Analisis ekonomi politik swasembada gula Indonesia: kombinasi model oligopolistik dinamik dan fungsi preferensi politik

(1)

ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK

DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK

ANAS ZAINI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK

adalah benar merupakan gagasan dan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dicantumkan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Oktober 2011

Anas Zaini


(3)

ABSTRACT

ANAS ZAINI. Political Economy of the Indonesian Sugar Self Sufficiency: A Combination Approach of Dynamic Oligopolistic Model and Political Preference Function. (HERMANTO SIREGAR as Chairman, DEDI B. HAKIM and M. PARULIAN HUTAGAOL as Members of the Advisory Committee).

Sugar industry is among the most developed agricultural industry in Indonesia but it is highly regulated by the government. As regulations create economic rents, many interested parties compete for the rents and involve in rent seeking activities. This paper aims at estimating the economic rents in Indonesia sugar industry and measuring the potential social costs of rent seeking since rents are dissipated through rent seeking activities. In addition, it also tests the relationship between producers’ political lobby on self sufficiency rate and the size of rent obtained. Results show that during 2003-2009 protection on sugar industry has created Dead Weight Loss and the economic rent consecutively as large as Rp. 129 billion and Rp. 6.9 trillion annually. Moreover most of the rent went to the government/state (32.7%) and the rest were collected by importers (20.5%), private sugar mills (16.1%), and local traders (15.3%). Ironically sugar cane farmers only receive 15.4 % of the rents. Since rents were dissipated through rent seeking activities, the social cost of sugar protection would be Rp. 7.1 trillion per annum or approximately 34.41 percent of the value of sugar consumption that achieved Rp. 20.8 trillion. Furthermore, the results indicate that these welfare losses are positively associated with producers’ political lobby/pressure and negatively related to self sufficiency rate. Consequently, in order to minimize rent seeking activities the government should not concentrate on pursuing self sufficiency but rather on removing inefficiencies in sugar industry especially those operating in Java. Without that self sufficiency is simply becoming an arena for rent seeking activities.


(4)

RINGKASAN

ANAS ZAINI. Analisis Ekonomi Politik Swasembada Gula Indonesia: Kombinasi Model Oligopolistik Dinamik dan Fungsi Preferensi Politik. (HERMANTO SIREGAR sebagai Ketua, DEDI B. HAKIM dan M. PARULIAN HUTAGAOL sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Pergulaan merupakan salah satu industri pertanian yang paling maju dan paling lengkap di Indonesia, mulai dari research and development hingga industri pengolahannya. Sejumlah regulasi yang mengatur harga, distribusi, perdagangan luar negeri hingga penetapan jumlah dan nama importir dikeluarkan. Tujuannya adalah mendorong industri gula sebagai industri pertanian strategis yang berperan meningkatkan ketahanan pangan, kesempatan kerja, dan pertumbuhan pendapatan. Karena perannya yang strategis itu pula maka setiap rezim pemerintah berusaha meningkatkan produksi gula. Selain itu struktur pasar gula dunia ditandai dengan rasio konsentrasi eksportir lebih besar dari importir, mengindikasikan volatilitas harga gula dunia sangat ditentukan oleh goncangan pada sisi penawaran. Struktur pasar gula dunia yang demikian merupakan justifikasi logis bagi negara importir termasuk Indonesia untuk mengejar swasembada gula. Dengan demikian dari sudut pandang teori kepentingan publik (Public Interest Theory), dimana pemerintah berperan sebagai agen pelayanan publik, intervensi pemerintah pada industri gula dilakukan untuk mengatasi kegagalan pasar demi mencapai Pareto Improvement. Teori kepentingan publik ini merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menjelaskan peran regulatif pemerintah terutama jika dikaitkan dengan alasan historis ketika sistim pasar gagal menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. Argumentasi pemerintah ini tidak pernah dipertanyakan dan hingga sekarang masih menjadi landasan berpikir kebanyakan peneliti pergulaan Indonesia.

Pada sisi lain, teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) melihat regulasi yang dikeluarkan pemerintah merupakan respon terhadap permintaan berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing mendapatkan manfaat transfer melalui serangkaian aktivitas perburuan rente. Teori ini tidak pernah


(5)

digunakan oleh peneliti Indonesia dalam menganalisis kebijakan pergulaan nasional meskipun sejumlah penelitian di negara lain menunjukkan bahwa dalam upaya mendapatkan rente ekonomi tersebut sejumlah sumberdaya “dihamburkan” yang nilainya sama dengan besarnya rente itu sendiri. Menurut teori ini sekelompok kecil produsen gula yang terorganisir, terutama mereka yang beroperasi tidak efisien, dapat mengatasi persoalan free riding sehingga mampu mempengaruhi regulator dalam proses pembuatan regulasi

Jika literatur ekonomi politik tentang rent seeking menekankan aktivitas perburuan rente utamanya dilakukan oleh kelompok kepentingan swasta yang berkolusi dengan pemerintah, maka pada kasus industri gula Indonesia pola perburuan rente tersebut sangat berbeda mengingat besarnya peran pemerintah yang tidak hanya sebagai regulator tetapi juga operator pada industri gula. Peran sebagai operator tersebut antara lain terlihat pada kepemilikan PG dimana 80 persen PG yang ada di Indonesia dimiliki oleh negara. Persoalan menjadi semakin serius mengingat seluruh PG milik negara tersebut secara ekonomi tidak efisien. Keluarnya Keputusan Presiden No. 57/2004 yang menetapkan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Surat Keputusan Menperindag No. 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yang mengatur harga gula patokan petani, tarif dan kuota impor, penentuan importir, serta segmentasi pasar gula memberikan peluang besar bagi pemerintah, pabrik gula milik negara dan BUMN perdagangan mendapatkan rente ekonomi. Terlebih lagi regulasi ini dimaksudkan untuk mencapai swasembada gula tahun 2014 sehingga aktivitas perburuan rente yang ditimbulkannya luput dari perhatian masyarakat dan peneliti.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti bermaksud mengungkap besarnya rente yang diterima pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan lain di industri gula Indonesia selama periode 2003-2009, serta mengestimasi besarnya biaya sosial yang diakibatkan aktivitas perburuan rente tersebut. Selain itu ia juga dimaksudkan untuk mengevaluasi hubungan aktivitas perburuan rente yang dilakukan melalui lobi dan tekanan politik dengan pencapaian tingkat swasembada dan besarnya rente ekonomi gula.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kebijakan pergulaan yang protektif telah menciptakan rente ekonomi bagi produsen yang merupakan beban bagi konsumen.


(6)

Antara tahun 2003-2009 pembatasan perdagangan melalui tarif dan kuota impor menyebabkan kehilangan surplus konsumen Rp. 7.1 triliun per tahun dimana Rp. 6.9 triliun merupakan rente ekonomi yang diterima produsen, importir dan pemerintah, serta Rp. 129 milyar merupakan dead weight loss.

Penerima rente ekonomi terbesar di industri gula Indonesia adalah pemerintah/negara (32.7%) diikuti importir yang terdiri dari industri makanan dan minuman serta pabrik gula rafinasi (20.5%), dan pabrik gula swasta berbasis tebu (16.1%). Ironisnya, petani tebu yang harus dilindungi dan menjadi target utama kebijakan pergulaan yang protektif hanya menerima rente ekonomi terkecil (15.4%) karena 15.3% rente yang diterima terkikis dalam bentuk tingginya biaya transaksi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah merupakan predator utama bagi konsumen gula. Temuan penting lain adalah aktivitas perburuan rente di industri gula menyebabkan potensi pemborosan sumberdaya mencapai 34.41 persen dari nilai konsumsi gula yang rata-rata sebesar Rp. 20.8 triliun per tahun.

Hasil analisis regresi menunjukkan terdapat hubungan positif antara tingginya aktivitas lobi/tekanan politik produsen dengan besarnya biaya sosial perburuan rente dan berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada. Hal ini membuktikan aktivitas lobi dan tekanan politik produsen bersifat kontra produktif terhadap pencapaian swasembada. Aktivitas lobi dan tekanan politik ditujukan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga produsen gula mendapatkan rente ekonomi melalui hambatan impor.

Sumber utama perburuan rente adalah inefisiensi, dan produsen gula yang tidak efisien melakukan lobi dan tekanan politik yang membuat kebijakan pergulaan menjadi tidak efisien. Oleh karena itu swasembada saja belum cukup. Syarat cukupnya adalah menghilangkan inefisiensi industri gula terutama di Pulau Jawa yang terbukti tidak mudah karena menyangkut banyak aspek yang bertabrakan yaitu ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu perhatian utama harus ditujukan untuk meningkatkan efisiensi usahatani tebu dan pabrik gula di Pulau Jawa. Tanpa itu program swasembada hanya menciptakan arena perburuan rente bagi para rent seekers.


(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari IPB.


(8)

ANALISIS EKONOMI POLITIK SWASEMBADA GULA INDONESIA: KOMBINASI MODEL OLIGOPOLISTIK DINAMIK

DAN FUNGSI PREFERENSI POLITIK

ANAS ZAINI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Judul Disertasi : Analisis Ekonomi Politik Swasembada Gula

Indonesia: Kombinasi Model Oligopolistik Dinamik dan Fungsi Preferensi Politik

Nama Mahasiswa : Anas Zaini

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian Nomor Pokok : H363080071

Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Ketua

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc.

Anggota Anggota

Mengetahui:

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian,


(10)

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia kesempatan dan kesehatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan penulisan Disertasi tentang Analisis Ekonomi Politik Swasembada Gula Indonesia.

Guna meningkatkan produksi gula nasional sejumlah regulasi yang mengatur harga, distribusi, dan perdagangan luar negeri dikeluarkan. Selain itu struktur pasar gula dunia ditandai dengan rasio konsentrasi eksportir lebih besar dari importir, mengindikasikan volatilitas harga gula dunia sangat ditentukan oleh goncangan pada sisi penawaran. Struktur pasar gula dunia yang demikian merupakan justifikasi logis bagi negara importir termasuk Indonesia untuk mengejar swasembada gula. Dengan demikian dari sudut pandang teori kepentingan publik (Public Interest Theory), dimana pemerintah berperan sebagai agen pelayanan publik, peran regulatif pemerintah tersebut dilakukan untuk mengatasi kegagalan pasar demi mencapai Pareto Improvement.

Pada sisi lain, teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) melihat berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur industri gula nasional merupakan respon terhadap permintaan berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing mendapatkan manfaat kebijakan melalui serangkaian lobi dan tekanan politik. Dari sudut pandang terori ini maka berbagai kelompok kepentingan terlibat dalam aktivitas perburuan rente. Pada konteks inilah maka disertasi ini berbeda dengan sejumlah penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya yang umumnya menggunakan teori kepentingan publik.


(12)

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi kami haturkan kepada seluruh komisi pembimbing yang terdiri dari Prof. Dr. Hermanto Siregar, Dr. Dedi B. Hakim, dan Dr. M. Parulian Hutagaol yang telah memberikan bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penulisan disertasi ini. Ucapan yang sama kami sampaikan kepada Prof. Bonar M. Sinaga, Dr. Heni K. Daryanto, Dr. Sri Hartoyo, dan Dr. Yusman Syaukat yang juga memberi masukan melalui sejumlah pertanyaan kritis saat ujian kualifikasi lisan dan ujian tertutup sehingga disertasi ini mengalami banyak perbaikan. Demikian juga kepada Prof. Dr. Didin S. Damanhuri dan Dr. Agus H. Rahman, anggota tim penguji luar komisi pada ujian terbuka, kami ucapkan terima kasih atas kesediaan dan keluangan waktu untuk menghadiri dan memberikan pertanyaan demi perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini. Ucapan yang sama kami sampaikan kepada Ir. Bambang Priyono, M.Sc., Kepala Sekretariat Dewan Gula Indonesia, dan staf yang telah memberikan dukungan data dan informasi berkaitan dengan industri gula Indonesia.

Terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah ucapan terima kasih kepada Ibu, Ibu Mertua, Istri dan ketiga anak-anak tersayang atas segala do’a dan kesabaran menemani penulis selama studi S3. Tanpa dukungan mereka semua, disertasi ini tidak dapat selesai tepat waktu. Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2011

Salam hormat,


(13)

RIWAYAT HIDUP SINGKAT

Penulis dilahirkan di Denpasar, Propinsi Bali pada tanggal 20 Agustus 1962 sebagi putra keempat dari Bapak Arbani (alm) dan Ibu Asiah. Pendidikan Dasar penulis selesaikan di Mataram, yakni di SD 8 Ampenan (1969-1975), SMP Negeri Ampenan (1975-1978), SMA Ampenan (1980-1982) karena pada tahun 1979 penulis berhenti sekolah ketika duduk di SMA kelas 1. Pada tahun 1982 penulis melanjutkan studi S1 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Mataram dan lulus pada Januari 1987. Pada tahun 1994 penulis mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 di The Ohio State University, USA, pada Depertemen Ilmu Ekonomi Pertanian dan lulus pada tahun 1996. Setelah kembali bertugas selama 12 tahun penulis melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor dengan jurusan yang sama yaitu Ilmu Ekonomi Pertanian pada tahun 2008. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian – Universitas Mataram sejak tahun 1989 hingga sekarang.

Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Halimatus Sa’diyah dan dikaruniai dua puteri yaitu Dea Amanda (19) --saat ini mahasiswi S1 ESL IPB angkatan 2008 dan Bayang Nuansa Salju (14), siswi kelas 1 pada SMA 3 Bogor, dan satu putera yaitu Ahza Maulana Prakarsa (13), siswa kelas 3 SMP Pembangunan Satu Bogor.


(14)

Ujian Tertutup : Jumat,29 Juli 2011 Penguji Luar Komisi

: 1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.

Staf Pengajar pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.

: 2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S.

Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.

Ujian Terbuka : Rabu, 24 Agustus 2011 Penguji Luar Komisi

: 1. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE., MS., DEA. Guru Besar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. 2. Dr. Ir. Agus Hasanuddin Rahman, M.Sc.

Direktur Tanaman Semusim, Ditjen Perkebunan


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... . v

DAFTAR GAMBAR ... . vii

DAFTAR LAMPIRAN ... . ix

I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 10

1.6. Kebaruan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA 13

2.1. Teori Intervensi Pemerintah ... . 13

2.1.1. Teori Kepentingan Publik ... . 14

2.1.2. Teori Kelompok Kepentingan ... 15

2.2. Makroekonomi Politik Kebijakan Pertanian ... . 17

2.2.1. Fakta Khas Kebijakan Pertanian ... 17

2.2.2. Studi Empiris ... 21

2.3. Mikroekonomi Politik Kebijakan Pertanian ... 25

2.3.1. Fungsi Preferensi Politik ... 25

2.3.1.1. Rasionalitas Pemerintah dan Efisiensi Pareto ... 28

2.3.1.2. Asumsi Dasar ... 29

2.3.1.3. Dimensi Fungsi ... 30

2.3.1.4. Frontier Pareto dan Kurva Transformasi Surplus ... 34


(16)

2.4. Teori Ekonomi dan Studi Empiris Swasembada ... 39

2.4.1. Kebijakan Produksi dan Perdagangan ... 39

2.4.1.1. Kebijakan Tarif Impor ... 39

2.4.1.2. Kebijakan Kuota Impor ... 41

2.4.1.3. Kebijakan Subsidi Produksi Langsung ... . 42

2.4.1.4. Kebijakan Harga Maksimum dan Harga Minimum ... 43

2.4.1.5. Kebijakan Stabilisasi Harga ... 44

2.4.1.6. Biaya Efisiensi Swasembada ... 45

2.4.2. Studi Empiris Swasembada Pangan ... 47

2.4.3. Studi Empiris Ekonomi Gula ... 50

2.4.4. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian ... 53

2.5. Model Oligopoli untuk Mengukur Kekuatan Pasar ... 56

2.5.1. Model Teoritis ... 56

2.5.1.1. Hall’s Model ... 56

2.5.1.2. Bresnahan-Lau Model ... 57

2.5.1.3. Nishimura-Ohkusa-Ariga Model ... 59

2.5.2. Studi Empiris ... 61

2.6. Ikhtisar ... . 64

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 68 3.1. Kerangka Teoritis ... 68

3.1.1. Proses Pembuatan Kebijakan Publik ... 68

3.1.2. Model Becker-Gardner ... 70

3.1.3. Keseimbangan Ekonomi Politik ... . 73

3.1.4. Kerangka Pemikiran Penelitian ... . 78

3.2. Kerangka Konseptual ... . 82

3.2.1. Kegagalan Pasar dan Kegagalan Pemerintah ... . 82

3.2.2. Penentuan Bobot Politik ... . 84

3.2.3. Spesifikasi Fungsi Permintaan dan Relasi Penawaran Gula ... . 88

3.2.4. Ketidakstasioneran dan Akar Unit ... . 89


(17)

3.2.6. Model Oligopolistik Dinamik ... . 94

3.3. Hipotesis ... . 96

3.4. Ikhtisar ... . 97

IV. METODE PENELITIAN 99 4.1. Sumber Data ... . 99

4.2. Uji Ketidakstasioneran dan Akar Unit ... . 99

4.3. Uji Kointegrasi dan Mekanisme Merbaikan Kesalahan ... . 101

4.4. Model Oligopolistik Dinamik Permintaan dan Relasi Penawaran ... . 104

4.5. Pengukuran Aktivitas Lobi ... . 107

4.6. Model Ekonometrik-Politik ... . 108

4.7. Definisi Operasional Variabel ... . 110

V. STRUKTUR DAN PELAKU UTAMA INDUSTRI GULA 113

5.1. Struktur Pasar dan Pelaku Utama Gula Dunia ... 113

5.1.1. Brazil ... . 115

5.1.2. India ... . 118

5.1.3. Thailand ... . 120

5.1.4. Australia ... . 122

5.2. Struktur Pasar dan Produsen Utama Gula Domestik ... 124

5.2.1. Pabrik Gula Berbasis Tebu ... . 127

5.2.2. Pabrik Gula Berbasis Gula Mentah Impor ... . 129

5.3. Keterkaitan Industri Gula Nasional dengan Industri Gula Dunia ... . 131

5.4. Kelompok Kepentingan di Industri Gula Domestik ... . 136

5.4.1. Produsen ... . 136

5.4.2. Konsumen ... . 138

5.4.3. Petani tebu ... . 139

5.4.4. Buruh dan Karyawan ... . 142

5.4.5. Pedagang ... . 143

5.4.6. Importir ... . 143

5.5.7. Pemerintah ... . 144


(18)

VI. FUNGSI PERMINTAAN DAN RELASI PENAWARAN GULA 147

6.1. Pengujian Akar Unit dan Kointegrasi ... . 147

6.2. Estimasi Fungsi Permintaan ... . 151

6.3. Estimasi Relasi Penawaran ... . 154

6.4. Ikhtisar ... . 158

VII. LOBI DAN TEKANAN POLITIK DI INDUSTRI GULA 160 7.1. Aktivitas Lobi Produsen ... . 160

7.2. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Swasembada ... . 170

7.3. Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente Ekonomi ... . 173

7.4. Hubungan Rente Ekonomi dan Swasembada ... . 175

7.5. Ikhtisar ... . 177

VIII. RENTE EKONOMI DAN SWASEMBADA GULA 179 8.1. Rente dari Aktivitas Produksi ... 185

8.2. Rente dari Aktivitas Impor ... . 189

8.3. Distribusi Rente Ekonomi ... 192

8.4. Biaya Sosial Perburuan Rente ... . 193

8.5. Prospek dan Implikasi Swasembada ... 196

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 202 9.1. Kesimpulan ... 202

9.2. Implikasi Kebijakan ... 204

9.3. Saran ... 208

DAFTAR PUSTAKA ... 210


(19)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian ……... 39

2. Penelitian dan Kajian Swasembada Pangan yang Telah

Dilaksanakan Sebelumnya ………... 49 3. Jumlah Pabrik, Luas Areal dan Produksi Gula Indonesia

Tahun 2006 …... 52 4. Alternatif Spesifikasi Model Ekonometrik-Politik

Swasembada Gula ………... 109 5. Definisi Operasional Variabel ………... 111 6. Ekspor dan Produksi Gula Empat Negara Eksportir Utama

Tahun 2007-2009 ... 113 7. Impor dan Konsumsi Gula Empat Negara Importir Utama

Tahun 2007-2009 ... 114 8. Produksi Gula Indonesia dan Share Kelompok Produsen Utama

Pada Tahun 2009 ... 126 9. Kinerja Industri Gula Berbasis Tebu di Indonesia Tahun 2010 ... 128 10. Perbandingan Kualitas GKM, GKP dan GKR di Indonesia

Tahun 2008………... 129 11. Kapasitas Produksi Gula Rafinasi Indonesia Tahun 2009 …... 131 12. Neraca Gula Negara Produsen Utama Gula Dunia

Tahun 2009/2010 ... 133 13. Neraca Gula Dunia Tahun 2007/2008-2009/2010 ... 135 14. Analisis Derajat Integrasi Menggunakan

Augmented Dickey-Fuller Test .………... 147 15. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula dengan Metode OLS ... 149 16. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula dengan Metode OLS …... 149


(20)

17. Hasil Uji Kointegrasi Fungsi Permintaan Gula ………... 150 18. Hasil Uji Kointegrasi Relasi Penawaran Gula ………... 150 19. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Dinamik

dengan Metode 2SLS ………... 152 20. Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Gula Model Statik

dengan Metode 2SLS ……….………... 154 21. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Dinamik

dengan Metode 2SLS ………... 155 22. Hasil Estimasi Relasi Penawaran Gula Model Statik

dengan Metode 2SLS ………... 158 23. Analisis Derajat Integrasi Variabel Ekonomi Politik ... 170 24. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat

Swasembada Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 ... 171 25. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Tingkat

Swasembada Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 …... 173 26. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente

Ekonomi Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 ………... 174 27. Hasil Regresi Hubungan Aktivitas Lobi dengan Rente

Ekonomi Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 ... 174 28. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada

Menggunakan Data Beda Tahun 1980-2009 ……....…………... 175 29. Hasil Regresi Hubungan Rente Ekonomi dengan Swasembada

Menggunakan Data Level Tahun 1980-2009 …………... 176 30. Distribusi Rente Ekonomi yang Diterima Produsen Gula

Indonesia Tahun 2003-2009 ... 186 31. Rente Ekonomi Importir dan Pemerintah Indonesia

Tahun 2003-2009 ... 190 32. Distribusi Rente Ekonomi Gula yang Diterima Berbagai Kelompok

Kepentingan di Indonesia dan Dead Weight Loss Tahun 2003-2009 .... 193 33. Biaya Sosial Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia


(21)

34. Sasaran Produksi untuk Mencapai Swasembada Gula Indonesia

Tahun 2014 ... 198

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Perkembangan Harga Gula Dunia Tahun 2005-2009 ……... 2

2. Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia ………... 6

3. Model Ekonomi Tertutup Dampak Kebijakan Dukungan Harga ... 26

4. Karakteristik Fungsi Preferensi Politik yang Memenuhi Pareto Frontier ………... 32

5. Hubungan Kurva Transformasi Surplus dengan Pareto Frontier ... 36

6. Dampak Tarif Impor Terhadap Produksi ………... 40

7. Dampak Kuota Impor Terhadap Produksi ………... 41

8. Dampak Subsidi Langsung Terhadap Produksi ………... 42

9. Dampak Kebijakan Harga Maksimum dan Harga Minimum ... 43

10. Stabilisasi Harga Model Massell ………...…... 45

11. Kurva Kemungkinan Produksi dan Biaya Swasembada ………... 46

12. Proses Pembuatan Kebijakan dan Konsekuensi Ekonominya …... 68

13. Dua Sumber Tekanan Politik ………..…... 72

14. Keseimbangan Ekonomi Politik ………... 75

15. Hasil Komparasi Statik Peningkatan Efisiensi Lobi ………... 77

16. Kerangka Pemikiran Penelitian ………... 79

17. Keterkaitan Kegagalan Pasar dengan Kegagalan Pemerintah …... 82

18. Proses Pengujian Kointegrasi dan Mekanisme Perbaikan Kesalahan …... 106

19. Perkembangan Produksi dan Ekspor Gula Brazil 1960-2010 ... 117 20. Perkembangan Konsumsi dan Sasembada Gula Brazil


(22)

Tahun 1960-2010... 117 21. Perkembangan Produksi dan Ekspor Gula India

Tahun 1960-2010 …... 119 22. Perkembangan Konsumsi dan Sasembada Gula India

Tahun 1960-2010 ………... 119 23. Perkembangan Produksi dan Ekspor Gula Thailand

Tahun 1960-2010 …... 121 24. Perkembangan Konsumsi dan Sasembada Gula Thailand

Tahun 1960-2010 ………... 121 25. Perkembangan Produksi dan Ekspor Gula Australia

Tahun 1960-2010 …... 122 26. Perkembangan Konsumsi dan Sasembada Gula Australia

Tahun 1960-2010 ………... 123 27. Perkembangan Harga Gula Domestik dan Dunia 2007-2009 ... 132 28. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula Dunia

Tahun 1960-2010 ………... 134 29. Perkembangan Ekspor dan Impor Gula Dunia Tahun 1960-2010 .... 135 30. Data Produksi Gula yang Stasioner dan Tidak Stasioner

Tahun 1960-2009 ………... 148 31. Perkembangan Bobot Politik Produsen dan Konsumen Gula

Indonesia Tahun 1980-2009 ...…... 161 32. Perkembangan Produksi, Ekspor Neto dan Swasembada Gula

Indonesia Tahun 1980-2009 …... 172 33. Hubungan Segitiga Ekonomi Politik Swasembada Gula

Indonesia ...……... 177 34. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 2003-2009 ... 188 35. Perkembangan Luas Areal Tebu Indonesia Tahun 2003-2009 ... 189 36. Perkembangan Harga Gula di Indonesia Tahun 2003-2009 ………. 191 37. Perkembangan Impor Gula IndonesiaTahun 2003-2009 ... 192 38. Perkembangan Swasembada Gula Indonesia


(23)

Tahun 1960-2009 ... 197 DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas

Tebu Indonesia Tahun 1960-2009 ………... 219 2. Perkembangan Produktivitas Tebu dan Tanaman Pangan

Lain di Indonesia Tahun 1961-2008 ...………... 219 3. Perkembangan Harga Relatif Tebu Terhadap Komoditas

Pangan Utama di Indonesia Tahun 1991-2007 .……... 220 4. Perkembangan Tingkat Swasembada Pangan Indonesia

Tahun 1961-2007………...………... 220 5. Perkembangan Produktivitas Pabrik Gula Indonesia

Tahun 1987-2002 ………... 221 6. Negara Eksportir Utama Gula Rafinasi Dunia Tahun 2007…... 221 7. Negara Importir Utama Gula Rafinasi Dunia Tahun 2007 …. ... 221 8. Tingkat Swasembada Negara-Negara Pelaku Utama Gula

Dunia Tahun 2007-2010 ………... 222 9. Kinerja Pabrik Gula PTPN II Tahun 2008 ………... 227 10. Kinerja Pabrik Gula PTPN VII Tahun 2008 ………... 227 11. Kinerja Pabrik Gula PTPN IX Tahun 2008 ………... 227 12. Kinerja Pabrik Gula PTPN X Tahun 2008 ………... 228 13. Kinerja Pabrik Gula PTPN XI Tahun 2008 ………... 228 14. Kinerja Pabrik Gula PTPN XIV Tahun 2008 ………... 229 15. Kinerja Pabrik Gula PT. Rajawali I Tahun 2008 ………... 229 16. Kinerja Pabrik Gula PT. Rajawali II Tahun 2008 ...…………... 229 17. Kinerja Pabrik Gula Sugar Group Company Tahun 2008 ...…... 230 18. Rencana Pengembangan PT. Gunung Madu Plantation


(24)

Tahun 2010-2014 ………... 230 19. Kinerja Pabrik Gula PT. Kebon Agung Tahun 2008 ………... 230 20. Hasil Estimasi Model Oligopolistik Dinamik Fungsi Permintaan

dan Relasi Penawaran Gula dengan Metode 2SLS ... 231 21. Hasil Estimasi Model Oligopolistik Statik Fungsi Permintaan

dan Relasi Penawaran Gula dengan Metode 2SLS ... 233 22. Hasil Regresi antara Tingkat Swasembada Gula dengan

Variabel Ekonomi Politik dengan Metode OLS ... 235 23. Hasil Regresi antara Rente Ekonomi Gula dengan

Variabel Ekonomi Politik dengan Metode OLS ... 237 24. Hasil Regresi antara Tingkat Swasembada Gula dengan

Rente dan Variabel Ekonomi Lain dengan Metode OLS ... 239 25. Regulasi yang Mengatur Industri dan Perdagangan Gula


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industri dan perdagangan gula Indonesia pascakemerdekaan ditandai oleh kuatnya intervensi pemerintah mulai dari intervensi harga, distribusi, perdagangan luar negeri hingga pengaturan lisensi impor. Wahyuni et al. (2009) bahkan menunjukkan jumlah regulasi yang mengatur industri dan perdagangan gula Indonesia adalah nomor dua terbanyak dan hanya kalah dari regulasi yang mengatur beras. Hal ini dilakukan untuk mendorong industri gula sebagai industri pertanian strategis guna meningkatkan ketahanan pangan, menciptakan kesempatan kerja, dan pertumbuhan pendapatan. Karena perannya yang strategis itu pula maka setiap rezim pemerintah berusaha meningkatkan produksi gula nasional. Selain itu struktur pasar gula dunia ditandai dengan rasio konsentrasi eksportir lebih besar dari importir, mengindikasikan volatilitas harga gula dunia sangat ditentukan oleh goncangan pada sisi penawaran. Gambar 1 memperlihatkan perkembangan harga gula dunia yang rentan terhadap goncangan produksi di negara-negara eksportir karena permintaan gula dunia secara umum bersifat inelastik.

Eksportir utama gula dunia adalah negara berkembang seperti Brazil, Thailand dan India sehingga volatilitas harga gula dunia sangat tergantung pada kemampuan Brazil meningkatkan dan mengalokasikan produksi tebu untuk kebutuhan pangan dan energi serta situasi politik di perdesaan India. Sementara itu produksi gula Thailand menghadapi kompetisi lahan dan air dengan komoditi


(26)

pangan lainnya yang menjadi isu politik domestik (USDA, 2008, 2010). Struktur pasar gula dunia yang demikian seakan-akan merupakan justifikasi logis bagi negara importir termasuk Indonesia untuk mengejar swasembada gula.

Sebagai negara net importir gula selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, Indonesia merasakan akibat buruk dari lonjakan harga tersebut karena sebagai salah satu komoditas pangan utama, volatilitas harga gula dunia dapat mengganggu ketahanan pangan nasional. Dengan demikian dari sudut pandang teori kepentingan publik (Public Interest Theory), dimana pemerintah berperan sebagai agen pelayanan publik, intervensi pemerintah pada industri gula dilakukan untuk mengatasi kegagalan pasar demi mencapai Pareto Improvement karena pada kondisi tersebut harga yang terjadi gagal menjelaskan kelangkaan sumberdaya. Teori kepentingan publik ini merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menjelaskan peran regulatif pemerintah terutama jika dikaitkan dengan alasan historis ketika

-200 400 600 800 1000 1200 1400

2005 2006 2007 2008 2009

$/ton

Gula rafinasi Gula mentah

Sumber : USDA, 2010

Gambar 1. Perkembangan Harga Gula Dunia Tahun 2005-2009 Keterangan: Data Triwulan


(27)

sistim pasar gagal menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. Argumentasi ini tidak pernah dipertanyakan dan hingga sekarang masih menjadi landasan berpikir kebanyakan peneliti pergulaan Indonesia meski pemerintah telah berupaya mencapai swasembada gula sejak tahun 1999. Hal ini terlihat dari sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh hampir seluruh peneliti pergulaan Indonesia yang intinya “mengamini” program swasembada melalui berbagai kebijakan pergulaan yang protektif (lihat Wahyudi dan Erwidodo, 2000; Malian dan Saptana, 2003; Mardianto, et al.,2005; Hadi dan Nuryanti, 2005; Susila dan Sinaga, 2005a, 2005b; Indraningsih dan Malian, 2006). Lebih jauh lagi, Wahyuni, et al. (2009) menyebutkan biaya untuk mendukung program tersebut mencapai Rp. 14.8 triliun selama periode 2006-2009, dan kegagalan mencapai swasembada hingga saat ini menurut Arifin (2008) dikarenakan pemerintah kurang memahami ekonomi pergulaan nasional sehingga target swasembada selalu bergerak dari tahun ke tahun berikutnya (moving target).

Pada sisi lain, teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) melihat regulasi yang dikeluarkan pemerintah merupakan respon terhadap permintaan berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing mendapatkan manfaat transfer kebijakan (policy transfer benefits) melalui serangkaian aktivitas perburuan rente. Teori ini tidak pernah digunakan oleh peneliti Indonesia dalam menganalisis kebijakan pergulaan nasional. Dalam upaya mendapatkan rente ekonomi tersebut sejumlah sumberdaya dikeluarkan dan menurut Tullock (1967, 1993, 2003), Krueger (1974), dan Posner (1975) nilainya sama dengan besarnya rente itu sendiri. Krueger menghitung besarnya biaya sosial rent seeking di India pada tahun 1964 sekitar 7% dari GNP, sementara estimasi Mohammad and


(28)

Whalley (1984) berkisar antara 30% dan 45% dari GNP. Menurut teori ini sekelompok kecil produsen gula yang terorganisir, terutama mereka yang beroperasi tidak efisien, dapat mengatasi persoalan free riding sehingga mampu mempengaruhi regulator dalam proses pembuatan regulasi seperti yang terjadi pada industri gula India (Kamath, 1989). Teori ini sangat relevan untuk kasus Indonesia mengingat 90 persen pabrik gula yang ada (total 61 PG) tidak beroperasi secara efisien, baik tidak efisien secara teknis maupun secara ekonomi (Indraningsih dan Malian, 2006). Sementara itu konsumen meskipun menanggung kerugian dari regulasi yang dihasilkan, kepentingan ekonomi mereka tidak diperhatikan karena tidak ada insentif rasional membangun organisasi untuk menolak regulasi yang merugikan tersebut (Tollison, 1982).

Jika literatur ekonomi politik tentang rent seeking menekankan aktivitas perburuan rente utamanya dilakukan oleh kelompok kepentingan swasta yang berkolusi dengan pemerintah, maka pada kasus industri gula Indonesia pola perburuan rente tersebut mungkin berbeda mengingat besarnya peran pemerintah yang tidak hanya sebagai regulator tetapi juga operator pada industri gula. Peran sebagai operator tersebut antara lain terlihat pada kepemilikan PG dimana 80 persen PG yang ada di Indonesia dimiliki oleh negara. Persoalan menjadi semakin serius mengingat seluruh PG milik negara tersebut secara ekonomi tidak efisien (Pakpahan, 2003; Indraningsih dan Malian, 2006). Indikasi lainnya adalah ditetapkannya gula sebagai barang dalam pengawasan seperti tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 57/2004 dan keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) No. 643/2002, yang diperbarui dengan SK 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG), yang


(29)

mengatur harga gula patokan petani (HPP), tarif dan kuota impor, penentuan importir, serta segmentasi pasar gula memberikan peluang besar bagi pemerintah, pabrik gula milik negara dan BUMN perdagangan mendapatkan rente ekonomi. Terlebih lagi regulasi ini dikeluarkan dalam kerangka mencapai swasembada gula dan untuk melindungi petani tebu dari persaingan tidak adil dengan gula impor sehingga aktivitas perburuan rente yang ditimbulkannya luput dari perhatian masyarakat dan peneliti.

Penelitian, kajian dan rekomendasi untuk meningkatkan kinerja industri dan swasembada gula nasional telah banyak dilakukan. Namun demikian sebagian besar penelitian tersebut lebih menekankan pada pentingnya perbaikan aspek teknologi, kebijakan protektif dan kelembagaan ekonomi namun kurang memperhatikan faktor dinamika politik diantara berbagai kelompok kepentingan. Selain itu berbagai penelitian tersebut menganggap struktur pasar gula bersifat kompetitif, menggunakan model statik dan jika dilakukan analisis pada kondisi oligopolistik itu hanya diasumsikan. Itulah sebabnya analisis swasembada gula yang komprehensif tidak memadai jika dilakukan hanya dari pendekatan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan faktor kompetisi dari berbagai kelompok kepentingan, dan pada bagian inilah penelitian ini memiliki perbedaan dan melengkapi sejumlah penelitian kebijakan pergulaan yang telah dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

Karakteristik industri gula Indonesia sejak pemerintah menetapkan gula sebagai barang dalam pengawasan melalui Keppres 57/2004 relatif rumit. Produksi gula dibedakan menjadi Gula Kristal Putih (GKP) berbasis tebu dan


(30)

Gula Kristal Rafinasi (GKR) berbasis Gula Kristal Mentah (GKM) impor. Akibatnya pasar gula menjadi tersegmentasi dimana GKP untuk konsumsi rumahtangga sementara GKR untuk keperluan industri, dan untuk kedua jenis produk tersebut Indonesia tercatat sebagai negara importir neto. Segmentasi pasar selanjutnya mempengaruhi kebijakan, prosedur, dan alokasi kuota impor.

Struktur pasar gula domestik pun saat ini ditandai dengan tingginya konsentrasi produsen yang didominasi oleh empat kelompok perusahaan penghasil gula terbesar yaitu Sugar Group Company (SGC), PTPN X, XI, dan PT. RNI. Selain itu ketiga kelompok produsen yang disebut terakhir bersama PTPN IX menghasilkan sekitar 50 % produksi GKP dan mereka merupakan Importir Terdaftar (IT) gula yang berdasarkan regulasi pemerintah mendapatkan lisensi untuk melakukan importasi gula berbasis tebu. Dengan demikian produsen GKP berpotensi melakukan pengendalian produksi gula dalam negeri (supply management).

Gambar 2 menyajikan model kebijakan impor gula Indonesia ketika volume impor dibatasi dengan tarif dan kuota, dan pasar gula dalam negeri bersifat oligopolistik. Penawaran domestik dinyatakan dengan S sementara permintaan domestik adalah D0. Sebagai negara kecil maka Indonesia adalah penerima harga di pasar gula dunia, sehingga pada perdagangan bebas harga gula domestik sama dengan harga paritas impornya (Pw), dan permintaan domestik adalah 0Q1 sementara produksi domestik 0Q3. Kekurangannya dipenuhi dari impor sebanyak Q3Q1. Jika pemerintah menetapkan kuota impor Q2Q4 dan importir berkompetisi

untuk mendapatkan kuota tersebut maka harga yang terjadi adalah Pt. Namun jika pasar gula bersifat oligopolistik dan terjadi pembatasan jumlah importir (hanya


(31)

untuk IP dan IT gula) maka produsen gula domestik dalam upaya maksimisasi profit menghadapi kurva permintaan D1, karena Q2Q4 dipenuhi dari impor, dan menghasilkan output ketika penerimaan marjinal (MR) sama dengan biaya marjinal (MC). Harga yang terjadi kemudian adalah Pm karena produsen domestik menghasilkan 0Q3 dan impor menjadi Q3Q2.

Sumber: Diadaptasi dari Kennedy and Schmitz (2009)

Gambar 2. Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia Keterangan: λ = parameter kekuatan pasar

Dengan menggunakan harga paritas impor (Pw) sebagai opportunity cost sumberdaya maka pembatasan impor gula pada struktur pasar yang oligopolistik menyebabkan harga gula lebih tinggi dari pada pasar kompetitif. Akibatnya produsen menikmati rente ekonomi PmcaPw sementara rente dari kuota impor sebesar cxab, lebih besar dari rente pada kondisi persaingan dybf. Hal ini dimungkinkan karena para importir umumnya adalah processor dan produsen gula yang mendapatkan fasilitas Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) sesuai dengan SK Menperindag Nomor 527/2004. Rente dari kuota impor sebagian diterima pemerintah dalam bentuk pajak impor (abdg) dan selebihnya

g

f

Q3 Q2 Q4 Q1

S

d a

b

c x

y

z

D1 (λ=0) Pw

Pt Pm

MR (λ=1)

0 Q

P


(32)

diterima importir (cxdg) karena importir membeli pada harga dunia (Pw), membayar pajak impor PwPt dan menjual gula impor di dalam negeri dengan harga Pm.

Rente ekonomi yang dinikmati produsen dan importir tersebut menurut Tullock, Krueger, dan juga Posner seluruhnya tergerus dalam aktivitas perburuan rente, sementara penerimaan pemerintah habis untuk biaya administrasi dan manajemen. Hal ini dikarenakan penentuan importir dan alokasi kuota tidak dilelang tapi sepenuhnya merupakan diskresi yang dimiliki birokrat. Pada situasi ini maka para calon pemburu rente (potential rent seekers) bersedia mengeluarkan biaya hingga sebesar Pm-Pw per unit gula yang diimpor untuk mendapatkan lisensi dan kuota impor. Dengan demikian pemborosan sumberdaya di industri gula nasional adalah penjumlahan segitiga Harberger (xbz) dan segi empat Tullock (PmxbPw). Luas segitiga Harberger (xbz), yang menyatakan Dead Weight Loss (DWL), dihitung dengan memanfaatkan nilai elastisitas. Jika elastisitas permintaan gula di dalam negeri

Q P P Q Δ Δ = )

(ε maka

P Q P Q= ⋅Δ ⋅

Δ ε sehingga

P Q DWL= ⋅Δ ⋅Δ

2

1 atau

( )

. 2 2 2 P Q P P P Q P

DWL=ε⋅Δ ⋅ ⋅Δ =ε⋅Δ ⋅

Pertanyaannya kemudian adalah apakah produsen gula yang relatif terkonsentrasi tersebut memiliki kekuatan pasar (market power), dan berapa besar, dalam mempengaruhi harga gula domestik? Bagaimana respon konsumen (demand) dan produsen (supply) terhadap perubahan harga pada struktur pasar yang oligopolistik tersebut? Berapa besar dan bagaimana distribusi rente yang diterima pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan lain di industri gula Indonesia? Seberapa serius biaya sosial yang diakibatkan aktivitas perburuan


(33)

rente tersebut dan bagaimana hubungannya dengan aktivitas lobi produsen dan pencapaian tingkat swasembada?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut absen dari berbagai penelitian kebijakan pergulaan nasional meskipun ia telah menimbulkan beban ekonomi besar bagi masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini selain memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, ia juga menghasilkan alternatif rekomendasi kebijakan dalam mengatasi persoalan pergulaan nasional.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan utama menemukan penjelasan mengenai kebijakan pergulaan yang protektif dan merumuskan alternatif kebijakan pergulaan yang kondusif bagi pencapaian swasembada yang efisien. Selain itu ia juga memiliki tujuan tambahan, yaitu:

1. Mengestimasi tingkat kekuatan pasar yang dimiliki produsen pada pasar gula dalam negeri yang bersifat oligopolistik.

2. Menentukan tingkat responsivitas konsumen dan produsen terhadap perubahan harga gula domestik.

3. Mengestimasi nilai rente ekonomi yang terjadi di industri gula dan distribusinya diantara berbagai kelompok kepentingan.

4. Mengestimasi besarnya biaya sosial yang ditimbulkan dari aktivitas perburuan rente di industri gula nasional.

5. Menguji hubungan antara aktivitas lobi/tekanan politik yang dilakukan produsen dengan pencapaian tingkat swasembada dan besarnya rente ekonomi.


(34)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini selain mengungkap (uncover) persoalan ekonomi dan kelembagaan yang dihadapi industri dan perdagangan gula, ia juga memberikan insight terhadap banyaknya konflik kepentingan diantara berbagai kelompok dalam mengambil manfaat regulasi yang banyak mengatur industri gula. Dari perspektif hak penguasaan (property right), individu atau kelompok akan melakukan “investasi” dengan mempengaruhi spesifikasi penetapan regulasi melalui berbagai lobby terhadap otoritas pembuat regulasi. Investasi dilakukan dalam bentuk kontribusi dana kampanye, pemberian dukungan suara pemilihan, atau sumbangan finansial lainnya. Oleh karena itu kontributor terbesar umumnya adalah mereka yang aktivitas ekonominya dilindungi oleh banyak regulasi dan kebijakan pemerintah dan mereka yang mendapatkan manfaat dari banyaknya regulasi atau kebijakan tersebut antara lain adalah pelaku usaha pergulaan. Oleh karena itu penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis dan praktis pada pengungkapan hubungan antara aktivitas lobi dengan manfaat transfer kebijakan guna memperbaiki industri pergulaan nasional.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memusatkan perhatian pada kompetisi berbagai kelompok kepentingan yaitu produsen, konsumen, serta pemerintah dalam mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan swasembada gula. Analisis ekonomi politik yang digunakan adalah kombinasi model oligopolistik dinamik dengan fungsi preferensi politik (political preference function) untuk mengungkap preferensi kebijakan pemerintah terhadap berbagai kelompok kepentingan pada


(35)

berbagai rezim kebijakan terutama setelah keluarnya SK Menperindag Nomor 643/2002.

Industri gula Indonesia terdiri dari industri gula konsumsi yang dihasilkan dari penggilingan tebu untuk memenuhi konsumsi rumahtangga dan industri gula rafinasi untuk keperluan industri (terutama industri makanan dan minuman serta farmasi) yang bahan bakunya berasal dari gula mentah impor. Bila industri gula konsumsi telah ada sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1920an, industri gula rafinasi mulai berkembang di Indonesia sejalan dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada awal tahun 2000. Karena pertimbangan ketersediaan data yang relatif terbatas dari industri gula rafinasi tersebut maka analisis ekonomi politik dalam penelitian ini ditekankan pada industri gula konsumsi.

Fungsi preferensi politik pada penelitian ini digunakan untuk mendapatkan bobot politik berbagai kelompok kepentingan sebagai proksi terhadap pengeluaran lobi dan tekanan politik yang dilakukan berbagai kelompok kepentingan pada tingkat swasembada tertentu bukan mencari tingkat swasembada optimal pada bobot politik tertentu .

Seperti halnya penelitian lain yang menggunakan data sekunder, penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menjelaskan aspek kualitatif dari fenomena ekonomi politik pergulaan. Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan ini peneliti melengkapi dengan informasi yang relevan dari berbagai sumber lain seperti hasil penelitian terdahulu, informasi dari media masa cetak, elektronik ataupun media online yang relevan dengan fenomena yang dianalisis.

Estimasi biaya sosial perburuan rente hanya terbatas pada perburuan yang diakibatkan oleh hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan kuota impor. Oleh


(36)

karena itu hasil yang didapat bersifat underestimate karena perburuan rente juga terjadi akibat segementasi pasar gula antara gula konsumsi berbasis tebu dengan gula rafinasi berbasis gula mentah impor. Indikasinya adalah ditemukannya gula rafinasi “illegal” dan yang merembes ke pasar gula konsumsi yang menimbulkan konsekuensi biaya tambahan untuk penanganannya (unnecessary cost).

1.6. Kebaruan Penelitian

1. Intervensi pemerintah terhadap industri gula nasional umumnya didekati dengan teori kepentingan publik sehingga tidak dapat mengungkap banyak kepentingan di balik kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini analisis dilakukan dengan pendekatan teori kelompok kepentingan menggunakan lobbying model atau pressure group model sehingga dapat mengungkap motif ekonomi politik yang mendasari lahir dan dipertahankannya sebuah kebijakan meskipun kebijakan tersebut tidak efisien.

2. Penelitian ekonomi politik pertanian umumnya didasarkan pada struktur pasar kompetitif. Pada penelitian ini analisis dilakukan pada struktur oligopolistik dan adanya market power tidak diasumsikan tapi diuji. Selain itu model ekonometrik-politik yang digunakan umumnya tidak mempertimbangkan ketidak-stasioneran data yang banyak dijumpai pada data ekonomi sehingga hubungan antar variabel ekonomi-politik secara statistik tidak valid (spurious). Pada penelitian ini hubungan antar variabel ekonomi-politik dianalisis dengan mengakomodasikan stasioneritas data.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Intervensi Pemerintah

Penjelasan mengenai peranan pemerintah dalam perekonomian dan penentuan kebijakan yang diambil telah menjadi perdebatan yang lama di kalangan pemerhati ekonomi. Intervensi pemerintah pada produksi dan pemasaran produk pertanian merupakan fenomena universal. Beberapa pola intervensi bersifat umum untuk setiap negara terlepas dari latar belakang budaya, sejarah, sosiologis, dan lokasi geografi. Namun demikian terdapat tendensi kebijakan yang mendiskriminasi pertanian di negara berkembang dengan beban perpajakan sementara subsidi yang besar diberikan ke pertanian di negara maju (Swinnen and Zee, 1993). Selain itu lingkungan politik yang melingkupi kebijakan pertanian pada satu negara pun selalu berbeda dari waktu kewaktu seperti halnya perbedaan lingkungan politik antar negara pada waktu tertentu. Oleh karena itu eksaminasi landasan berfikir ekonomi makro dan mikro dari politik kebijakan pertanian tersebut dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan mencolok dalam kebijakan yang diambil.

Kajian ekonomi tentang intervensi pemerintah pada produksi, pemasaran dan harga komoditi pertanian dapat diklasifikasikan ke dalam dua tradisi pemikiran berbeda (Swinnen and Zee, 1993), sementara Barret (1999) mengelompokkan menjadi tiga dengan menyertakan model mikroekonomi perilaku individual untuk menyelidiki ekonomi kebijakan pertanian. Namun karena model mikroekonomi merupakan model representasi agen (representative


(38)

agent model), maka model tersebut umumnya mengabaikan preferensi yang saling bertentangan diantara anggota masyarakat yang heterogen dan hasil kompetisi untuk mengejar kepentingan yang saling berseberangan.

2.1.1. Teori Kepentingan Publik

Tradisi pemikiran pertama berdasarkan ekonomi kesejahteraan Pigovian yang melakukan rekonsiliasi preferensi individu kedalam Teori Kepentingan Publik (Public Interest Theory) dan intervensi pemerintah diperlukan terutama untuk mengatasi persoalan kegagalan pasar yang ditimbulkan karena kompetisi yang tidak sempurna, adanya eksternalitas dan barang publik, serta industri yang memiliki fungsi biaya menurun (decreasing cost industries). Teori ini memandang pemerintah sebagai agen pelayan publik memiliki tujuan mulia untuk memperbaiki kegagalan pasar karena pada kondisi tersebut harga yang terjadi gagal menjelaskan kelangkaan sumberdaya yang digunakan. Namun demikian keterlibatan pemerintah adalah netral dari berbagai kepentingan karena didukung oleh para perencana profesional handal dimana kepentingan politik tidak nampak (Barrett, 1999).

Pendekatan ini menekankan mengapa ekonomi pasar gagal berfungsi secara efisien dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya dan untuk mengatasi kegagalan pasar negara menghasilkan barang publik dengan menginternalisasikan manfaat dan biaya sosial kedalam proses produksi, dan secara efektif mengatur industri yang memiliki struktur biaya menurun serta mendistribusikan manfaat secara optimal. Teori kebijakan ekonomi ortodok yang berlandaskan premis normatif untuk menemukan kebijakan ekonomi optimum


(39)

sangat relevan dengan kerangka kerja maksimisasi kemakmuran sosial ini. Namun jika terdapat kebijakan yang non optimal, hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan dan buruknya manajemen pemerintah (Swinnen and Zee, 1993).

2.1.2. Teori Kelompok Kepentingan

Tradisi yang kedua berasal dari teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) yang memusatkan perhatian pada peranan berbagai kelompok kepentingan (interest group) dan perilaku birokrasi (bureaucratic behavior). Pendekatan ini memberikan penekanan pada ketidaknetralan pemerintah dalam melakukan intervensi, karena seperti pelaku ekonomi lain, pemerintah memiliki interest tertentu sehingga boleh jadi akan melahirkan kebijakan yang gagal. Kehadiran kelompok kepentingan dalam studi merupakan konsekuensi logis dari adanya kepentingan tersendiri dari birokrat, politisi, dan kelompok-kelompok penekan (pressure group). Pendekatan ini dapat dilihat sebagai reaksi terhadap pendekatan pigovian yang menolak anggapan bahwa pemerintah didalam mengatasai ketidaksempurnaan pasar melakukan koreksi dengan cara yang sempurna dan tanpa biaya. Intervensi pemerinah pada pasar mungkin saja gagal memperbaiki ketidaksempurnaan pasar dan bahkan dapat membuatnya menjadi lebih buruk (government failure).

Teori ini memusatkan perhatian pada alokasi sumberdaya publik di dalam pasar politik dengan mengkaji perilaku berbagai kelompok kepentingan, termasuk politisi dan birokrat. Menurut pendekatan ini pemerintah tidak lebih dari sekumpulan lembaga eksekutif dan legislatif yang memilki kekuasaan dan keinginannya sendiri. Pendekatan ini menganalisis bagaimana agen-agen


(40)

pemerintah berfungsi pada berbagai aransemen kelembagaan untuk menemukan penjelasan antara apa yang direkomendasikan dengan apa yang dilakukan pemerintah dan menganalisis hasil yang dicapai (Barrett, 1999; Swinnen and Zee, 1993).

Aliran pemikiran teori pilihan publik merupakan salah satu sudut pandang didalam memahami pembuatan keputusan politik. Teori ini menggunakan argumentasi ekonomi (economic reasoning) di dalam persoalan-persoalan politik. Inti persoalan terletak pada perilaku rasional pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan yang melakukan ‘investasi’ untuk meningkatkan kemakmuran. Penyedia manfaat politik (politisi dan birokrat) menawarkan subsidi, manfaat pajak, dan sejumlah regulasi kepada peminat atau demanders (kelompok-kelompok kepentingan) dengan imbalan pemberian suara, kontribusi pada kampanye pemilihan umum, atau imbalan lain (Gardner, 1987). Di banyak negara berkembang dimana birokrat dan politisi tidak dimonitor secara ketat, diskresi kebijakan yang mereka miliki sering memunculkan penyuapan melalui kewenangan alokatif dan ketepatan waktu pelayanan. Peminat yang memberikan penawaran tertinggi akan mendapatkan alokasi dan dilayani tepat waktu. Untuk mendapatkan pelayanan tepat waktu maka besarnya nilai penyuapan tergantung pada marjinal benefit of time dari peminat sementara untuk mendapatkan alokasi tertentu ditentukan oleh perbandingan manfaat marjinal dengan pengeluaran marjinal lobi. Untuk kasus Indonesia, hasil penelitian Kuncoro (2004) menunjukkan bahwa besarnya nilai penyuapan ini terhadap keseluruhan biaya produksi untuk industri agribisnis mencapai 11.3 % sementara untuk industri manufaktur adalah 9.3 %.


(41)

Kedua tradisi ini meskipun berbeda secara ideologi dan metodologi, namun keduanya mengkaji persoalan bagaimana kepentingan ekonomi eksogen mempengaruhi keseimbangan politik yang melibatkan berbagai kepentingan. Para kelompok kepentingan bersifat rasional yang dinyatakan sebagai memaksimumkan fungsi tujuan dengan manfaat (lobbies), kemakmuran individu (voters), dan dukungan politik (politiciants) sebagai argumennya. Dengan cara ini maka terdapat kesamaan antara analisis pasar politik dengan pasar ekonomi dimana keseimbangan terjadi ketika manfaat politik marjinal sama dengan biaya politik marjinal. Selain itu terdapat interaksi yang kuat antara kedua pasar tersebut dimana pasar ekonomi dapat menciptakan kemakmuran (wealth) yang dapat memperluas kekuasaan politik, sementara itu pasar politik dapat mendistribusikan kemakmuran yang pada gilirannya dapat memperkuat kekuasaan ekonomi (Swinnen and Zee, 1993).

2.2. Makroekonomi Politik Kebijakan Pertanian 2.2.1. Fakta Khas Kebijakan Pertanian

Studi ekonomi politik kebijakan pertanian sangat aktif dilakukan pada periode 1980an hingga pertengahan tahun 1990an. Hal ini didukung oleh kombinasi beberapa faktor. Pertama dan yang terutama yaitu fenomena subsidi besar ke sektor pertanian yang diberikan negara maju sementara negara-negara berkembang memberlakukan pajak terhadap sektor pertanian. Kedua adalah munculnya teori baru mengenai ekonomi politik (new political economy) dari Universitas Chicago dengan kontributor utamanya Stigler (1971), Peltzman (1976) dan Becker (1983), pemikiran teori pilihan publik Downs (1957), dan


(42)

Olson (1965). Faktor ketiga adalah ketersediaan data baru dari negara berkembang dalam kerangka penelitian oleh Bank Dunia. Kombinasi pertanyaan yang menggoda, teori yang semakin kaya, dan ketersediaan data baru menghasilkan banyak kajian ekonomi politik kebijakan pertanian antara tahun 1980an hingga pertengahan 1990an. Setelah itu penelitian ekonomi politik kebijakan pertanian secara keseluruhan semakin berkurang terutama pada dekade terakhir (Swinnen, 2009).

Lebih jauh Swinnen menyatakan studi-studi empiris kebijakan pertanian yang telah dilakukan selama periode 1980an hingga pertengahan 1990an tersebut dapat dikelompokkan kedalam tiga pola yaitu pola pembangunan (development pattern), pola anti perdagangan (anti-trade pattern), dan pola anti keunggulan komparatif (anti-comparative advantage pattern). Pola tersebut menurut Master and Garcia (2009) merupakan fakta khas (stylized facts) yang melanda sektor pertanian.

Pola pembangunan mengacu pada hubungan positif antara tingkat proteksi pertanian dengan rata-rata pendapatan nasional negara, dan pergeseran historis dari pengenaan pajak ke proteksi terhadap produsen pertanian seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pola anti perdagangan mengacu pada observasi terhadap sektor atau komoditi yang bersaing dengan impor (import-competing product) cenderung dibantu (atau dikenai pajak kecil) dibanding dengan sektor yang menghasilkan komoditi ekspor, sementara pola anti keunggulan komparatif mengacu pada observasi proteksi yang relatif kecil (atau pajak tinggi) untuk produk yang memiliki keunggulan komparatif dan proteksi meningkat ketika pendapatan usahatani (pendapatan pada industri pertanian tertentu) menurun


(43)

relatif terhadap pendapatan sektor lain. Yang terakhir ini dapat terjadi karena beberapa alasan antara lain menurunnya nilai tukar komoditi tersebut di pasar dunia, fluktuasi nilai tukar, atau karena inovasi teknologi yang menurunkan pendapatan komoditi tertentu (Swinnen, 2009; Rozelle and Swinnen, 2009).

Pola global tersebut tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi ekonomi, namun ia konsisten dengan prediksi teori ekonomi politik. Ketika argumentasi ekonomi menyertakan banyak variabel dalam model namun dengan resiko menyederhanakan insight dari persoalan, penjelasan ekonomi politik memusatkan perhatian pada faktor-faktor ekonomi struktural penting. Beberapa studi menjelaskan dampak perubahan kondisi struktur ekonomi terhadap biaya distribusi dan distorsi yang berhubungan dengan tingkat proteksi, intensitas aktivitas politik, serta kemampuan mengorganisir dan mempengaruhi pemerintah. Sejalan dengan meningkatnya pendapatan, perubahan struktur ekonomi akan mempengaruhi biaya distribusi dan biaya politik serta manfaat proteksi pertanian, yang berarti meningkatkan insentif politik bagi pemerintah dalam pembuatan keputusan. Misalnya ketika kontribusi pangan dalam total pengeluaran konsumen semakin berkurang, hal tersebut menurunkan penolakan terhadap proteksi pertanian bukan saja oleh konsumen tapi juga oleh pemilik modal di sektor lain yang tidak menginginkan tekanan inflasi dari tingkat upah yang berasal dari mahalnya pangan akibat proteksi (Swinnen, 2009; Master and Garcia, 2009).

Faktor lain yang bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi adalah berkurangnya share pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja. Dengan menurunnya jumlah petani secara relatif maka biaya per unit peningkatan pendapatan pertanian akibat proteksi semakin kecil bagi anggota masyarakat lain.


(44)

Selanjutnya pendapatan non pertanian tumbuh lebih cepat dibanding pendapatan sektor pertanian. Hal ini memberikan insentif politik baik dari sisi permintaan (petani) maupun penawaran (politisi) untuk melakukan pertukaran antara transfer pemerintah dengan dukungan politik. Ketika pendapatan pertanian menurun relatif terhadap sektor lain, petani mencari sumber pendapatan lain tanpa melalui mekanisme pasar ekonomi (non market source) misalkan dukungan pemerintah (government support) baik karena penerimaan lebih besar dari investasi yang dikeluarkan untuk aktivitas lobi atau aktivitas pasar lainnya maupun karena kesediaan yang tinggi untuk memberikan dukungan suara. Dengan alasan yang sama pemerintah cenderung mendukung sektor yang tidak memiliki keungulan komparatif dibanding dengan yang memiliki keunggulan komparatif (Swinnen, 2009; Master and Garcia, 2009).

Teori ekonomi politik memprediksi bahwa ekspor menerima subsidi kecil (atau pajak tinggi) dibanding dengan impor karena perbedaan elastisitas permintaan dan penawaran. Distorsi dan biaya transfer intervensi kebijakan meningkat sejalan dengan neraca perdagangan komoditas yaitu ketika net ekspor naik. Oleh karena itu proteksi pada suatu sektor dibanyak negara meningkat ketika surplus neraca perdagangan menurun. Dengan menurunnya share pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja, maka studi mengenai argumen aksi kolektif menyatakan bahwa organisasi politik petani menjadi relatif murah yang membuat lobi petani menjadi semakin efektif (Swinnen, 2009).

Sebagian besar studi empiris mengenai proteksi pertanian menggunakan data cross section atau menggunakan panel data dengan periode singkat. Meskipun menghasilkan insight penting, hubungan yang diperoleh


(45)

mengindikasikan adanya fluktuasi pada tingkat proteksi, umumnya berimpitan dengan periode depresi ekonomi makro dan kelangkaan pangan. Fluktuasi demikian menunjukkan bagaimana sensitif dan responsifnya proteksi pertanian (transfer pendapatan) terhadap perubahan eksternal. Fluktuasi dukungan pertanian terlihat jelas dari studi historis mengunakan data rentang waktu dan analisis ekonometrika. Namun demikian studi historis tersebut fokus pada satu negara sehingga sulit membuat generalisasi (Swinnen, 2009; Master and Garcia, 2009).

2.2.2. Studi Empiris

Berbagai fakta khas (stylized facts) pertanian tersebut dapat dijelaskan dengan teori ekonomi politik dan Master and Garcia (2009) telah menguji konsistensi teori ekonomi politik terhadap fakta dengan menggunakan data panel untuk negara berkembang dan negara maju.

Rational Ignorance

Konsep rational ignorance pertama kali dikemukakan oleh Anthony Downs (1957) untuk menjelaskan minimnya informasi yang dimiliki individu yang berkaitan dengan isu-isu kebijakan dan argumentasi ekonomi yang berkaitan dengan perilaku ini diberikan Stigler (1961) yang mengatakan individu akan mencari informasi sampai suatu tingkat tertentu dimana manfaat marjinal harapan (expected marginal benefit) sama dengan biaya marjinal harapan (expected marjinal cost). Diluar tingkatan tersebut pencarian tambahan informasi menjadi tidak produktif. Oleh karena itu adalah rasional (rational) bagi seseorang untuk bersikap tidak acuh (ignorance) terhadap suatu kebijakan jika biaya yang


(46)

dikeluarkan untuk mempelajari atau melakukan aksi terhadap kebijakan tersebut lebih besar dari manfaat yang diberikan secara individual atau secara keseluruhan lebih besar dari biaya organisasi politik.

Dengan menggunakan ukuran tingkat bantuan nominal (nominal rate of assistence, NRA) sebagai variabel terikat (dependent variable) dan total biaya per kapita sebagai variabel bebas (independent variable), Master and Garcia menemukan hubungan bahwa naiknya biaya per kapita diikuti dengan penurunan persentase NRA. Hubungan ini menjelaskan mengapa manfaat kebijakan cenderung terkonsentrasi pada sedikit orang sehingga memotivasi mereka untuk melakukan aksi politik dan memanfaatkan kebijakan yang dihasilkan (Master and Garcia, 2009). Dampak tersebut semakin besar untuk masyarakat di perkotaan yang mengindikasikan mereka lebih mudah dimobilisir dari pada masyarakat perdesaan. Bahkan pada kebanyakan kasus manfaat tersebut diperoleh dengan pengorbanan pihak lain dan jika pengorbanan tersebut relatif kecil secara individual maka kebijakan tersebut dipertahankan untuk waktu yang cukup lama. Hal ini dikarenakan ketika seseorang ingin mengevaluasi suatu kebijakan, individu tersebut tidak akan mengumpulkan informasi yang memadai karena mengetahui kemungkinan untuk mempengaruhi aksi bersama (collective actions) sangat kecil.

Absolute Group Size

Menurut Olson (1965) kelompok dengan anggota yang relatif banyak cenderung menghadapi persoalan free rider sehingga peranannya dalam mempengaruhi kebijakan tidak akan efektif. Free ride terjadi karena manfaat tidak


(47)

dapat dipisahkan untuk dinikmati antara mereka yang memberi kontribusi dengan yang tidak. Namun demikian jika kelompok tersebut lebih berpengaruh karena dapat memobolisasi suara, kontribusi politik, atau tekanan politik lainnya maka akan berdampak sebaliknya.

Hasil penelitian Master and Garcia (2009) menunjukkan bahwa kelompok yang lebih besar dapat memperoleh manfaat dari kebijakan yang dibuat. Kemungkinan yang terjadi adalah kelompok tersebut memiliki tingkat free-ridership yang sama sehingga kelompok yang besar lebih berpengaruh dari pada kelompok yang relatif kecil. Lebih dari itu pengaruh tersebut lebih besar dimiliki oleh kelompok di perkotaan daripada kelompok di perdesaan yang berarti setiap tambahan penduduk perkotaan memiliki pengaruh politik yang lebih besar daripada setiap tambahan penduduk perdesaan.

Mempertimbangkan dua pendekatan ekonomi politik ini maka diperoleh parameter unconditional regression NRA dengan pendapatan nasional relatif kecil jika dibandingkan dengan regresi yang juga menyertakan rational ignorance namun lebih besar pada hasil regresi dengan kontrol group size. Hal ini mengindikasikan rational ignorance merupakan penjelasan penting terhadap fenomena paradoks pembangunan (development paradox) yaitu pertanian di negara maju menerima subsidi besar sementara di negara berkembang dikenai pajak, sedangkan group size memberikan pengaruh tambahan. Namun demikian ketiga regresi tersebut kurang tepat untk diperbandingkan karena memiliki ukuran sampel yang berbeda (Master and Garcia, 2009).


(48)

Rent Seeking Behavior

Teori pilihan publik (public choice theory) diawali dengan premis bahwa pemerintah memiliki keinginannya sendiri (self interest) yang ingin dimaksimumkan dan salah satunya adalah mempertahankan kekuasaan. Dalam demokrasi hal ini berarti mengamankan suara untuk dapat terpilih kembali, sehingga pada lingkungan politik yang demikian pemerintah akan menghasilkan regulasi, perpajakan, atau subsidi yang menguntungkan kelompok tertentu dan sebagai imbalannya kelompok tersebut memberikan dukungan politik untuk mempertahankan pemerinah yang berkuasa. Dengan kata lain dalam konteks kebijakan pertanian, terdapat pasar politik dimana pemerintah menyediakan subsidi untuk para petani dengan imbalan dukungan politik.

Teori pilihan publik juga terkait dengan aktivitas mencari rente (rent seeking activities) yang dilakukan individu atau kelompok (misalnya kelompok petani) untuk mendapatkan transfer pemerintah baik melalui subsidi langsung ataupun pembuatan regulasi yang menguntungkan. Aktivitas memburu rente juga dilakukan birokrasi untuk memperbesar organisasinya dan manfaat lain dari organisasi birokrasi yang semakin besar tersebut. Akibatnya adalah para pembuat keputusan akan menghasilkan kebijakan yang tidak memenuhi pareto efisiensi terutama jika mereka dapat menghindar dari proses akuntabilitas. Pendekatan memburu rente menjelaskan pola intervensi kebijakan melalui check and balances yang membatasi pembuat keputusan pada berbagai tingkatan dan berbagai sektor (Schmitz, et al., 2002).

Hasil penelitian Master and Garcia menunjukkan bahwa pemerintah yang menghadapi kontrol ketat melalui mekanisme check and balances menghasilkan


(49)

NRA yang relatif kecil atau menghasilkan kebijakan yang mendekati pareto optimal dibandingkan dengan pemerintah yang melakukan kooptasi. Informasi check and balances mengukur efektifitas pengawasan parlemen terhadap pemerintah yang membuat keputusan atau menurut undang-undang bagaimana parlemen mempengaruhi pengawasan oleh anggotannya. Informasi ini berasal dari database of political institutions yang disusun oleh Beck, Keefer and Clarke (2008).

2.3. Mikroekonomi Politik Kebijakan Pertanian 2.3.1. Fungsi Preferensi Politik

Dalam mengelaborasi teori pilihan publik, beberapa penulis mengkuantifikasi bias kebijakan terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat dengan menggunakan Fungsi Preferensi Politik (FPP). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa kebijakan pertanian yang berlaku merupakan keseimbangan ekonomi politik yang melibatkan semua kekuatan yang relevan (Johnson, 1995). Pengaruh berbagai kelompok dalam proses penyusunan kebijakan tercermin dalam fungsi preferensi politik yang dimaksimumkan pemerintah dengan mempertimbangkan semua pembatas ekonomi yang ada, dan bobot politik (political weight) untuk masing-masing kelompok kepentingan merupakan hasil dari proses pembuatan keputusan politik tersebut (Bullock, 1994; Swinnen et al., 2000; Lee and Kennedy, 2007).

Secara hipotetis para pembuat kebijakan pertanian memiliki fungsi kemakmuran (welfare function) yang menyertakan bobot politik dari masing-masing kelompok kepentingan (misalkan 3 kelompok) yang dinyatakan dalam model FPP sederhana berikut (Johnson, 1995).


(50)

W = wp.Gp + wc.Gc – wt.Lt (2.1)

dimana wp, wc, dan wt adalah bobot politik untuk kelompok produsen, konsumen,

dan pembayar pajak (tax payer), serta Gp, Gc, dan Lt merepresentasikan dampak

kemakmuran yang dihasilkan dari kebijakan tersebut yang secara berurutan mewakili surplus produsen, surplus konsumen dan kerugian pembayar pajak.

Keterangan:

P0EAPS = Gp = perubahan surplus produsen

P0EBPd = Gc = perubahan surplus konsumen

PSABPd= Lt = kerugian pembayar pajak

EAB = DLt= dead weight loss.

Misalkan pemerintah menggunakan kebijakan dukungan harga (price suport) untuk meningkatkan produksi maka produsen dan konsumen diuntungkan, tapi pembayar pajak dirugikan. Gambar berikut menunjukkan bahwa kerugian pembayar pajak adalah jumlah dari Gp, Gc, dan ABE (dead weight loss, DLt),

sehingga fungsi kemakmuran dapat dinyatakan sebagai,

W= (wp - wt) Gp + (wc - wt) Gc – wt DLt (2.2)

Pengukuran preferensi dapat dilakukan karena ia teramati (observable) yaitu ditunjukkan oleh aktivitas kebijakan, dan argumen yang terdapat pada FPP

Supply

Demand QS

0 Quantity

P

B A P0

Pd

PS

Q0

E

Sumber: Johnson, 1995


(51)

mewakili ukuran-ukuran kinerja seperti surplus kemakmuran. Oleh karena itu bobot politik yang dihasilkan dari proses pembuatan keputusan politik pun dapat diketahui dan diukur. Swinnen and Zee (1993) menyebutkan ada tiga pendekatan untuk mendapatkan bobot politik yang terkandung dalam FPP yaitu pendekatan langsung dengan mewawancarai pembuat kebijakan, pendekatan tidak langsung menggunakan revealed preference, dan pendekatan arbitrary dimana peneliti berdasarkan pengetahuan yang dimiliki menentukan sendiri bobot politik dari masing-masing kelompok kepentingan. Namun demikian dalam penelitian ekonomi politik kebijakan pertanian pendekatan yang paling banyak digunakan adalah pendekatan tidak langsung, revealed preference, dengan mendiferensiasikan fungsi preferensi politik terhadap harga sebagai kondisi pertama (first order condition) dalam memaksimumkan nilai FPP untuk kemudian mendapatkan bobot politik dari masing-masing kelompok kepentingan.

Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa proses pembuatan kebijakan dapat dijelaskan melalui persoalan matematik dimana pemerintah memaksimumkan sebuah fungsi kemakmuran yang terdiri dari kemakmuran berbagai kelompok kepentingan. Fungsi yang akan dimaksimumkan nilainya tersebut dikenal dengan Fungsi Preferensi Politik (FPP). Menurut Bullock (1994) meskipun kajian FPP dalam literatur sering dibahas namun penjelasan mengenai metodologi dan asumsi yang diperlukan relatif sedikit. Metodologi FPP menempatkan frontier Pareto sebagai bagian penting penggunaan model dan kajian FPP mengukur tingkat transformasi marjinal (Marginal Rate of Transformation, MRT) di sepanjang frontier Pareto tersebut. Oleh karena penelitian ini berlandaskan pada kerangka kerja FPP dan Bullock (1994) dalam


(52)

artikelnya telah melakukan evaluasi kritis tentang FPP maka bagian berikut (2.3.1.1. hingga 2.3.1.4.) merupakan saduran dari artikel tersebut untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang kerangka kerja FPP.

2.3.1.1. Rasionalitas Pemerintah dan Efisiensi Pareto

Dalam evaluasi kritisnya terhadap FPP, Bullock (1994) menyajikan rasionalitas dan asumsi Fungsi Preferensi Politik (Political Preference Function). Kajian diawali dengan memberikan beberapa definisi formal, yaitu pemerintah memiliki p ≥ 1 instrumen kebijakan untuk memperbaiki kemakmuran dari q ≥ 2 kelompok kepentingan. Misalkan x* = (x1, …, xp) adalah vektor yang menjelaskan

level instrumen kebijakan pertanian yaitu 1, …, p, dan sebuah nilai tertentu dari vektor variabel x* disebut sebuah “kebijakan.” Misalkan u*=(u1, …, uq) adalah

sebuah vektor yang menerangkan tingkat kemakmuran kelompok 1, …, q, dan b* = (b1, …, by) adalah vektor yang menjelaskan struktur pasar dan bersifat eksogen

terhadap kebijakan pemerintah, misalnya elastisitas permintaan dan penawaran. Misalkan juga * Rp adalah set dari semua kebijakan yang dapat diimplemetasikan jika sumberdaya tidak terbatas, dan X* * adalah set dari kebijakan yang secara teknis layak diimplementasikan dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki pemerintah. Misalkan juga B* Ry adalah set vektor b* untuk semua parameter. Tingkat kemakmuran adalah fungsi dari kebijakan dan kondisi pasar: u*= (u1, …, uq) = [h1(x*,b*), …, hq(x*,b*)] = h*(x*,b*) dimana fungsi

vektor h* dapat didiferensiasikan secara kontinyu (continuously differentiable) terhadap X* × B*. Untuk struktur pasar yang dijelaskan oleh b*0 B*, set luaran kebijakan yang secara teknis dapat diimajinasikan adalah I*(b*0) = {u*|u*= h*(x*,b*0), x* *} dan set hasil kebijakan yang secara teknis layak adalah


(53)

F*(b*0) = {u*|u*= h*(x*,b*0), x* *}. Dengan demikian sebuah fungsi preferensi politik adalah strictly increasing function g*: I*(b*0) → R.

2.3.1.2. Asumsi Dasar

Asumsi dasar FPP adalah pemerintah bersikap rasional dalam arti memaksimumkan fungsi preferensi dengan kehadiran pembatas (maximizes a preference subject to a constraint) dan menyelesaikan persoalan yang dapat direpresentasikan sebagai (FPP-MAX)*, dimana FPP g* menjelaskan preferensi atau kemakmuran sosial,

(2.3)

= h*(x*, b*0) F*(b*0).

Selanjutnya menurut kaidah Kuhn and Tucker, x*0 adalah kebijakan yang efisien jika dan hanya jika x*0 menyelesaikan persoalan maksimisasi vektor (Vector Maximization Problem, VMP)* yaitu,

(VMP)* V-MAX h*(x*,b*0) s.t. x* X*, (2.4) dimana x*0 adalah efisien jika dan hanya jika tidak ada x* X* yang memenuhi h*(x*,b*0) ≥ h*(x*0,b*0). Untuk b*0 B*, frontier Pareto P*(b*0) menyatakan kumpulan semua hasil kebijakan yang efisien (Bullock, 1994), yaitu:

P*(b*0) = {u*|u*= h*(x*,b*0), x* solves (VMP)*}. (2.5) Frontier Pareto adalah kurva instrumen kebijakan majemuk (multiple-policy-instrument), kelompok kepentingan majemuk (multiple-interest-group), generalisasi dari instrumen kebijakan tunggal (single-policy-instrument), dan transformasi surplus dua kelompok kepentingan (two-interest-group surplus transformation curve). Karena frontier Pareto menyatakan batas terluar kumpulan


(54)

dari semua hasil kebijakan yang layak secara teknis (boundary of the set of technically feasible policy oucomes) F*(b*0) maka ia membatasi (FPP-MAX)*. Proposisi berikut menunjukkan bahwa dengan rasionalitas, kemakmuran yang dihasilkan (observed welfare oucome) berada pada frontier Pareto.

Proposisi. Untuk b*0 B*, jika sebuah kebijakan x*0 menyelesaikan (FPP-MAX)*, maka h*(x*0,b*0) P*(b*0).

Bukti. Misalkan itu tidak benar. Maka untuk b*0 B*, x*0 menyelesaikan (FPP-MAX)*, tetapi h*(x*0,b*0) P*(b*0). Karena h*(x*0,b*0) P*(b*0) maka terdapat sebuah x* X*, katakan x*’, sedemikian hingga h*(x*’,b*0) ≥ h*(x*0,b*0). Karena g*(u*) adalah strictly increasing, maka g*[h*(x*’,b*0)] > g*[h*(x*0,b*0)], yang mengimplikasikan bahwa x*0 tidak menyelesaikan (FPP-MAX)* sehingga kontradiktif dengan asumsi awal pembuktian (Bullock, 1994).

Proposisi tersebut menunjukkan bahwa implikasi langsung dari asumsi dasar studi FPP adalah hasil kebijakan yang diamati memenuhi Pareto efisien. Pemerintah yang rasional tidak akan memilih sebuah hasil kemakmuran h*(x*0,b*0) yang terletak pada interior pembatas F*(b*0).

2.3.1.3. Dimensi Fungsi

Pada realitas sehari-hari banyak kelompok kepentingan mempengaruhi kebijakan (yang sangat ekstrim adalah setiap individu adalah satu kelompok), banyak instrumen kebijakan yang tersedia bagi pemerintah, dan banyak parameter yang diperlukan untuk menjelaskan keadaan pasar. Akibatnya peneliti FPP harus mengagregasikan atau menghilangkan beberapa kelompok kepentingan, mengabaikan beberapa instrumen kebijakan, dan menggunakan model ekonometrik sederhana untuk menjelaskan kondisi pasar. Dengan kata lain


(1)

Pasal 7

(1) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 4 yang dapat diimpor harus msmiliki bilangan ICUMSA antara 100 IU sampai dangan 300 IU.

(2) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diimpor:

a. di luar masa :

- 1 (satu) bulan sebelum musim giling tebu rakyat; - musim giling tebu rakyat; dan

- 2 (dua) bulan setelah musim giling tebu rakyat;

b. apabila harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani mencapai di atas Rp. 3.410,-/kg (tiga ribu empat ratus sepuluh rupiah per kilogram); dan atau

c. apabila produksi dan atau persediaan Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan.

(3) Musim giling tebu rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a ditentukan oleh Menteri Pertanian.

(4) Penentuan keadaan harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani mencapai di stag Rp. 3.410,-/kg (tiga ribu empat ratus sepuluh rupiah per kilogram) dan atau keadaan produksi dan atau persediaan Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar') di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dan c didasarkan pads hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait. (5) Harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar') di tingkat petani sebesar

Rp. 3.410,-/kg (tiga ribu empat ratus sepuluh rupiah per kilogram) dapat diubah dan ditetapkan lain oleh Menteri setelah mempertimbangkan hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait.

(6) Jumlah Gula yang perlu diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ditentukan berdasarkan hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana dimuat dalam ayat (4) dan ayat (5).

Pasal 8

Impor Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Gula, selanjutnya disebut IT Gula.

Pasal 9

(1) Penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan oleh Direktur Jenderal.


(2)

(2) Perusahaan yang ingin mendapat penunjukan sebagai IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah perusahaan yang perolehan tebunya paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen):

a. bersumber dari petani tebu; atau

b. merupakan hasil kerjasama dangan petani tebu setempat.

(3) Bukti perolehan tebu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan surat keterangan perolehan tebu dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat. (4) Perusahaan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dangan melampirkan :

a. Surat Izin Usaha Perdagangan atau izin usaha lainnya yang setara yang diterbitkan oleh instansi berwenang;

b. Angka Pengenallmportir (API); c. Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

d. Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) Gula; e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Pasal 10

(1) Atas permohonan tertulis perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), Direktur Jenderal menerbitkan persetujuan atau penolakan

penunjukan sebagai IT Gula paling lambat dalam jangka waktu 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.

(2) Bentuk dokumen penunjukan sebagai IT Gula tercantum dalam lampiran III Keputusan ini.

Pasal 11

Penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang kembali.

Pasal 12

(1) Setiap importasi Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) oleh IT Gula harus mendapat persetujuan impor terlebih dahulu dari Direktur Jenderal. (2) Persetujuan impor sebagaimana dimaksud. dalam ayat (1) menyangkut

antara lain masa berlaku persetujuan impor, jumlah Gula, jenis Gula dan pelabuhan tujuan.

Pasal 13

(1) Terhadap perusahaan yang telah mendapat penunjukan sebagai IT Gula wajib melakukan penyanggaan harga gula apabila harga Gula Kristal Putih di tingkat petani berada di bawah Rp. 3.410,/kg (tiga ribu empat ratus sepuluh rupiah per kilo gram), bekerjasama dangan pihak lain yang mendapat persetujuan Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat.

(2) Selain IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menunjuk perusahaan lain untuk melaksanakan impor


(3)

dalam rangka penyanggaan harga Gula Kristal Putih dan penyediaan Gula nasional.

Pasal 14

(1) Setiap pelaksanaan importasi Gula Kristal Mentah/Gula Kasar, Gula Kristal Rafinasi dan Gula Kristal Putih oleh IP Gula dan IT Gula wajib terlebih dahulu dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis yang mencakup pemeriksaan :

a. dokumen perizinan dan persyaratan administratif; b. teknis di negara muat barang.

(2) Pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Menteri. (3) Hasil verifikasi atau penelusuran teknis yang telah dilakukan surveyor

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) yang dijadikan sebagai dokumen impor.

(4) Atas pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis yang dilakukannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), surveyor dapat memungut imbalan jesa yang diberikannya dari IP Gula dan IT Gula atau dari pemberi hibah dalam hal importasi dilaksanakan dalam rangka pemberian hibah.

(5) Untuk dapat ditunjuk sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis pelaksanaan importasi gula, surveyor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : .

a. berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun; dan b. memiliki cabang atau perwakilan atau afiliasi di luar negeri.

(6) Ketentuan dan tatacara pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 15

Kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak diberlakukan terhadap importasi Gula yang merupakan : (1) barang keperluan penelitian dan pengembangan teknologi;

(2) barang contoh;

(3) barang pribadi penumpang atau awak sarana pengangkut atau pelintas batas;

(4) barang promosi;

(5) barang kiriman melalui jesa kurir dengan menggunakan jesa pesawat udara.

Pasal 16

Kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis importasi Gula oleh surveyor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak mengurangi kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan kepabeanan. .


(4)

Pasal 17

(1) Perusahaan yang telah memperoleh penunjukan sebagai IT Gula wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Direktur Jenderal cq Direktur Impor, Departemen Perindustrian dan Perdagangan setiap bulan tentang

pelaksanaan importasi Gula Kristal Putih dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian, paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya dari setiap bulan pelaksanaan importasi.

(2) Bentuk laporan tertulis dari perusahaan yang telah mendapat penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini.

Pasal 18

Perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP Gula atau penunjukan sebagai IT Gula dan atau persetujuan impor dilarang untuk mengalihkan dan mengatasnamakan IP Gula atau IT Gula dan atau persetujuan impor tersebut kepada pihak lain.

Pasal 19

(1) Pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula dibekukan apabila: a. tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan

tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 17 sebanyak 2 (dua) kali; atau

b. terdapat dugaan melakukan pelanggaran dan tindak pidana ekonomi yang berkaitan dangan penyalahgunaan pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula dan atau persetujuan impor Gula.

(2) Pembekuan pengakuan IP Gula dan penunjukan IT Gula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta pencairannya dilakukan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 20

(1) Pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula dicabut apabila :

a. mengubah, menambah dan atau mengganti isi yang tercantum dalam dokumen pengakuan IP Gula atau dokumen penunjukan IT Gula; atau

b. dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas pelanggaran dan tindak pidana ekonomi yang berkaitan dangan penyalahgunaan pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula dan atau persetujuan impor Gula. (2) Pencabutan pengakuan IP Gula atau penunjukan IT Gula sebagaimana


(5)

Pasal 21

(1) Gula yang diimpor secara tidak sah dan melanggar ketentuan dalam Keputusan ini ditetapkan sebagai barang yang dikuasai dan dimiliki negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2004.

(2) Terhadap Gula yang ditetapkan sebagai barang yang dikuasai dan dimiliki negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pelelangan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dimanfaatkan untuk memenuhi:

a. kebutuhan industri sebagai bahan baku/penolong; dan atau b. kebutuhan konsumsi di luar Pulau Jawa.

(3) Gula yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir a semata-mata hanya dapat digunakan untuk keperluan industri dan dilarang untuk diperdagangkan ke pasar di dalam negeri.

(4) Besaran jumlah Gula yang dilelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperhitungkan sebagai bagian dari jumlah Gula yang perlu diimpor. Pasal 22

(1) Dangan ditetapkannya Keputusan ini, maka segala akibat hukum yang timbul dan seluruh perizinan yang telah dikeluarkan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 643/MPP/Kep/9/2002 tentang Tata Niaga Impor Gula dinyatakan tetap berlaku sampai selesainya akibat hukum dan berakhirnya masa berlaku perizinan dimaksud.

(2) Ketentuan kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimuat dalam Pasal 14 mulai diberlakukan 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya Keputusan ini.

Pasal 23

Pengecualian terhadap ketentuan dalam Keputusan ini hanya dapat ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24

Ketentuan pelaksanaan dan hal-hal teknis yang belum diatur dalam Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 25

Keputusan ini mulai barlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dangan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta


(6)

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN

PERDAGANGAN RI.