Tingkat Pencemaran Logam Berat Di Kawasan Petambakan Sylvofishery Perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat

(1)

SUBANG, JAWA BARAT

JHON ANTONY RIANDI PURBA

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

JHON ANTONY RIANDI PURBA. The Level Pollution of Heavy Metals in the Region Sylvofishery Embankment Waters Blanakan, Subang, West Java. Under direction of KADARWAN SOEWARDI and SIGID HARIYADI

The results of this research show that the concentration of heavy metals from samples Blanakan waters is heavy metals cadmium (Cd) with a concentration range from 0,18 to 0,48 g/L, copper (Cu) concentrations ranged from 0,51-2,89 g/L, and lead (Pb) concentration range from 0,42-4,84 g/l. Highest concentrations of metals Cd are present in the area Estuary Ciasem, highest concentrations metals Cu are present in the region of the mouth of the Gangga, and highest concentrations metals Pb are present in the area embankment D. Based on the results of this research known that the concentration of heavy metals in Blanakan still lower if compared to the value of quality raw KepMen LH No. 51 in 2004. The value of the concentration of heavy metals Cd, Cu, Pb and research results is still lower if compared to the results of research done before in the same areas on water samples 2000. Research on heavy metals, Cu, Cd and Pb was done on the biota of fish and shrimp in the area and the same time as compared to the concentrations of heavy metals in these research results, also still lower, where the metal concentration in water samples of water 100 times lower than concentrations in biota. Therefore needed to do standard water processing dikes by the manufacture tandon to reducing the concentration a heavy metal who enters into an embankment the cultivation of at the time of the uptake of water dikes.


(3)

JHON ANTONY RIANDI PURBA. The Level Pollution of Heavy Metals in the Region Sylvofishery Embankment Waters Blanakan, Subang, West Java. Under direction of KADARWAN SOEWARDI and SIGID HARIYADI

The results of this research show that the concentration of heavy metals from samples Blanakan waters is heavy metals cadmium (Cd) with a concentration range from 0,18 to 0,48 g/L, copper (Cu) concentrations ranged from 0,51-2,89 g/L, and lead (Pb) concentration range from 0,42-4,84 g/l. Highest concentrations of metals Cd are present in the area Estuary Ciasem, highest concentrations metals Cu are present in the region of the mouth of the Gangga, and highest concentrations metals Pb are present in the area embankment D. Based on the results of this research known that the concentration of heavy metals in Blanakan still lower if compared to the value of quality raw KepMen LH No. 51 in 2004. The value of the concentration of heavy metals Cd, Cu, Pb and research results is still lower if compared to the results of research done before in the same areas on water samples 2000. Research on heavy metals, Cu, Cd and Pb was done on the biota of fish and shrimp in the area and the same time as compared to the concentrations of heavy metals in these research results, also still lower, where the metal concentration in water samples of water 100 times lower than concentrations in biota. Therefore needed to do standard water processing dikes by the manufacture tandon to reducing the concentration a heavy metal who enters into an embankment the cultivation of at the time of the uptake of water dikes.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Tingkat Pencemaran Logam Berat Di Kawasan Petambakan Sylvofishery

Perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat

adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Jhon Antony Riandi Purba C24070047


(5)

Jhon Antony Riandi Purba. C24070047. Tingkat Pencemaran Logam Berat Di Kawasan Petambakan Sylvofishery Perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Kadarwan Soewardi dan Sigid Hariyadi.

Perairan pesisir merupakan tempat bermuaranya bahan buangan baik yang berasal dari kegiatan di daratan (industri, rumah tangga dan kegiatan pertanian) maupun kegiatan di perairan (transportasi dan kapal penangkapan ikan). Salah satu bahan buangan yang dapat mencemari perairan secara serius adalah logam berat. Keberadaan logam berat yang terlarut dalam laut, tambak, maupun sungai di perairan pesisir sangat tergantung dari intensitas atau aktivitas yang terjadi di sekitar perairan tersebut. Semakin tinggi aktivitas yang terjadi di sekitar perairan tersebut, baik di darat maupun areal pantainya, maka kadar logam berat akan semakin meningkat (Anggraini 2007). Adanya logam berat di perairan dapat berbahaya, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap ekosistem perairan (biotik maupun abiotik) dan juga masyarakat sekitar. Perairan Blanakan merupakan salah satu daerah tempat padat aktivitas, seperti tempat penangkapan ikan, kilang minyak, dan pertanian, serta industri. Diantara bebarapa jenis logam berat yang ada, dalam penelitian ini difokuskan terhadap tiga jenis logam berat yang dianggap dominan di perairan Blanakan, yaitu kadmium (Cd), timbal (Pb), dan tembaga (Cu). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kandungan logam berat di kawasan petambakansylvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari parameter logam berat, yaitu Cd, Cu, Pb dan beberapa parameter fisika-kimia. Disamping itu, dilakukan di perairan antara lain suhu, DO, salinitas, dan pH. Data sekunder yang dipakai adalah data penelitian yang pernah dilakukan di daerah Blanakan, Subang, Jawa Barat dan data penunjang lainnya. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan Mei-Juni 2011 di Hulu Blanakan, tambak, dan muara (Gangga, Ciasem, Blanakan). Selanjutnya sampel logam berat diekstraksi di laboratorium Produktivitas dan


(6)

Lingkungan Perairan Departemen MSP dan analisis logam berat di Laboratorium Kimia Bersama Departemen Kimia.

Hasil analisis menunjukkan bahwa logam berat Cu tertinggi terdapat pada daerah Muara Blanakan dan Muara Gangga, yaitu sebesar 2,89 µg/L, yang terendah terdapat pada daerah tambak B sebesar 0,51 µg/L. Sedangkan konsentrasi logam berat Pb tertinggi terdapat pada daerah tambak D sebesar 4,84 µg/L dan yang terendah terdapat pada daerah Muara Blanakan sebesar 0,42 µg/L. Untuk logam berat Cd tertinggi terdapat pada daerah Muara Ciasem sebesar 0,51 µg/L dan yang terendah terdapat pada daerah Tambak C sebesar 0,18 µg/L. Konsentrasi logam berat Cd, Pb, dan Cu secara umum masih dibawah baku mutu yang telah ditetapkan dalam KEPMEN LH No.51 Tahun 2004, dan belum bersifat membahayakan bagi lingkungan (akut), namun kandungan logam berat tersebut jika terus menerus berada dalam perairan dalam waktu yang lama dikhawatirkan akan terjadi akumulasi, baik dalam sedimen maupun dalam biota perairan, dan akan dapat membahayakan kehidupan biota perairan tersebut dan juga bagi masyarakat yang mengkonsumsinya. Untuk itu dalam suatu peraiaran seperti perairan Blanakan tersebut, dalam pemanfaatannya untuk kegiatan budidaya perikanan perlu dilakukan tindakan preventif dengan pembuatan tandon sebelum air masuk ke tambak untuk mengurangi konsentrasi logam berat yang ada ataupun dengan penerapan penanaman mangrove di setiap tambak. Dengan demikian akan lebih menjamin kesuksesan kegiatan budidaya perikanan dan juga produk budidayanya akan lebih aman dikonsumsi.


(7)

SUBANG, JAWA BARAT

JHON ANTONY RIANDI PURBA C24070047

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

Judul Skripsi : Tingkat Pencemaran Logam Berat Di Kawasan Petambakan SylvofisheryPerairan Blanakan, Subang, Jawa Barat

Nama : Jhon Antony Riandi Purba NRP : C24070047

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr.Ir.Kadarwan Soewardi Dr.Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc NIP. 19481101 197903 1 001 NIP. 19591118 198503 1 005

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.sc NIP. 19660728 199103 1 002


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Berkat dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Tingkat Pencemaran Logam Berat di Kawasan Petambakan Sylvofishery Perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Mei-Juni 2011, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, MSc. selaku dosen pembimbing kedua serta Ir. Agustinus Samosir M.Phil. selaku Komisi Pendidikan S1 yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

.

Bogor,Januari 2012


(10)

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi dan Dr.Ir. Sigid Hariyadi M.Sc masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan arahan dan masukan hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati dan Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis.

3. Ir. Etty Riani H, MS selaku pembimbing akademik, dan Ali Mashar S.Pi, M.Si yang banyak memberikan bimbingan serta masukan dan arahan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. 4. Keluarga tercinta; Bapak, Mamak, kak Riana, Dewi, Madon, Juliansen, serta

famili atas doa, kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil.

5. Meldaria Lingga atas doa, dukungan serta perhatiannya selama ini kepada penulis.

6. Para staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar dan Mba Maria, atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Para laboran dan teknisi Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan seperti Ibu Ana, Pak Toni, Denny, Ery, dan bang Budi atas bantuan, dan dukungannya kepada penulis

8. Bang Ahmad Mukhtadi “Ray” Rangkuti, Tyson Napitu, Aldiano “Deo” , Yoga “Agoy” Suryaperdana, dan Oci Hardiel selaku partner penelitian atas kebersamaan dan dukungannya selama penelitian berlangsung.

9. Rekan-rekan MSP 44 tercinta seperti Danu, Arman, Glen, Riri dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10. Keluarga OMDA PARMASI dan IKANMASS seperti Devi, Lenni dan yang lain yang selalu mensuport penulis. Teman-teman Wisma Firdaus: Herman, Domu, Afryan, Daniel, Hezron, dan Basten.


(11)

Penulis dilahirkan di Saribudolok, pada tanggal 24 September 1988 dari pasangan Bapak Robinson Purba dan Ibu Lindawati Damanik. Penulis merupakan anak kedua dari 5 bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 4 Rantau Parapat (1995-1998), SD Swasta GKPS Saribudolok (1998-2000), SLTPN 1 Silimakuta (2004), dan SMAN 1 Silimakuta (2007). Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti Organisasi Mahasiswa Daerah Simalungun (PARMASI) sebagai bendahara, Organisasi Mahasiswa Pematangsiantar (IKANMASS), Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (anggota), dan Persekutuan Mahasiswa Kristen (anggota). Selain itu penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Metode Observasi Bawah Air (2009/2010).

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Tingkat Pencemaran Logam Berat di Kawasan Petambakan Sylvofishery Perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat.”


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

1.PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan... 3

1.4 Kegunaan Penelitian... 3

2.TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Pencemaran Logam Berat ... 4

2.1.1 Kadmium (Cd) ... 5

2.1.2 Timbal (Pb) ... 6

2.1.3 Tembaga (Cu)... 8

2.2 Parameter Lingkungan ... 9

2.2.1 Suhu ... 9

2.2.2 pH... 9

2.2.3 Salinitas ... 10

2.2.4 Oksigen terlarut ... 11

3.METODE PENELITIAN... 13

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

3.2 Alat dan Bahan ... 13

3.3 Pengumpulan Data ... 14

3.3.1 Data primer... 14

3.3.2 Data sekunder... 14

3.4 Penentuan Titik Sampling Pengamatan danPengambilan Sampel... 14

3.5 Preparasi Pengukuran Logam Berat (Cd, Cu, dan Pb) ... 15

3.6 Baku Mutu ... 16

4.HASIL DAN PEMBAHASAN... 17

4.1 Gambaran Umum ... 17

4.2 Parameter Lingkungan ... 18

4.2.1 Suhu ... 18

4.2.2 Salinitas ... 19

4.2.3 pH... 21

4.2.4 Oksigen terlarut (DO)... 22

4.3 Logam Berat ... 23

4.3.1 Kadmium (Cd) ... 23

4.3.2 Tembaga (Cu)... 25

4.3.3 Timbal (Pb) ... 28


(13)

5.KESIMPULAN DAN SARAN... 33

5.1 Kesimpulan... 33

5.2 Saran ... 33


(14)

Tabel Halaman 1. Parameter kualitas air yang diteliti serta metode analisa dan

pengukurannya. ... 15 2. Kriteria Baku Mutu Air... 16 3. Parameter fisika dan kimia perairan Blanakan... 18


(15)

Gambar Halaman

1. Bagan alur analisis logam berat di perairan Blanakan ... 2

2. Peta lokasi pengambilan sampel ... 13

3. Grafik suhu (oC) sampel perairan... 18

4. Grafik salinitas (psu) sampel perairan... 20

5. Grafik pH sampel perairan ... 21

6. Grafik DO (mg/L) sampel perairan... 22

7. Grafik logam Cd (µg/L) sampel perairan... 24

8. Grafik logam Cu (µg/L) sampel perairan... 26


(16)

Lampiran Halaman 1. Analisis AAS ... 38 2. Tabel Data dan Kurva Logam Berat Cd, Cu, dan

Pb Pada Air Hasil Penelitian... 39 3. Hasil Analisis AAS Logam Berat Cd, Cu, dan Pb ... 41 4. Data Logam Berat Cd, Cu, dan Pb Pada Biota

Udang dan Ikan (Napitu 2011) ... 44 5. Sifat Kimia dan Fisika Substrat Dasar Perairan

Mangrove, Empang Parit, dan Tambak Biasa ... 45 6. Data Logam Berat Perairan Subang (Widigdo &

Pariwono 2000)... 46 7. Nilai Pengamatan Kualitas air dan Baku Mutu

yang Tersedia di Lokasi di Kabupaten/Kota di

Pantai Utara Jawa Barat (Anonim 2007) ... 47 8. Kandungan Logam Berat , Diterjen, Minyak, dan

Lemak Dalam Perairan, Tambak di BKPH

Ciasem Pamanukan... 48 9. Alat dan Bahan ... 49


(17)

1.1 Latar Belakang

Perairan pesisir merupakan wilayah yang padat aktivitasnya, dimana banyak aktivitas yang dilakukan masyarakatnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu contoh perairan pesisir tersebut adalah perairan Blanakan. Di daerah Blanakan ini terdapat berbagai macam aktivitas masyarakat, mulai dari penangkapan ikan, transportasi, penambangan minyak, hingga persawahan. Aspek kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan menghasilkan limbah. Salah satu limbah tersebut adalah logam berat. Logam berat yang cukup dominan dan dapat mencemari perairan ini di fokuskan pada limbah Cd, Cu, dan Pb. Dimana logam berat ini dapat masuk ke perairan Blanakan baik melalui darat (sungai) maupun laut (muara). Berdasarkan pasang surut logam berat tersebut akan masuk ke tambak sehingga dapat mencemari perairan Blanakan.

Faktor lingkungan perairan seperti pH, temperatur atau suhu dan salinitas, dapat mempengaruhi toksisitas logam berat di perairan. Penurunan pH air akan menyebabkan logam berat menjadi semakin besar. Logam berat dalam air yang memiliki suhu tinggi akan membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam dasar perairan (Rochyatun & Rozak 2007). Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan estuari merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia.

Perairan estuari seperti perairan Blanakan merupakan salah satu aspek yang patut untuk dikaji keberadaan logam beratnya, seperti di perairan pantai (laut), tambak (mangrove) maupun sungai (Sungai Blanakan). Beberapa logam berat tersebut banyak dipergunakan dalam berbagai keperluan, seperti halnya dalam industri rumah tangga, perkapalan, dan pertanian. Penggunaan logam berat tersebut dalam berbagai keperluan sehari-hari secara langsung maupun tidak langsung, sengaja ataupun tidak sengaja ternyata telah mencemari lingkungan seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan tembaga (Cu). Logam tersebut dapat diketahui dapat mengumpul di dalam tubuh organisme, mengendap di sedimen perairan maupun di badan air (Fardiaz 1992).


(18)

1.2 Rumusan Masalah

Hutan mangrove di Blanakan dewasa ini telah mengalami perubahan menjadi tempat pemukiman, pertanian, tempat rekreasi, tambak, dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penumpukan limbah ke Sungai Blanakan, dimana hasil penumpukan limbah hasil aktivitas manusia atau lingkungan ini dapat menyebabkan pencemaran perairan serta menurunkan daya dukung (carrying capacity) perairan tersebut yang selanjutnya merugikan biota yang ada di sungai dan kawasan mangrove Blanakan bahkan manusia. Pencemaran logam berat dapat dianalisis dan dikaji dari sumbernya, seperti yang terlihat pada Gambar 1.


(19)

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pencemaran logam berat dan tingkat kelayakan kualitas air di kawasan petambakan sylvofisheryperairan Blanakan, Subang, Jawa Barat.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai tingkat kandungan logam berat di Sungai Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai kondisi sumberdaya perairan di Sungai Blanakan. Informasi dari penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk pengembangan maupun perbaikan kondisi perairan di Sungai Blanakan.


(20)

2.1 Pencemaran Logam Berat

Miller (2004) dalam Mukhtasor (2006) mendefinisikan bahwa pencemaran merupakan sebaran penambahan pada udara, air, dan tanah, atau makanan yang membahayakan kesehatan, ketahanan atau kegiatan manusia atau organisme hidup lainnya. Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.

Pengertian dari logam berat itu sendiri merupakan logam yang mempunyai berat lima gram atau lebih untuk setiap cm3. Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Pencemaran logam berat dapat terjadi pada daerah lingkungan yang bermacam-macam seperti udara, tanah/daratan, maupun air/lautan (Darmono 1995). Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar yang berbahaya karena bersifat toksik jika dalam jumlah yang besar dan dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam perairan baik aspek ekologis maupun aspek biologis. Keberadaan logam-logam dalam badan perairan dapat berasal dari sumber alamiah dan dari aktifitas manusia. Sumber alamiah masuk ke dalam perairan bisa dari pengikisan batuan mineral. Di samping itu partikel logam yang ada di udara karena adanya hujan dapat menjadi sumber logam dalam perairan. Adapun logam yang berasal dari aktifitas manusia dapat berupa buangan industri ataupun buangan dari rumah tangga (Fardiaz 1995).

Faktor lingkungan perairan seperti pH, kesadahan, temperatur dan salinitas juga mempengaruhi daya racun logam berat. Penurunan pH air akan menyebabkan daya racun logam berat semakin besar. Kesadahan yang tinggi dapat mempengaruhi daya racun logam berat, karena logam berat dalam air yang berkesadahan tinggi akan membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam dasar perairan (Rochyatun & Rozak 2007).


(21)

Logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd) dan tembaga (Cu) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) dapat bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui dinding sel. Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), arsen (As), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), tembaga (Cu), dan seng (Zn) (Siregar & Murtini 2008).

2.1.1 Kadmium (Cd)

Limbah yang mengandung banyak unsur kadmium umumnya berasal dari limbah industrielectro-platiing,kendaraan, pigmen, peleburan logam, baterai, dan pestisida (Mukhtasor 2006). Pada perairan tercemar mencapai 10 mg/L (Bishop 1983 dalam Mukhtasor 2006). Kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih keperakan menyerupai alumunium dan memiliki berat atom 112,41 g/mol dengan titik cair 321 oC dan titik didih 765 oC. Kadmium merupakan hasil sampingan dari pengolahan bijih logam seng (Zn), yang digunakan sebagai pengganti seng. Unsur ini bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, memiliki titik lebur rendah serta dapat dimanfaatkan untuk pencampur logam lain seperti nikel, perak, tembaga, dan besi. Senyawa kadmium juga digunakan bahan kimia, bahan fotografi, pembuatan tabung TV, cat, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil dan pigmen untuk gelas dan email gigi (Sarjono 2009).

Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup sulfhidrid daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam lemak. Pada perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, terabsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Kadmium pada perairan alami membentuk ikatan kompleks dengan ligan baik organik maupun inorganik, yaitu: Cd2+, Cd(OH)+, CdCl+, CdSO4, CdCO3 dan Cd-organik. Ikatan kompleks tersebut memiliki tingkat

kelarutan yang berbeda: Cd2+ > CdSO4 > CdCl+ > CdCO3 > Cd(OH)+ (Sanusi


(22)

Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjar pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Efendi 2003). Nielsen dkk. (1977) dalam Sarjono (2009) membuktikan bahwa Cd menghambat enzim Na, K-ATPase dan menurunkan transport ion Na lewat insang (gill ephithelium) pada ikan (Sanusi 1985).

Laws (1981) dalam Sarjono (2009) mengatakan bahwa sifat racun Cd terhadap hewan air berhubungan dengan tingkat kesadahan air. Sifat racun Cd terhadap ikan yang hidup dalam air laut berkisar antara 10-100 kali lebih rendah dari pada dalam air tawar yang memiliki tingkat kesadahan lebih rendah (Sanusi 1985). Kadmium hingga saat ini belum diketahui peranannya bagi tumbuhan dan makhluk hidup lainnya (Effendi 2003). Menurut Mukhtasor (2007) kandungan kadmium di laut terbuka dilaporkan berkisar 10-50 µg/L sementara di pantai berkisar 5-1000 µg/L. Sedangkan menurut Waldichuk (1974) dalam Darmono (2001) menyatakan konsentrasi logam berat Cd di dalam air laut secara almiah sebesar 0,11 µg/L dan di tanah umumnya 0,001-7000 µg/L. Sedangkan menurut McNeely dkk.(1979) dalam Effendi (2003) kadar kadmium pada perairan tawar alami sekitar 0,1 – 10 µg/L. Menurut Heinrichs dkk.(1980) dalam Darmono (2001) konsentrasi logam di dalam kerak bumi secara alamiah ialah 98 µg/Kg.

Toksisitas Cd meningkat dengan menurunnya kadar oksigen dan kesadahan, dan meningkatnya pH dan suhu. Sedangkan toksisitas Cd turun pada salinitas dengan kondisi isotonis dengan cairan tubuh hewan bersangkutan. Hasil penelitian Engel, Sunda dan Fowler (1981) dalam Sanusi (1985) menjelaskan bahwa peningkatan salinitas mengurangi sifat racun Cd terhadap kehidupan hewan air.

2.1.2 Timbal (Pb)

Cemaran timbal ke laut berasal dari buangan di wilayah pesisir dari daratan dan atmosfer. Limbah yang mengandung unsur timbal umumnya berasal dari limbah industri cat, pengecatan kapal, baterai, bahan bakar mobil, dan pigmen. Unsur Pb bersifat kronis dan kumulatif. Selain itu, senyawa timbal dalam bentuk organik lebih beracun daripada dalam bentuk anorganik (Mukhtasor 2006).


(23)

Timbal akan mengendap di sedimen dan dapat mengalami bioakumulasi pada organisme laut maupun pesisir (Mukhtasor 2006).

Timbal adalah sebuah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu-batuan, tanah, tumbuhan, dan hewan. Timbal 95% bersifat anorganik dan pada umumnya dalam bentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut dalam air. Selebihnya berbentuk timbal organik. Timbal organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Tetra Methyl Lead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid.

Waktu keberadaan timbal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus angin dan curah hujan. Timbal tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Timbal merupakan sebuah unsur maka tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan. Timbal banyak dimanfaatkan oleh kehidupan manusia seperti sebagai bahan pembuat baterai, amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit/CB untuk komputer) untuk campuran minyak bahan-bahan untuk meningkatkan nilai oktan. Konsentrasi timbal di lingkungan tergantung pada tingkat aktivitas manusia, misalnya di daerah industri, di jalan raya, dan tempat pembuangan sampah. Timbal banyak ditemukan di berbagai lingkungan sehingga timbal dapat memasuki tubuh melalui udara, air minum, makanan yang dimakan dan tanah pertanian (Darmono 2001). Public Health Service di Amerika Serikat menetapkan bahwa sumber-sumber air alami untuk masyarakat tidak boleh mengandung Pb lebih dari 50 µg/L (0,05 mg/L), sedangkan WHO menetapkan batas Pb di dalam air sebesar 100 µg/L (Fardiaz 1992 ). Pb pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Konsentrasi Pb di dalam air laut alamiahnya adalah sebesar 30 µg/L dan di dalam air tawar alamiahnya sebesar 3.000 µg/L (Waldichuk 1974 dalam Darmono 2001). Kadar Pb alami dalam tanah berkisar 2.000-200.000 µg/Kg dengan kandungan rata-rata 16.000 µg/Kg (Astuti 1997 dalam Nugraha 2006)

Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen. Toksisitas timbal terhadap organisme akuatik


(24)

berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut (Efendi 2003).

2.1.3 Tembaga (Cu)

Tembaga sering disingkat dengan Cu (Copper). Tembaga merupakan logam berat yang esensial bagi tumbuhan dan hewan. Pada tumbuhan termasuk algae, tembaga berperan sebagai penyusun plastocyanin yang berfungsi dalam transfor elektron dalam proses fotosintesis (Boney 1989 dalam Efendi 2003). Sumber alami tembaga adalah chalcopyrite (CuFeS2), copper sulfida (CuS2), malchite [Cu2(CO3)(OH)2], dan azurite [Cu3(CO3)(OH)2] (Novotny dan Olem

1994 dalam Effendi 2003).

Tembaga masuk ke dalam perairan melalui buangan limbah industri dan dari atmosfer yang tercemar oleh asap pabrik tembaga, pelapisan logam, tekstil, dan pengecatan anti fouling pada kapal (Mukhtasor 2006). Kandungan Cu di samudra sekitar 1000 µg/L, tetapi di perairan yang tercemar bisa mencapai 11000 µg/L (Mukhtasor 2006). Menurut Waldichuk (1974) dalam Darmono (2001) konsentrasi logam Cu yang berada di dalam air laut alamiahnya sebesar 2000 µg/L dan di dalam air sungai alamiahnya sebesar 7000 µg/L. Kisaran normal kadar logam berat Cu dalam tanah menurut Lacatusu (1998) dalam Rahmawati (2006) adalah sebesar 1000-20000 µg/Kg.

Di perairan alami tembaga (Cu) terdapat dalam bentuk partikulat, koloid dan terlarut. Fase terlarut merupakan Cu2+ bebas dan ikatan kompleks, baik dengan ligan inorganik (CuOH+, Cu2(OH)22+) maupun organik. Selain dengan

ligan OH-, Cu membentuk ikatan kompleks dengan ligan inorganik lainnya yaitu dengan: karbonat (CO32-), nitrat (NO3-), fosfat (HPO42-), sulfat (SO42-), sulfida

(SH-), klorida(Cl-) dan ammonia (NH3) yang bersifat basa dengan stabilitas

berbeda-beda. Ikatan Cu–kompleks dengan ammonia dan sulfida tergolong stabil (Sanusi 2006).

Bewer dan Yeats (1978) dalam Sanusi (2006) melaporkan bahwa sebesar 24% Cu yang terbawa oleh aliran sungai akan teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan mengendap di perairan estuari. Efektifitas adsorpsi oleh sedimen bergantung pada ukuran partikel, pH, salinitas dan kehadiran ligan organik maupun unsur Fe


(25)

dan Mn–oksida. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi, dimana Cu akan kembali larut dalam badan air.

2.2 Parameter Lingkungan 2.2.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kelangsungan hidup organisme dalam suatu ekosistem darat maupun perairan (Khazali 1998). Masing-masing organisme memiliki batas toleransi temperatur yang berbeda baik batas minimum maupun maksimum dalam siklus hidupnya. Suhu merupakan faktor pembatas penyebaran suatu spesies dalam hal mempertahankan kelangsungan hidup reproduksi, perkembangan dan kompetisi. Secara ekologi perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan fitoplankton.

Suhu di perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisika, kimia, dan biologi perairan (Effendi 2003). Peningkatan suhu akan meningkatkan reaksi kimia, evaporasi dan votilisasi (Effendi 2003). Suhu merupakan salah satu parameter untuk mempelajari transportasi dan penyebaran polutan yang masuk ke lingkungan laut maupun sungai (Mukhtasor 2007). Kenaikan suhu tidak hanya akan meningkatkan metabolisme biota perairan, namun juga dapat meningkatkan toksisitas logam berat di perairan (Hutagalung 1984 dalam Sarjono 2009).

2.2.2 pH

Derajat keasaman perairan payau relatif stabil antara 7–8,5 dan perubahan (fluktuasi) pH pun relatif kecil (Odum 1971). Ini menandakan bahwa perairan tersebut bersifat buffer (penyangga). Kadar CO2 akan berkurang oleh kegiatan

fotosintesis dan akan bertambah karena respirasi, pH merupakan tingkat keasaman dari suatu perairan. Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam bertoleransi pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Odum 1971).


(26)

Derajat keasaman (pH) merupakan fungsi dari kandungan CO2 yang

terlarut dalam air. Derajat keasaman juga berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia (Effendi 2003). Nilai pH memiliki hubungan yang erat dengan sifat kelarutan logam berat. Pada pH alami laut logam berat sukar terurai dan dalam bentuk partikel atau padatan tersuspensi. Pada pH rendah, ion bebas logam berat dilepaskan ke dalam kolom air. Selain hal tersebut, pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH rendah, sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan (Kadang 2005).

2.2.3 Salinitas

Salinitas merupakan jumlah garam zat-zat terlarut dalam 1 Kg air laut, dianggap semua karbonat (CO32-) telah diubah menjadi oksida, bromide, dan

iodide diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah teroksidasi secara sempurna. Menurut konsep Knudsen (1992) dalam Sanusi (2006) terdapat istilah lain yaitu klorinitas yang merupakan jumlah anion klor dalam garam yang terdapat dalam 1 Kg air laut, dianggap semuabromidedan ionida diganti klorida.

Antara pH dan bikarbonat juga terdapat korelasi karena CO2hasil respirasi

bila bereaksi dengan air akan membentuk asam bikarbonat yang sifatnya asam. pH pada perairan estuaria juga dipengaruhi oleh salinitas (kandungan garam) (Effendi 2003). Sebaran vertikal salinitas terdiri dari beberapa lapisan, yaitu lapisan tercampur, lapisan haloklin, dan lapisan dalam. Lapisan tercampur adalah lapisan dengan perubahan nilai salinitas terhadap kedalaman yang tidak begitu besar. Lapisan ini ditandai dengan sebaran nilai salinitas yang cenderung homogen dengan ketebalan dapat mencapai antara 50-100 m. Lapisan haloklin mengalami perubahan nilai salinitas yang sangat cepat seiring bertambahnya kedalaman. Lapisan ini terletak mulai batas bawah lapisan homogen sampai kedalaman sekitar 600-1000 m. Lapisan dalam tersebar mulai batas bawah lapisan haloklin sampai ke dasar perairan dengan nilai salinitas yang relatif sama sampai dasar perairan (Effendi 2003).

Sebaran horizontal salinitas, semakin menuju laut lepas maka salinitas semakin tinggi (Effendi 2003). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi),


(27)

dan aliran sungai yang ada di sekitarnya (Effendi 2003). Sebaran salinitas di perairan Indonesia sangat dipengaruhi angin muson, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara horizontal sebaran nilai salinitas berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan secara vertikal berhubungan dengan tiupan angin yang menyebabkan gerakan vertikal. Sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang akhirnya berdampak pada variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan musim selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Salinitas dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di perairan. Jika terjadi penurunan salinitas maka akan menyebabkan peningkatan daya toksik logam berat dan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar (Khazali 1998).

2.2.4 Oksigen terlarut

Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh seluruh jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Selain itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin 2005).

Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, maka kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 dalam Effendi 2003). Peningkatan suhu sebesar 1°C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Effendi 2003). Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (Effendi 2003).

Di perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada suhu 0 °C dan 8 mg/liter pada suhu 25 °C, sedangkan di perairan laut berkisar antara 11 mg/liter pada suhu 0 °C dan 7 mg/liter pada suhu 25 °C (McNeely dkk.


(28)

1979 dalam Effendi 2003). Kadar oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/liter. Oksigen terlarut dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di perairan. Jika terjadi penurunan oksigen terlarut, maka akan menyebabkan peningkatan daya toksik logam berat dan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar (Effendi 2003).


(29)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan silvofishery Blanakan, Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian terdiri dari empat tahap, yaitu pengumpulan data (sekunder), observasi lapangan, serta pengolahan dan analisis data (lapangan dan laboratorium). Penelitian dilakukan mulai Mei sampai Juni 2011.

Penentuan stasiun pengamatan pada lokasi penelitian berdasarkan pola pasang dan kegiatan masyarakat di sekitar kawasan sylvofisheries Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Lokasi pengambilan sampel terdiri dari tiga stasiun pengamatan yaitu di sungai, tambak, dan laut terlihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta lokasi pengambilan sampel

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah untuk pengambilan air contoh, pengukuran, penanganan, dan analisis sampel, serta alat dan bahan lain yang menunjang selama penelitian. Alat yang digunakan terdiri dari botol sampel


(30)

volume 1500 ml; kertas Lakmus; GPS merk Garmin GPSmap 60CSx; Termometer Air Raksa; Coolbox; kertas label; spidol permanen; dan AAS. Bahan yang digunakan terdiri dari pengawet sampel (HNO3), larutan standar logam (Cd, Pb, dan Cu), larutanbuffer(NH4CL dan NH4OH).

3.3 Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan sekunder.

3.3.1 Data primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi) di lapangan dengan melakukan pengamatan dan pengambilan data di kawasan tambak silvofishery.

3.3.2 Data sekunder

Pengumpulan data sekunder dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil penelitian atau studi, peraturan perundangan dan data pendukung lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dari dinas atau instansi terkait dengan penelitian. Adapun jenis data sekunder yang dikumpulkan adalah data mengenai tingkat pencemaran logam beserta parameter fisika kimia yang dilakukan di kawasan perairan Blanakan.

3.4 Penentuan Titik Sampling Pengamatan dan Pengambilan Sampel

Pengamatan dilakukan di kawasan perairan Blanakan. Titik sampling yang diambil yaitu perairan laut, tambak, dan sungai. Penentuan titik pengambilan sampel dengan menggunakan alat GPS. Titik sampling perairan laut (muara) terdiri dari muara Ciasem, Blanakan, dan Gangga. Penentuan daerah ini didasari untuk menduga masukan logam berat dari laut ke tambak yang melalui tiga muara ini. Penentuan titik tambak A, B, C, dan D dimana tambak A & B merupakan tambak yang dekat dengan sungai dan juga dengan mangrove yang lebih lebat jika dibandingkan dengan tambak C & D. Sedangkan, penentuan daerah hulu Blanakan untuk menduga nilai masukan logam berat dari daratan. Pengukuran parameter fisik dan kimiawi dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung dan dengan analisa di laboratorium. Pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan (insitu) dilakukan terhadap parameter suhu, salinitas, pH, dan DO


(31)

(dengan metode winkler). Pengambilan data di lapangan (in situ) dilaksanakan dalam dua kali pengambilan yaitu pasang (21.00 WIB) pada daerah tambak dan muara, serta pada saat surut (13.00 WIB) pada hulu. Analisa logam berat dengan metode AAS dilakukan di Laboratorium Kimia Bersama Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Parameter fisika, kimia, alat dan metode disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter kualitas air yang diteliti serta metode analisa dan pengukurannya.

Parameter Satuan Metode Analisa/Alat Lokasi Fisika 1. Suhu 2. Salinitas Kimia 1. pH 2. DO 3. Cd 4. Pb 5. Cu o C psu -mg O2/l

µg/L µg/L µg/L

Termometer Air Raksa Refraktometer

Kertas Lakmus Indikator Metode Winkler AAS AAS AAS In situ In situ In situ In situ Lab. Lab. Lab.

3.5 Preparasi Pengukuran Logam Berat (Cd, Cu, dan Pb)

Preparasi pengukuran logam berat dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling) Manajemen Sumberdaya Perairan. Pertama, air sampel di dalam botol tiap-tiap lokasi diambil sebanyak 250 ml, lalu dimasukan ke dalam gelas ukur 500 ml, selanjutnya ditambah HCl pekat 2 ml dan APDC 2 ml lalu dipanaskan (oven) lebih kurang satu jam kemudian didinginkan. Sampel yang di dalam gelas ukur tersebut kemudian dimasukan ke dalam labu takar, lalu ditambahkan Isobutylel methylketon sebanyak 10 ml, ditunggu sampai satu menit kemudian gas yang ada di dalam dibuang. Selanjutnya ditunggu 5 menit hingga terbentuk dua lapisan pada sampel. Buang lapisan bawah


(32)

karena lapisan bawah merupakan air laut. Setelah itu ditambah asam nitrat sebanyak 25 ml dan diaduk selama satu menit lalu diamkan hingga terbentuk lagi dua lapisan air pada sampel, bagian yang diambil adalah bagian bawah yang selanjutnya dimasukkan ke dalam botol sampel. Selanjutnya sampel-sampel yang telah dipreparasi tersebut di analisis di Laboratorium Kimia Bersama, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Sampel-sampel tersebut dianalisis dengan dengan metode AAS (Atomic Absorbstion Spectrometric).

3.6 Baku Mutu

Hasil analisa logam berat pada perairan Blanakan dibandingkan dengan Kriteria Baku Mutu pada Tabel 2. untuk melihat tingkat pencemaran logam berat Cd, Cu dan Pb.

Tabel 2. Kriteria Baku Mutu Air Logam Berat Satuan

Baku Mutu

Budidaya Udang (Prihatman

2000)

KepMen LH No. 51 Tahun

2004

Tingkat Lethal Biota Pada Pemaparan 96 jam ( Lesrati

& Edward 2004)

Udang Ikan

Kadmium(Cd) µg/L 0-10 1 15-47000 22000-55000 Tembaga (Cu) µg/L 0-20 8 170-100000 2500-3500


(33)

4.1 Gambaran Umum

Perairan pantai Subang yang terletak di pantai utara pulau Jawa berhadapan langsung dengan Laut Jawa yang berada di sebelah utaranya. Beberapa sungai utama bermuara di pantai Subang, seperti Sungai Cilamaya, Blanakan, Ciasem, Cipunagara dan Sungai Cileuleuy yang membentuk 5 anak sungai. Umumnya sungai-sungai tersebut dimanfaatkan oleh nelayan sebagai sarana keluar/masuk perahu saat melakukan penangkapan ikan di perairan pantai utara Subang.

Di antara sungai-sungai tersebut, Sungai Blanakan merupakan jalur yang paling ramai sebagai sarana keluar/masuk kapal penangkapan ikan dari luar Subang, karena di tepi sungai ini terdapat Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Blanakan. Para nelayan dari lokasi perairan sekitar umumnya langsung mendaratkan ikan hasil tangkapannya di TPI tersebut (Ariawan & Irawanti 2005). Selain itu, di daerah pesisir dekat laut lepas terdapat unit penambangan minyak pertamina yang berjarak sekitar ± 1Km dari Muara Blanakan. Di bagian daratan Blanakan sangat dekat dengan jalur pantura yang termasuk daerah perlintasan kendaran yang tersibuk di Pulau Jawa. Selain itu, terdapat hamparan persawahan yang mengelilingi Kecamatan Blanakan, dimana buangan irigasi persawahan tersebut diantaranya masuk ke Sungai Blanakan. Salah satu mata pencaharian masyarakat Kecamatan Blanakan adalah bertambak ikan di daerah mangrove dengan konsepsylvofishery.

Beberapa aktivitas di sekitar Kecamatan Blanakan yang berpontensi meningkatkan kandungan logam berat dalam perairan adalah pengecatan untuk anti fouling pada kapal dan pencucian kapal di sungai dapat meningkatkan konsentrasi logam Cu. Kegiatan transportasi yang menghasilkan asap dari bahan bakar baik itu dari kapal tempel maupun kendaraan motor menjadi penyumbang Pb ke perairan Blanakan begitu juga halnya dengan penambangan minyak mentah yang ada didaerah laut Blanakan yang berpotensi penyumbang Pb ke pesisir Blanakan. Menurut penelitian Pacyna (1986) dalam Darmono (2001) minyak mentah mengandung logam Pb sebesar 1-310 µg/L dan Cd sebesar 30-2100 µg/L.


(34)

Sedangkan kegiatan merupakan penyumba

4.2 Parameter Lingk Parameter fisi suhu, pH, oksigen te pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter fisi Paramet

Suhu pH DO Salinita * KepMen LH Nomo

4.2.1 Suhu

Suhu merupa organisme dalam suat perairan dipengaruhi dalam hari, sirkulasi Perubahan suhu air be Peningkatan suhu aka (Effendi 2003). Hasil 3. Hulu Blanakan Tamb A 29 31 Gambar

n perbaikan/ pengecatan kapal dan pengguna bang logam Cd ke perairan tersebut (Mukhtasor

ngkungan

isika dan kimia yang diamati pada penelitian terlarut (DO) dan salinitas. Hasil pengamatan

fisika dan kimia perairan Blanakan

eter Satuan Data Sampel Baku

uhu 0C 29-34 28

- 5-8

mg/L 4,1-8,9

nitas psu 1-30 0,5

or 51 Tahun 2004

upakan salah satu faktor penting bagi kelan suatu ekosistem darat maupun perairan (Khazali uhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permuk si udara, penutupan awan, aliran dan kedala berpengaruh terhadap sifat fisika, kimia, dan bi

akan meningkatkan reaksi kimia, evaporasi sil pengukuran suhu di lokasi penelitian disajika

ambak A Tambak B Tambak C Tambak D Muara Ciasem Mu Blan 31 30 34 34 30

bar 3. Grafik nilai suhu (oC) di perairan lokasi pe

ggunaan pestisida sor 2007).

ian ini antara lain an tersebut tersaji

aku Mutu* 28-32 7-8,5 >5 0,5-30 langsungan hidup ali 1998). Suhu di ukaan laut, waktu alaman badan air. biologi perairan. asi dan votilisasi ikan pada Gambar

Muara Blankan Muara Gangga 30 31 si penelitian


(35)

Berdasarkan Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa suhu perairan di lokasi penelitian berada pada rentang angka 29-34 oC dan hal ini sesuai dengan baku mutu KepMen LH (2004) yaitu sekitar 28-32 oC. Suhu pada kedelapan daerah tersebut masih dapat ditoleransi bagi kehidupan biota. Daerah tambak C dan D memiliki suhu paling tinggi dibandingkan dengan daerah perairan lainnya yaitu sebesar 34 oC, sedangkan daerah perairan hulu Blanakan memiliki suhu paling rendah yaitu sebesar 29 oC. Daerah tambak C dan D memiliki suhu yang paling tinggi karena daerah tersebut memiliki jumlah mangrove yang lebih sedikit dibandingkan daerah lainnya. Hal ini menyebabkan panas matahari yang sampai ke perairan tambak C dan D lebih besar daripada daerah lainnya. Hulu Blanakan memiliki suhu yang rendah karena perairannya tergolong perairan terbuka dimana perpindahan maupun perubahan suhu relatif lebih cepat berubah. Hal ini juga didukung oleh kondisi lingkungan hulu Blanakan yang didominasi oleh pepohonan rindang.

Berbeda halnya dengan daerah tambak A dan B yang memiliki populasi mangrove yang lebih lebat. Pada tambak A dan B, suhu perairannya relatif lebih rendah. Selain itu, perairan tambak merupakan perairan yang tergolong semi tertutup dimana debit air diatur oleh masukan dan keluaran air dari kalen (pintu). Berbeda halnya pula dengan daerah muara yang merupakan perairan terbuka, dimana terjadi perpindahan suhu yang relatih cepat. Suhu berbanding lurus dengan toksisitas dari logam berat, semakin tinggi suhu dari suatu perairan tersebut maka semakin tinggi juga tingkat toksisitas logam yang ada di perairan tersebut yang dapat membahayakan bahkan menyebabkan kematian biota.

4.2.2 Salinitas

Setiap lokasi memiliki kadar salinitas yang berbeda-beda menurut sebaran horizontal salinitasnya, dimana semakin menuju laut maka salinitasnya semakin tinggi. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan aliran sungai (run off) yang ada di sekitarnya (Effendi 2003). Hal tersebut sesuai dengan data salinitas yang ditampilkan pada Gambar 4 yang menunjukkan bahwa perairan yang posisinya semakin ke laut (muara), nilai salinitasnya semakin tinggi.


(36)

Gambar 4. G

Berdasarkan gr Blankan memiliki sa karena semakin ke a tawar. Pada daerah ta psu, 7,0 psu dan 7,5 psu dibanding tambak B da akan semakin tinggi dimana nilai salinitas dengan tambak C da dengan hulu. Salinit Blanakan, dan Muara sesuai dengan litera perpaduan air laut ya pengambilan sampel i Kondisi ini se bahwa kondisi peraira dan lautan. Salinita dibandingkan pengaruh salinitas rendah dipen ke perairan melalui a

1,0

8,0

Grafik nilai salinitas (psu) di perairan lokasi pe

grafik salinitas perairan tersebut dapat diketa salinitas paling kecil, yaitu sebesar 1psu. Ha

arah hulu, salinitasnya akan semakin mendek tambak A, B, C, dan D masing-masing memi

psu. Tambak A dan C terletak lebih dekat ke dan D. Menurut Effendi 2003, nilai salinitas nggi nilainya. Hal ini sesuai dengan yang didap

as tambak A dan C lebih tinggi (8 psu dan 7,5 dan D (4 psu dan 7 psu) yang letak tambakn nitas tertinggi terdapat pada daerah Muara Muara Gangga yaitu masing-masing sebesar 30 psu

eratur yang menyebutkan bahwa daerah m yang lebih dominan dibandingkan dengan air

l ini dilakukan tepat pada saat air pasang. sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ny iran daerah estuari dipengaruhi oleh pengaruh nitas tinggi terjadi saat pengaruh lautan

aruh dari daratan, yaitu ketika terjadi pasang. pengaruhi oleh pengaruh daratan, yaitu ketika ui aliran sungai. Hal inilah yang menyebabkan

0

4,0

7,0 7,5

30,0 30,0 30

penelitian

ketahui bahwa hulu al tersebut wajar ndekati salinitas air miliki salinitas 8,4 ke arah laut (hilir) as semakin ke laut dapat di lapangan, 5 psu) dibanding baknya lebih dekat a Ciasem, Muara psu. Hal tersebut muara memiliki ir tawar, selain itu

Nybakken (1992) uh daratan (tawar) lebih dominan g. Sedangkan nilai ka air tawar masuk an perairan muara


(37)

memiliki kisaran sali kisaran yang rendah. 4.2.3 pH

Derajat keasa hidrogen dan menunjuka mengontrol tipe dan pH suatu perairan me asam dan basa dalam 2009). Hasil pengukur

Gambar

Berdasarkan menunjukan nilai pH perairan muara, yait masing-masing sebesa toksisitas logam bera logam berat akan se perairan. Hal ini kare lebih banyak mengenda air laut tidak berv capacity) dari sistem tidak mudah berubah. perairan yang

terus-Hulu Blanakan Tambak A 6,5 5,0

salinitas yang luas, sedangkan pada hulu Bla

saman (pH) adalah suatu ukuran dari konse nunjukan kondisi air. Dengan mengetahui nilai pH

n laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam memiliki ciri yang khusus yaitu adanya kesei m air dan yang diukur dalam konsentrasi ion hi ukuran pH di lokasi penelitian disajikan pada Ga

bar 5. Grafik nilai pH di perairan lokasi peneliti

hasil pengukuran nilai pH perairan selam pH berada pada kisaran 5-8. Nilai pH tertingg

aitu Muara Ciasem, Muara Blanakan, dan esar 8, sehingga perairan ini tergolong peraira berat di perairan juga dapat dipengaruhi oleh

semakin meningkat seiring dengan menin rena adanya logam yang sukar larut yang meny gendap di dasar perairan (Sarjono 2009). Pada

ervariasi karena adanya kapasitas penyan m karbon dioksida dalam air laut, hal ini be ubah. Namun demikian apabila terjadi pembeba

-menerus, baik yang berasal dari limbah dom Tambak B Tambak C Tambak

D

Muara Ciasem

Muara Blankan

7,0 7,0 7,0

8,0 8,0

lanakan memiliki

konsentrasi ion-ion pH perairan dapat am perairan. Nilai eimbangan antara hidrogen (Sarjono Gambar 5.

itian

lama pengamatan nggi terdapat pada Muara Gangga, iran basa. Tingkat eh pH. Toksisitas ningkatnya pH di enyebabkan logam da umumnya pH angga (buffering berarti pH air laut banan pengotoran domestik maupun

Muara Gangga


(38)

industri, maka akan terjadi pula perubahan pH. Jika hal ini terjadi maka akan menimbulkan gangguan bagi biota laut (Nontji 1984 dalam Mulyawan 2005). Produktifitas perairan dapat dipengaruhi oleh pH, air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih produktif dibanding dengan air yang bersifat asam.

4.2.4 Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh seluruh jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan (Salmin 2005). Hasil pengukuran oksigen terlarut di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik kandunga DO (mg/L) di perairan lokasi penelitian

Berdasarkan hasil pengukuran nilai oksigen terlarut (DO) yang dilakukan di lapangan didapatkan nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat pada daerah tambak A yaitu sebesar 8,9 mg/L. Nilai oksigen terendah terdapat pada daerah Hulu Blanakan yaitu sebesar 4,1 mg/L. Sedangkan kandungan oksigen terlarut pada stasiun pengamatan lainnya berkisar antara 7,0 mg/L hingga 8,6 mg/L . Hulu Blanakan memiliki nilai DO yang rendah disebabkan perairan tersebut dekat dengan perumahan penduduk dan sering menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga seperti limbah organik. Limbah rumah tanggga dapat menurunkan nilai DO perairan, karena mikroorganisme mempergunakan oksigen untuk mendegradasi organik tersebut (Nybakken 1982). Sungai Blanakan memiliki kedalaman yang lebih rendah dibanding perairan lainnya, sehingga suhu dari sinar matahari cepat masuk dan


(39)

mempengaruhi nilai DO sampel perairan. Stasiun pengamatan tambak A memiliki nilai DO yang tinggi dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya. Hal tersebut diduga karena tambak A memiliki kepadatan pohon mangrove yang tinggi dibanding tambak B, C, dan tambak D. Sehingga pada saat masukan cahaya tinggi pada siang hari, akan terjadi proses fotosintesis yang tinggi pula (Effendi 2003).

Dalam suatu perairan seperti perairan pesisir, pasti memiliki nilai saturasi DO. Saturasi merupakan tingkat jenuh, dan saturasi DO merupakan tingkat terjenuh DO yang ada dalam suatu perairan. Umumnya saturasi oksigen dari hulu ke hilir perairan akan semakin. Muara memiliki DO yang cukup tinggi, disebabkan pada saat pasang terjadi pergerakan pengaduk-adukan air yang dapat meningkatkan nilai DO pada perairan tersebut. (Effendi 2003).

4.3 Logam Berat 4.3.1 Kadmium (Cd)

Hasil pengukuran Cd di perairan Blanakan menunjukkan bahwa kadar Cd rerata di perairan Blanakan relatif sama, yakni <1 µg/L. Perairan Hulu Blanakan memiliki nilai Cd sebesar 0,22 µg/L, pada daerah tambak A, B, C, dan D masing-masing sesuai urutan memiliki nilai sebesar 0,38 µg/L, 0,36 µg/L, 0,18 µg/L dan 0,49 µg/L. Daerah muara yaitu Muara Ciasem, Muara Blanakan dan Muara Gangga masing-masing memiliki nilai Cd sebesar 0,51 µg/L dan 0,27 µg/L. Berdasarkan baku mutu menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004, nilai Cd yang diperoleh dari 8 daerah pengambilan sampel tersebut belum melewati batas yang ditentukan yaitu sebesar 1 µg/L. Kandungan Cd tertinggi terdapat pada Muara Ciasem yaitu sebesar 0.51 µg/L, diikuti tambak D, tambak A, B, Muara Blanakan dan Muara Gangga, Hulu Blanakan dan yang terendah pada tambak C. Menurut Jaakola dkk. (1971) dalam Sanusi (1985), air laut yang belum tercemar mengandung 1-2 µg/L Cd. Sedangkan pada perairan laut yang tercemar antara 50-100 kali lebih besar. Secara ringkas, gambaran hasil pengukuran kandungan logam berat Cd di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 7.


(40)

Gambar 7. Grafik kandungan logam Cd (µg/L) di perairan lokasi penelitian

Hart dan Davis (1981) dalam Anggraeny (2010) menyatakan bahwa Cd yang terdapat dalam air hampir 90 persen dalam bentuk terlarut, hanya sebagian kecil diabsorpsi oleh padatan tersuspensi atau partikel. Kadmium bersifat toksis terhadap hewan air disebabkan sifat logam berat tersebut yang mudah terikat pada gugus sulfhydri (-SH) protein tubuh hewan. Hal tersebut menyebabkan aglutinasi, aktivitas enzim terhambat, mengikat ligand fosfat, mengubah membran permeabilitas sel, bersifat anti metabolit terhadap Zn, merusak dan mereduksi sistem detoksifikasi mikrosomal dalam hati. Menurut Katz (1973) dalam Sanusi (1985), dikemukakan bahwa toksisitas Cd pada ikan dapat mengakibatkan terbentuknya lapisan mukus pada insang ikan. Hal itu menimbulkan gangguan terhadap respirasi dan sistem sirkulasi darah lewat insang.

Daerah Muara Ciasem memiliki nilai Cd yang tinggi karena daerah ini merupakan tempat perlintasan kapal-kapal penangkap ikan, dimana setiap kapal penangkap ikan tersebut akan melepaskan Cd yang berasal dari cat kapal (Syahminan 1996). Selain dari pada itu, pengambilan sampel ini dilakukan di saat pasang dimana sumber Cd dari laut lepas terbawa oleh arus laut. Dalam perairan sekalipun mengandung kadar Cd yang rendah, dapat menimbulkan tekanan fisiologis

0,22

0,38

0,36

0,18

0,49 0,51

0,27 0,27

Hulu Blanakan

Tambak A Tambak B Tambak C Tambak D Muara Ciasem

Muara Blankan

Muara Gangga


(41)

berat terhadap kehidupan tiram, yaitu melalui kerusakan sublethal terhadap efisiensi pemanfaatan makanan ( Sanusi 1985).

Berdasarkan hasil penelitian Widigdo & Pariwono (2000) (Lampiran 6) menunjukkan bahwa nilai logam berat Cd yang diperoleh pada penelitian ini jauh lebih rendah, dimana nilai logam berat Cd pada penelitian Widigdo & Pariwono (2000) berada pada kisaran nilai 3-36 µg/L, dengan nilai tertinggi terdapat pada daerah muara. Nilai logam berat tersebut berbeda dapat disebabkan karena perbedaan waktu pengambilan sampel yang memiliki rentang 10 tahun. Selain itu juga karena perairan Blanakan, khususnya daerah tambak, sudah banyak digalakkan dan disosialisasikan tentang pentingnya menanam mangrove pada tambak yang memiliki peran dalam mengasimilasi logam berat pada air (Gunawan & Anwar 2008). Berdasarkan hasil penelitian Gunawan & Anwar (2008) pada Lampiran 8 didapat nilai logam berat Cd < 4 µg/L yang diamati didaerah Ciasem pada tahun 2008. Nilai Cd di daerah Ciasem lebih tinggi disebabkan daerah Ciasem lebih dekat dengan jalur pantura, dimana terdapat banyak aktivitas transportasi kendaraan yang secara umum menjadi penyumbang logam Cd ke perairan.

Untuk kebutuhan budidaya udang, kandungan logam berat Cd yang diperbolehkan berada dalam perairan tambak adalah sebesar 0-10 µg/L (Prihatman 2000). Dalam badan perairan, kelarutan Cd dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Biota-biota yang tergolong kelompok udang-udangan akan mengalami kematian dalam selang waktu 96 jam bila di dalam badan perairan terlarut logam atau persenyawaan Cd pada rentang konsentrasi antara 5-150 µg/L. Untuk jenis biota laut seperti ikan akan mengalami kematian bila dalam badan perairan tersebut terkandung logam Cd pada rentang konsentrasi 22000-55000 µg/L (Lestari & Edward 2004).

4.3.2 Tembaga (Cu)

Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa nilai logam berat jenis Cu pada masing-masing stasiun pengamatan memiliki kadar < 8 µg/L. Pada daerah Hulu Blanakan memiliki nilai sebesar 2,21 µg/L, daerah Tambak A, B, C, dan D sesuai urutan sebesar 2,04 µg/L, 0,51 µg/L, 2,55 µg/L, dan 1,02 µg/L. Tiga daerah muara seperti Muara Ciasem, Muara Blanakan dan Muara Gangga masing-masing


(42)

sebesar 1,87 µg/L dan 2,89 µg/L. Dari kedelapan daerah tersebut, Muara Blanakan dan Muara Gangga memiliki kadar logam berat Cu paling tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Nilai Cu yang diperoleh berdasarkan baku mutu KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 menunjukan bahwa nilai Cu pada kedelapan tempat belum melewati batas yang ditetapkan yaitu sebesar 8 µg/L, sehingga logam berat Cu belum begitu berbahaya bagi biota yang ada di perairan. Namun Cu termasuk kedalam kelompok logam esensial dimana dalam kadar yang rendah dibutuhkan oleh organisme sebagai Ko-enzim dalam proses metabolisme tubuh. Sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam badan perairan dimana ia hidup. Muara Gangga dan Muara Blanakan memiliki nilai Cu tertinggi dikarenakan perairan ini merupakan daerah tempat perlintasan kapal-kapal perikanan setiap waktu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mukhtasor (2007) bahwa logam berat Cu dipakai dalam pengawetan kayu dan cat antikarat pada lambung kapal.

Gambar 8. Grafik kandungan logam Cu (µg/L) di perairan lokasi penelitian

Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widigdo & Pariwono (2000) pada daerah Subang, didapatkan nilai Cu yang sudah melewati batas baku mutu KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 235 µg- 412 µg. Hal ini diduga karena pengambilan sampel pada penelitian Widigdo & Pariwono dilakukan pada tahun 2000, sehingga diduga terjadi pengendapan

2,21

2,04

0,51

2,55

1,02

1,87

2,89 2,89

Hulu Blanakan

Tambak A Tambak B Tambak C Tambak D Muara Ciasem

Muara Blankan

Muara Gangga


(43)

logam berat Cu ke dasar perairan. Selain itu, daerah pengambilan sampel penelitian yang dilakukan Widigdo & Pariwono (2000) lebih dekat dengan laut lepas, sehingga logam berat memiliki kecenderungan lebih cepat mengendap ke dasar laut, hal ini dikarenakan senyawa-senyawa logam Cu memiliki tingkat kelarutan yang relatif kecil dan kondisi perairan yang bersalinitas tinggi (Kadang 2005).

Untuk kebutuhan budidaya udang, kandungan logam berat Cu yang diperbolehkan berada dalam perairan adalah sebesar 0-20 µg/L (Prihatman 20000). Ikan sensitif terhadap logam Cu karena mempunyai penahan yang efektif pada proses absorpsi tembaga. Juga merupakan racun bagi algae dan moluska. Konsentrasi Cu sebesar 2.000 µg dapat membunuh ikan (Cannel 1974 dalam Syahminan 1996). Konsentrasi logam Cu sebesar 50 µg telah membahayakan lingkungan laut. Logam Cu dapat terakumulasi oleh organisme laut dengan faktor konsentrasi sebesar 5.000 kali besarnya dalam moluska dan seribu kali dalam ikan (Razak 1980 dalam Syahminan 1996). Konsentrasi Cu terlarut dalam air laut sebesar 10 µg dapat mengakibatkan kematian fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan daya racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton. Jenis-jenis sumberdaya ikan yang termasuk dalam keluarga udang-udangan akan mengalami kematian dalam tenggang waktu 96 jam, bila konsentrasi Cu berada dalam kisaran 170-100.000 µg/L. Dalam tenggang waktu yang sama, biota yang tergolong ke dalam keluarga moluska akan mengalami kematian bila kadar Cu yang terlarut dalam badan perairan di mana biota tersebut hidup berkisar antara 160-500 µg/L, dan kadar Cu sebesar 2.500-3.000 µg/L dalam badan perairantelahdapat membunuh ikan-ikan (Lestari & Edward 2004).

Berdasarkan hasil penelitian (Lampiran 6) yang dilakukan oleh Widigdo & Pariwono (2000) menunjukan bahwa nilai logam berat Cu yang diperoleh jauh lebih tinggi dibanding dengan hasil data logam berat Cu yang diperoleh pada penelitian ini, dimana logam Cu memiliki rentang nilai dari 235-412 µg/L dengan nilai tertinggi terdapat pada daerah muara. Nilai logam berat tersebut berbeda bisa disebabkan karena selang tahun pengambilan sampel yang dilakukan yang memiliki rentang 10 tahun dimana logam berat tersebut mengalami pengendapan ke dasar laut.


(44)

4.3.3 Timbal (Pb)

Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui nilai logam berat jenis Pb pada masing-masing stasiun pengamatan.

Gambar 9. Grafik kandungan logam Pb (µg/L) di perairan lokasi penelitian

Dari kedelapan stasiun pengamatan tambak D memiliki kadar logam berat timbal (Pb) paling tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Kedelapan stasiun pengamatan tersebut memiliki kadar < 8 µg/L. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing perairan tersebut belum tercemar oleh logam Pb sesuai dengan baku mutu KepMen LH No. 51 Tahun 2004. Berdasarkan data, Muara Blanakan dan Ciasem merupakan perairan dengan nilai logam berat Pb yang rendah. Hal ini sesuai dengan pustaka yang dikemukakan oleh Sudarmaji dkk. (2006) bahwa di dalam air laut kadar Pb lebih rendah dari pada air tawar. Walaupun di lapangan diketahui bahwa terdapat sebuah pabrik kilang minyak bumi di lepas pantai dimana minyak bumi ini merupakan salah satu sumber dari logam berat Pb. Menurut Millero & Sohn (1992) dalam Anggraeny (2010) timbal (Pb) merupakan jenis logam yang masuk ke perairan laut melalui atmosfer dan cepat menghilang dari perairan laut karena residence time-nya singkat dimana Pb memiliki residence timeselama 14 hari di perairan. Selain itu, Pb memiliki berat atom yang besar sehingga memiliki kemungkinan untuk mengendap ke sedimen lebih cepat.

Tambak C dan tambak D memiliki nilai Pb yang lebih tinggi. Jika dilihat dari kondisi lingkungannya tambak C dan D ditumbuhi oleh sedikit mangrove dibandingkan dengan tambak A dan B. Tambak yang memiliki sedikit mangrove,

2,32

1,47

1,05

4,63 4,84

0,63

0,42

1,26

Hulu Blanakan

Tambak A Tambak B Tambak C Tambak D Muara Ciasem

Muara Blankan

Muara Gangga


(45)

batuan maupun batuan pasir akan lebih mudah tergerus oleh air (laut dan darat) dan terbawa oleh air tambak baik saat pasang maupun surut dimana kadar Pb secara alami di dalam tanah sekitar 5.000-25.000 µg/kg (Sudarmaji dkk. 2006). Hal tersebut juga diperjelas oleh Gunawan dkk. (2007) yang mengatakan adanya fakta bahwa tambak empang parit yang masih mempertahankan mangrovenya mengandung bahan pencemar lebih rendah daripada tambak yang sudah tidak ada mangrovenya merupakan indikasi bahwa mangrove memiliki peranan yang penting dalam menjaga kualitas habitat perairan. Selain itu juga dengan adanya mangrove pada tambak akan berdampak pada meningkatnya keragaman makhluk hidup, yang mana makhluk hidup tersebut dapat menyerap logam berat (bioakumulasi), seperti pada tambak A & B. Unsur Pb cenderung mengalami bioakumulatif dalam tanaman dan tubuh hewan air. Senyawa ini dalam bentuk organik lebih beracun dibandingkan dalam bentuk anorganik.

Berdasarkan hasil penelitian (Lampiran 6) yang dilakukan oleh Widigdo & Pariwono (2000) menunjukan bahwa nilai logam berat Pb yang diperoleh jauh lebih tinggi dibanding dengan hasil data logam berat Pb yang diperoleh pada penelitian ini, dimana logam Pb memiliki rentang nilai dari 27-80 µg/L dengan nilai tertinggi terdapat pada daerah muara. Nilai logam berat tersebut berbeda dapat disebabkan karena selang tahun pengambilan sampel yang dilakukan yang memiliki rentang 10 tahun. Selain itu juga karena perairan Blanakan khususnya daerah tambak sudah banyak digalakkan dan disosialisasikan tentang pentingnya menanam mangrove pada tambak yang memiliki peran dalam mengasimilasi logam berat pada air (Gunawan & Anwar 2008). Selain itu juga penelitian terdahulu dilakukan di daerah laut dimana logam berat lebih cepat mengendap ke dasar perairan dan pengambilan logam berat Pb dilakukan hanya sekali sampling (spasial). Berdasarkan penelitian (Lampiran 8) yang dilakukan oleh Gunawan & Anwar (2008) di daerah tambak Ciasem didapat nilai logam berat Pb sebesar 562 µg/L, nilai Pb ini lebih besar ukurannya bila dibandingkan dengan parameter yang diamati lainnya. Hal ini diduga karena daerah tambak Ciasem lebih dekat dengan jalan raya (pantura) dan rumah penduduk, dimana jalan raya dan transportasi merupakan penyumbang Pb ke dalam perairan termasuk tambak.


(46)

Dari segi kebutuhan untuk budidaya udang/ikan, kandungan logam berat Pb yang diperbolehkan berada dalam perairan adalah sebesar 0-30 µg/L (Prihatman 2000). Berdasarkan penelitian Ghalib dkk.(2002) menyatakan bahwa keberadaan logam berat timbal sebanyak 50 µg/L terjadi laju penurunan konsumsi oksigen sebesar 0,0959 µl O2/mg berat basah/ jam pada perlakuan juvenil bandeng

(Chanos chanos) sehingga akan mempengaruhi proses respirasi pada ikan yang dapat menyebabkan ikan lemas dan mati. Timbal dapat mempengaruhi kerja enzim-enzim atau fungsi protein, bahkan dapat menyebabkan kematian pada ikan dan organisme perairan lainya yaitu pada konsentrasi 50 µg/L (Hutagalung & Razak 1981 dalam Syahminan 1996). Pb bersifat toksis terhadap biota laut, kadar Pb sebesar 100 – 200 µg/L dapat menyebabkan keracunan pada jenis ikan tertentu dan pada kadar 188000 µg/L dapat membunuh ikan-ikan. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan diketahui bahwa biota-biota perairan seperti krustakea akan mengalami kematian setelah 245 jam, bila pada badan perairan dimana biota itu berada terlarut Pb pada konsentrasi 2750-49000 µg/L (Lestari & Edward 2004).

4.4 Implikasi Pengelolaan

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa daerah Blanakan yang menjadi tempat pengambilan sampel belum terjadi indikasi pencemaran pada perairan baik itu pada tambak, sungai, maupun muara. Namun, logam berat Cd, Cu, dan Pb merupakan bahan inorganik yang bersifat tidak dapat diurai oleh makhluk hidup sehingga akan terakumulasi didalam tubuh biota dan juga manusia yang mengkonsumsinya.

Berdasarkan hasil penelitian logam berat (Lampiran 4) Cd, Cu, dan Pb oleh Napitu (2011) pada biota ikan dan udang di empat stasiun penelitian perairan Blanakan yang sama daerahnya yaitu tambak, hulu, dan muara didapatkan nilai Cu sebesar 18-381 µg/L dengan nilai terbesar terdapat pada udang di daerah muara. Nilai Cd berkisar dari 4-5 µg/L, dan nilai Pb memiliki rentang nilai 5-196,3 µg/L yang mana nilai tertinggi terdapat pada udang di daerah muara.

Dari data yang didapatkan oleh Napitu dan saya mengindikasikan bahwa nilai logam berat pada air lebih kecil dibandingkan pada biota,. Logam berat Cd, Cu, dan Pb merupakan logam berat yang bersifat non biodegradable sehingga


(47)

akan terus terakumulasi dalam tubuh yang mengkonsumsinya yang disebut proses bioakumulasi. Semakin tinggi tingkat tropic level-nya maka semakin banyak pula logam berat tersebut yang terakumulasi. Ini yang disebut prosesbiomagnification atau bioamplification. Sebagai gambaran bila kandungan pencemar non biodegradable dalam air 0,003 µg/L, maka di dalam plankton akan naik menjadi 40 µg/L, kemudian di dalam tubuh ikan-ikan kecil yang memakan plankton menjadi 500 µg/L, bila ikan-ikan kecil ini dimakan oleh ikan yang lebih besar maka kandungan pencemar dalam ikan besar ini menjadi 2000 µg/L. Kemudian bila ikan-ikan besar ini dimakan oleh burung elang maka kandungan bahan pencemar di dalam tubuh burung elang tersebut menjadi 25000 µg/L (Wardhana 1995 dalam Gunawan & Anwar 2008). Demikian juga sama halnya bila ikan tersebut dimakan oleh manusia, maka manusia yang menerima bahan pencemar tertinggi. Berdasarkan batasan dari Dirjen Perikanan Budidaya yang merujuk ke batasan dari Komisi Eropa, batasan maksimum residu yang dibolehkanMaximum Residual Limit (MRL) untuk jenis logam berat di dalam udang untuk Pb, dan Cd adalah 500 µg/L sedangkan pada ikan adalah berturut-turut untuk Pb, dan Cd adalah 200 µg/L, dan 50 µg/L (Putra dkk. 2008). Konsentrasi residu maksimum yang diizinkan bagi produk laut untuk kesehatan manusia adalah sebagai berikut, Pb 1500 µg/L dan Cd 200 µg/L, sedangkan Cu yang merupakan salah satu unsur essensial masing-masing adalah 10000 µg/L (FAO 1983 dalam Arifin 2011).

Salah satu upaya mengurangi dampak dari pencemaran tersebut adalah melalui mekanisme penyaringan alami oleh komponen biotik ekosistem, terutama vegetasi mangrove. Hasil penelitian Gunawan & Anwar (2008) membuktikan bahwa ekosistem mangrove mampu meredam pengaruh pencemaran perairan melalui proses asimilasi perairan. Hasil penelitian Gunawan dkk. (2007) menunjukkan bahwa pemanfaatan mangrove secara lestari melalui pola sylvofishery memberikan dampak ekologis yang baik. Bahkan dalam substrat tambak biasa mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri 16 kali lebih besar dibandingkan substrat mangrove dan 14 kali lebih (Lampiran 5) besar dari tambak empang parit (sylvofishery). Meskipun demikian, saat ini ekosistem mangrove di lokasi tersebut banyak ditebang sehingga tidak mampu menjalankan mekanisme alaminya menyaring pencemaran air. Adanya fakta bahwa tambak empang parit


(48)

yang masih mempertahankan mangrovenya mengandung bahan pencemar lebih rendah daripada tambak yang sudah tidak ada mangrovenya merupakan indikasi bahwa mangrove memiliki peranan yang penting dalam menjaga kualitas habitat perairan. Hal ini seharusnya menjadi pembelajaran dan disebarluaskan kepada para petambak yang telah membabat mangrovenya agar mau menanaminya kembali.

Pemahaman juga diberikan, bahwa kualitas produk perikanan akan sangat menentukan harga jual di pasar. Oleh karena itu kualitas habitat perairan (dalam hal ini termasuk ekosistem mangrove) perlu dijaga kelestariannya. Dengan demikian produk perikanan dari Indonesia diharapkan dapat diterima pasar, baik dalam maupun luar negeri. Untuk memulihkan kembali fungsi ekologis dan mengoptimalkannya dengan fungsi ekonomis maka perlu dilakukan restorasi atau rehabilitasi tambak empang parit. Dalam kegiatan restorasi ini, tidak saja dengan menanami kembali kawasan hutan mangrove yang gundul tetapi juga mengembalikan disain empang parit yang telah banyak diubah. Dengan komposisi dan disain lanskap sylvofishery secara menyeluruh sehingga memenuhi perbandingan 80% mangrove dan 20% tambak secara merata, maka diharapkan fungsi ekologis dan ekonomis secara berangsur akan kembali optimal.


(49)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, pada daerah Hulu Blanakan konsentrasi kadmium (Cd) sebesar 0,22 µg/L, tembaga (Cu) sebesar 2,21 µg/L, dan konsentrasi timbal (Pb) sebesar 2,32 µg/L. Pada daerah tambak konsentrasi logam berat kadmium (Cd) berkisar antara 0,18-0,49 µg/L, logam berat tembaga (Cu) berkisar antara 0,51-2,55 µg/L dan logam berat timbal (Pb) berkisar antara 1,05-4,84 µg/L. Sedangkan pada daerah muara konsentrasi logam berat kadmium (Cd) berkisar antara 0,27-0,51 µg/L, logam berat tembaga (Cu) berkisar antara 1,87-2,89 µg/L dan logam berat timbal (Pb) berkisar antara 0,42-1,26 µg/L. Nilai logam berat yang diperoleh seperti Cd, Cu dan Pb belum bersifat membahayakan bagi lingkungan dan belum mencemari lingkungan, namun konsentrasi logam berat ini dapat meningkat di dalam tubuh organisme akibat akumulasi.

Konsentrasi logam berat pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai baku mutu KepMen LH No. 51 tahun 2004. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan air baku tambak dengan pembuatan tandon dan penanaman mangrove di tambak dengan metode sylvofishery untuk mengurangi konsentrasi logam berat yang masuk ke dalam tambak budidaya.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian logam berat Cd, Cu, dan Pb pada saat musim yang berbeda (musim hujan) dan pengamatan pada sedimen.


(50)

Anggraeny YA. 2010. Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, dan Hg Pada Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Bojonegoro, Kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Serang. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Anggraini. 2007. Analisis Kadar Logam Berat Pb, Cd, Cu, dan Zn Pada Air Laut, Sedimen, Dan Lokan (Gelonia coaxans) di Perairan Pesisir Dumai, Provinsi Riau.

Ariawan K dan Irawanti S. 2005. Kajian Tambak Di Hutan Mangrove Pantai Utara Jawa (Kasus Kabupaten Subang)

Arifin Z. 2011. Konsentrasi Logam Berat Di Air, Sedimen Dan Biota Di Teluk Kelabat, Pulau Bangka. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta. Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit

Universitas Indonesia. Jakarta.

---. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Effendi H. 2003. Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan polusi udara. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Direktorat Jendral pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi.Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ghalib M, Djawad MI, dan Fachruddin L. 2002. Pengaruh Timabal (Pb) Terhadap Konsumsi Oksigen Juvenil Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall). Jurnal. Universitas Hasanudin. Makasar.

Gunawan H, Anwar C, Sawitri R, dan Karlina E. 2007. Status Rkologis SylvofisheryPola Empang Parit Di Bagian Pamangkuan Hutan Purwakarta. Jurnal. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Gunawan H, dan Anwar C. 2008. Kualitas Perairan Dan Kandungan Merkuri (Hg) Dalam Ikan Pada Tambak Empang Parit Di Bagian Kesatuan Pamangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta, Kabupaten Suabng, Jawa Barat. Jurnal. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Kadang L. 2005. Analisis Status Pencemaran Logam Berat Pb, Cd, dan Cu Di Perairan Teluk Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Khazali M. 1998. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.

Lestari dan Edward. 2004. Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut Dan Sumberdaya Perikanan (Studi Kasus Kematian Massal Ikan-Ikan Di Teluk Jakarta).LIPI, Jakarta.


(51)

MENLH. 2004. Surat Keputusan MENLH No. Kep. 51/MEN-LH/I/2004, Tentang Baku Mutu Air Laut, Sekretariat Menteri Negara dan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta.

Marganof. 2003. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, Dan Tembaga) Di Perairan.Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor.

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. PT Prandnya Paramita. Jakarta. Indonesia.

Mulyawan I. 2005. Korelasi kandungan Logam berat Hg, Pb, Cd, dan Cr pada Air Laut, sedimen, Dan Kerang Hijau (Perna viridis) Di Perairan kamal Muara, Teluk Jakarta. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Napitu WT. 2011. Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Dan Cu Pada Bandeng, Belanak, Dan Udang Di Kawasan Silvofishery Blanakan Subang. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Nugraha AY. 2006. Deteksi logam berat pada buah dan daun mahkota dewa dengan metode spektrofotometer serapan atom [skripsi]. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Nybakken JW. 1982. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis (dari Marine Biology: An Ecological Approach. Penerjemah EH. Muhammad et al (edisi pertama)). PT. Gramedia. Jakarta.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Philadelphia :Saunder Com. Prihatman. 2000. Budidaya Udang Windu. Jakarta

Putra NU, Batubara H, Soetanti E, Suwiryono J, dan Srinawati. 2008. Monitoring Kulitas Ikan dan Lingkungan Kawasan Budidaya di Provinsi Sulawesi Selatan. Laporan. Departemen Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau Takalar. Takalar.

Puradimaja. 2007. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut. Jawa Barat.

Rochyatun E dan Rozak A. 2007. Pemantauan Kadar Logam Berat Dalam Sedimen Di Perairan Teluk Jakarta. Makara, Sains, Vol. 11, No. 1, April 2007: 28-3628.

Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. [Jurnal]. Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 21 - 26 ISSN 0216-1877.

Sanusi HS. 1985. Akumulasi Logam Berat Hg dan Cd pada Tubuh Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal). Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(52)

---. 2006. Kimia Laut Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Sarjono A. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Pb dan Cu dalam Air dan Jeringan Tubuh Kerang Hijau (Perna viridis) di Kamal Muara, Jakarta Utara. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Siregar TH dan Murtini JT. 2008. Kandungan Logam Berat Pada Udang, Tuna, dan Rumput Laut di Beberapa Lokasi di Indonesia. Jurnal. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Sudarmaji, Mukono J, dan Corie IP. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Fakultas Kesehatan Manusia. Universitas Airlangga.

Syahminan. 1996. Studi Pencemaran Logam Berat di Perairan Estuari Siak, Pekanbaru, Riau. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Widigdo B dan Pariwono J. 2000. Daya Dukung Perairan Di Pantai Utara Jawa Barat Untuk Budidaya Udang. Jurnal. Institut Pertanian Bogor. Bogor


(53)

(54)

Lampiran 1. Analisis AAS

Analisis logam berat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik serapan atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan hukum Lambert-Beert yaitu banyak sinar yang diserapan berbanding lurus dengan dengan kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah persamaan liniar dengan koefisien arah positif : Y = a +bX. Dengan memasukan nilai absorbansi larutan contoh kepersamaan garis larutan standar maka kadar logam berat contoh dapat diketahui. Larutan contoh yang mengandung ion logam dilewatkan melalui nyala udara –asilten bersuhu 2000 C sehingga terjadi penguapan penguapan dan sebagian tereduksi menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat mengeluarkan nergi pada panjang gelombang tertentu dan akan terserap oleh atom-atom logam berat yang sedang di analisis. Jumlah energi cahaya yang diserap atom logam berat pada panjang gelombang tertentu ini sebanding dengan jumlah zat yang diuapkan pada saat dilewatkan melewati nyala api udara asitilen. Setiap unsur logam berat membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan prosedur ini sensitif dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang gelombang yang sangat pasti (Tinsley 1979 dalam Darmono 1995). Untuk lebih jelasnya prinsip kerja AAS dapat dilihat pada Gambar.


(55)

Lampiran 2. Tabel Data Dan Kurva Logam Berat Cd, Cu, Dan Pb Pada Air Hasil Penelitian

Cu (µg/L)

Pb (µg/L)

Cd (µg/L) Hulu Blanakan 2,21 2,32 0,22

Tambak A 2,04 1,47 0,38

Tambak B 0,51 1,05 0,36

Tambak C 2,55 4,63 0,18

Tambak D 1,02 4,84 0,49

Muara Ciasem 1,87 0,63 0,51 Muara Blankan 2,89 0,42 0,27 Muara Gangga 2,89 1,26 0,27

Kurva kalibrasi logam berat Cu


(56)

Lanjutan (Lampiran 2)


(57)

(58)

(59)

(60)

Lampiran 4. Data Logam Berat Cd, Cu, Dan Pb Pada Biota Udang dan Ikan (Napitu 2011)

Pada Udang

Lokasi Satuan Cu Cd Pb

Hulu Blanakan µg/L 278,6 5 5

Tambak µg/L 260 5 141

Muara Balnakan µg/L 380,9 5 144,5

Laut µg/L 261,8 4 112,2

Pada Ikan

Lokasi Satuan Cu Cd Pb

Hulu Blanakan µg/L 18 5 121,4

Tambak µg/L 51,6 5 5

Muara Balnakan µg/L 40,1 5 196,3


(61)

Lampiran 5. Sifat Kimia Dan Fisika Substrat Dasar Perairan Mangrove, Empang Parit, Dan Tambak Biasa.


(62)

Lampiran 6. Data Logam Berat Perairan Subang (Widigdo & Pariwono 2000)

Parameter Satuan Muara1

Laut

plume Muara2 Plume Sungai

Kadmium (Cd) µg/L 7 3 36 11 18

Khromium (Cr) µg/L 5 <1 13 <1 <1 Timah Hitam

(Pb) µg/L 27 27 80 57 57

Seng (Zn) µg/L 11 8 11 17 17


(63)

Lampiran 7. Nilai Pengamatan Kualitas air dan Baku Mutu yang Tersedia di Lokasi di Kabupaten/Kota di Pantai Utara Jawa Barat (Puradimaja 2007)


(64)

Lampiran 8. Kandungan Logam Berat , Diterjen, Minyak Dan Lemak Dalam Perairan Tambak Di BKPH Ciasem Pamanukan (Gunawan&Anwar 2008).

Parameter Satuan Terukur Timah Hitam (Pb) µg/L 562

Perak ( Ag) µg/L <1 Kadmium (Cd) µg/L <4 Merkuri (Hg) µg/L <0,8

Sianida (Cn) µg/L <1 Diterjen (MBAS) µg/L 1660 Minyak & Lemak µg/L <1000


(65)

Alat Tulis Termometer (oC) Refraktometer

Lakmus Indikator


(66)

SUBANG, JAWA BARAT

JHON ANTONY RIANDI PURBA

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(67)

JHON ANTONY RIANDI PURBA. The Level Pollution of Heavy Metals in the Region Sylvofishery Embankment Waters Blanakan, Subang, West Java. Under direction of KADARWAN SOEWARDI and SIGID HARIYADI

The results of this research show that the concentration of heavy metals from samples Blanakan waters is heavy metals cadmium (Cd) with a concentration range from 0,18 to 0,48 g/L, copper (Cu) concentrations ranged from 0,51-2,89 g/L, and lead (Pb) concentration range from 0,42-4,84 g/l. Highest concentrations of metals Cd are present in the area Estuary Ciasem, highest concentrations metals Cu are present in the region of the mouth of the Gangga, and highest concentrations metals Pb are present in the area embankment D. Based on the results of this research known that the concentration of heavy metals in Blanakan still lower if compared to the value of quality raw KepMen LH No. 51 in 2004. The value of the concentration of heavy metals Cd, Cu, Pb and research results is still lower if compared to the results of research done before in the same areas on water samples 2000. Research on heavy metals, Cu, Cd and Pb was done on the biota of fish and shrimp in the area and the same time as compared to the concentrations of heavy metals in these research results, also still lower, where the metal concentration in water samples of water 100 times lower than concentrations in biota. Therefore needed to do standard water processing dikes by the manufacture tandon to reducing the concentration a heavy metal who enters into an embankment the cultivation of at the time of the uptake of water dikes.


(68)

JHON ANTONY RIANDI PURBA. The Level Pollution of Heavy Metals in the Region Sylvofishery Embankment Waters Blanakan, Subang, West Java. Under direction of KADARWAN SOEWARDI and SIGID HARIYADI

The results of this research show that the concentration of heavy metals from samples Blanakan waters is heavy metals cadmium (Cd) with a concentration range from 0,18 to 0,48 g/L, copper (Cu) concentrations ranged from 0,51-2,89 g/L, and lead (Pb) concentration range from 0,42-4,84 g/l. Highest concentrations of metals Cd are present in the area Estuary Ciasem, highest concentrations metals Cu are present in the region of the mouth of the Gangga, and highest concentrations metals Pb are present in the area embankment D. Based on the results of this research known that the concentration of heavy metals in Blanakan still lower if compared to the value of quality raw KepMen LH No. 51 in 2004. The value of the concentration of heavy metals Cd, Cu, Pb and research results is still lower if compared to the results of research done before in the same areas on water samples 2000. Research on heavy metals, Cu, Cd and Pb was done on the biota of fish and shrimp in the area and the same time as compared to the concentrations of heavy metals in these research results, also still lower, where the metal concentration in water samples of water 100 times lower than concentrations in biota. Therefore needed to do standard water processing dikes by the manufacture tandon to reducing the concentration a heavy metal who enters into an embankment the cultivation of at the time of the uptake of water dikes.


(69)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Tingkat Pencemaran Logam Berat Di Kawasan Petambakan Sylvofishery

Perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat

adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Jhon Antony Riandi Purba C24070047


(1)

(Napitu 2011)

Pada Udang

Lokasi Satuan Cu Cd Pb

Hulu Blanakan µg/L 278,6 5 5

Tambak µg/L 260 5 141

Muara Balnakan µg/L 380,9 5 144,5

Laut µg/L 261,8 4 112,2

Pada Ikan

Lokasi Satuan Cu Cd Pb

Hulu Blanakan µg/L 18 5 121,4

Tambak µg/L 51,6 5 5

Muara Balnakan µg/L 40,1 5 196,3


(2)

Lampiran 5. Sifat Kimia Dan Fisika Substrat Dasar Perairan Mangrove, Empang Parit, Dan Tambak Biasa.


(3)

Lampiran 6. Data Logam Berat Perairan Subang (Widigdo & Pariwono 2000)

Parameter Satuan Muara1

Laut

plume Muara2 Plume Sungai

Kadmium (Cd) µg/L 7 3 36 11 18

Khromium (Cr) µg/L 5 <1 13 <1 <1 Timah Hitam

(Pb) µg/L 27 27 80 57 57

Seng (Zn) µg/L 11 8 11 17 17


(4)

(5)

Perairan Tambak Di BKPH Ciasem Pamanukan (Gunawan&Anwar 2008).

Parameter Satuan Terukur Timah Hitam (Pb) µg/L 562

Perak ( Ag) µg/L <1 Kadmium (Cd) µg/L <4 Merkuri (Hg) µg/L <0,8

Sianida (Cn) µg/L <1 Diterjen (MBAS) µg/L 1660 Minyak & Lemak µg/L <1000


(6)

Alat Tulis Termometer (oC) Refraktometer

Lakmus Indikator