Agar dapat ikut serta dalam pemberian dana talangan investor yang berminat harus mendapat persetujuan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat dan
adiministrasinya dilakukan oleh PTPNRNI di wilayah pabrik gula tempat petani menggiling. Jika terdapat selisih antara dana talangan dengan harga lelang maka
keuntungan dibagi antara petani dengan investor dengan perbandingan 60 persen untuk petani dan 40 persen untuk investor atau berdasar perjanjian yang
disepakati sebelumnya. Sistim pemberian dana talangan dengan menggunakan jasa
investormitrapedagang telah menciptakan peluang mencari rente. Agar dapat ikut serta dalam program dana talangan maka investor yang berminat harus
mendapat persetujuan dari APTR setempat. Untuk mendapatkan surat persetujuan tersebut ada biayanya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika upaya merevisi
KIG oleh Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu pada rezim pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mendapat penolakan keras dari kelompok-kelompok yang
potensial mendapat rente ekonomi besar dari regulasi tersebut. Kerumitan yang terjadi di industri gula menyebabkan peneliti membatasi
analisis perburuan rente pada dua kegiatan perburuan yaitu, 1 rente yang tercipta dari proses produksi, dan 2 rente yang dihasilkan dari kegiatan impor.
Ketika analisis ekonomi konvensional memperlakukan rente tersebut sebagai transfer murni yang tidak memiliki dampak terhadap perekonomian, Tullock
memberikan insight dengan melihat transfer tersebut sangat potensial menjadi biaya sosial yang tidak produktif.
8.1. Rente dari AktivitasProduksi
Pada struktur pasar yang oligopolistik, produsen yang jumlahnya terbatas cenderung membuat kesepakatan tidak tertulis mengenai berbagai aspek produksi
dan pemasaran guna menciptakan kekuatan pasar. Kesepakatan tersebut dibuat untuk mengurangi tingkat persaingan sesama produsen gula sehinga produsen
dapat berperilaku laksana seorang monopolis dan menciptakan marjin yang besar antara harga jual dengan biaya produksi. Guna memudahkan organisasi, para
produsen gula membentuk asosiasi yang terdiri dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia APTRI, Asosiasi Gula Indonesia AGI, dan Asosiasi Gula Rafinasi
Indonesia AGRI. Namun demikian adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
mencegah produsen melakukan kolusi untuk mendapatkan kekuatan pasar. Pada gambar 1 terlihat bahwa besarnya rente ekonomi yang dihasilkan dari proses
produksi ditunjukkan oleh daerah P
m
caP
w
yang diterima berbagai kelompok penghasil gula yaitu petani tebu, PG BUMN dan PG swasta.
Dengan menggunakan harga paritas impor pada kondisi free trade sebagai opportunity cost sumberdaya, maka selama rezim pengaturan ini rata-rata rente
ekonomi yang diterima berbagai kelompok produsen sekitar Rp. 3.8 triliun per tahun. Tabel berikut menyajikan distribusi rente ekonomi berdasarkan kategori
produsen. Tabel 30. Distribusi Rente Ekonomi yang Diterima Produsen Gula Indonesia
Tahun 2003-2009
Tahun Rente Ekonomi Milyar Rupiah
Petani PG. BUMN
PG. Swasta Jumlah
2003 1 384
611 697
2 692 2004
1 142 426
710 2 278
2005 1 995
708 1 044
3 747 2006
1 445 534
739 2 718
2007 3 580
1 004 1 618
6 202 2008
1 899 490
910 3 298
2009 3 111
827 1 795
5 732 Rata-rata
2 079 657
1 073 3 810
Keterangan: Ditjen Perkebunan diolah
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa antara tahun 2003-2009 rente ekonomi dari aktivitas produksi terbesar dinikmati oleh petani tebu Rp. 2.1 triliun, diikuti
oleh PG swasta Rp. 1.1 triliun dan PG BUMN Rp. 657 miliar per tahun. Komposisi rente ini bersifat proporsional dengan jumlah gula yang dihasilkan
oleh masing-masing kategori produsen. Distribusi rente ini seakan-akan menempatkan petani sebagai penerima manfaat terbesar dari kebijakan pergulaan
nasional. Namun sebagian dari rente yang diterima petani tebu tersebut dinikmati oleh pedagang perantara makelar tebu yang umumnya diperankan oknum
pengurus APTRI yang mendapatkan akses giling walaupun tidak memiliki lahan tebu. Para makelar tebu bekerja sama dengan karyawan PG yang mengeluarkan
Surat Perintah Tebang Angkut APTA telah berperan menciptakan tingginya biaya transaksi yang ditanggung petani sehingga menggerus rente ekonomi
tersebut. Penelitian Yustika 2008 menemukan bahwa biaya transaksi yang ditanggung petani tebu mencapai 50 dari keseluruhan biaya usahatani.
Tingginya biaya transaksi yang ditanggung petani tebu, terutama petani tebu mandiri, dikarenakan kesulitan mendapatkan akses giling sehingga mereka
terpaksa menggunakan jasa perantara atau menjual tebu tersebut kepada oknum APTRI untuk menghindari kehilangan bobot tebu atau menurunnya rendemen jika
tebu digiling lebih dari 24 jam sejak ditebang. Sementara itu bagi petani tebu kontrak, mereka mendapatkan akses giling tetapi tidak memiliki kendali terhadap
perhitungan pengeluaran karena semua dilakukan oleh manajemen pabrik gula mulai dari perhitungan bunga pinjaman hingga biaya angkut dan penentuan
rendemen. Di akhir proses kerjasama tersebut, petani menerima bagian gula berdasarkan perhitungan biaya yang dilakukan oleh manajemen pabrik gula.
Gambar 34 menunjukkan bahwa pembatasan impor gula melalui tarif dan kuota telah meningkatkan produksi gula nasional dari 1.6 juta ton pada tahun
2003 menjadi 2.8 juta ton pada tahun 2009 dengan petani sebagai kontributor terbesar produksi gula yang mencapai 54 persen, diikuti PG swasta sekitar 31
persen dan PG BUMN sekitar 15 persen.
Selain itu terdapat kecenderungan menurunnya kontribusi PG BUMN dalam menghasilkan gula dari 23 persen pada tahun 2003 menjadi sekitar 15 persen pada
tahun 2009 sementara kecenderungan sebaliknya terjadi pada PG swasta yang mengalami peningkatan dari 26 persen menjadi 31 persen. Di sisi lain meskipun
secara nominal produksi gula petani mengalami peningkatan namun dilihat dari share gula yang dihasilkan cenderung tetap.
Sumber: Ditjen Perkebunan diolah
Gambar 34. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 2003-2009
Dari sisi luas areal diketahui bahwa selama periode tersebut luas areal tebu juga meningkat dari 335 ribu hektar menjadi 443 ribu hektar dimana peningkatan
tersebut dikarenakan bertambahnya luas areal tebu rakyat milik petani dari semula 172 ribu hektar menjadi 255 ribu hektar Gambar 35. Sementara itu areal tebu
milik PG swasta cenderung tetap sebagai akibat belum tersedianya infrastruktur dan kesulitan memperoleh lahan Hak Guna Usaha HGU terutama di luar Pulau
Jawa. Hal ini mengindikasikan peningkatan share gula dari PG swasta lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas Oleh karena itu alternatif yang paling
mungkin untuk lebih mempercepat peningkatan produksi adalah melalui penggunaan varietas unggul yang memiliki produktivitas tinggi intensifikasi.
8.2. Rente dari Aktivitas Impor