrove yang mengikat pencemar sudah hilang.

c. Erosi garis pantai.

2.2. Silvofishery

Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang dikombinasikan dengan dengan tambak/empang (Dewi 1995). Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan mangrove masih tetap terjamin kelestariannya.

Silvofishery atau tambak tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove.

Pada dasarnya prinsip tambak tumpangsari adalah perlindungan hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Al Rasyid (1971) dalam Dewi (1995) mendefinisikan tambak tumpangsari sebagai suatu penanaman yang dipakai dalam rangka merehabilitasikan hutan-hutan mangrove. Menggunakan sistem ini dapat diperoleh tiga keuntungan, yaitu :

a. mengurangi besarnya biaya penanaman, karena tanaman pokok dilaksanakan oleh penggarap.

b. meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dengan hasil pemeliharaan hutan.


(18)

6

Menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) awal mula penggarapan lahan mangrove di Blanakan menjadi daerah pertambakan dimulai pada tahun 1960-an, hal tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi nasional yang cukup parah, sehingga hutan mangrove yang ada digarap tanpa ada pengendalian. Penggarapan hutan mangrove ini membuat sebagian kawasan mangrove Blanakan berubah menjadi empang budidaya ikan dengan sistem silvofishery.

Adapun bentuk silvofishery menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) adalah penanaman tumpangsari dengan sistem banjar harian tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang. Menurut Puspita dkk (2005) dalam Buku Lahan Buatan di Indonesia, bentuk tambak silvofishery terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo seperti pada Gambar 2

Keterangan :

A. Saluran air X. Pelataran tambak

B. Tanggul/pematang tambak C. Pintu air

D. Empang

Gambar 2 . Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery menurut Buku Lahan Basah Buatan di Indonesia


(19)

Sistem tambak tumpang sari atau silvofishery merupakan suatu konsep untuk membantu masayarakat pedesaan dengan meningkatkan pendapatan dan juga untuk pengelolaan kualitas hutan mangrove sebagai suatu ekosistem multiguna baik untuk perikanan maupun kehutanan (Soewardi 1994) dalam (Handayani 2004).

Di samping digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan pada kawasan hutan mangrove terdapat juga hewan lain seperti kepiting, udang, ikan yang hidup secara alami dan memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hasil sampingan.

2.3. Salinitas

Pada tambak air payau salinitas merupakan hal yang perlu diukur. Salinitas merupakan gambaran padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida, dan semua bahan organic telah dioksidasi (Effendi 2003). Salinitas biasa dinyatakan dalam satuan g/kg atau ‰. Namun menurut Reid (2006) pada tahun 1978 sebuah definisi baru salinitas didirikan oleh Joint Panel on Oceanographic Tablesand Standards (UNESCO, 1981) yang disebut practical salinity, satuan ini didefinisikan dan diukur dalam referensi untuk konduktivitas listrik dari sampel air laut dibandingkan dengan yang dari larutan kalium klorida konsentrasi tertentu, satuan ini adalah nomor terkecil yang pada dasarnya sama dengan satuan yang lama yaitu bagian perseribu.

Nilai salinitas perairan terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu perairan tawar dengan salinitas kurang dari 0,5PSU, perairan payau antara 0,5PSU-30PSU, perairan laut antara 30PSU-40PSU, dan perariran hipersalin berkisar 40PSU-80PSU (Effendi, 2003). Menurut Goldman dan Horne (1983) peningkatan salinitas hanya sebagai minor efek bagi kelarutan oksigen, kelarutan garam di air mereduksi intermolecular ruang yang tersedia untuk oksigen.

Nilai salinitas dapat berubah-ubah, pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dan pasang surut air laut, hal ini yang perlu diperhatikan bagi petambak tradisional karena perubahan nilai salinitas yang signifikan dapat mempengaruhi kehidupan komoditas budidaya yang dipelihara. Menurut Venkataramuah dkk. (1974) dalam Aziz (1984) udang atau biota air mempunyai toleransi salinitas yang berbeda-beda.


(20)

8

2.4. Suhu

Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda. Suhu biasa digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Pada perairan suhu sangat mempengaruhi segala proses yang terjadi di dalamnya baik fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992).

Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan vikositas, rekasi kimia, evaporasi dan volatilisasi (Effendi 2003), hal tersebut sangat mempengaruhi nilai salinitas yang terdapat pada daerah estuary. Suhu di estuary lebih bervariasi daripada di perairan Pantai di dekatnya. Menurut Nybakken (1992) variasi suhu di daerah estuary disebabkan karena pada daerah estuary volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan lebih besar, dengan demikian pada kondisi atmosfer yang ada, air estuary ini lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Pada daerah mangrove suhu juga dipengaruhi oleh penutupan hutan mangrove. Suhu dapat mempengaruhi laju penguapan yang berpengaruh pada nilai salinitas.


(21)

3.

METODE PENELITIAN

3.1.Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan selama dua periode, yaitu pada bulan Mei dan Agustus tahun 2011, yang bertempat di Desa Jayamukti Blanakan Subang Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan satu hari pada yaitu tanggal 15 pada bulan Mei dan 14 pada bulan Agustus yang dilakukan saat terjadi pasang (lampiran 5), selain itu pengambilan contoh hanya dilakukan pada saat pasang dimulai pada pukul 04.00-10.00 WIB dan 15.00-21.00 WIB dengan waktu pengukuran setiap dua jam sekali selama waktu pasang, sehingga dalam satu hari terdapat delapan kali pengamatan. Pengambilan sampel diambil dari sungai Blanakan yang mengalir melewati kawasan silvofishery. Sungai tersebut merupakan sungai yang mengalir menuju Pantai Utara Jawa. Selain itu sampel juga diambil pada saluran tengah di kawasan tambak (Gambar 3 dan Lampiran 3).


(22)

10

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah refraktometer untuk mengukur salinitas, thermometer untuk mengukur suhu, botol untuk mengambil contoh air, perahu, jam untuk menentukan waktu setiap dua jam sekali. Bahan yang digunakan adalah contoh air dari sungai Blanakan saat terjadi pasang.

3.3. Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan pada sungai Blanakan dan pada saluran air di tengah area pertambakan dengan tiga titik stasiun pada masing-masing tempat yang berurutan dari hulu, tengah dan hilir, yang dilakukan saat pasang dengan waktu pengambilan setiap dua jam sekali, sehingga setiap titik akan dilakukan pengulangan sebanyak delapan kali. Tiga titik lokasi pada sungai Blanakan merupakan awal atau pintu masuknya air yang berasaldari sungai menuju tengah kawasan tambak. Sedangkan tiga titik pada saluran tambak merupakan lokasi dimana tempat pertemuan antara saluran air dari laut dengan saluran air dari sungai Blanakan.

Selain itu dilakukan pengambilan contoh air beberapa titik sepanjang tiga saluran besar yang membentang dari sungai Blanakan untuk pembuatan peta sebaran salinitas (Gambar 4).

Keterangan:

K1= Kalimalang 1 (14 titik sampling) K2= Kalimalang 2 (18 titik sampling) K3= Kalimalang 3 (7 titik sampling)

Gambar 4. Peta skematik lokasi titik pengambilan contoh air untuk pembuatan peta (Sumber: KUD MinaKarya Bukti Sejati Desa Jayamukti)


(23)

Pembuatan peta perkiraan sebaran salinitas mengacu pada peta dari KUD Mina Karberdasarkan dengan nilai yang telah didapat dari titik-titik yang ada dan juga disesuaikan sebaran salinitas yang dihasilkan program ODV, namun dengan asumsi tidak ada sekat pada area tambak atau sekat yang ada tidak memberikan pengaruh yang nyata sehingga bisa dilihat perbedaan ketika pasang pertama dan pasang kedua.

Pengambilan contoh pada sungai dan saluran yang menuju laut dilakukan pada saat pasang dan dilakukan sejak saat pertama pasang hingga sejak saat pertama surut dan berdasarkan grafik data prediksi tahun 2011 dari Dishidros yang telah disesuaikan dengan waktu Blanakan (Lampiran 6). Pada sungai Blanakan air sampel diambil pada dua kedalaman yaitu bagian permukaan dan dasar sedangkan untuk saluran tambak hanya permukaan saja. Sampel air yang telah diambil diukur secara insitu dengan menggunakan refraktometer.

3.4. Metode Analisis

Data yang telah didapat diolah menggunakan Microsoft Excell sehingga didapat grafik nilai sebaran salinitas setiap dua jam sekali secara vertikal dari sungai yang diamati, sedangkan untuk sebaran salinitas secara horizontal digunakan program ODV versi 3.0.1- 2005 dengan prinsip kerja interpolasi


(24)

12

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum

Berdasarkan buku Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009), wilayah mangrove desa Jayamukti Kecamatan Blanakan secara administrasi kehutanan termasuk dalam Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Ciasem Pamanukan yang dikelola oleh Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Pamanukan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

Pengelolaan hutan mangrove di wilayah Desa Jayamukti dan Desa Langensari dikelola dengan melibatkan masyarakat secara aktif melalui sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dimulai sejak tahun 1986 melalui sistem tambak tumpangsari, dimana sebagian besar dengan menggunakan pola empang parit dan sebagian kecil dengan pola komplangan serta pola jalur.

Seharusnya sistem tambak tumpangsari atau silvofishery terdiri atas 80% hutan mangrove dan 20% empang atau tambak namun kenyataannya mangrove tidak berkembang secara baik terutama pada areal tambak hal ini dikarekan untuk perluasan tambak. Kondisi tersebut menyebabkan bervariasinya tingkat kerapatan dan luas penutupan vegetasi mangrove di dalam tambak tumpang sari (Lampiran 2).

Dari hasil wawancara umumnya masyarakat desa Jayamukti membudidayakan ikan bandeng, mujaer, dan udang windu dengan sistem tradisional karena tanpa pemberian pakan buatan, umumnya masyarakat setempat menanam udang terlebih dahulu kemudian ikan bandeng, namun terkadang secara bersamaan tergantung keinginan petambak dan saat panen dengan menggunakan sistem arad atau sistem panen habis, sedangkan untuk masa pemeliharaan selama empat bulan sehingga dalam satu tahun terdapat tiga kali panen. Pengambilan air untuk tambak pada saat pasang sesuai kebutuhan masing-masing tambak, umumnya masyarakat mengganti air pada saat malam hari.

Menurut KUD Mina Karya Bukti Sejati, Desa Jayamukti yang berada di kecamatan Subang memiliki luas total tambak sekitar 840.50 ha, yang dibatasi oleh Sungai kecil Gangga di Cilamaya dan Sungai Blanakan di Ciasem. Pada kawasan tambak desa Jayamukti terdapat tiga saluran besar yang memanjang dari sungai Gangga menuju sungai Blanakan yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar adalah


(25)

Kalimalang, selain itu terdapat kurang lebih dua puluh satu saluran-saluran kecil yang memanjang dari hulu menuju ke arah laut yang biasa disebut Kalen dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.

4.2. Pasang Surut

Pasang surut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi salinitas, Setiap daerah memiliki tipe pasang surut tersendiri. Dari data prediksi pasang surut tahun 2011 yang berasal dari Dishidros, pada bulan Mei-Agustus memiliki pasang surut antara dengan tipe pasang surut camuran dominan ganda, hal tersebut diketahui dari nilai F= 0.73 dimana nilai F merupakan nisbah antara amplitudo (tinggi gelombang) unsur-unsur pasut tunggal dengan unsur-unsur pasut ganda utama dan biasa dikenal sebagai bilangan Formzahl (Lampiran 4). Selain itu dari hasil pengamatan dilapang selama satu hari terjadi perbedaan waktu atau keterlambatan antara data Dishidros stasiun Cirebon dengan Blanakan kurang lebih 2 jam (Lampiran 5), sehingga bila data Dishidros stasiun Cirebon disesuaikan dengan Blanakan akan terjadi perubahan atau pergeseran (Lampiran 6).

4.3. Salinitas

4.3.1.Salinitas Sungai

Salinitas merupakan parameter oseanografi yang penting dalam sirkulasi suatu perairan. Salinitas suatu perairan berfluktuasi tergantung musim, topografi, pasang surut air laut dan masukan air tawar.

Dari hasil pengamatan nilai salinitas pada sungai Blanakan menunjukan bahwa salinitas air sungai semakin meningkat bila menuju ke arah hilir atau muara sungai. Hal tersebut dikarenakan pada daerah hilir pengaruh air laut sangat dominan, sedangkan pada daerah hulu pengaruh air tawar yang lebih dominan.

Secara horizontal saat pasang pertama salinitas sungai mengalami peningkatan hanya pada daerah tengah dan hilir saja. Perubahan nilai sebaran salinitas dapat dilihat dari gambar grafik sebaran salinitas secara horizontal pada permukaan yang diambil pada saat pasang pertama dan kedua Gambar 5 dan Gambar 6 yang diolah dengan program ODV versi 3.0.1- 2005.


(26)

14

Keterangan: : Lokasi pengambilan contoh air

Gambar 5. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang pertama bagian permukaan Sungai Blanakan

Keterangan: : Lokasi pengambilan contoh air

Gambar 6. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang pertama bagian dasar Sungai Blanakan

Dari grafik sebaran salinitas pada Gambar 5 dan 6 daerah hulu memiliki nilai salinitas yang sangat rendah pada pasang pertama, nilai terkecil berkisar antara 0-2.5PSU yang ditandai dengan warna ungu dan nilai terbesar adalah 5PSU pada pukul 6.00 WIB yang ditandai dengan wanra biru pada bagian hulu permukaan sungai, sedangkan untuk dasar sungai bagian hulu nilai salinitas tidak terlalu berbeda jauh dengan permukaan nilai terbesar adalah 4PSU yang ditandai dengan warna ungu kebiruan (Gambar 6).

hilir hulu


(27)

Untuk bagian tengah sungai pada bagian permukaan nilai salinitas berkisar antara 5-7PSU dari pukul 4.00-10.00 WIB yang ditandai dengan gradasi warna dari biru keputihan hingga biru muda (Gambar 5). Sedangkan untuk bagian dasar tidak berbeda dengan bagian permukaan (Gambar 6).

Pada hilir sungai bagian permukaan nilai salinitas berkisar antara 15-19PSU dengan nilai salinitas terbesar yaitu ± 19PSU pada pukul 04.00 dan 10.00 yang ditandai dengan warna hijau (Gambar 5), sedangkan nilai salinitas terkecil adalah ± 15PSU pada pukul 08.00 WIB yang ditandai dengan warna hijau muda (Gambar 6). Hilir sungai Blanakan pada bagian dasar sungai terdapat selisih nilai salinitas, selisih tersebut terjadi pada pukul 06.00 WIB dimana pada bagian permukaan nilai salinitas adalah ± 16PSU dengan warna hijau (Gambar 5), pada bagian dasar adalah ± 20PSU dengan warna hijau keputihan (Gambar 6), sedangkan pada waktu yang lain nilai salinitasnya tidak berbeda hingga selisih ± 1PSU.

Pada pasang pertama bagian permukaan dan dasar sungai Blanakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik pada bagian hulu hingga bagian hilir, perbedaan hanya terjadi pada bagian hilir saat pukul 06.00 WIB, namun hanya selisih 4PSU. Secara keseluruhan nilai salinitas sungai Blanakan pada pasang pertama mengalami kenaikan dari hulu ke hilir hal tersebut ditandai dengan semakin menuju ke arah hilir atau menuju laut maka nilai salinitas akan semakin meningkat.

Berikut ini adalah nilai sebaran salinitas pada sungai Blanakan yang diukur pada saat pasang kedua (Gambar 7 dan 8), nilai tersebut diamati pada pukul 15.00-21.00 WIB. Peningkatan nilai salinitas terjadi pada seluruh titik lokasi pengambilan contoh baik pada bagian permukaan dan bagian dasar sungai Blanakan.

Dari grafik sebaran salinitas, pada bagian hulu sungai nilai salinitas sangat rendah yaitu 0PSU baik pada bagian dasar maupun permukaan, hal tersebut ditandai dengan warna putih (Gambar 7 dan 8), hal tersebut berarti tidak ada air laut yang masuk hingga menuju hulu pada pukul 15.00 WIB atau 3 sore. Pada pukul 17.00 WIB atau 5 sore, salinitas pada bagian hulu mengalami kenaikan yaitu sebesar ± 1PSU sedangkan pada bagian dasar sungai bernilai ± 2PSU, kenaikan terbesar adalah pada pukul 19.00 WIB atau 7 malam dengan nilai salinitas ±13PSU pada bagian permukaan dengan warna hijau muda keputihan (Gambar 7).


(28)

16

Keterangan: : Lokasi pengambilan contoh air

Gambar 7. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang kedua bagian permukaan Sungai Blanakan

Keterangan: : Lokasi pengambilan contoh air

Gambar 8. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang kedua bagian dasar Sungai Blanakan

Pada bagian dasar sungai nilai salinitas adalah ±19PSU dengan warna hijau muda (Gambar 8). Pada pukul 21.00 WIB nilai salinitas pada permukaan tidak mengalami perubahan sedangkan pada bagian dasar sungai menjadi ± 13PSU.

hulu hulu

hilir


(29)

Bagian tengah sungai Blanakan atau stasiun 2 pada pasang kedua nilai salinitas bagian permukaan berkisar antara 3-20PSU, kenaikan yang signifikan terjadi antara pukul 17.00-19.00 WIB yaitu dari ± 9PSU hingga ± 20PSU yang ditandai dengan gradasi warna hijau hingga hijau muda (Gambar 7) sedangkan pada bagian dasar sungai nilai salinitas berkisar antara 4-25PSU, dengan kenaikan terbesar terjadi pada pukul 17.00-19.00 WIB yaitu dari ± 10PSU hingga ± 20PSU dengan gradasi warna hijau hingga kuning kehijauan (Gambar 8).

Untuk bagian hilir sungai nilai salinitas yang terukur pada permukaan adalah berkisar 10 -34PSU dengan nilai salinitas terbesar pada pukul 19.00 WIB dengan gradasi warna merah keputihan (Gambar 7), sedangkan pada bagian dasar sungai nilai salinitas berkisar 17-34PSU dengan nilai salinitas terbesar terjadi pada pukul 19.00 WIB yaitu 34PSU dengan warna merah keputihan (Gambar 8).

Secara vertikal nilai salinitas pada bagian dasar dan permukaan juga mengalami kenaikan, berikut ini adalah gambar grafik sebaran salinitas yang diolah dengan menggunakan Microsoft Excell seperti pada Gambar 9. Pembuatan grafik secara vertical ditujukan untuk dapat melihat perbedaan salinitas atau agar terlihat perbedaan salinitas antara bagian permukaan dan bagian dasar sungai.

Bila dilihat secara keseluruhan nilai salinitas akan semakin naik mulai dari bagian hulu, tengah hingga hilir, namun terdapat nilai puncak dari salinitas pada setiap tempat baik pada bagian permukaan maupun bagian dasar.

Pada bagian hulu sungai nilai salinitas terbesar terjadi pada pasang kedua yaitu pukul 19.00 WIB yaitu sebesar 13PSU pada bagian permukaan sedangkan pada dasar perairan sebesar 19PSU. Untuk bagian tengah sungai nilai salinitas paling tinggi juga terjadi pada pukul 19.00 WIB yaitu sebesar 20PSU pada permukaan sedangkan pada dasar nilai salinitas terbesar adalah 25PSU yang terjadi pada pukul 21.00 WIB. Untuk bagian hilir salintas terbesar terjadi pada pukul 19.00 WIB yaitu sebesar 34PSU baik di permukaan maupun pada dasar perairan.


(30)

18

Gambar 9. Distribusi salinitas Sungai Blanakan secara vertikal saat pasang air laut pada stasiun hulu, tengah dan hilir sungai

0 5 10 15 20 25 30 35

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

N il ai S al in ita (PS U) Waktu (WIB)

Hulu Sungai

Permukaan Dasar 0 5 10 15 20 25 30 35

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

N il ai Sali n ita s (PSU) Waktu (WIB)

Tengah Sungai

permukaan Dasar 0 5 10 15 20 25 30 35

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

N il ai S al in itas (PS U) Waktu (WIB)

Hilir Sungai

Permukaan Dasar


(31)

4.3.2.Salinitas Tengah Tambak

Dari hasil pengamatan beberapa titik pada saluran besar atau Kalimalang pertama, Kalimalang kedua dan Kalimalang ketiga (Gambar 4 dan Lampiran 9), bagian saluran besar pertama, semakin jauh dari sungai maka nilai salinitas semakin besar dengan rentang nilai salinitas yang cukup besar yaitu 0-18PSU, untuk nilai tambak di sekitar saluran tersebut hamper sama berkisar antara 1-18PSU. Pada saluran kedua bagian tengah sungai nilai salinitas pada saluran berkisar 0-20PSU dan pada tambak disekitar saluran berkisar 2-19PSU. Sedangkan hasil pengukuran nilai salintas pada saluran ketiga berkisar 12-19PSU dan untuk tambak sekitar saluran berkisar 13-20PSU. Dari nilai-nilai salinitas tersebut terdapat suatu indikasi bahwa semakin menjauhi sungai Blanakan maka pasokan air tawar semakin berkurang namun hal tersebut tidak mutlak karena contoh air yang diambil pada setiap titik hanya satu kali ulangan.

Selain itu hasil pengukuran salinitas pada saluran juga dilakukan pada tiga titik bagian hulu, tengah dan hilir pada saluran yang menuju laut dengan mengikuti waktu pasang disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 10. Dari gambar Grafik 10 tersebut secara umum nilai salinitas akan semakin meningkat seiring semakin dekat kearah laut, namun pada waktu-waktu tertentu nilai salinitas akan meningkat pada bagian hulu serta tengah saluran.

Pada bagian hulu nilai salinitas tidak melebihi 5PSU baik pada pasang pertama maupun pasang kedua. Sedangkan bagian tengah pada saat pasang pertama nilai salinitas berkisar 17-20PSU dengan nilai tertinggi adalah ± 20PSU pada pukul 06.00 WIB dan saat pasang kedua nilai salinitas berkisar 6-13PSU dengan nilai terndah adalah ± 6PSU pada pukul 15.00 WIB saat pasang kedua. Untuk bagian hilir saluran saat pasang pertama nilai salinitas berkisar 33-36PSU dan nilai salinitas cukup tinggi terjadi pada pukul 04.00 WIB yaitu sebesar ± 36PSU dan saat pasang kedua nilai salinitas berkisar 23-35PSU dengan nilai terbesar adalah ± 35PSU pada pukul 21.00 WIB.


(32)

20

Gambar 10. Distribusi salinitas saluran tengah Tambak Jayamukti saat pasang air laut pada stasiun hulu, tengah dan hilir.

0 10 20 30 40

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

N il ai S al in itas (PS U) Waktu (WIB)

Hulu

0 10 20 30 40

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

N il ai S al in itas (PS U) Waktu (WIB)

Tengah

0 10 20 30 40

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

N il ai S al in itas (PS U) Waktu (WIB)

Hilir


(33)

4.4. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan biota di dalam perairan dan juga mempengaruhi proses evaporasi atau penguapan. Dari hasil pengukuran pada saat pasang baik pada sungai Blanakan dan kalen atau saluran tengah memiliki nilai suhu yang tidak terlalu signifikan dengan suhu lingkungan, secara umum kabupaten Subang memiliki suhu rata-rata 270C pada malam hari dan 330C pada malam hari.

Dari hasil pengukuran suhu pada sungai Blanakan saat pasang pertama, daerah hulu suhu air sungai Blanakan berkisar 27-290C , untuk daerah tengah sungai Blanakan memiliki suhu berkisar 30-310C, sedangkan daerah hilir suhu sungai Blanakan berkisar 30-310C, nilai tersebut meningkat dari awal pengukuran yang dimulai pukul 04.00 WIB hingga 10.00 WIB.

Sedangkan pada saat pasang kedua yang diukur pada pukul 15.00 WIB hingga 21.00 WIB, daerah hulu dan tengah sungai Blanakan memiliki nilai suhu berkisar 29-320C, sedangkan untuk daerah hilir memiliki nilai suhu berkisar 30-320C, nilai suhu terendah perairan sungai Blanakan adalah 270C yang terjadi pada saat pukul 4.00 WIB, sedangkan suhu tertinggi terjadi pada siang hari pukul 15.00 WIB yaitu 320C, hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari yang semakin meningkat ketika siang hari.

Untuk nilai suhu pada saluran tengah tambak nilai suhu saat pasang pertama dari hasil pengamatan berkisar 30-320C dimana nilai tertinggi pada pukul 10.00 WIB untuk daerah hulu dan tengah saluran tambak, sedangkan untuk daerah hilir suhu saluran tambak berkisar 30-330C dengan nilai tertinggi terjadi pada saat pukul 10.00 WIB yaitu 330C, sedangkan pada saat pasang kedua nilai suhu daerah hulu yaitu 30-320C nilai tersebut menurun seiring dengan waktu pengamatan yaitu dari pukul 15.00 WIB hingga pukul 21.00WIB. Sedangkan untuk daerah tengah dan hili berkisar 31-320C dan nilai tersebut menurun seiring dengan waktu pengamatan. Berikut ini adalah nilai suhu yang disajikan dalam bentuk grafik untuk sungai Blanakan dan saluran tambak saat pasang pertama dan kedua pada Gambar 11 dan 12 yang diolah dengan menggunakan Microsoft Excell.


(34)

22

Gambar 11. Grafik suhu Sungai Blanakan pada saat pasang pertama dan kedua 0 5 10 15 20 25 30 35

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

S u h u 0C Waktu (WIB)

Hulu

0 5 10 15 20 25 30 35

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

S u h u 0C Waktu (WIB)

Tengah

0 5 10 15 20 25 30 35

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

S u h u 0C Waktu (WIB)

Hilir


(35)

Gambar 12. Grafik suhu saluran tengah pada saat pasang pertama dan kedua 28 29 30 31 32 33 34

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

S u h u 0C Waktu (WIB)

Hulu

28 29 30 31 32 33 34

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

S u h u 0C Waktu (WIB)

Tengah

28 29 30 31 32 33 34

4:00 6:00 8:00 10:00 15:00 17:00 19:00 21:00

S u h u 0C Waktu (WIB)

Hilir


(36)

24

4.5. Pembahasan

Dari hasil pengamatan pada sungai Blanakan memiliki nilai salinitas yang bervariasi ketika pasang. Dari tiga titik stasiun pada sungai Blanakan nampak perbedaan nilai salinitas di setiap titiknya, pada bagian hulu memiliki nilai salinitas berkisar 1-5PSU saat pasang pertama dan 0-19PSU pada saat pasang kedua, sedangkan pada bagian tengah berkisar 5-7PSU dan pada pasang kedua 3-25PSU, pada bagian hilir nilai salinitas berkisar 15-20 PSU saat pasang pertama dan pasang kedua 10-30PSU perbedaan tersebut dipengaruhi oleh masukan air tawar dan gerakan pasut, sedangkan menurut Dahuri dkk (2008) pada kawasan estuaria terjadi interaksi dari berbagai proses yang disebabkan oleh limpasan air sungai dengan pasut. Menurut Savenije (2005) mekanisme masuknya air laut terdapat tiga bentuk yaitu, stratified type, partial mixed type, well mixed type, bila diperhatikan dari nilai salinitas yang telah diukur pada setiap stasiun di sungai Blanakan maka sungai Blanakan dapat dimasukan ke dalam type yang berstratifikasi hal ini ditunjukan dengan nilai yang berbeda mulai dari hulu sungai hingga hilir sungai.

Perbedaan nilai salinitas yang ada dipengaruhi oleh waktu pasang surut yang terjadi pada laut daerah Blanakan. Dari hasil pengamatan pada sungai Blanakan yang dilakukan pada bulan Mei secara umum nilai salinitas tertinggi terjadi pada saat pasang kedua, pada bagian hulu memiliki nilai salinitas tertinggi sebesar 13PSU pada pukul 19.00 WIB, pada bagian tengah sungai salinitas terbesar bernilai 20PSU pada pukul 19.00 WIB dan pada bagian hilir pun terjadi pada pukul 19.00 WIB dengan nilai salinitas 34PSU. Maka dapat diduga pada saat pasang kedua memiliki pasang yang lebih tinggi, hal tersebut sesuai dengan grafik pasang surut yang telah disesuaikan dengan waktu Blanakan (Lampiran 6).

Sedangkan pada saluran di tengah area tambak yang diukur pada bulan Agustus nilai salinitas tertinggi terjadi pada malam hari saat pasang pertama, bila dilihat dari grafik pasang surut bulan Agustus (Lampiran 6) pada hari pengukuran salinitas, pasang tertinggi terjadi saat pasang pertama sedangkan pasang kedua lebih rendah. Pada bagain hilir saluran nilai salinitas tertinggi terjadi pada pukul 04.00 WIB dengan nilai salinitas 36PSU, pada bagian tengah sungai nilai salintas tertinggi terjadi pada pukul 06.00 WIB dan pada bagian hulu pada pukul 08.00 WIB. Pada


(37)

saluran tambak tidak terjadi perbedaan nilai salinitas secara vertikal hal ini dikarenakan kedalaman yang kurang dari satu meter.

Dari data salinitas sungai Blanakan dan saluran tengah tambak yang telah diukur dan grafik sebaran salinitas yang dihasilkan oleh program ODV, serta dengan menggunakan data salinitas (Lampiran 9) yang diambil sepanjang saluran besar yang berasal dari sungai Blanakan menuju sungai kecil (Gambar 3) atau biasa disebut Kalimalang oleh masyarakat setempat dan dengan asumsi bahwa tidak ada sekat atau sekat-sekat yang ada tidak memberikan pengaruh yang nyata, maka dapat diperkirakan persebaran salinitas pada desa Jayamukti saat pasang pertama dan pasang kedua atau dapat dibuat suatu peta skematik yang memperkirakan sebaran salinitas yang terjadi pada kawasan tambak desa Jayamukti seperti pada Gambar 13 dan 14 berikut ini.

Gambar 13. Skematik perkiraan sebaran salinitas Desa Jayamukti saat pasang pertama


(38)

26

Gambar 14. Skematik perkiraan sebaran salinitas Desa Jayamukti saat pasang kedua

Kisaran salinitas pada Gambar 13 dan 14 tersebut dapat dijadikan suatu acuan dalam memlihara biota sesuai dengan rentang nilai salinitas yang ada. Pada Tabel 1 di bawah ini adalah beberapa biota dengan nilai toleran salinitas.

Tabel 1. Biota budidaya dengan nilai toleransi

Nama Biota Nama Latin Optimal Sumber

Ikan Nila O. niloticus 0-15 PSU Setyo (2006)

Mujair O.mossambicus 0-19 PSU Pompa dkk (1999)

Ikan Bandeng Chanos chanos 10-30 PSU Suharyanto dkk (2010) Udang Windu P. monodon 25-35 PSU (Larva) Primevera (1989)

23-26 PSU (Dewasa) Taki dkk (1985)

Udang Vanamei L.vannamei 20-25 PSU (Larva) Palafox (1997)

15-25 PSU (Dewasa) Hendrajat dkk (2007)

Beberapa biota yang terdapat pada tabel 1 merupakan biota yang umum dibudidayakan, masyarakat desa Blanakan biasa memelihara udang windu, ikan bandeng dan ikan mujair. Dengan mengetahui kisaran atau nilai optimal salinitas dari habitat biota budidaya, petambak dapat memperkirakan daerah yang sesuai dan berapa nilai salinitas air yang harus diambil.


(39)

Dari hasil wawancara beberapa petambak desa Jayamukti Blanakan, kondisi petambak yang ada saat ini adalah mereka tidak mengetahui nilai salinitas yang dari air yang akan digunakan, sehingga dalam mengukur nilai salinitas suatu perairan hanya menggunakan indera perasa dengan nilai tidak asin, asin dan sangat asin. Sedangkan dalam mengambil air para petambak hanya mengetahui bahwa untuk mengganti atau menambahkan air dilakukan pada malam hari tanpa memperhitungkan waktu pasang.

Dari hasil pengamatan apabila petambak ingin mengganti atau menambahkan air maka saat yang tepat adalah sekitar pukul 21.00 WIB atau pasang kedua untuk nilai tertinggi pada masing-masing daerah hulu, tengah dan hilir, seperti pada Gambar 7 dan 8 sungai Blanakan saat pasang kedua bila dilihat secara horizontal maka untuk daerah hilir salinitas air sungai cukup tinggi baik di permukaan maupun di dasar untuk bagian permukaan sehingga apabila ingin memelihara udang hal tersebut sangat memungkinkan, menurut Primavera (1987) udang windu cukup baik pertumbuhannya pada salinitas 23-26PSU tapi mampu pada salinitas tinggi namun pertumbuhannya menjadi terganggu, untuk daerah tengah sungai Blanakan salinitas tertinggi hanya 20PSU namun pada bagian dasar sungai salinitas bisa mencapai 25PSU, sehingga bila ingin mendapatkan salinitas yang tinggi harus mengambil air pada bagian dasar sungai dan saat malam hari, sedangkan untuk daerah hulu nilai tertinggi adalah 19PSU.

Untuk saluran tengah tambak pada Gambar 10 bila dilihat secara keseluruahn maka daerah hulu ketika pasang sangat sulit mendapatkan salinitas yang cukup tinggi, sedangkan pada bagian tengah saluran tambak nilai maksimum yang didapat dari pengamatan adalah 20PSU dan pada bagian hilir saluran tambak cukup tinggi dengan nilai maksimum 36PSU. Nilai salinitas yang didapat bergantung pada kekuatan pasang dan masukan air tawar, bila pasang cukup tinggi dan masukan air tawar sedikit maka akan didapat salinitas yang cukup tinggi sebaliknya bila pasang cukup rendah sedangkan masukan air tawar cukup banyak maka akan didapatkan salinitas yang rendah.

Dari pengamatan nilai sebaran salinitas yang telah diamati serta beberapa nilai toleran biota pada Tabel 1 maka apabila ingin meningkatkan produksi tambak perlu penyesuain terhadap biota yang dipelihara, seperti daerah antara kalimalang satu


(40)

28

dengan kalimalang dua memiliki kisaran salinitas dari 0PSU-15PSU seperti pada Gambar 13 dan 14, maka biota yang cocok berdasarkan tabel 5 adalah dari jenis ikan mujair, nila, dan bandeng serta apabila ingin membudidayakan udang bisa dilakukan tetapi sangat sulit mengingat salinitas maksimum adalah 15PSU, sehingga untuk biota yang dibudidaya lebih dioptimalkan pada jenis bandeng, mujair dan nila.

Daerah kedua adalah antara kalimalang dua dengan Kalimalang tiga dengan kisaran salinitas 16-20PSU maka biota yang cocok adalah ikan mujair, nila untuk daerah yang terdekat dengan saluran Kalimalang dua, lalu ikan bandeng dan udang vanamei dapat dipelihara pada seluruh daerah tetapi nilai salintas yang ada masih belum optimal untuk budidaya udang namun untuk dapat lebih sesuai untuk memelihara ikan bandeng mengingat ikan bandeng adalah ikan yang memiliki nilai toleran yang cukup luas, sehingga untuk daerah dekat kalimalang dua dapat dioptimalkan dengan untuk produksi ikan bandeng.

Daerah ketiga adalah antara kalimalang tiga hingga dekat dengan laut, pada daerah ini memiliki kisaran salinitas yang tinggi yaitu 21PSU-30PSU, dari Tabel 1 maka biota yang cocok adalah ikan bandeng, udang vanamei dan udang windu, nilai tersebut sudah cukup optimum untuk budidaya udang windu sehingga untuk daerah hilir produksi udang bisa lebih dioptimalkan.


(41)

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.5. Kesimpulan

Rambatan pasang yang tidak bisa menjangkau seluruh area pertambakan membuat sebaran salinitas tambak desa Jayamukti tidak merata dan terjadi perbedaan salinitas pada bagian hulu, tengah dan hilir. Sehingga dari hasil pengamatan daerah hulu memiliki salinitas berkisar 0-15PSU, daerah tengah memiliki salinitas berkisar 11-20PSU dan daerah hilir memiliki salinitas berkisar 20-30PSU dimana nilai semakin meningkat seiring mendekati laut. Penyesuaian waktu pengambilan air dengan waktu pasang serta pemilihan biota yang akan dibudidayakan diperlukan dalam mengoptimalkan produktivitas tambak.

5.6. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai distribusi salinitas saat musim hujan.


(42)

30

DAFTAR PUSTAKA

Aziz KA. 1984. Peranan Salinitas Perairan dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang api-api, Metapenaeus ensis. [Laporan Penelitian] Institut Pertania Bogor Fakultas Perikanan.

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, & Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Sabdodadi.

Dewi, RH. 1995. Pengaruh Kerapatan Tegakan Mangrove Terhadap Aspek Ekologis Tambak Tumpangsari (Silvofishery) (studi kasus di RPH Cibuaya, Karawang) [tesis] Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Djamali, AR. 2004. Persepsi Masyarakat Desa Pantai Terhadap Kelesatarian Hutan Mangrove (Studi Kasus di Kabupaten Probolinggo). [makalah] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta.Kanisius.

Goldman, CR & Horne AJ. 1983. Limnology. Sydney. McGraw-Hill.

Handayani, YD. 2004. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Hutn Mangrove Menjadi Tambak Tumpangsari (Studi Kasus Desa Muara Kecmatan Blanakan Kabupaten Subang) [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hendrajat EA, Mangapa M & Suryanto H. 2007. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Pola Tradisional Plus di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Media Akuakulture 2:57-70.

KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004. Baku Mutu Air Laut.

Nybakken JW. 1987. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari Marine biologi: An ecological approach, 3 rd edition]. Eidman HM, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. xv + 443 hlm.

Nybakken JW. 1992. Bilogi laut suatu pendekatan ekologis. Terjemahan. PT Gramedia. Jakarta.

Palafox, JP,. 1997. The Effect Of Salinity And Temperatur On The Growth And Survival Rates Of Juvenile White Shrimp Penaeus Vanamei, Boone, 1931. Elsevier Science Aquaculture (157): 107-115.

Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten. 2009. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Mangrove. 1 January 2010 s/d 31 Desember 2019. Cianjur. p. 31-32; 42; 61.

Pompa T & Masser M. 1999. Tilapia Life History and Biology. Southern Regional Aquaculture Center. 283.


(43)

Primavera JH. 1989. Broadstock of Sugpo(Penaeus monodon Fabricus). Aquaculture Extension Manual no. 7 Fourth Edition. Aquaculture Departmen Southeast Asian Fisheries Development Center ,Tigbauan, Iloilo, Philippines.

Puspita L, Eka R, Suryadiputra INN, Meutia AA. 2005. Buku Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetlands Indonesia Programme. Bogor. Hal 74-76.

Reid DF. 2006. Convertion of specific grafity to salinity for ballast water regulatory management, p. 6-7. Proceedings of the NOAA Technical Memorandum GLERL-139.

Savenije, Hubert.H.G. 2005. Salinity And Tides in Alluvial Estuaries. Amsterdam. Elsevier BV. Hal 17.

Setyo B P. 2006. Efek konsentrasi kromium (cr+3) dan salinitas Berbeda terhadap efisiensi pemanfaatan pakan Untuk pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Semarang.

Siahainenia L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suharyanto, Tjaronge M & Mansyur A. 2010. Budidaya Multitropik Udang WIndu (Penaeus monodon), Rumput Laut (Gracilaria sp.), dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Tambak. Prosiding Forum Inovasi TEknologi Akuakulture. 285-294.

Taki Y, Primavera JH & Llobrera. 1985. A review of maturation and reproduction in closed thelycum penaeids, p. 47-64. Proceedings of the First International Conference on the culture of Penaeid Prawns/Shrimps.

UU No. 41 Tahun 1999 pasal 2, 43. Tentang kehutanan.

UU No.5 Tahun 1967. Tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.

Wahab, DA. 2003. Karakteristik Kualitas Air Tambak Tumpangsari Pada Berbagai Tingkat Kerapatan Tegakan Mangrove (Studi Kasus di BKPH Ciasem, KPH Purwakarta, Jawa Barat) [skripsi]. Departemen Menejemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wardoyo SE, Smitherman RO, Louchin LL, Kuhkro D, Rouse DB & Williams JC. 1990. Effect Of Different Salinity Levels And Aclimation Regimes On Survival Of Three Strain Of Tliapia nilotica and a red Tilapia Nilotica Hybrid. 13 (2) : 17-27.


(44)

(45)

Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian

Refraktometer Termometer Alkohol


(46)

34 Lampiran 2. Gambar keadaan lokasi penelitian Sungai Blanakan dan keadaan

tambak silvofishery

a. Gambar keadaan lokasi penelitian Sungai Blanakan sekitar lokasi penelitian

1) Stasiun 1 (hulu) sungai Blanakan 2) Stasiun 2 (tengah) sungai Blanakan

3) Stasiun 3 (hilir) sungai Blanakan


(47)

Lampiran 3. Gambar peta skematik lokasi penelitian


(48)

36 Lampiran 4. Contoh perhitungan bilangan Formzhal

Formula:

F=(O1+K1)/(M2+S2)

Ket: F = bilangan Formzhal

O1 = amplitude komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

K1 = Amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari

M2 = amplitude komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

S2 = amplitude komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari

Diketahui dari data Dishidros AL stasiun Cirebon O1 = 5 cm

K1 = 14 cm M2 = 16 cm S2 = 10 cm Maka

F = (5+14)/(16+10) = 0.73

Dengan demikian, jika nilai F berada antara: 0.25 : Pasut bertipe ganda

0.26-1.50 : Pasut tipe campuran dominan ganda 1.50-3.00 : Pasut tipe campuran dominan tunggal >3.00 : Pasut bertipe tunggal

Maka untuk daerah stasiun Cirebon bertipe campuran dominan ganda dengan nilai F = 0.73


(49)

Lampiran 5. Grafik perbandingan data pengamatan pasut Blanakan dan Dishidros stasiun Cirebon

0 2 4 6 8 10 12

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Pem

b

aca

an

p

al

em

(c

m

)

waktu

Grafik Pasut

Pasut Pengukuran Pasut DISHIDROS


(50)

38 n 6 . Gr afik Pre d iksi P asa ng S ur ut B ulan Mei -A g ustus Dishi dr os A L modi fika si ga n : Mea n S ea L eve l (MS L ) W aktu peng ambi lan contoh air 29-Apr-11 30-Apr-11 01-May-11 02-May-11 03-May-11 04-May-11 05-May-11 06-May-11 07-May-11 08-May-11 09-May-11 10-May-11 11-May-11 12-May-11 13-May-11 14-May-11 15-May-11 16-May-11 17-May-11 18-May-11 19-May-11 20-May-11 21-May-11 22-May-11 23-May-11 24-May-11 25-May-11 26-May-11 27-May-11 28-May-11 29-May-11 30-May-11 31-May-11 01-Jun-11 02-Jun-11 03-Jun-11 W a k tu G rafik P as ang S u ru t L o ka si : S tas iun Cir ebo n


(51)

39 39 n 6 ( L anjut an) . Gr afik Pre diksi P asa n g S ur ut B ulan Me i-A g ustus Dishi dr os A L modi fika si ga n : Mea n S ea L eve l (MS L ) W aktu peng ambi lan contoh air 30-Jul-11 31-Jul-11 01-Aug-11 02-Aug-11 03-Aug-11 04-Aug-11 05-Aug-11 06-Aug-11 07-Aug-11 08-Aug-11 09-Aug-11 10-Aug-11 11-Aug-11 12-Aug-11 13-Aug-11 14-Aug-11 15-Aug-11 16-Aug-11 17-Aug-11 18-Aug-11 19-Aug-11 20-Aug-11 21-Aug-11 22-Aug-11 23-Aug-11 24-Aug-11 25-Aug-11 26-Aug-11 27-Aug-11 28-Aug-11 29-Aug-11 30-Aug-11 31-Aug-11 01-Sep-11 02-Sep-11 03-Sep-11 W a k tu G rafik P as ang S u ru t L o ka si : S tas iun Cir ebo n


(52)

40 Lampiran 7. Data penelitian sungai Blanakan

Nilai salinitas dan suhu pasang pertama sungai Blanakan

Stasiun Kedalaman*

waktu pengambilan

4:00:00 6:00:00 8:00:00 10:00:00

salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu

Hulu permukaan 1 27 5 28 4 28 3 29

dasar 1 4 4 2

Tengah permukaan 6 31 7 30 7 30 5 31

dasar 6 7 7 5

Hilir permukaan 19 30 16 30 15 31 19 31

dasar 19 20 17 20

Nilai salinitas dan suhu pasang kedua sungai Blanakan

Stasiun Kedalaman*

waktu pengambilan

15:00:00 17:00:00 19:00:00 21:00:00 salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu

Hulu permukaan 0 32 1 31 13 29 13 29

dasar 0 2 19 13

Tengah permukaan 3 32 9 31 20 29 15 29

dasar 4 10 20 25

Hilir permukaan 10 30 30 32 34 31 30 30

dasar 17 30 34 30


(53)

Lampiran 8. Data penelitian saluran tengah tambak

Nilai salinitas dan suhu pasang pertama saluran tengah tambak**

Stasiun

waktu pengambilan

4:00:00 6:00:00 8:00:00 10:00:00

salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu

hulu 2 30 2 30 3 30 1 33

tengah 19 30 20 30 17 30 17 32

hilir 36 30 34 30 33 31 34 33

Nilai salinitas dan suhu pasang kedua saluran tengah tambak**

Stasiun

waktu pengambilan

15:00:00 17:00:00 19:00:00 21:00:00 salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu

hulu 0 32 0 32 0 30 2 31

tegah 6 32 10 31 10 31 13 32

hilir 23 33 25 31 25 31 35 32


(54)

Lampiran 9. Nilai salinitas pada kalimalang 1, 2 dan 3 serta tambak sekitar Kalimalang 1

Persimpangan Suhu Waktu

Nilai

Salinitas Tambak Suhu Waktu

Nilai Salinitas

1 34 13:16:00 3 1 33 13:16:00 1

2 33 13:24:00 0 2 35 13:24:00 8

3 34 13:31:00 1 3 37 13:31:00 7

4 35 13:38:00 0 4 33 13:38:00 11

5 33 13:48:00 0 5 35 13:48:00 12

6 35 13:54:00 3 6 36 13:54:00 7

7 35 13:58:00 0 7 36 13:58:00 5

8 37 14:10:00 0 8 35 14:10:00 2

9 30 6:43:12 6 9 31 6:43:12 8

10 30 7:24:00 15 10 31 7:24:00 14

11 30 7:05:00 15 11 30 7:05:00 14

12 28 6:28:00 12 12 29 6:28:00 16

13 29 6:39:00 16 13 29 6:39:00 18

14 29 6:55:00 18 14 29 6:55:00 15

Kalimalang 2

persimpangan suhu waktu

niali

salinitas tambak suhu waktu

nilai salinitas

1 32 13:15:00 4 1 34 13:15:00 3

2 32 13:25:00 4 2 35 13:25:00 3

3 33 13:37:00 3 3 34 13:37:00 3

4 33 14:05:00 3 4 34 14:05:00 5

5 33 14:16:00 2 5 35 14:16:00 5

6 32 14:25:00 1 6 35 14:25:00 8

7 32 14:40:00 0 7 35 14:40:00 4

8 33 14:48:00 0 8 34 14:48:00 2

9 32 14:54:00 0 9 34 14:54:00 2

10 33 15:03:00 1 10 34 15:03:00 5

11 34 15:20:00 5 11 36 15:20:00 3

12 33 15:58:00 5 12 34 15:58:00 10

13 33 16:05:00 6 13 33 16:05:00 12

14 34 16:10:00 15 14 33 16:10:00 15

15 34 16:15:00 15 15 33 16:15:00 15

16 33 16:28:00 15 16 33 16:28:00 18

17 33 16:40:00 17 17 32 16:40:00 18


(55)

Lampiran 9. (lanjutan) Kalimalang 3

persimpangan suhu waktu

nilai

salinitas tambak suhu waktu

nilai salinitas

1 33 15:30:00 15 1 33 15:30:00 16

2 34 16:19:00 17 2 35 16:19:00 20

3 36 16:50:00 17 3 35 16:50:00 18

4 34 17:07:00 12 4 33 17:07:00 13

5 33 17:16:00 14 5 34 17:16:00 19

6 33 17:25:00 14 6 34 17:25:00 17


(56)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem pesisir merupakan daerah yang unik dimana daerah daratan dan lautan bertemu dan saling berinteraksi, biota yang hidup di dalamnya sangat beragam mulai dari berbagai jenis hewan hingga tanaman. Hutan mangrove adalah salah satu tumbuhan yang tumbuh di daerah pesisir, tanaman mangrove ini hidup di daerah estuary dimana terdapat tumbuhan atau pohon-pohon yang khas dan mampu beradaptasi dengan salinitas air laut. Hutan mangrove sendiri tidak seluruhnya berada di air asin, sebagian dari mangrove masih terkena dampak dari air tawar yang mengalir dari darat karenanya hutan mangrove sering kali disebut dengan hutan pasang surut. Hutan mangrove menyebar luas di daerah khatulistiwa lebih tepatnya pada daerah tropis dan sedikit di subtropika. Mangrove memiliki banyak manfaat seperti penahan gelombang, daerah nursery ground dan nutrient trap.

Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas yaitu antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar dan sebagian terdapat di Pulau Jawa, namun kini semakin berkurang karena digunakan sebagai daerah pertambakan. Pertambakan dianggap dapat meningkatkan perikanan Indonesia dan memberikan keuntungan yang besar, sehingga banyak orang berduyun-duyun membuka hutan mangrove menjadi tambak-tambak udang dan ikan. Menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) luas kawasan mangrove KPH Purwakarta kawasan mangrove bervegetasi hanya 6.328,65 ha (39.81%) dan kawasan yang tidak bervegetasi 9.568,56 ha (60.19%)

Perkembangan yang tidak disertai dengan penataan dan pengelolaan ruang yang memadai sehingga banyak kawasan mangrove yang mengalami kerusakan. Untuk mengatasi hal tersebut diperkenalkan pola pemanfaatan yang baru, dengan menggabungkan antara kegiatan pertambakan di dalam hutan mangrove yang dikenal dengan pola silvofishery. Pola ini telah dikenal sejak tahun 1980 yang dimulai di Birma, kemudian di adopsi oleh departemen Kehutanan untuk digunakan di Indonesia untuk mencegah kerusakan hutan mangrove, pada saat yang sama member kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan hutan mangrove yang ada. Pola silvofishery tersebut sudah diterapkan di Indonesia salah satunya di daerah Blanakan Subang. Tambak-tambak pola silvofihsery yang terdapat di


(57)

Blanakan Subang merupakan tambak tradisional dimana sumber airnya berasal dari campuran air sungai dengan air laut.

Pengisian tambak dilakukan ketika air pasang sehingga air akan masuk ke dalam tambak melaui inlet atau pintu masuk air. Dengan demikian air yang didapat nilai salinitasnya tidak merata pada setiap tambak karena tergantung jarak dari laut dan besar kecilnya kekuatan pasang.

Sehubungan dengan hal tersebut maka setiap wilayah di dalam kawasan hutan mangrove tidak akan selalu sama kualitas airnya. Sehingga petambak tidak akan mendapatkan salinitas yang sama disetiap kawasan hutan mangrove. Kondisi ini belum tentu dipahami oleh petambak sehingga bisa terjadi ketidaksesuaian kualitas air tambak dengan komoditas ikan atau udang yang dipelihara. Pada akhirnya produksi tambak kurang optimal dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen.

Untuk itu penelitian terhadap kondisi perairan di kawasan hutan mangrove perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi salinitas perairan di wilayah hutan mangrove secara keseluruhan pada saaat pasang, sehingga hal ini dapat membantu mengoptimalkan produksi tambak di kawasan hutan mangrove

1.2. Rumusan Masalah

Dalam memenuhi kebutuhan air yaitu mengganti atau menambahkan air, tambak-tambak silvofishery memanfaatkan waktu pasang untuk mengisi tambak. Kekuatan pasang yang tidak dapat menjangkau seluruh kawasan dan adanya masukan air tawar membuat terjadinya gradasi salinitas atau terdapat perbedaan salinitas dibagian hulu, tengah dan hilir, serta perbedaan antara permukaan dan dasar sungai yang merupakan salah satu sumber air untuk mengisi tambak.

Dengan demikian jika air tersebut digunakan untuk pengisian tambak, maka salinitas air tambak-tambak pada bagian hulu, tengah dan hilir akan berbeda. Hal tersebut akan berengaruh terhadap pemilihan jenis biota yang dipilih sesuai dengan salinitas daerah tempat biota tersebut akan dibudidaya. Sehingga kisaran salinitas daerah hulu, tengah dan hilir perlu diketahui agar dapat dibuat suatu peta sederhana untuk dijadikan acuan dalam pemilihan jenis biota agar produktivitas dari tambak-tambak yang ada lebih optimal


(58)

3

Gambar 1. Skema alur rumusan masalah penelitian

1.3. Tujuan

Mengetahui distribusi salinitas area tambak silvofishery dan sungai pada saat pasang di Blanakan Subang untuk kepentingan pegelolaan budidaya tambak.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menentukan kebijakan pengelolaan di daerah silvofishery Blanakan Subang secara berkelanjutan.

Kebutuhan air Tambak Sylvofishery

Pengisian air saat pasang

Berpengaruh pada jenis biota yang dibudidaya

Perlu diketahui kisaran salinitas daerah hulu, tengah dan hilir

Terdapat gradasi salinitas karena jangkauan kekuatan pasang


(59)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Mangrove

Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken (1987) mangrove merupakan suatu ragam dari komunitas pantai yang didominasi oleh bebrapa spesies pohon dan semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sementara itu, menurut UU Nomor 5 tahun 1967, kata mangrove berarti vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang atau dataran koral mati, yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau lumpur, atau pada pantai berlumpur. Komposisi jenis tumbuhan penyusun komunitas mangrove ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas (Bengen 1997 dalam Siahainenia 2008).

Mangrove banyak sekali manfaatnya bagi manusia baik dari segi ekologis, biologis, maupun segi ekonomis. Fungsi ekologis dari hutan mangrove adalah menyediakan nutrien bagi berbagai organisme air di sekitar hutan mangrove. Selain itu, sistem perakaran vegetasi hutan mangrove yang menyediakan tempat berlindung yang baik bagi berbagai biota yang hidup di dalamnya. Fungsi lainnya adalah mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Disamping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Bengen 1999 dalam Djamali 2004).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43). Menurut Indrajaya 1992 dalam Djamali 2004 bahwa pengubahan fungsi hutan


(60)

5

mangrove menjadi fungsi lain secara tidak wajar akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak sesuai dengan kaifah pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Berwick 1983 dalam Dahuri dkk.1996 dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi lahan pertanian, perikanan yaitu:

a. Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground.

b. Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar karena subtrat hutan mangrove yang mengikat pencemar sudah hilang.

c. Erosi garis pantai.

2.2. Silvofishery

Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang dikombinasikan dengan dengan tambak/empang (Dewi 1995). Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan mangrove masih tetap terjamin kelestariannya.

Silvofishery atau tambak tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove.

Pada dasarnya prinsip tambak tumpangsari adalah perlindungan hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Al Rasyid (1971) dalam Dewi (1995) mendefinisikan tambak tumpangsari sebagai suatu penanaman yang dipakai dalam rangka merehabilitasikan hutan-hutan mangrove. Menggunakan sistem ini dapat diperoleh tiga keuntungan, yaitu :

a. mengurangi besarnya biaya penanaman, karena tanaman pokok dilaksanakan oleh penggarap.

b. meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dengan hasil pemeliharaan hutan.


(61)

Menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) awal mula penggarapan lahan mangrove di Blanakan menjadi daerah pertambakan dimulai pada tahun 1960-an, hal tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi nasional yang cukup parah, sehingga hutan mangrove yang ada digarap tanpa ada pengendalian. Penggarapan hutan mangrove ini membuat sebagian kawasan mangrove Blanakan berubah menjadi empang budidaya ikan dengan sistem silvofishery.

Adapun bentuk silvofishery menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) adalah penanaman tumpangsari dengan sistem banjar harian tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang. Menurut Puspita dkk (2005) dalam Buku Lahan Buatan di Indonesia, bentuk tambak silvofishery terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo seperti pada Gambar 2

Keterangan :

A. Saluran air X. Pelataran tambak

B. Tanggul/pematang tambak C. Pintu air

D. Empang

Gambar 2 . Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery menurut Buku Lahan Basah Buatan di Indonesia


(1)

39 39 n 6 ( L anjut an) . Gr afik Pre diksi P asa n g S ur ut B ulan Me i-A g ustus Dishi dr os A L modi fika si ga n : Mea n S ea L eve l (MS L ) W aktu peng ambi lan contoh air 30-Jul-11 31-Jul-11 01-Aug-11 02-Aug-11 03-Aug-11 04-Aug-11 05-Aug-11 06-Aug-11 07-Aug-11 08-Aug-11 09-Aug-11 10-Aug-11 11-Aug-11 12-Aug-11 13-Aug-11 14-Aug-11 15-Aug-11 16-Aug-11 17-Aug-11 18-Aug-11 19-Aug-11 20-Aug-11 21-Aug-11 22-Aug-11 23-Aug-11 24-Aug-11 25-Aug-11 26-Aug-11 27-Aug-11 28-Aug-11 29-Aug-11 30-Aug-11 31-Aug-11 01-Sep-11 02-Sep-11 03-Sep-11 W a k tu G rafik P as ang S u ru t L o ka si : S tas iun Cir ebo n


(2)

40

Lampiran 7. Data penelitian sungai Blanakan

Nilai salinitas dan suhu pasang pertama sungai Blanakan

Stasiun Kedalaman*

waktu pengambilan

4:00:00 6:00:00 8:00:00 10:00:00

salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu

Hulu permukaan 1 27 5 28 4 28 3 29

dasar 1 4 4 2

Tengah permukaan 6 31 7 30 7 30 5 31

dasar 6 7 7 5

Hilir permukaan 19 30 16 30 15 31 19 31

dasar 19 20 17 20

Nilai salinitas dan suhu pasang kedua sungai Blanakan

Stasiun Kedalaman*

waktu pengambilan

15:00:00 17:00:00 19:00:00 21:00:00

salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu

Hulu permukaan 0 32 1 31 13 29 13 29

dasar 0 2 19 13

Tengah permukaan 3 32 9 31 20 29 15 29

dasar 4 10 20 25

Hilir permukaan 10 30 30 32 34 31 30 30

dasar 17 30 34 30


(3)

41

Lampiran 8. Data penelitian saluran tengah tambak

Nilai salinitas dan suhu pasang pertama saluran tengah tambak**

Stasiun

waktu pengambilan

4:00:00 6:00:00 8:00:00 10:00:00

salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu

hulu 2 30 2 30 3 30 1 33

tengah 19 30 20 30 17 30 17 32

hilir 36 30 34 30 33 31 34 33

Nilai salinitas dan suhu pasang kedua saluran tengah tambak**

Stasiun

waktu pengambilan

15:00:00 17:00:00 19:00:00 21:00:00

salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu salinitas suhu

hulu 0 32 0 32 0 30 2 31

tegah 6 32 10 31 10 31 13 32

hilir 23 33 25 31 25 31 35 32


(4)

Lampiran 9. Nilai salinitas pada kalimalang 1, 2 dan 3 serta tambak sekitar Kalimalang 1

Persimpangan Suhu Waktu

Nilai

Salinitas Tambak Suhu Waktu

Nilai Salinitas

1 34 13:16:00 3 1 33 13:16:00 1

2 33 13:24:00 0 2 35 13:24:00 8

3 34 13:31:00 1 3 37 13:31:00 7

4 35 13:38:00 0 4 33 13:38:00 11

5 33 13:48:00 0 5 35 13:48:00 12

6 35 13:54:00 3 6 36 13:54:00 7

7 35 13:58:00 0 7 36 13:58:00 5

8 37 14:10:00 0 8 35 14:10:00 2

9 30 6:43:12 6 9 31 6:43:12 8

10 30 7:24:00 15 10 31 7:24:00 14

11 30 7:05:00 15 11 30 7:05:00 14

12 28 6:28:00 12 12 29 6:28:00 16

13 29 6:39:00 16 13 29 6:39:00 18

14 29 6:55:00 18 14 29 6:55:00 15

Kalimalang 2

persimpangan suhu waktu

niali

salinitas tambak suhu waktu

nilai salinitas

1 32 13:15:00 4 1 34 13:15:00 3

2 32 13:25:00 4 2 35 13:25:00 3

3 33 13:37:00 3 3 34 13:37:00 3

4 33 14:05:00 3 4 34 14:05:00 5

5 33 14:16:00 2 5 35 14:16:00 5

6 32 14:25:00 1 6 35 14:25:00 8

7 32 14:40:00 0 7 35 14:40:00 4

8 33 14:48:00 0 8 34 14:48:00 2

9 32 14:54:00 0 9 34 14:54:00 2

10 33 15:03:00 1 10 34 15:03:00 5

11 34 15:20:00 5 11 36 15:20:00 3

12 33 15:58:00 5 12 34 15:58:00 10

13 33 16:05:00 6 13 33 16:05:00 12

14 34 16:10:00 15 14 33 16:10:00 15

15 34 16:15:00 15 15 33 16:15:00 15

16 33 16:28:00 15 16 33 16:28:00 18

17 33 16:40:00 17 17 32 16:40:00 18


(5)

Lampiran 9. (lanjutan) Kalimalang 3

persimpangan suhu waktu

nilai

salinitas tambak suhu waktu

nilai salinitas

1 33 15:30:00 15 1 33 15:30:00 16

2 34 16:19:00 17 2 35 16:19:00 20

3 36 16:50:00 17 3 35 16:50:00 18

4 34 17:07:00 12 4 33 17:07:00 13

5 33 17:16:00 14 5 34 17:16:00 19

6 33 17:25:00 14 6 34 17:25:00 17


(6)

iii

RINGKASAN

Aldiano Rahmadya. C24070046. Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis

Salinitas Di Kawasan Mangrove Pola Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa

Barat. Dibawah bimbingan Kadarwan Soewardi dan Sigid Hariyadi.

Silvofishery merupakan suatu kegiatan budidaya perikanan yang

dikombinasikan dengan pengelolaan hutan mangrove. Tambak-tambak berbasis

silvofishery yang berada di daerah Blanakan Subang berbentuk tambak tradisional

dimana pengisian tambak dilakukan ketika air pasang sehingga air akan masuk ke dalam tambak melalui inlet atau pintu masuk air, sumber air untuk pengisian tambak adalah sungai Blanakan dan saluran-saluran yang terdapat pada kawasan tambak

silvofishery. Kekuatan pasang surut dan masukan air tawar membuat salinitas air

ketika pasang tidak sama pada seluruh kawasan tambak. Untuk itu perlu dilakukan penelitian terhadap distribusi salinitas di kawasan hutan angrove di pesisir Blanakan. Penelitian ini dilakukan pada area tambak Desa Jayamukti kecamatan Blanakan dengan waktu pengambilan yaitu bulan Mei-Agustus 2011, dengan tujuan untuk mengetahui distribusi salinitas untuk kepentingan budidaya. Pengambilan contoh air dilakukan pada saat pasang pertama pukul 04.00-10.00 WIB dan pasang kedua pukul 15.00-21.00 WIB yang diambil pada sungai Blanakan dan saluran tengah area tambak dengan masing-masing tempat terdapat tiga stasiun yaitu bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Selain itu dilakukan pengambilan data di sepanjang tiga saluran besar yang berasal dari sungai Blanakan yang di sebut oleh masyarakat setempat Kalimalang. Jenis data yang dikumpulkan untuk keperluan penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa nilai salinitas selama penelitian, sedangkan data sekunder adalah data pasang surut DISHIDROS.

Jenis pasang yang terjadi pada Blanakan Subang adalah pasang surut tipe campuran dominan ganda dengan stasiun pengukuran yang terdekat adalah Cirebon. Dari hasil pengukuran nilai salinitas dan suhu ketika pasang diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai salinitas pada masing-masing stasiun pada sungai Blanakan dan saluran tambak. Pada sungai Blanakan bagian hulu kisaran nilai salinitas ketika pasang pertama adalah 0-2PSU dan pasang kedua 0-19PSU, bagian tengah sungai 5-7PSU dan 3-25PSU, dan bagian hilir 16-20PSU dan 10-34PSU, sedangkan untuk saluran tambak bagian hulu nilai salinitas pada pasang pertama dan kedua berkisar 1-3PSU dan 0-2PSU, bagian tengah 17-19PSU dan 6-13PSU, dan bagian hilir 33-36PSU dan 23-35PSU. Jenis biota yang umum dibudidayakan adalah ikan bandeng, udang windu dan mujair dengan sistem pembesaran polikultur.

Dapat disimpulkan bahwa rambatan pasang yang tidak bisa menjangkau seluruh area pertambakan membuat sebaran salinitas tambak desa Jayamukti kecamatan Blanakan tidak merata dan terjadi perbedaan salinitas pada bagian hulu, tengah dan hilir. Penyesuaian waktu pengambilan air dengan waktu pasang serta penyesuaian biota yang akan dibudidayakan diperlukan dalam mengoptimalkan produktivitas tambak.