ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA.

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Program Agribisnis

Oleh :

2014

MALIK KURDIANTO

NPM : 1024010024

Kepada

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

S U R A B A Y A


(2)

SKRIPSI

ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA Disusun Oleh :

pada tanggal 10 Juli 2014 MALIK KURDIANTO

NPM : 1024010024

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Pertanian Jurusan Agribisnis

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Mengetahui : Pembimbing :

1. Pembimbing Utama :

Dr. Ir. Zainal Abidin, MS 2. Pembimbing Pendamping :

Ir. Sigit Dwi Nugroho, MSi

Tim Penguji : 1. Ketua

Dr. Ir. Zainal Abidin, MS 2. Sekretaris

Ir. Mubarokah, MTP 3. Anggota

Ir. Sigit Dwi Nugroho, MSi 4. Anggota

KETUA PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

DEKAN


(3)

ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA

POLICY ANALYSIS OF SELF SUFFICIENCY OF SUGAR IN INDONESIA

ABSTRAK

Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan makanan pokok. mengalami peningkatan dengan laju masing-masing 1,2% dan 7,8%. Permintaan gula nasional terus meningkat selama kurun waktu 2005-2013. Secara umum, produksi gula mempunyai kecenderungan pola sama dengan permintaan gula namun jumlah produksi gula masih dibawah permintaan gula.

Penelitian ini membahas tentang swasembada gula di Indonesia, dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi swasembada gula di Indonesia, kebijakan ketentuan impor untuk keberhasilan swasembada gula di Indonesia, dan strategi untuk mencapai swasembada gula di Indonesia Lingkup penelitian ini meliputi pengolahan data gula secara nasional (makro) mulai tahun 2002-2012. Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan estimasi Ordinary Least Squares (OLS) dengan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Statistical Analysis Software/ Econometric Time Series (SAS/ETS) versi 9.1.

Faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap tercapainya swasembada gula di Indonesia adalah rendemen gula, luas areal tebu, produksi tebu, harga pupuk nasional, curah hujan, pol tebu, produksi gula, impor gula dan ekspor gula, sedangkan yang tidak berpengaruh adalah harga gula pasir Nasional, luas areal tebu, GDP per kapita dan jumlah penduduk. Apabila terjadi kenaikan impor gula di Indonesia sebesar 50 persen, maka akan menurunkan produksi gula di Indonesia sebesar 5.10 persen, meningkatkan harga gula pasir nasional sebesar 20.1 persen, peningkatan konsumsi gula di Indonesia sebesar 0.35 persen. Kenaikan impor gula di Indonesia tersebut juga berdampak pada penurunan produksi tebu di Indonesia sebesar 3.19 persen dan rendemen gula domestik mengalami penurunan sebesar 200.39 persen. Produksi gula di Indonesia di pengaruhi oleh beberapa indikator yang diantaranya adalah rendemen gula domestik, untuk memperbaiki rendeman, maka yang bisa dilakukan adalah perbaikan varietas, optimalisasi waktu tanam, pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu, serta perbaikan sistem tebang dan pengangkutandan revitalisasi pabrik gula dengan fokus pada peningkatan kapasitas terpasang dan rendemen minimal 10 persen, dimana produksi gula harus bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri dan mempunyai persediaan gula dalam jumlah besar, sehingga kesempatan untuk ekspor gula juga besar dan bisa menekan impor gula.


(4)

ABSTRACT

Sugar is an essential commodity for the people of Indonesia and even for the world community. The benefits of sugar as a source of calories for people other than rice, corn and tubers make sugar as one of the staple food. have increased at a rate of 1.2%, respectively, and 7.8%. Domestic sugar demand continues to increase during the period 2005-2013. In general, sugar production pattern has the same tendency to demand the production of sugar, but the amount of sugar is still below the demand for sugar.

This study discusses self-sufficiency in Indonesia, by analyzing the factors that influence self-sufficiency in Indonesia, the policy provisions for the success of self-sufficiency in sugar imports in Indonesia, and strategies to achieve self-sufficiency in Indonesia The scope of this study includes data processing sugar national (macro ) beginning in 2002-2012. This study uses a simultaneous equation model estimated Ordinary Least Squares (OLS) with the computer program Microsoft Excel 2007 and Statistical Analysis Software / Econometric Time Series (SAS / ETS) version 9.1.

The factors that greatly affect the achievement of self-sufficiency in Indonesia is the yield of sugar, sugarcane acreage, the production of sugarcane, the price of the national fertilizer, rainfall, pol sugar cane, sugar production, sugar import and export of sugar, whereas no effect is the price of sugar national, sugarcane acreage, GDP per capita and population. If there is an increase sugar imports by 50 percent in Indonesia, it will lower sugar production in Indonesia by 5:10 percent, increase sugar prices nationally by 20.1 percent, increase in sugar consumption in Indonesia of 0.35 percent. The increase in sugar imports in Indonesia also have an impact on the decline in sugarcane production in Indonesia at 3:19 percent and domestic sugar yield decreased by 200.39 percent. Sugar production in Indonesia is influenced by several indicators that include domestic sugar yield, to improve rendeman, then that can be done is improved varieties, optimization of time of planting, balanced fertilizer, pest control, and harvesting and transport system improvements and revitalization of the sugar mills focus on increasing the installed capacity and yield at least 10 percent, where sugar production should be sufficient for the country and having a lot of sugar in bulk, so the opportunity to export sugar too large and could reduce imports of sugar.


(5)

telah memberikan berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA”

Penyusunan proposal penelitian skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat penyusunan skripsi strata-1 di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Untuk itu ijinkan pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat :

Dr. Ir. Zainal Abidin, MS. dan Ir. Sigit Dwi Nugroho, MSI selaku pembimbing utama dan pembimbing pendamping yang sabar memberi arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

Moh. Syakur dan ibu Toyyibah, orang tua yang selalu memberi bantuan materiil, spirituil dan selalu penuh kasih sayang.

Terima kasih juga kepada sahabat-sahabatku serta teman-teman Jurusan Agribisnis 2010, serta tak lupa juga kepada semua dosen Fakultas Pertanian khususnya Program Studi Agribisnis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis menyadari bahwa karena keterbatasan penulis, tesis ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan di sana sini. Oleh sebab itu segala kritik dan saran penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap, walau sekecil apapun tulisan ini dapat bisa bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Surabaya, Agustus 2014


(6)

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan ... 5

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 5

a. Bagi Mahasiswa ... 5

b. Bagi Universitas ... 5

1.4 Batasan Masalah ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Penelitian Terdahulu ... 7

2.2 Landasan Teori ... 10

2.2.1 Kriteria dan Kebijakan Swasembada Gula Di Indonesia ... 10

2.2.2 Sejarah Industri Gula di Indonesia ... 15

1. Permasalahan dan Kebijakan Pemerintah Industri Gula di Indonesia ... 17

2. Efisiensi Pabrik Gula ... 19

a. Mill Extraction (ME) ... 19

b. Boiling House Recovery (BHR) ... 20

c. Overall Recovery (OR) ... 20

d. Pol Tebu ... 21

2.2.3 Penawaran dan Permintaan Gula Domestik ... 22


(7)

3. Elastisitas Produksi ... 28

4. Variabel yang Mempengaruhi Produksi gula ... 29

a. Luas Areal (Tanah) ... 30

b. Rendemen ... 31

c. Ekspor dan Impor Gula di Indonesia ... 32

2.2.5 GDP Nasional ... 38

2.2.6 Curah Hujan ... 40

a. Jenis Pengukur Curah Hujan ... 41

b. Alat Pengukur Curah Hujan Otomatis ... 41

2.3 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian ... 41

2.3.1 Kerangka Pemikiran ... 41

III. METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian ... 44

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.3 Analisis Data ... 44

3.3.1 Koefisien Determinasi ... 45

3.3.2 Uji-F ... 45

3.3.3 Uji-t ... 47

3.3.4 Validasi Model ... 48

3.3.5 Simulasi Model ... 49

3.3.6 Model Ekonometrika ... 51

1. Produksi Gula di Indonesia ... 51

2. Produksi Tebu di Indonesia ... 51

3. Rendemen Gula Domestik ... 52

4. Konsumsi Gula di Indonesia ... 52


(8)

8. Swasembada Gula di Indonesia ... 55

3.4 Definisi Operasional Variabel ... 55

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

4.1 Gambaran Umum Pergulaan di Indonesia ... 57

4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Swasembada Gula di Indonesia ... 61

4.2.1 Produksi Gula di Indonesia ... 63

4.2.2 Produksi Tebu di Indonesia ... 65

4.2.3 Rendemen Gula Domestik ... 67

4.2.4 Konsumsi Gula di Indonesia ... 69

4.2.5 Impor Gula di Indonesia ... 70

4.2.6 Ekspor Gula di Indonesia ... 72

4.2.7 Harga Gula Pasir Nasional ... 74

4.3 Kebijakan Impor untuk Keberhasilan Swasembada Gula di Indonesia ... 76

4.3.1 Hasil Validasi Model ... 76

4.3.2 Kebijkan Menaikkan Impor Gula Sebesar 50 Persen ... 78

4.3.3 Kebijakan Menurunkan Impor Gula Sebesar 50 Persen ... 79

4.3.4 Dampak Kebijakan Impor Gula yang Diterapkan Oleh Pemerintah Indonesia ... 81

4.4 Strategi Swasembada Gula di Indonesia ... 83

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

5.1 Kesimpulan ... 88

5.2 Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90


(9)

1. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Gula di Indonesia ... 2

2. Kebijakan Pergulaan di Indonesia ... 36

3. Dugaan Parameter Produksi Gula di Indonesia ... 63

4. Dugaan Parameter Produksi Tebu di Indonesia ... 65

5. Dugaan Parameter Rendemen Gula Domestik ... 67

6. Dugaan Parameter Konsumsi Gula di Indonesia ... 69

7. Dugaan Parameter Impor Gula di Indonesia ... 71

8. Dugaan Parameter Ekspor Gula di Indonesia ... 73

9. Dugaan Parameter Harga Gula Pasir Nasional ... 75

10. Validasi Model Faktor Swasembada Gula di Indonesia ... 77

11. Simulasi Kebijakan Menaikkan Impor Gula Sebesar 50 Persen ... 78


(10)

(11)

1. Data Faktor-Faktor Swasembada Gula di Indonesia ... 93

2. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Produksi Gula di Indonesia ... 95

3. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Produksi Tebu di Indonesia ... 96

4. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Rendemen Gula Domestik ... 97

5. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Konsumsi Gula di Indonesia ... 98

6. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Impor Gula di Indonesia ... 99

7. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Ekspor Gula di Indonesia ... 100

8. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Harga Gula Pasir Nasional ... 101

9. Hasil Validasi Faktor-Faktor Swasembada Gula di Indonesia ... 102

10. Hasil Simulasi Kebijakan Menaikkan Impor 50 Persen ... 104


(12)

1.1 LATAR BELAKANG

Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan makanan pokok. Kebutuhan akan gula dari setiap negara tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga karena gula merupakan bahan pemanis utama yang digunakan sebagai bahan baku pada industri makanan dan minuman. Peranan gula semakin penting disebabkan oleh belum tersedianya bahan pemanis buatan yang mampu menggantikan keberadaan gula pasir. Kondisi geografis Indonesia yang cukup berpotensi untuk menghasilkan tanaman tebu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpotensi sebagai produsen gula terbesar di dunia (Meireni, 2012: 13).

Berkaitan dengan permintaan gula yang cenderung meningkat sedangkan produksi gula mengalami fluktuasi, maka pemerintah memilih opsi impor gula untuk memenuhi permintaan yang ada (Safrida, 2012). Data perbandingan antara produksi, konsumsi, dan impor gula akan diperlihatkan pada tabel dibawah ini:


(13)

Tabel 1.1 Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Gula di Indonesia

Tahun Produksi (ton) Impor (ton) Konsumsi (ton) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2.241.742 2.307.027 2.448.143 2.668.429 2.299.503 2.214.489 2.228.259 2.591.687 2.762.477 1.980.487 1.405.942 2.972.788 983.944 1.373.546 2.300.089 2.060.000 2.350.000 2.260.000 3.057.536 3.760.000 3.750.067 3.508.000 4.850.109 4.289.000 4.670.770 5.200.000 5.516.470 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2013

Grafik diatas, produksi gula nasional cenderung mengalami peningkatan. Semenjak tahun 2005 hingga tahun 2008, penurunan terjadi tahun 2010 dan mengalami peningkatan lagi semenjak tahun 2011 dan konsumsi gula nasional cenderung meningkat semenjak tahun 2005 hingga tahun 2013. Untuk impor cenderung meningkat dari tahun 2005 hingga 2007, kemudian dari tahun 2010-2013 kembali mengalami peningkatan yang cukup tinggi.

Pada periode 2005-2013, produksi gula nasional menurun dengan laju -1,8 per tahun. Permintaan dan impor gula nasional sebaliknya mengalami peningkatan dengan laju masing-masing 1,2% dan 7,8%. Permintaan gula nasional terus meningkat selama kurun waktu 2005-2013. Secara umum, produksi gula mempunyai kecenderungan pola sama dengan permintaan gula namun jumlah produksi gula masih dibawah permintaan gula.

Swasembada gula yang ditargetkan tahun 2014 nampaknya makin sulit dicapai karena target produksi 2,8 juta ton hanya tercapai 89,9% atau sebanyak 2,5 juta ton. Banyak faktor yang dijadikan alasan turunnya produksi gula nasional, di antaranya iklim, rendemen dan produktivitas tanaman yang juga


(14)

menurun. Program-program yang mendukung pencapaian swasembada tidak berjalan maksimal, seperti ketersediaan lahan, revitalisasi pabrik gula (PG) dan pembangunan PG baru. swasembada gula tahun 2014 dapat dicapai jika program atau kegiatan satu sama lain berjalan dengan baik, seperti ketersediaan lahan tebu seluas 350.000 hektare (ha), revitalisasi PG dan pembangunan PG baru 10-15 unit (Nurwono, 2013).

Ketersediaan lahan 350.000 ha fakta aktual lahan itu tidak tersedia. Begitu juga untuk pembangunan PG baru, baru terealiasi 1 unit. Sedangkan untuk kegiatan revitalisasi PG hanya berjalan 10%. lahan seluas 350.000 ha salah satunya untuk PG Rafinasi agar bisa membangun kebun baru. hal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lahan itu sudah tersedia karena Kementerian Kehutanan sudah melepas lahan tersebut. Meskipun sudah ada lahan, belum tentu industri gula rafinasi mau membangun kebun tebu sendiri karena di lapangan masalah lahan masih banyak. lahan yang dibebaskan Kemenhut itu lokasinya terkadang ada rumah penduduk. Hal ini tentu berpotensi untuk menimbulkan masalah. Akibatnya, pembangunan kebun baru seluas 350.000 ha tidak terlaksana. Revitalisasi PG juga tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga roadmap swasembada gula 2014 direvisi, terutama target produksi dari 5,7 juta ton menjadi 3,1 juta ton. Dengan target produski 3,1 juta ton, tahun depan produksi gula bisa mencapai target yang sudah ditentukan. Artinya, meskipun kendala masih cukup banyak, namun swasembada gula 2014 tetap tercapai. mencapai target produksi tersebut sebenarnya cukup dengan meningkatkan rendemen rata-rata 8% dengan areal yang 454.990 ha dan produktivitas mencapai 80 ton/ha, sehingga produksi bisa mencapai 3,5 juta ton. masalah rendemen ini sangat tergantung dengan iklim. Jika curah hujan berlebihan, maka rendemen akan turun. Penurunan rendemen tebu ini karena di beberapa daerah curah hujan masih cukup tinggi. Akibatnya, bobot tanaman


(15)

tebu bisa naik, tapi rendemen turun. Selain itu, lahan yang basah menjadi hambatan dalam pengangkutan. Akibatnya, pabrik kurang pasokan tebu, sehingga efisiensi PG terganggu (Nurwono, 2013).

Kebijakan pemerintah dalam meregulasi industri pergulaan tidak mengembalikan posisi Indonesia seperti pada masa-masa keemasannya. Produksi total dan produktivitas industri gula yang terus menurun yang tidak seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan gula mengakibatkan ekspor gula berhenti sama sekali pada tahun 2005 (Mubyarto, 2012:12 ).

Berdasarkan surat Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan Gula Indonesia Nomor 59/PD.310/M/2/2012 tanggal 29 Februari 2012 perihal Usulan HPP Gula Petani Tahun 2012, perlu menetapkan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih. Penetapan HPP ini sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dalam upaya meningkatkan produksi tebu dan produktivitas lahan agar swasembada gula di dalam negeri tercapai, serta dapat memenuhi kebutuhan gula bagi mayarakat dengan harga yang stabil dan terjangkau.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia adalah negara yang sangat bagus untuk tanaman tebu dimana lahannya luas dan pertumbuhan untuk bercocok tanam juga lumayan baik dengan adanya permintaan gula yang sangat meningkat atau jumlah konsumsi gula di Indonesia meningkat setiap tahunnya, dimana jumlah konsumsi gula tidak seimbang dengan jumlah produksi, sebab jumlah produksi tidak bisa memenuhi kebutuhan gula dalam negeri saat ini, maka impor gula juga meningkat di Indonesia oleh karena itu peneliti menentukan judul “Analisis Kebijakan

Swasembada Gula Di Indonesia” dengan menentukan suatu perumusan


(16)

1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi swasembada gula di Indonesia? 2. Apa kebijakan impor untuk keberhasilan swasembada gula di Indonesia? 3. Bagaimana strategi swasembada gula di Indonesia?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1.3.1 Tujuan

a. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi swasembada gula di Indonesia.

b. Menganalisis kebijakan impor untuk keberhasilan swasembada gula di Indonesia.

c. Mengetahui strategi swasembada gula di Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

a. Bagi Mahasiswa

Meningkatkan hasil belajar dan solidaritas Mahasiswa untuk menemukan pengetahuan dan mengembangkan wawasan, meningkatkan kemampuan menganalisis suatu masalah melalui pembelajaran dengan model pembelajaran inovatif.

b. Bagi Universitas

Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan yang sangat berharga pada perkembangan ilmu pendidikan, terutama pada penerapan model-model pembelajaran untuk meningkatkan hasil proses pembelajaran dan hasil belajar di Fakultas.


(17)

1.4 Batasan Masalah Penelitian :

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari produksi gula di Indonesia, konsumsi gula di Indonesia, produksi tebu di Indonesia, impor gula di Indonesia, ekspor gula dan rendemen gula domestik dari tahun 2002 sampai 2012.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Meiditha (2003), menganalisis mengenai efisiensi produksi gula pasir diPG Kebon Agung. Dalam pendugaan modelnya produksi gula dipengaruhi olehtujuh factor produksi dan satu peubah dummy. Faktor produksi tersebut terdiri dari bahan baku tebu, rendemen tebu, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, residu dan jumlah bahan pembantu. Sedangkan variabel dummy ditambahkan untuk mengetahui pengaruh dari kebijakan tataniaga gula dantataniaga impor terhadap produksi gula. Setelah dilakukan analisis regresidihasilkan lima variabel yang berpengaruh nyata, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman serta variabel dummy. 19 Analisis efisiensi yang dilakukan dengan membandingkan antara NPMxi denganBKMxi hanya dapat menilai tiga faktor produksi, yaitu tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman yang ketiganya dinyatakan belum efisien secaraekonomis. Sedangkan dua faktor produksi lainnya, yaitu rendemen dan jam mesin tidak dapat dilihat efisiensinya karena tidak dapat diukur tingkat harganya.

Hidayat (2003), menganalisis kinerja produksi dan keuangan di PT PGRajawali II Unit PG Subang. Analisis yang dilakukan antara lain: Pertama, analisis rasio untuk mengukur rentabilitas, aktivitas, dan leverage. Kedua, analisis titik impas dan analisis profitabilitas untuk mengetahui hubungan biaya produksiterhadap titik impas dan profitabilitas. Ketiga, analisis Du Pont untuk melakukan identifikasi hubungan antara struktur biaya dengan kinerja keuangan. Hasil analisis digunakan untuk merumuskan alternatif-alternatif perbaikan kondisiperusahaan. Kinerja keuangan PG Subang cenderung naik


(19)

pada tahun 1999-2001 dan menurun pada tahun 2002 untuk rentabilitas dan likuiditas.

Nurrofiq (2005), menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Djatiroto. Dalam analisisnya terdapat enam faktor produksiyang diduga berpengaruh terhadap produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari keenam peubah tersebut hanya lima faktor produksi yangberpengaruh nyata terhadap model produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlahtebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, dan lama giling. Pengolahan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan model regresi yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi gula di PG Djatiroto serta rasio 20 NPM dan BKM untuk melihat efisiensi alokatif pabrik tersebut. Untuk perumusan model produksi gula dipergunakan model fungsi produksi linier berganda.

Wahyuni (2007), di dalam penelitiannya terdapat enam faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Madukismo, Yogyakarta. Faktor-faktor produksi tersebut antara lain: tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, bahan pembantu, lama giling, dan jam mesin. Namun setelah dianalisis menggunakan model regresi, ternyata hanya ada lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula, yaitu tenaga kerja tetap, tenagakerja tidak tetap, jumlah tebu, lama giling, dan jam mesin. Kemudian faktorfaktor tersebut diukur tingkat efisiensinya dengan melihat perbandingan antaranilai NPM dan BKM. Dalam penelitian ini, faktor-faktor produksi yang diukur tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerjamusiman karena ketiga faktor produksi tersebut dapat diukur tingkat harganya. Dari nilai NPM dan BKM dari setiap faktor produksi dapat dijelaskan bahwa pengalokasian sumberdaya dari ketiga


(20)

faktor produksi belum optimal. Untuk perumusan model produksi gula menggunakan model fungsi produksi linierberganda.

Penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula dapat dilihat dari berbagai karakteristik, yaitu usahatani, karakteristik dalam pabrik, keadaan pasar, serta karakteristik kebijakan. Dalam segi usahatani faktor-faktor yang biasa diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jumlah tebu, dan tingkat rendemen. Dalam pabrik faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, residu, jumlah bahan pembantu, dan lama giling. Sedangkan karakteristik di pasar berupa harga gula di pasaran (domestik dan impor) serta kebijakan pergulaan yang dikeluarkan pemerintah. Untuk penelitian yang dilakukan di pabrik gula Pagottan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jumlah tebu, rendemen,tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, jam mesin, serta lama giling. Pendugaan ini berasal dari penelitian-penelitian terdahulu dan pengamatan yang dilakukan di lapang. Dapat disimpulkan metode yang digunakan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh, yaitu metode OLS (Ordinary Least Square). Model fungsi produksi yang biasa digunakan yaitu model fungsi Cobb-Douglas dan model fungsi Linier.

Penelitian ini digunakan metode OLS (Ordinary Least Square)dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Efisiensi merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam peningkatan produksi gula nasional. Efisiensi dapat bermacam-macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis dapat diukur dengan melihat perbandingan antara persentase kapasitas giling dengan kapasitas terpasangnya, atau dapat juga dengan mengukur antara rasio bahan baku dan gula yang dihasilkannya.


(21)

Efisiensi alokatif dapat diukur dengan membandingkan antara NPM dan BKM. Sedangkan efisiensi ekonomis dapat dilihat dari persentase harga pokok dengan persentase harga provenue, nilai titik impas serta nilai kemampuan laba. Dalam penelitian ini akandicari tingkat efisien alokatifnya. Dengan efisiensi alokatif ini maka diketahui efisiensi dari faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula,dimana efisiensi alokatif menilai pengorbanan yang dibutuhkan untuk menambahsuatu input terhadap hasil.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Kriteria dan Kebijakan Swasembada Gula di Indonesia

Kriteria swasembada gula di Indonesia adalah dimana konsumsi yang meningkat dalam negeri maka produksi harus lebih meningkat agar supaya kebutuhan gula dalam negeri terpenuhi dan mengurangi impor gula di Indonesia untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia harus juga meningkatkan efisiensi teknik pabrik agar supaya produksi gula di Indonesia lebih meningkat lagi dan mengekspor gula dan menekan impor gula di Indonesia. Dimana yang telah di tetapkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), suatu badan internasional yang berada di bawah PBB, apabila produksi dalam negeri mencapai 90%, maka maksimal impor harus 10%.

Implementasi kebijakan gula masih lemah, kebijakan yang diputuskan oleh berbagai kementerian/lembaga pemerintah kurang bersinergi. Masing-masing lembaga belum mengacu ketujuan yang sama. Kebijakan PGR belum diarahkan sehingga mampu mengurangi kandungan impor dan memakai bahan baku dalam negeri. Pemerintah seharusnya menyusun strategi industri yang mampu menyeimbangkan dan mensinergikan, diantaranya yang terpenting adalah sector industri dengan sektor pertanian, industri yang berada


(22)

di Jawa dan di luar Jawa, industri besar/asing dengan industri UKM. Kerjasama perusahaan BUMN (PG BUMN, Perum BULOG, Bank Mandiri/BRI) belum berjalan mulus, sehingga belum mampu melindungi petani produsen, dan konsumen, dan mengoreksi struktur pasar oligopsoni/oligopoli. Peran Kementerian BUMN belum optimal dalam mensinergikan mereka untuk kepentingan jangka panjang, terutama untuk “memperlemah” peran pedagang kuat, membuat perdagangan menjadi lebih adil dan kompetitif. PG BUMN belum mampu mengelola industri pengolahan yang terkait erat dengan usahatani. Pengelolaan usahatani tebu di tangan petani, sedangkan pengelolaan penggilingan tebu ditangani PG, sehingga telah menyulitkan PG dalam mengatur waktu tebang dan angkut, kualitas tebu, dan lain-lain, sehingga telah berpengaruh buruk terhadap rendemen dan produktivitas gula. Salah satu solusinya adalah merancang cara baru, seperti yang disarankan IPB (2002) dan Sawitet al. (2004), yaitu petani menyerahkan lahan sebagai saham petani agar dikelola oleh PG. Alternatif lain adalah pemerintah kembali ke sistem sewa lahan, seperti yang pernah ditempuh sebelum era Tebu Rakyat Indonesia (TRI). Indonesia belum merancang industri hilir tebu yang kuat terintegrasi dengan PG, sehingga diversifikasi produksi belum terlaksana, lambat dalam usaha untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi risiko insta bilitas harga. Hampir semua PG putih berkonsentrasi sebagai produsen gula, sedikit sekali yang telah memperdalam industri hilirnya.


(23)

Tabel 2.1 Kebijakan Pergulaan di Indonesia

No. Kebijakan Perihal Tujuan

1 Kepmen perindag NOMOR:

643/MPP/Kep/9/2002

Tentang Tata Niaga Impor Gula

Meningkatkan upaya

perlindungan kesehatan masyarakat dari dampak penggunaan atau konsumsi langsung gula kristal mentah/gula kasar (raw sugar) dan untuk menjamin tingkat pendapatan petani/produsen tebu dalam negeri, dipandang perlu mengatur tata niaga impor gula;

2 Kepmenkeu 324/KMK.01/2002 TANGGAL 3 JULI 2002 Tentang Perubahan Tarif Bea Masuk Atas Impor Gula

Bahwa dalam rangka mendukung program restrukturisasi industri gula

nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan petani tebu dan konsumen gula, dipandang perlu mengubah tarif bea masuk atas impor gula; 3 Kepmen perindag

NOMOR:

527/MPP/Kep/9/2004

Tentang Ketentuan Impor Gula

mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri Gula, perlu diambil upaya untuk menjaga pasokan Gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor;


(24)

No. Kebijakan Perihal Tujuan 4 Permendag

NOMOR : 19/M-DAG/PER/4/ 2006 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 527/Mpp/Kep/9

/2004 Tentang

Ketentuan Impor Gula

mempertimbangkan berbagai kepentingan dari petani tebu, industri gula, industri pengguna gula sebagai bahan baku/penolong proses produksi dan masyarakat selaku konsumen gula, maka dipandang perlu dilakukan perubahan atas Keputusan Menteri Perundustrian dan

Perdagangan Nomor

527/MPP/KEP/9/2004 tentang

Ketentuan Impor Gula; 5 Permendag

NOMOR : 18/MDAG/PER/4 /2007 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 527/Mpp/Kep/9 /2004 Tentang Ketentuan Impor Gula

ditetapkan harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani dengan Peraturan Menteri Perdagangan;

6 Permendag

NOMOR : 19/M‐DAG/PER/

5/2008 Tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 527/Mpp/Kep/9 /2004 Tentang Ketentuan Impor Gula

Bahwa penyesuaian harga gula di tingkat petani perlu mempertimbangkan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di dalam negeri;

7 Permenkeu NOMOR 150/PMK.011/ 2009 Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Gula

Dalam rangka menjaga stabilitas harga gula di dalam negeri

dengan memperhatikan kepentingan konsumen, perlu

menetapkan tarif Bea Masuk atas impor gula;


(25)

No. Kebijakan Perihal Tujuan 8 Permendag

NOMOR : 20/M-DAG/PER/5/ 2010 Penetapan Harga Patokan Petani (Hpp) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar)

mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula, dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula, perlu dilakukan upaya untuk menjaga persedian dan stabilitas harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar);

9 Permendag NOMOR : 11/M-DAG/PER/5/ 2011 Penetapan Harga Patokan Petani (Hpp) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar)

mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula, dan meningkatkan daya saing serta jaminan pendapatan petani tebu dan industri gula, perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar); dan meningkatkan efisiensi dan rendemen gula 10 Permendag No. 28/M-DAG/PER/5/ 2012 Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih

Penetapan HPP ini sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

petani dalam upaya

meningkatkan produksi tebu dan produktivitas lahan agar swasembada gula di dalam negeri tercapai, serta dapat memenuhi kebutuhan gula bagi mayarakat dengan harga yang stabil dan terjangkau.

11 Permendag No. 27/M-DAG/PER/6/ 2013 Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih

Penetapan HPP ini sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dalam upaya meningkatkan produksi tebu dan produktivitas lahan agar swasembada gula di dalam negeri tercapai, serta dapat memenuhi kebutuhan gula bagi mayarakat dengan harga yang stabil dan terjangkau.


(26)

2.2.2 Sejarah Industri Gula Di Indonesia

Cerita mengenai indutri Gula di Indonesia memang tidak bisa terlepas dari cerita sejarah kolonialisme. Ketika pulau Jawa pada awal abad ke XIX secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda, usaha penanaman tebu terus berlangsung (Wasino,2008). Penanaman tebu ini salah satunya di lembagakan oleh kebijkan culturstelsel untuk memacu produksi Gula yang dimulai di tahun 1830. Daerah perkebunan tebu selanjutnya tumbuh sejak tahun 1840an dan berkembang sampai abad berikutnya adalah daerah pesisir utara dari Cirebon hingga Semarang, di sebelah selatan Gunung Muria hingga Juwana, daerah kerajaan (Vorstenlanden), Madiun, Kediri, Besuki, di sepanjang Probolinggo hingga Malang melalui Pasuruan, dari Surabaya Barat Daya sampai ke Jombang (Poesponegoro & Notosoesanto,1993). Pada masa itu pengusaha swasta dari kalangan bangsa Cina da Eropa juga mengusahakan tanaman tebu di sekitar Batavia yang diikuti dengan pendirian pabrik-pabrik gula (Mandere, 1928). Ketika sistem tanam paksa secara resmi berakhir pada tahun 1870 lebih banyak orang Jawa terlibat ke penanaman tebu,pelaku usahanya bergeser dari pemerintaha kolonial ke pengusaha swasta (Wasino,2008). Walaupun cerita mengenai culturstelseel dianggap sebagai salah satu catatan hitam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, namun sejarah Industri Gula yang juga merupakan dari rangkaian kebijakan culturstelseel juga menyimpan kisah lain. Berkat keuntungan dari perdagang gula, beberapa kota di pulau Jawa berkembang pesat seperti kota pelabuhan Semarang dan Surabaya serta beberapa kota lainnya. Industri gula menyerap tenaga-tenaga terampil dari Eropa dan juga buruh-buruh pribumi (Poesponegoro & Notosoesanto,1993). Berdasarkan sejumlah riset tentang sistem Tanam Paksa di Jawa, Van Niel mengemukakan bahwa perkebunan tebu juga tidak menyebabkan


(27)

kehancuran terhadap kehidupan social ekonomi dan tatanan sosial di daerah pedesaan. Perkebunan tebu membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan seluruh kelompok social di pedesaan (Van Niel,2003) walaupun pertumbuhan ekonomi ini tidak di nikmati secara merata dan tergantung ke dalam berbagai lapisan sosial masyarakatnya. Industri ini juga membawa semacam aufklarung ekonomi untuk daerah sekitarnya.

Pergantian abad dan ambang pintu zaman malaise, perkebunan gula tetap makmur tetapi jumlah nya tidak meningkat malah lambat laun berkurang. Kemakmuran yang dinikmati oleh industri ini pada tiga dasawarsa permulaan abad ke 20 secara mendadak berakhir pada pernulaan tahun 1930 pada saat malaise atau depresi mencekam seluruh dunia yang juga menggilas produksi pulau Jawa terutama di pasar Hindia dan Cina. Kesulitan tersebut mendorong perusahaan gula mengambil langkah penyelamatan, yang sejalan dengan garis kebijakan pemerintahan yakni, memotong produksi serta luas lahan penanaman tebu (Poesponegoro & Notosoesanto,1993). Kini pabrik gula telah dikelola oleh negara, melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Banyak diantaranya yang telah mengembangkankan usahanya, melakukan diversifikasi usaha maupun tetap pada pakem usaha industri gula seperti sebelumnya. Salah satu pabrik gula yang melakukan diversifikasi usaha dan menggali potensi yang bisa dikembangkan adalah Pabrik Gula Tasik Madu di Karanganyar.


(28)

1. Permasalahan dan Kebijakan Pemerintah Industri Gula Di Indonesia

Permasalahan yang dihadapi Industri gula, antara lain: 1) Bahan baku

a) Rendahnya produktifitas lahan dan rendemen gula disebagian PG-PG milik PTPN/PTRNI dibanding dengan PG-PG-PG-PG swasta.

b) Bahan baku raw sugar untuk industri gula rafinasi masih seluruhnya diimpor Pengembangan industri raw sugar untuk memasok bahan baku industri gula rafinasi dalam negeri belum juga terwujud.

2) Produksi

a) Mutu gula putih produksi dalam negeri masih belum memadai.

b) Produksi tebu dan gula masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera;

c) Pada umumnya mesin produksi perusahaan gula putih sudah tua, sementara, program revitalisasi perusahaan gula belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan yang secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas dari kebijakan input dan produksi, distribusi dan kebijakan harga. Kebijakan paling banyak berpengaruh adalah kebijakan pengendalian impor. Berdasarkan pada beberapa rejim kebijakan pergulaan di Indonesia yang telah ditetapkan tersebut, dalam penelitian ini rejim yang digunakan adalah rejim tentang pengendalian impor melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 600/PMK.010/2004 tentang tarif bea masuk gula putih ditetapkan menjadi sebesar Rp 790/kg dan gula mentah Rp 550/kg yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2005. Pemilihan akan rejim yang digunakan dalam penilitian ini dengan maksud untuk meneliti


(29)

peraturan atau rejim terbaru yang ditetapkan oleh pemerintah tentang industri pergulaan Indonesia dan melihat pengaruhnya terhadap produksi gula nasional di Indonesia. Penggunaan rejim tersebut dalam penelitian ini juga bertujuan untuk dapat membedakan penelitian ini dari penelitian-penelitian sebelumnya. Kebijakan merupakan sebuah bentuk regulasi yang sangat mempengaruhi jumlah produksi gula. Pemerintah menetapkan kebijakan tarif bea masuk impor gula putih bertujuan untuk membatasi produk gula impor di pasar domestik.

Kebijakan pemberlakuan tarif impor sangat penting untuk mengurangi masuknya gula impor ke dalam negeri dan menghidupkan kembali industri pergulaan domestik. Semakin rendah bea masuk masuk gula impor yang ditetapkan pemerintah maka akan semakin banyak gula impor masuk dan semakin rendah harga gula impor di pasar domestik yang mengakibatkan gula domestik kalah bersaing. Begitu pula jika semakin tinggi standar kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam menetapkan tarif bea masuk gula impor, maka gula impor akan semakin sedikit masuk ke pasar domestik dan harga gula impor tidak terlalu murah dibandingkan gula domestik. Hal ini mampu meningkatkan daya saing gula domestik. Ketika daya saing gula domestik tinggi dan minat masyarakat semakin tinggi membeli gula domestik, petani akan lebih merasa diuntungkan dan semakin meningkatkan produksi gula yang dihasilkan. Semakin membaiknya kondisi pergulaan tersebut maka akan semakin tinggi jumlah produksi gula yang dihasilkan.


(30)

2. Efisiensi Pabrik Gula 1. Mill Extraction (ME)

Mill extraction (ME) suatu pabrik gula dinyatakan efisien apabila nilainya berada pada minimal efisiensi normalanya yaitu 95%, sehingga semakin besar ME maka kinerja stasiun gilingan pada pabrik gula tersebut semakin optimal. Pada PG Wringinanom nilai mill extraction (ME) selama tahun 2001 – 2010 masih dibawah 95% dan cenderung menurun. Artinya pada kemampuan ekstraksi pada stasiun penggilingan masih belum efisien dalam mengambil pol nira mentah dari pol yang berada dalam batang tebu.

Nilai mill extraction (ME) PG Wringinanom yang masih dibawah angka efisiensi normalnya, salah satunya disebabkan oleh kondisi mesin pabrik yang sudah berumur tua dan tanpa adanya pembaharuan teknologi, sehingga potensi henti giling tinggi yang berimplikasi terhadap kehilangan pol dalam ampas yang tinggi (tabel 5). Secara garis besar, kehilangan gula (pol) di ampas sangat yang sangat besar dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, intensitas pencacahan tebu, intensitas imbibisi dan intensitas pemerahan dari tandem gilingan. Semakin intensif pencacahan, imbibisi dan pemerahan, dilakukan, semakin tinggi pula ekstraksi yang dicapai dan semakin rendah kadar pol ampasnya (kehilangan gulanya). Selama ini untuk mempertahankan kemampuan kinerja mesin-mesin pabrik hanya dilakukan perawatan terhadap alat-alatnya (Purwono, 2003:56).


(31)

2. Boiling House Recovery (BHR)

BHR yang telah dicapai PG Wringinanom selama sepuluh tahun terakhir cenderung menurun, hal ini mengindikasikan bahwa pabrik gula tersebut mengalami penurunan efisiensi di stasiun pengolahan sehingga mengakibatkan menurunya kemampuan pabrik gula dalam mengolah nira mentah menjadi gula kristal putih (GKP). Umur pabrik gula yang sudah tua masih menjadi faktor utama atas kondisi demikian, akibatnya alat-alat pada mesin pabrik menurun kemampuanya. Selain itu, juga tidak adanya perbaharuan teknologi pada mesin- mesin dan perlatan pabrik. Dari revitalisasi industri gula yang pernah dicanangkan pemerintah untuk mendukung program swasembada gula Indonesia masih belum menyentuh PG Wringinanom. Hal ini karena peningkatan produksi gula pada pabrik gula sebagai upaya mendukung swasembada gula dikonsentrasikan pada pabrik gula-pabrik gula yang memiliki kapasitas besar kurang lebih > 3000 TCD. Artinya ke depan Pabrik Gula Wringinanom masih sulit untuk bersaing dengan pabrik gula-pabrik gula lainya dengan kondisi demikian.

Nilai boiling house recovery (BHR) yang cenderung semakin menurun selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa telah terjadi kehilangan pol yang semakin meningkat juga. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai persentase pol yang hilang di blotong, HK tetes dan pol yang hilang tidak diketahui juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat (Purwono, 2003:56).

3. Overal Recovery (OR)

Overal recovery (OR) sebagai indikator efisiensi teknis mempunyai nilai standar untuk efisiensi normalnya, yaitu 85%. Sebagai


(32)

indikator efisiensi teknis yang merupakan penggabungan antara stasiun penggilingan dan pengolahan, nilai OR sangat bergantung pada nilai ME dan BHR. Semakin tinggi nilai OR maka menunjukkan pabrik gula kinerjanya semakin baik, karena mampu menekan jumlah pol yang hilang. Selama tahun 2001–2010 OR PG Wringinanom masih dibawah 85% dan cenderung menurun, artinya bahwa kinerja pabrik gula dalam menghasilkan gula krisal putih dari tebu secara umum tidak efisien karena kehilangan terhadap pol tinggi yaitu di atas 15% pol yang tidak bisa diselamatkan, karena hilang terbawa ampas, blotong, tetes, atau yang tidak diketahui. OR yang PG yang masih dibawah 85% merupakan kewajaran, karena rata-rata OR nasional masih dibawah 80% sehingga yang perlu dilakukan adalah meningkatkan OR (Purwono, 2003:56).

4. Pol Tebu

Selama tahun 2001-2010, pol tebu di Indonesia berkisar antara 8,28% – 9,46 %. Angka tersebut masih jauh dibawah angka efisiensi normalnya sebesar 14%, artinya pol tebu yang dihasilkan di Indonesia belum memiliki efisiensi teknis tanaman. Kondisi ini mengindikasikan dari aspek kualitas bahan baku tebu yang digiling juga belum optimal dalam pencapaian kadar sukrosanya. Hal ini dipengaruhi beberapa hal, seperti faktor kemasakan tebu yang ditebang, manajemen terhadap tebu tebu yang sudah ditebang, karena meskipun tingkat kemasakan tebu yang ditebang tinggi tetapi tebu tersebut terlalu lama menunggu untuk digiling oleh PG maka mengakibatkan kewayuan. Waktu tunggu tebu digiling maksimal adalah 36 jam setelah ditebang, jika sudah melebihi waktu tersebut belum digiling maka kandungan sukrosa dalam tebu menurun (Purwono, 2003:56).


(33)

2.2.3 Penawaran Dan Permintaan Gula Domestik

Produksi gula di Indonesia (white sugar dan refined sugar) 3,92 juta ton (2008) dan diperkirakan menjadi 4,37 juta ton pada tahun 2009. Estimasi pertumbuhan industri gula sebesar 6% setahun antara lain didasarkan pada perkiraan peningkatan permintaan gula konsumsi dan gula rafinasi. Tumbuhnya industri gula rafinasi untuk mengisi kebutuhan industri makanan, minuman dan farmasi di dalam negeri. Realisasi produksi gula pada tahun 2008 sebesar 2,67 juta ton untuk gula konsumsi dan 1,256 juta ton gula rafinasi, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 900 ribu orang. Raw sugar yang diimpor dimanfaatkan oleh industri gula rafinasi dan pabrik GA/MSG, L lysine HCL, Ionine Mono Phosphate (IMP) dan Gianine Mono Phosphate (GMP).

Produksi Indonesia naik secara lambat sejak 2000, namun kembali menurun sejak 2007-2008. Adapun target produksi gula Indonesia ditetapkan sebesar 2,76 juta ton (BUMN, 2013). Selanjutnya juga disampaikan bahwa pada 2013 suplai gula kristal putih diperkirakan sebesar 3,81 juta ton yang didapatkan dari stok awal Januari sebanyak 914.060 ton dan produksi gula kristal putih dari raw sugar untuk idle capacity sebanyak 140.726 ton. Pengertian raw sugar adalah bentuk gula yang masih berwarna kecoklatan dan idle capacity adalah waktu yang digunakan pada masa produksi tetapi saat sedang tidak berproduksi. Sedangkan konsumsi gula kristal putih diperkirakan sebanyak 2,43 juta ton dan pada akhir Desember 2013 diperkirakan masih ada stok gula kristal putih sebanyak 1,38 juta ton (BUMN, 2013). Berkaitan dengan produksi gula, lanjutnya, dari data DGI ditargetkan awal 2013 rendemen gula mencapai 8,27 % sementara rendemen gula tertinggi akan dihasilkan oleh PT Sugar Grup sebesar 9,90 %, rendemen gula milik PT Gunung Madu Plantation sebesar 9,20%, rendemen


(34)

gula milik PT Perkebunan Nusantara berkisar antara 6,36% hingga 8,31% (BUMN, 2013). Selain itu, diungkapkannya luas areal tanaman perkebunan tebu mencapai 451.558,3 hektare terdiri dari 284.597,3 hektare milik BUMN dan 166.961,0 hektare milik swasta. Pambudy, Mardianto dan Syafa’at (2005) menguraikan kemunduran produksi gula domestik yang disebabkan oleh menurunnya produktivitas dan efisiensi industri gula secara keseluruhan.

Konsumsi Indonesia yang tumbuh cepat dan pertumbuhan pendapatan (Income) yang cukup besar mendorong pertumbuhan konsumsi gula yang cepat pula. FAO (1997) mencatat pertumbuhan populasi sekitar 2 persen per tahun sejak 1970 meski pertumbuhan itu menurun sedikit setelah tahun itu, namun pertumbuhan Income naik sangat cepat dengan ilustrasi sejak 1970, total GDP riil tumbuh lebih dari 7 % setiap tahun sehingga tidak mengherankan apabila konsumsi gula naik cukup tinggi oleh karena naiknya consumer product berbahan gula seperti makanan dan minuman manis. Dalam catatan FAO(1997), 90 persen gula digunakan langsung oleh rumah tangga dan 10 % sisanya digunakan oleh industri dan sementara itu impor gula yang berupa gula rafinasi sebagian besar digunakan untuk industri. Antara 1976 dan 1996, konsumsi gula total naik dari 1,8 juta ton menjadi 2,75 juta akibat dari banyaknya minuman jus konsentrat yang berbahan gula cukup tinggi (FAO, 1997). Dalam kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara konsumen gula tertinggi (GBG, 2013).

Jumlah barang atau komoditas yang mampu dibeli oleh seorang konsumen karena peningkatan pendapatan riil akan tergantung dari efek substitusi dan efek pendapatannya. Kemampuan membeli meningkat atau menurun tersebut akan tergantung dari sifat barang atau komoditas, apakah itu termasuk: (1) bersifat normal; (2) bersifat inferior; atau (3) bersifat super


(35)

inferior atau Giffen. Perubahan harga barang atau komoditas akan mempengaruhi perubahan barang atau komoditas yang diminta pada pergerakan sepanjang kurva. Perubahan faktor-faktor lain (preferensi konsumen, pendapatan harga barang atau komoditas lain) akan mempengaruhi perubahan barang atau komoditas yang diminta melalui pergerakan atau pergeseran kurva permintaan. Elastisitas harga dapat didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas yang diminta yang disebabkan satu persen perubahan harga. Permintaan adalah elastis bila ? h <-1, inelastis bila -1.

Kurva penawaran individual sebenarnya dapat diturunkan dari kurva biaya marjinal seorang pengusaha. Kurva penawaran agregat atau pasar adalah merupakan penjumlahan secara horizontal kurva penawaran individual di pasar. Kurva penawaran dapat didefinisikan sebagai kurva tempat kedudukan hubungan antara jumlah barang atau komoditas yang ditawarkan pada berbagai tingkat harga. Kurva penawaran mempunyai slope positif. Elastisitas penawaran definisinya adalah persentase perubahan barang yang ditawarkan di pasar sebagai akibat persentase perubahan harga barang atau komoditas. Terdapat dua jenis elastisitas penawaran, yaitu: (1) elastistas harga, sebagai akibat perubahan harga barang atau komoditas itu sendiri, dan (2) elastisitas harga silang, sebagai akibat perubahan harga barang atau komoditas terkait. Perubahan jumlah barang atau komoditas yang ditawarkan di pasar dapat dilihat dari: (1) pergerakan sepanjang kurva penawaran, pecerminan perubahan yang disebabkan karena perubahan harga barang atau komoditas itu sendiri; dan (2) pergeseran kurva


(36)

penawaran yang mencerminkan perubahan karena perubahan di luar harga barang atau komoditas yang ditawarkan.

2.2.4 Teori Produksi

Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkandilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya, serta kecakapan. Semua unsur itu disebut faktor-faktor produksi (factors of production). Jadi, semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi.Pengertian produksi lainnya yaitu hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi diartikan sebagai aktivitas dalam menghasilkan output dengan menggunakan teknik produksi tertentu untuk mengolah atau memproses input sedemikian rupa (Sukirno, 2002:193). Elemen input dan output merupakan elemen yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam pembahasan teori produksi. Dalam teori produksi, elemen input masih dapat diuraikan berdasarkan jenis ataupun karakteristik input (Gaspersz, 1996:170-171). Secara umum input dalam sistem produksi terdiri atas :

a. Tenaga kerja b. Modal atau capital

c. Bahan-bahan material atau bahan baku d. Sumber energy

e. Tanah f. Informasi


(37)

g. Aspek manajerial atau kemampuan kewirausahawan

Teori produksi modern menambahkan unsur teknologi sebagai salah satu bentuk dari elemen input (Pindyck dan Robert, 2007:199). Keseluruhan unsurunsur dalam elemen input tadi selanjutnya dengan menggunakan teknik-teknik atau cara-cara tertentu, diolah atau diproses sedemikian rupa untuk menghasilkansejumlah output tertentu.

Teori produksi akan membahas bagaimana penggunaan input untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Hubungan antara input dan output seperti yang diterangkan pada teori produksi akan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan fungsi produksi. Dalam hal ini, akan diketahui bagaimana penambahan input sejumlah tertentu secara proporsional akan dapat dihasilkan sejumlah output tertentu. Teori produksi dapat diterapkan pengertiannya untuk menerangkan sistem produksi yang terdapat pada sektor pertanian. Dalam system produksi yang berbasis pada pertanian berlaku pengertian input atau output dan hubungan di antara keduanya sesuai dengan pengertian dan konsep teori produksi.

1. Fungsi Produksi

Fungsi produksi adalah suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu (Ferguson dan Gould, 1975:345).

Fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan di antara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut sebagai output. Fungsi produksi selalu dinyatakan dalam rumus seperti berikut (Sukirno, 1997:194):


(38)

K adalah jumlah stok modal, L adalah jumlah tenaga kerja dan ini meliputi berbagai jenis tenaga kerja dan keahlian kewirausahawan, R adalah kekayaan alam, dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan. Sedangkan Q adalah jumlah produksi yang dihasilkan oleh berbagai jenis faktor-faktor tersebut, yaitu secara bersama digunakan untuk memproduksi barang yang sedang dianalisis sifat produksinya. Persamaan tersebut merupakan suatu pernyataan matematik yang pada dasarnya berarti bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang digunakan.

Di dalam ekonomi, pengertian fungsi produksi lainnya yaitu suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor – faktor produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi ini dituliskan sebagai berikut (Mubyarto, 1989 : 239):

Y = f (x1, x2,…..xn) Di mana :

Y = hasil produksi fisik x1, x2,...xn = faktor – faktor produksi

2. Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Fungsi produksi Cobb Douglas merupakan contoh produksi yang homogen yang mempunyai substitusi yang konstan. Fungsi produksi Cobb Douglas dapat dituliskan sebagai berikut (Nicholson, 1995:332) :

Q = AL a K b Di mana : Q =output


(39)

K=modal L=tenaga kerja

a dan b = menunjukkan skala ke hasil

atau dengan menarik log dari kedua ruas persamaan fungsi produksi, maka : logQ = logA + αlogK+ βlogL + ε ...(2.4)

Fungsi produksi Cobb Douglas mempunyai ciri-ciri : kombinasi inputnya efisiensi secara teknis, ada input tetap, dan tunduk pada The Law of Diminishing Return (Arsyad, 1991:116).

1. Return To Scale

Berdasarkan persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas, terdapat tiga situasi yang mungkin dalam tingkat pengembalian terhadap skala (Nicholson, 1995:332) :

Jika kenaikan yang proporsional dalam semua input sama dengan kenaikan yang proporsional dalam output (εp = 1 atau α + β = 1 ), maka tingkat pengembalian terhadap skala konstan (constant returns to scale).

Jika kenaikan yang proporsional dalam output kemungkinan lebih besar daripada kenaikan dalam input (εp > 1 atau α + β > 1 ), maka tingkat pengembalian terhadap skala meningkat (increasing returns to scale).

Jika kenaikan output lebih kecil dari proporsi kenaikan input (εp < 1 atau α + β < 1), maka tingkat pengembalian terhadap skala menurun (decreasing returns to scale).

3. Elastisitas Produksi

Elastisitas produksi dalam kaitannya dengan ilmu ekonomi untuk mengukur seberapa sensitive perubahan produksi suatu barang terhadap perubahan jumlah faktor produksi. Dengan kata yang lebih mudah dipahami elastisitas produksi adalah seberapa besar persentase perubahan yang terjadi pada jumlah produksi yang dihasilkan apabila seorang produsen


(40)

mengubah jumlah faktor produksi sekian persen. Ada dua elastisitas dalam ekonomi produksi salah satunya adalah Elastisitas faktor (factor elasticity), berkenaan dengan perubahan yang hanya satu faktor yang berubah dan faktor yang lain dianggap konstan. Secara matematis elastisitas produksi dapat ditulis sebagai berikut (Beattie, 1994:32):

Persentase perubahan output Ep =--- Persentase perubahan input

Ep merupakan ukuran persentase perubahan output sebagai akibat atas perubahan output dalam satu faktor tertentu yang faktor-faktor lainnya dianggap tetap. Jika Ep lebih besar dari satu, suatu perubahan tingkat input akan menghasilkan perubahan atau kenaikan output yang lebih besar, untuk Ep lebih kecil dari satu kenaikan outputnya lebih kecil dari inputnya dan untuk Ep sama dengan satu proporsi kenaikannya konstan.

4. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Produksi Gula

Tebu (Saccharum officinarum) termasuk keluarga rumput-rumputan. Mulai dari pangkal sampai ujung batangnya mengandung air gula dengan kadar mencapai 20%. Air gula inilah yang kelak dibuat kristal-kristal gula atau gula pasir. Di samping itu, tebu juga dapat menjadi bahan baku pembuatan gula merah (Setyamidjaja dan Husaini, 1992:54). Gula sebagai hasil proses asimilasi disimpan oleh tanaman di dalam cairan sel tebu, cairan ini di lingkungan pabrik gula disebut nira. Selanjutnya mudah dimengerti bahwa di dalam nira tanaman ini pasti gula tercampur dengan bahanbahan lain yang diperlukan dalam pertumbuhannya (Soejardi, 2003:63). Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah produksi gula di Indonesia antara lain :


(41)

a. Luas Areal (Tanah)

Lahan adalah tanah yang digunakan untuk usaha pertanian. Penggunaan lahan sangat tergantung pada keadaan dan lingkungan lahan berada (Daniel, 2004:66). Struktur tanah yang baik untuk pertanaman tebu adalah tanah yang gembur sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna, oleh karena itu upaya pemecahan bongkahan tanah atau agregat tanah menjadi partikelpartikel kecil akan memudahkan akar menerobos. Jenis tanah atau lahan yang dapat ditanami tebu terdiri dari dua jenis, yaitu lahan sawah dan lahan kering (lahan tegalan). Berdasarkan dua jenis lahan tersebut, sistem penanaman tebu juga terdiri atas dua tipe cara penanaman. Lahan sebagai sarana produksi merupakan bagian dari faktor produksi. Luas penguasaan lahan pertanian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses produksi ataupun usaha tani dan usaha pertanian. Dalam usaha tani misalnya pemilikan atau penguasaan lahan sempit sudah pasti kurang efisien dibanding lahan yang lebih luas. Semakin sempit lahan usaha, semakin tidak efisien usaha tani yang dilakukan (Daniel, 2004:56).

Luas areal atau lahan tebu mampu mempengaruhi jumlah produksi gula. Semakin luas lahan atau areal yang ditanami tebu maka semakin banyak jumlah gula yang diproduksi. Penggunaan dan pemanfaatan lahan tebu yang efektif dan tepat baik dari sistem pengairan dan jenis varietas tanaman tebu yang ditanam akan mampu menghasilkan jumlah produksi tebu yang besar dan berkualitas tinggi. Jumlah produksi tebu yang dihasilkan dalam jumlah yang besar dan memiliki kualitas tebu yang baik akan mampu menghasilkan jumlah produksi gula yang tinggi dan berkualitas pula. Semakin sedikit lahan yang dapat ditanami tebu dan semakin rendahnya system pengelolahan lahan untuk ditanami tebu, dapat menyebabkan tebu yang dihasilkan dalam jumlah yang kecil serta kualitas dari tanaman tebu yang


(42)

dihasilkan relative rendah sehingga jumlah produksi gula yang dihasilkan pun sedikit. Jenis dan tipe lahan yang akan ditanami tebu harus sesuai dengan jenis varietas tanaman tebu agar menghasilkan gula dalam jumlah yang besar dan berkualitas tinggi.

b. Rendemen

Rendemen tebu merupakan kandungan yang terdapat pada tebu. Dalam prosesnya ternyata rendemen yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan proses penggilingan di pabrik. Untuk mendapatkan rendemen yang tinggi, tanaman harus bermutu baik dan ditebang pada saat yang tepat. Namun sebaik apapun mutu tebu, jika pabrik sebagai sarana pengolahan tidak baik, hablur yang didapat akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada di batang. Oleh sebab itu sering terjadi permasalahan dengan cara penentuan rendemen di pabrik. Berbagai kasus yang mencuat dan bahkan menyebabkan konflik antara petani dan pabrik gula adalah karena ketidakjelasan penentuan rendemen (Purwono, 2003:56). Pengertian rendemen tebu lainnya juga dapat diartikan berupa kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10 %, artinya ialah bahwa dari 100 kg tebu yang digilingkan di Pabrik Gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg. Hubungan rendemen terhadap jumlah produksi gula sangat signifikan mempengaruhi. Hal ini disebabkan oleh rendemen merupakan kandungan gula dalam batang tebu yang nantinya akan menentukan jumlah produksi gula yang dihasilkan. Semkain tinggi tingkat rendemen dalam tebu maka akan semakin tinggi pula jumlah gula yang dihasilkan dari batang tebu. Kualitas dari rendemen yang dihasilkan pun sangat menentukan kualitas gula yang akan dihasilkan. Semakin baik kualitas dari rendemen tebu maka akan semakin baik dan


(43)

berkualitas pula gula yang dihasilkan. Rendemen sangat dipengerahui oleh proses penggilingan tebu, penebangan batang tebu dan tentunya faktor varietas tebu yang ditanam. Jika proses penggilingan, penebangan dan penanaman varietas tebu yang sesuai dan berkualitas, maka rendemen yang dihasilkan pun akan semakin tinggi jumlahnya sehingga gula yang dihasilkan pun akan lebih banyak dan berkualitas.

c. Ekspor Dan Impor Gula Di Indonesia

Indonesia pernah tercatat sebagai eksportir sekaligus produsen gula kedua terbesar dunia pada 1930an ( GBG, 2013), meski setelah masa itu, produksi gula Indonesia terus menurun dan mulai impor gula sejak 1967 ( Dachliani dan Meireni, 2006). Menurut Spectrum (2013), eksportir gula terbesar dunia dipegang oleh EU sebesar 10.140 metrik ton, menyusul Brazil sebesar 6573 metrik ton. Dari informasi ini, perbandingan ekspor terbesar per negara tidak dapat diketahui karena EU merupakan gabungan dari beberapa negara dan bentuk gula yang dihasilkan adalah termasuk pula gula bit, maka dalam hal ini, Brazil merupakan eksportir gula tebu terbesar dunia.

Indonesia sudah mulai menjadi net – importer gula sejak 1967 yang terus berlanjut (Wahyuni, Supriyati,Sinuraya, 2009). Sejak pertengahan tahun 80an, impor gula berkisar antara 50.000 – 350.000 ton, namun pada 1995 impor gula mencapai 570.000 ton ( FAO, 1997). Menurut USDA (2013), Indonesia diramal akan meningkatkan impor bahan gula (raw sugar) hingga 3,4 juta metric ton, dan sebelum masa tanam 2011/2012 mencapai 2,8 juta metric ton serta kenaikan ini dipicu oleh permintaan dari pengguna gula


(44)

rafinasi, pabrik gula dan kebutuhan bagi konsumen di wilayah timur Indonesia.

Zuhri (2011) menghitung realisasi impor Gula Kristal Putih (GKP) hanya 143.479 ton, sementara Kementerian Perdagangan memberikan izin impor GKP pada 2011 sebesar 450.000 ton yakni kepada PTPN IX 70.000 ton, PTPN X 90.000 ton, PTPN XI 90.000 ton, PT Rajawali Nusantara Indonesia 50.000 ton, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia 90.000 ton serta BULOG 60.000 ton. Menurutnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi langsung gula Januari - Mei 2012, diperlukan 1,1 juta ton gula, sedangkan stok awal tahun berikutnya hanya 744.306 ton, sehingga masih ada kekurangan 260.618 ton yang harus diimpor.

Hadi dan Nuryanti (2005) mengevaluasi dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi gula Indonesia mengingat sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO tanggal 1 Januari 1995, perekonomian gula Indonesia makin terpuruk karena membanjirnya impor, terutama sejak krisis ekonomi 1997. Menurutnya, harga dunia yang terlalu rendah telah mengimbas ke pasar dalam negeri sehingga industry gula nasional semakin tidak kompetetif. Dijelaskannya, Pemerintah kemudian menempuh kebijakan proteksi yang terdiri dari kebijakan tariff dan nontariff dengan perincian : pada 2003, tingkat tariff impor adalah Rp.550 / kg untuk gula kasar (raw sugar) dan Rp.700 / kg untuk gula putih (white sugar), sedangkan kebijakan nontariff adalah pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor. ditemukannya dampak kebijakan tariff dan nontariff terhadap perekonomian gula nasional di tingkat makro agregat dan tingkat mikro usahatani dan disimpulkannya bahwa kebijakan proteksi telah berhasil secara signifikan menurunkan impor dan meningkatkan harga gula dalam negeri, produksi, surplus produsen dan


(45)

pendapatan petani. Menurutnya, penghapusan salah satu kebijakan tersebut akan menyebabkan industry gula nasional terpuruk kembali dan menyarankan agar Pemerintah tetap mempertahankan kebijakan proteksi yang ada dan terus berjuang bersama negara-negara lain untuk menekan negara-negara maju agar mau menurunkan subsidi ekspor dan bantuan domestik sehingga harga gula dunia meningkat serta terus mengupayakan perbaikan efisiensi usahatani tebu dan pabrik gula untuk meningkatkan daya saing. produksi gula Indonesia menunjukkan kecenderungan impor gula yang semakin meningkat sejak 2007. GBG (2013) menyebutkan bahwa Indonesia tercatat sebagai importir gula terbesar ketiga dunia, terutama gula kasar (raw sugar).

Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan barang-barang dari dalam negeri keluar negeri dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh sebuah negara ke negara lain, termasuk diantara barang-barang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu tahun tertentu (Priadi, 2000). Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkatoutput yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2000). Ekspor adalah berbagai macam barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri lalu dijual di luar negeri (Mankiw, 2006). Ditinjau dari sudut pengeluaran, ekspor merupakan salah satu faktor terpenting dari Gross Nasional Product (GNP), sehingga dengan berubahnya nilai ekspor maka pendapatan masyarakat secaralangsung juga akan mengalami perubahan. Di lain pihak, tingginya


(46)

ekspor suatunegara akan menyebabkan perekonomian tersebut akan sangat sensitif terhadap keguncangan-keguncangan atau fluktuasi yang terjadi di pasaran internasional maupun di perekonomian dunia (Irham dan Yogi, 2003). Suatu negara dapat mengekspor barang produksinya ke negara lain apabila barang tersebut diperlukan negara lain dan mereka tidak dapat memproduksi barang tersebut atau produksinya tidak dapat memenuhi keperluan dalam negeri. Faktor yang lebih penting lagi adalah kemampuan dari negara tersebut untuk mengeluarkan barang-barang yang dapat bersaing dalam pasaran luar negeri. Maksudnya, mutu dan harga barang yang diekspor tersebut haruslah paling sedikit sama baiknya dengan yang diperjualbelikan dalam pasaran luar negeri. Cita rasa masyarakat di luar negeri terhadap barang yang dapat diekspor ke luar negara sangat penting peranannya dalam menentukan ekspor sesuatu negara. Secara umum boleh dikatakan bahwa semakin banyak jenis barang yang mempunyai keistimewaan yang sedemikian yang dihasilkan oleh suatu negara, semakin banyak ekspor yang dapat dilakukan (Sukirno, 2008). Menurut Mankiw (2006), berbagai faktor yang dapat mempengaruhi ekspor,impor, dan ekspor neto suatu negara, meliputi:

1. Selera konsumen terhadap barang-barang produksi dalam negeri dan luar negeri.

2. Harga barang-barang di dalam dan di luar negeri.

3. Kurs yang menentukan jumlah mata uang domestik yang dibutuhkan untukmembeli mata uang asing.

4. Pendapatan konsumen di dalam negeri dan luar negri 5. Ongkos angkutan barang antarnegara.


(47)

Berdasarkan UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan Impor adalah Kegiatan memasukan barang ke dalam Daerah Pabean.

Sesuai dengan UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan daerah pabean ialah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.

Berdasarkan UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut,Bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Importir adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik berbentuk badan hukum / bukan badan hukum yang melakukan kegiatan impor dalam wilayah hukum RI.( UU No 17 tahun 2006).

Kegiatan impor membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Berikut ini beberapa manfaat kegiatan impor:

a. Memperoleh Barang dan Jasa yang Tidak Bisa Dihasilkan

Setiap negara memiliki sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia yang berbeda-beda. Misalnya, keadaan alam Indonesia tidak bisa menghasilkan gandum dan Amerika tidak bisa menghasilkan kelapa sawit. Perdagangan antarnegara mampu mengatasi persoalan tersebut. Perdagangan antarnegara memungkinkan Indonesia untuk memperoleh gandum dan Amerika memperoleh minyak kelapa sawit. Perdagangan antarnegara akan bisa mendatangkan barang-barang yang belum dapat dihasilkan di dalam negeri. Misalnya Indonesia belum mampu


(48)

memproduksi mesin-mesin berat. Oleh karena itu, Indonesia melakukan perdagangan dengan Amerika, Jepang, Cina dan Korea Selatan dalam pengadaan alat-alat tersebut.

b. Memperoleh Teknologi Modern

Proses produksi dapat dipermudah dengan adanya teknologi modern. Misalnya, penggunaan mesin las pada pabrik perakitan sepeda motor. Mesin ini mempermudah proses penyambungan kerangka motor. Contoh lainnya adalah mesin fotokopi laser. Mesin ini bisa menggandakan

dokumen dengan lebih cepat dan jelas. Tingkat teknologi di negara kita

umumnya masih sederhana. Pengembangan teknologi masih lambat karena rendahnya kualitas sumber daya manusia. Untuk mendukung kegiatan produksi, kita dapat mengimpor teknologi dari luar negeri. Perdagangan antarnegara juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mempelajari teknologi dari negara lain. Dalam perdagangan biasanya terjadi pertukaran informasi. Dari saling bertukar informasi ini, Indonesia dapat belajar teknik produksi baru dan pemanfaatan teknologi modern.

c. Memperoleh Bahan Baku

Setiap kegiatan usaha pasti membutuhkan bahan baku. Untuk memproduksi mobil dibutuhkan besi dan baja. Untuk memproduksi ember, mangkuk, dan kursi plastik dibutuhkan plastik. Tidak semua bahan baku produksi tersebut dihasilkan di dalam negeri. Mungkin ada yang diproduksi di dalam negeri, tetapi harganya lebih mahal. Pengusaha tentu lebih menyukai bahan baku yang harganya lebih murah. Demi kelangsungan produksi, pengusaha harus menjaga pasokan bahan bakunya. Salah satu caranya dengan mengimpor bahan baku dari luar negeri.


(49)

2.2.5 GDP Nasional

Produk domestik bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.

PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). PDB berbeda dari produk nasional bruto karena memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan.PDB Nominal merujuk kepada nilai PDB tanpa memperhatikan pengaruh harga. Sedangkan PDB riil (atau disebut PDB Atas Dasar Harga Konstan)--> mengoreksi angka PDB nominal dengan memasukkan pengaruh dari harga. PDB dapat dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:

PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + (ekspor - impor)

Konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri. Sementara pendekatan pendapatan menghitung pendapatan yang diterima faktor produksi:


(50)

Sewa adalah pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah, upah untuk tenaga kerja, bunga untuk pemilik modal, dan laba untuk pengusaha. Secara teori, PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan angka yang sama. Namun karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran. Perbandingan antar-negara PDB negara yang berbeda dapat dibandingkan dengan menukar nilainya dalam mata uang lokal menurut: nilai tukar mata uang saat ini: PDB dihitung sesuai dengan nilai tukar yang sedang digunakan dalam pasar mata uang internasional, atau nilai tukar keseimbangan kemampuan berbelanja: PDB dihitung sesuai keseimbangan kemampuan berbelanja setiap mata uang relatif kepada standar yang telah ditentukan (biasanya dolar AS).Peringkat relatif negara-negara dapat berbeda jauh antara satu metode dengan metode lainnya. Rumus Menghitung PDB, PNB, PNN, Pendapatan Nasional, Individu Dan Pendapatan Dapat Dibelanjakan. Di bawah ini adalah rumus untuk menghitung secara agregat Produk Domestik Bruto (PDB), Produk Nasional Bruto (PNB), Produk Nasional Netto (PNN), Pendapatan Nasional (PN), Pendapatan Individu dan Pendapatan Yang Dapat Bibelanjakan. Semua disertai arti definisi / pengertian masing-masing istilah.

a. Menghitung Produk Domestik Bruto

Pengertian Produk Domestik Bruto atau PDB adalah hasil output produksi dalam suatu perekonomian dengan tidak memperhitungkan pemilik faktor produksi dan hanya menghitung total produksi dalam suatu perekonomian saja. Rumusnya adalah

PDB = C + G + I + ( X - M ) Atau


(51)

produk domestik bruto = pengeluaran rumah tangga + pengeluaran pemerintah + pengeluaran investasi + ( ekspor - impor )

b. Menghitung Produk Nasional Bruto

Pengertian Produk Nasional Bruto adalah hasil produksi dalam suatu wilayah yang telah dikurangi hasil faktor produksi yang pemiliknya bukan berasal dari dalam perekonomian serta ditambah nilai faktor produksi dari dalam perekonomian yang berada di luar daerah perekonomian. Rumus hitung PNB yaitu : Produk Nasional Bruto = PDB + hasil faktor produksi milik domestik yang ada di luar negeri - hasil output faktor produksi milik luar negeri yang ada di dalam negeri

2.2.5 Curah Hujan

Hujan adalah sebuah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba dipermukaan. Hujan biasanya terjadi karena pendinginan suhu udara atau penambahan uap air ke udara. Hal tersebut tidak lepas dari kemungkinan akan terjadi bersamaan. Turunnya hujan biasanya tidak lepas dari pengaruh kelembaban udara yang memacu jumlah titik-titik air yang terdapat pada udara. Indonesia memiliki daerah yang dilalui garis khatulistiwa dan sebagian besar daerah di Indonesia merupakan daerah tropis, walaupun demikian beberapa daerah di Indonesia memiliki intensitas hujan yang cukupbesar. Wibowo, H. 2008.

Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas permukaan horizontal. Dalam penjelasan lain curah hujan juga dapat diartikan sebagai ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Indonesiamerupakan negara yang memiliki angka curah hujan yang bervariasi dikarenakan daerahnya yang berada pada ketinggian yang berbeda-beda. Curah hujan 1


(52)

(satu) milimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampungair sebanyak satu liter.

a. Jenis Pengukur Curah Hujan

Hingga saat ini terdapat beberapa cara untuk mengukur curah hujan, mulai dari cara yang sederhana hingga cara yang kompleks. Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan tingkat kesulitan dan ketelitian yang dihasilkan cara tersebut.

b. Alat pengukur curah hujan otomatis

Menggunakan prinsip pelampung, timbangan dan jungkitan. Contoh alat pengukur yang terdapat saat ini yaitu Hellman dan Tipping-bucket gauge. Alat ukur otomatis memiliki beberapa keuntungan diantaranya hasil yang didapat memiliki tingkat ketelitian yang cukup tinggi, juga dapat mengetahui waktu kejadian dan integritas hujan dengan periode pencatatan dapat lebih dari sehari karena menggunakan kertas pias.Haryoko, Urip. 2011.

2.3 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian 2.3.1 Kerangka Pemikiran

Swasembada gula di Indonesia di capai, apabila bisa mencukupi konsumsi gula dalam negeri, pada saat ini produksi gula mengalami fluktuasi, sedangkan impor mengalami peningkatan. Kondisi seperti ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan kemandirian pangan di Indonesia terutama komoditas tebu. Konsumsi gula yang meningkat disebabkan oleh GDP perkapita yang meningkat, sementara itu produksi gula mengalami fluktuasi disebabkan oleh luas areal tebu yang menurun.


(53)

Rendemen gula yang menurun diakibatkan oleh efisiensi pabrik, yang industry gula mempunyai teknologi yang sudah tua, dimana tingkat rendemen mempunyai pengaruh positif terhadap produksi gula. Volume impor gula di Indonesia cenderung mengalami peningkatan yang disebabkan oleh konsumsi gula yang terus meningkat dan produksi gula dalam negeri juga mengalami fluktuasi dan cenderung menurun.

Kecenderungan produksi mengalami fluktuasi dan konsumsi gula cenderung meningkat maka mengakibatkan ekspor juga menurun, jika ekspor mengalami penurunan maka dampaknya akan terhadap harga gula nasional. Dengan kondisi impor gula yang meningkat dan ekspor yang menurun akan berpengaruh terhadap Swasembada Gula di Indonesia.

Pengaruh konsumsi gula, produksi gula, impor gula dan ekspor gula terhadap Swasembada Gula di Indonesia, maka akan dianalisis kebijakan Swasembada Gula di Indonesia. Analisis yang dilakukan dengan menggunakan model persamaan simultan . Model persamaan swasembada gula di Indonesia mencakup produksi tebu di Indonesia, produksi gula di Indonesia, konsumsi gula di Indonesia, impor gula. Ekspor gula harga gula pasir nasional, GDP perkapita, rendemen gula domestic. Dari hasil analisis, diharapakan akan diperoleh rekomendasi kebijakan swasembada gula yang efektif di Indonesia. Penulis membuat kerangka pemikiran sebagai berikut :


(54)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Keterangan :

= Eksogen = Endogen


(55)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian

Penelitian ini membahas tentang swasembada gula di Indonesia, dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi swasembada gula di Indonesia, kebijakan ketentuan impor untuk keberhasilan swasembada gula di Indonesia, dan strategi untuk mencapai swasembada gula di Indonesia Lingkup penelitian ini meliputi pengolahan data gula secara nasional (makro) mulai tahun 2002-2012.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dalam bentuk time series tahunan dengan rentang waktu dari tahun 2002 sampai 2012. Data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian (Kementan), Food Agricultural Organization (FAO), kementerian perindustrian dan perdagangan (Kemenperindag), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Selain itu, penelitian ini juga akan didukung oleh beberapa bahan referensi data yang akan diperoleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara.

3.3 Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Statistical Analysis Software/ Econometric Time Series (SAS/ETS) versi 9.1. Model analisis data yang digunakan adalah persamaan simultan. Masing-masing persamaan dalam penelitian diestimasi dengan menggunakan metode estimasi Ordinary Least Squares (OLS). Metode estimasi digunakan untuk mengestimasi parameter produksi, konsumsi, impor, ekspor dan harga gula di Indonesia. Selanjutnya,


(56)

dilakukan simulasi model yang berguna untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor gula terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia dan strategi untuk mencapai swasembada gula di indonesia.

Tujuan pertama menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Statistical Analysis Software/ Econometric Time Series (SAS/ETS) versi 9.1. dengan analisis regresi OLS (Ordinary Least Square).

3.3.1 Koefisien Determinasi

Kesesuaian model (goodness of fit) dihitung dengan nilai koefisien determinasi (R2) (Gujarati, 1997). Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengukur keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh keragaman variabel independen. R2 menunjukkan besarnya keragaman semua variabel independen yang dapat menjelaskan keragaman variabel dependen. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Jumlah kuadrat regresi Jumlah kuadrat galat R2 = =1-

Jumlah kuadrat total Jumlah kuadrat total

Selang R2 yang digunakan adalah 0< R2 >1. Jika R2 = 1 maka semua variasi respon dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh fungsi regresi, sedangkan jika R2 = 0 berarti tidak satupun variasi pada variabel dependen dapat dijelaskan oleh fungsi regresi. Dalam kenyataannya nilai R2 berada dalam selang antara 0 sampai 1. Nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1, maka model tersebut akan semakin baik.

3.3.2 Uji-F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (Gujarati, 1997). Pengujian yang dilakukan menggunakan distribusi F


(1)

Lampiran 7. Hasil dugaan Parameter Persamaan Ekspor Gula di Indonesia

The SAS System 20:12 Thursday, June 29, 2014 7 The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation Model XGINt Dependent Variable XGINt Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 2.375922 0.593981 1.94 0.2238 Error 6 1.840441 0.306740

Corrected Total 10 4.216364

Root MSE 0.55384 R-Square 0.56350 Dependent Mean 0.58182 Adj R-Sq 0.67250 Coeff Var 95.19148

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.928675 3.629011 0.53 0.6142 NTKINt 1 0.000016 0.000408 0.40 0.7004 QGINt 1 1.664557 0.726945 2.29 0.0620 CGINt 1 -0.34588 0.289619 -1.19 0.2774 PGPDt 1 -0.00458 0.004197 -1.09 0.3174

Durbin-Watson 1.393342 Number of Observations 11 First-Order Autocorrelation 0.282416


(2)

Lampiran 8. Hasil dugaan Parameter Persamaan Harga Gula Pasir Nasional

The SAS System 20:12 Thursday, June 29, 2014 8 The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation Model PGPNt Dependent Variable PGPNt

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 70138290 23379430 17.57 0.0012 Error 7 9312218 1330317

Corrected Total 10 79450509

Root MSE 1153.39365 R-Square 0.88279 Dependent Mean 7310.36364 Adj R-Sq 0.83256 Coeff Var 15.77751

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 -6247.60 2498.136 -2.50 0.0409 QGINt 1 5770.919 1219.682 4.73 0.0021 MGINt 1 1418.114 575.2431 2.47 0.0431 XGINt 1 -2954.75 610.3196 -4.84 0.0019

Durbin-Watson 1.625075 Number of Observations 11 First-Order Autocorrelation -0.3157


(3)

Lampiran 9. Hasil Validasi Faktor-Faktor Swasembada Gula di Indonesia

The SAS System 20:12 Thursday, June 29, 2014 11 The SIMNLIN Procedure

Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics

Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev QGINt 10 10 2.2800 0.3048 -3.8165 2.4357 XGINt 10 10 0.5900 0.6839 -18.3088 4.7382 MGINt 10 10 1.7500 0.6932 -4.1097 1.6422 QTINt 10 10 2.4900 0.4725 -9.8667 3.8354 RGDt 10 10 7.4350 0.5056 14.8698 0.4878 PGPNt 10 10 7662.2 2704.6 19997.4 2154.8 CGINt 10 10 3.9000 0.8485 34.1305 1.5219 SWGIt 10 10 0.5800 0.5922 -23.7480 1.0170 Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %

Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square QGINt 10 -6.0965 -265.1 6.0965 265.1 6.5608 281.5 -513.9 XGINt 10 -18.8988 . 18.8988 . 19.3480 . -888.4 MGINt 10 -5.8597 -361.9 5.8597 361.9 6.1682 377.9 -86.97 QTINt 10 -12.3567 -489.1 12.3567 489.1 12.9888 498.3 -838.8 RGDt 10 7.4348 100.9 7.4348 100.9 7.4680 102.0 -241.4 PGPNt 10 12335.2 197.2 12335.2 197.2 13090.3 225.5 -25.03 CGINt 10 30.2305 810.3 30.2305 810.3 30.2416 829.8 -1410 SWGIt 10 -24.3280 -11059.2 24.3280 11059.2 24.3511 14279.5 -1878


(4)

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U QGINt 10 43.0446 -0.34 0.86 0.13 0.00 0.09 0.04 2.8547 0.9706 XGINt 10 374.3 0.59 0.95 0.05 0.00 0.04 0.01 22.0634 0.9807 MGINt 10 38.0462 -0.42 0.90 0.09 0.01 0.02 0.08 3.2994 0.9846 QTINt 10 168.7 -0.79 0.91 0.09 0.00 0.06 0.03 5.1339 0.9956 RGDt 10 55.7717 -0.12 0.99 0.00 0.00 0.00 0.01 1.0024 0.3345 PGPNt 10 1.7135E8 -0.80 0.89 0.10 0.01 0.00 0.11 1.6200 0.4645 CGINt 10 914.6 0.89 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.5942 0.7928 SWGIt 10 593.0 0.11 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30.1574 0.9909


(5)

Lampiran 10. Hasil Simulasi Kebijakan Menaikkan Impor 50 Persen

The SAS System 20:12 Thursday, June 29, 2014 18 The SIMNLIN Procedure

Simultaneous Simulation Descriptive Statistics

Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev QGINt 11 11 2.2273 0.3379 -3.6250 2.3965 XGINt 11 11 0.5818 0.6493 -18.0479 4.7690 MGINt 11 11 1.7091 0.6715 1.51E-16 0 QTINt 11 11 2.4182 0.5076 -9.5519 3.7854 RGDt 11 11 7.3991 0.4942 14.9282 0.5017 PGPNt 11 11 7310.4 2818.7 26160.0 1110.3 CGINt 11 11 3.8455 0.8251 34.3920 1.7705 SWGIt 11 11 0.6000 0.5657 -19.9691 0.8272


(6)

Lampiran 11. Hasil Simulasi Kebijakan Menurunkan Impor 50 Persen

The SAS System 20:12 Thursday, June 29, 2014 21 The SIMNLIN Procedure

Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics

Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev QGINt 10 10 2.2800 0.3048 -3.8165 2.4357 XGINt 10 10 0.5900 0.6839 -18.4820 4.7924 MGINt 10 10 1.7500 0.6932 -173E-16 0 QTINt 10 10 2.4900 0.4725 -9.8667 3.8354 RGDt 10 10 7.4350 0.5056 14.8698 0.4878 PGPNt 10 10 7662.2 2704.6 26337.2 993.1 CGINt 10 10 3.9000 0.8485 34.6314 1.6682 SWGIt 10 10 0.5800 0.5922 -19.9659 0.8718