7
akhir musim kemarau mundur dari normal, awal masuk musim hujan mundur dari normal,
curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan deret hari kering
semakin panjang khususnya di daerah Indonesia bagian Timur.
Selain dari Pasifik di timur laut, Indonesia juga mendapat ancaman kekeringan
dan curah hujan tinggi karena penyimpangan suhu muka laut di Samudra Hindia di barat
daya Indonesia. Fenomena anomali cuaca di Samudra Hindia ini, Indian Ocean Dipole
Mode
IOD Positif berdampak kekeringan, sedangkan IOD negatif mengakibatkan curah
hujan tinggi di Indonesia. Ketika IOD positif terjadi, dampaknya tidak hanya terjadi di
sekitar kawasan yang berbatasan dengan Samudra Hindia, tetapi juga di berbagai
wilayah di dunia. Pada umumnya, setengah wilayah barat Samudra Hindia, pantai timur
Afrika, dan India akan mengalami aktifitas konveksi lebih kuat dibanding normal,
sedangkan kondisi kering akan mendominasi setengah kawasan timur Samudra Hindia,
termasuk Indonesia dan Australia Kompas, 2008
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2007 sampai Juli 2008 di Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi, Bogor dan laboratorium klimatologi, Departemen
Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB, Bogor dengan lokasi penelitian adalah wilayah
Provinsi Banten. 3.2 Alat dan Bahan
Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa:
1. Data iklim harian hasil pengamatan periode
1979-2006 dari 62 stasiun pengamatan hujan meliputi data curah hujan harian dari hasil
pengumpulan data dan suhu udara rata-rata yang diduga dengan menggunakan
persamaan Braak.
h X
T 0061
, −
=
pada 0 h 2000 mdpl
h X
T 0052
, −
=
pada h 2000 mdpl dimana: T= suhu udara rata-rata dalam ºC
h= ketinggian tempat di atas permukaan laut dalam m
X= suhu rata-rata stasiun acuan dalam ºC
Hukum Braak adalah hukum yang digunakan
untuk menentukan suhu suatu daerah dilakukan dengan menggunakan asumsi bahwa suhu akan
turun 0,61ºC tiap kenaikan 100 meter pada ketinggian dibawah 2000 meter dpl dan 0,52ºC
tiap kenaikan 100 meter pada ketinggian 2000 meter dpl atau lebih Rokhis, 1998.
2. Peta topografi yang mencakup tata letak stasiun
yang dianalisis untuk memperoleh data lintang, bujur, dan ketinggian.
3. Peta-peta pendukung meliputi peta administrasi,
peta jenis tanah dan peta penggunaan lahan Provinsi Banten
Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat Personal Computer, perangkat lunak
yang digunakan yaitu Microsoft Office 2000 Ms Excel
untuk pengolahan data dan Ms Word, Minitab ver 14
dan Arc View ver 3.3.
3.3 Metode Penelitian
Skema tahapan analisis dan pengolahan data penelitian pada Lampiran 1. Pada penelitian
ini, terdapat empat analisis utama yang dilakukan. Pertama adalah melakukan karakterisasi
kekeringan klimatologis di Provinsi Banten. Kedua melakukan analisis indeks kekeringan
menggunakan metode Palmer, karena metode ini merupakan standarisasi untuk iklim lokal,
sehingga dapat digunakan untuk semua negara dalam menunjukkan kekeringan relatif atau
kondisi curah hujannya. Ketiga adalah melakukan analisis hubungan antara indeks kekeringan
dengan karakteristik kekeringan yang ditunjukkan dengan peta.
3.3.1 Karakteristik Kekeringan
Parameter yang digunakan untuk menggambarkan kekeringan ada 8, yaitu:
1 rata-rata curah hujan bulanan jangka panjang
2 rata-rata jumlah hari hujan bulanan
3 rata-rata jumlah hari kering per bulan
4 peluang deret hari kering
U U
5 hari berturut- turut
5 peluang deret hari kering
U U
10 hari berturut- turut
6 peluang deret hari kering
U U
15 hari berturut- turut
7 peluang kejadian hari kering setelah hari
sebelumnya juga kering
8
8 peluang kejadian hari kering setelah hari
sebelumnya hujan
U
Rata-rata Curah Hujan Bulanan Rata-rata aritmetika dari nilai-nilai
curah hujan bulanan yang tercatat dari hasil pengamatan selama periode 1979-2006.
U
Rata-rata Jumlah Hari Hujan Bulanan Rata-rata aritmetika dari jumlah hari-
hari dalam satu bulan yang memiliki nilai curah hujan tidak sama dengan nol CH0 selama
periode 1979-2006.
U
Rata-rata Jumlah Hari Kering Rata-rata aritmetika dari jumlah hari-
hari dalam satu bulan yang memiliki nilai curah hujan lebih kecil atau sama dengan 2,5 mm
selama periode 1979-2006. Batasan ini digunakan dengan asumsi bahwa tinggi curah
hujan 2,5 mm dalam satu hari hanya mampu membasahi permukaan tanah tetapi belum
cukup untuk memenuhi cadangan air di dalam tanah serta kebutuhan air untuk tanaman
T
Stern and Coe, 1984 dalam Boer dan Las, 1997
T
.
U
Peluang Deret Hari Kering Menurut McCaskill dan Karida 1992
dan Nielwolt 1989 dalam Boer dan Las 1997, deret hari kering merupakan indikator
yang dapat diandalkan untuk mengukur tingkat kerawanan wilayah terhadap kekeringan.
dikatakan bahwa di daerah tropis terjadinya deret hari kering selama 7 hari atau lebih
mempunyai dampak yang serius terhadap hasil tanaman. Selanjutnya Castillo et al.1992
dalam
Boer dan Las 1997 menemukan bahwa tidak terjadinya hujan selama lebih dari 15 hari
berturut-turut pada fase tepat sebelum atau segera setelah pembentukan malai dapat
menurunkan hasil antara 18 sampai 38. Lebih jauh Dikshit et al.1987 dalam Boer dan
Las 1997 menemukan bahwa penurunan hasil akibat kejadian deret hari kering selama 16 hari
selama masa pertumbuhan bisa mencapai 91, tergantung waktu terjadinya. Berdasarkan
perhitungan neraca air harian di Jawa Barat, tidak terjadinya hujan lebih dari 15 hari
berturut-turut menurunkan air tanah dari kapasitas lapang sampai di bawah 50
kapasitas lapang Hasan, 1996 dalam Boer dan Las, 1997
Nisbah antara rata-rata jumlah kejadian hari kering
U U
5 hari atau
U U
10 hari atau
U U
15 hari berturut-turut terhadap jumlah maksimum deret hari berturut-turut mulai dari
deret 1 hari hingga deret 28, 29, 30 atau 31 hari berturut-turut sebulan penuh. Memberi kode
‘1’ bila satu hari dari serangkaian data di satu stasiun merupakan hari kering dan kode ‘0’ bila
hari hujan. Yang dimaksud sebagai hari kering adalah satu hari yang memiliki curah hujan
kurang dari atau sama dengan 2,5 mm. Dengan formula sebagai berikut:
∑ ∑
= =
≥
=
D i
i D
i i
dhk
DHK DHK
P
1 5
5
∑ ∑
= =
≥
=
D i
i D
i i
dhk
DHK DHK
P
1 10
10
∑ ∑
= =
≥
=
D i
i D
i i
dhk
DHK DHK
P
1 15
15
U
Menyusun model peluang kejadian hari terang .
Diasumsikan bahwa kejadian hari kering pada hari ke-I akan dipengaruhi oleh kejadian
hujan atau tidak hujan pada hari sebelumnya. Misalkan jika hari hujan disimbolkan dengan “1”
dan hari kering disimbolkan dengan “0”. Peluang terjadinya hari kering pada hari ke-i jika pada hari
U
sebelumnya hari kering
U
ditulis dalam bentuk p
B
00
B
i dan peluang terjadi hari kering pada hari ke-i jika
pada hari
U
sebelumnya hari hujan
U
ditulis dalam bentuk p
B
10
B
i, dengan formula sebagai berikut: dimana n
B
00
B
adalah jumlah kejadian hari kering dimana hari sebelumnya adalah hari kering dalam
satu bulan, n
B
01
B
adalah jumlah kejadian hujan dimana hari sebelumnya adalah hari kering dalam
satu bulan, n
B
10
B
adalah jumlah kejadian hari kering dimana hari sebelumnya adalah hari hujan dalam
satu bulan, n
B
11
B
adalah jumlah kejadian hari kering dimana hari sebelumnya adalah hari hujan dalam
satu bulan.
3.3.2 Analisis Indeks Palmer
Perhitungan Indeks Palmer menggunakan pemodelan program Visual Basic yang di
download dari
HTU
http:nadss.unl.edu
UTH
dan
00 01
00 00
i n
i n
i n
i p
+ =
10 11
10 10
i n
i n
i n
i p
+ =
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian dimodifi
nilai secara spasial aka
Peta rovi
deks ata pada
IV
kasi oleh BALITKLIMAT. Alur perhitungan Indeks Palmer secara detail dapat
dilihat pada Lampiran 2.
3.3.3 Peta Wilayah dengan Nilai Indeks
Untuk melihat m
disajikan dalam bentuk peta. nsi Banten disertai dengan nilai in
p Palmer rata-rata dan curah hujan rata-r
asing-masing stasiun. m
. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Provinsi Banten
4.1.1 Kondisi Geografis dan Topografi
Banten adalah sebuah provinsi
di pulau
Jawa ,
Indonesia . Provinsi ini dulunya
merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat
, namun dipisahkan sejak tahun
2000 , dengan
keputusan Undang-undang
No.23 tahun 2000 Wikipedia, 2007. Wilayahnya mencakup sisi
barat dari Provinsi Jawa Barat, yaitu Serang
, Lebak
, Pandeglang
, Tangerang
, Kota Cilegon
, Kota Serang
, Kota Tangerang
, dengan ibukota ra
Se ng. Secara administrasi, Banten terbagi 3
ah a.
sebelah utara dengan Laut Jawa b.
sebelah timur dengan Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat
c. sebelah selatan dengan Samudra Hindia
d.
iran Sungai Cili
memiliki morfologi bergelombang kecuali daerah Malimping-Muara Binuangeun berupa daratan
rendah yang relatif datar. Di Muara Binuangeun terdapat rawa-rawa, gosong dan endapan sungai.
Pola aliran sungai di provinsi Banten sejajar menjadi 4 kabupaten, 2 kota, 124 Kecamatan,
1.3 7 desa dan 144 kelurahan Lampiran 3. Propinsi Banten mempunyai batas wilay
Gambar 2: Sebelah barat dengan Selat Sunda.
Propinsi Banten terletak pada bujur 105° 1 11 - 106° 7 12 BT dan lintang 5° 7 50 - 7° 1
11 LS. Provinsi ini memiliki topografi yang beragam, meliputi daerah pesisir di utara, barat
dan selatan, serta daerah pegunungan meliputi wilayah bagian tengah, timur dan sebagian daerah
tenggara. Daerah utara umumnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian di bawah 150
meter dpl yang memanjang dari arah barat ke timur. Bagian tengah berupa pegunungan, gunung
tertinggi adalah gunung Halimun ±1929 meter dpl dan terdapat juga gunung lain seperti Gunung
Sanggabuana, Gunung Kendeng, dan Gunung Pangkulahan. Pada bagian barat kondisinya cukup
beragam, di sebelah utara tempat Gunung Aseupan, Gunung Karang dan Gunung Pulosari.
Gunung Karang dan Pulosari tumbuh di atas sebuah kaldera, dimana dinding kaldera masih
tampak dan dapat diamati pda bagian dinding utara dan timur. Bagian barat laut terdapat sebuah
kubah larva yang berlereng landai dengan ketinggian sekitar 260 meter dpl. Daerah bagian
selatan dari pesisir barat Banten merupakan daerah rendah dan merupakan al
man dan Siseukeuh BPS, 2005. Pada bagian ujung Pulau Jawa terdapat
Taman Nasional Ujung Kulon. Banten selatan
9
dengan pantai dan sebagian berkelok-kelok. Daratan lain dicirikan oleh undak pantai atau
sungai yang ketinggiannya kurang dari 25 meter dpl.
Sedangkan ekosistem wilayah Banten pada dasarnya terdiri dari:
a. lingkungan Pantai Utara yang merupakan
san pemukiman dan b.
berupa pemukiman pedesaan. c.
pa pegunungan yang relatif d.
ai pantai DAS
e. f.
akan
4.1.
insi Banten adalah Banten
.470 jiwa, dengan perbandi
n 49,75, diikuti sektor
, sawah dua kali 84.315 ha, tegalan
g memiliki jumlah penduduk rbesar
ANAK- anten mempunyai
32 mac
rovinsi Banten
lim wilayah Banten sangat dipengaruhi gelom
at musim penghuja
ekosistem sawah irigasi teknis dan setengah teknis, kawa
industri. kawasan Banten Bagian Tengah berupa
irigasi terbatas dan kebun campur, sebagian
Ketersediaan air cukup dengan kuantitas yang stabil.
Kawasan Banten sekitar Gunung Halim- kendeng hingga Malimping, keuwi damar,
Bayah beru sulit untuk di akses, namun menyimpan
potensi sumber daya alam. Banten Bagian Barat Saketi, DAS Cidano
dan lereng kompleks Gunung Karang- Aseupan dan Pulosari samp
Ciliman-Pandeglang dan Serang bagian Barat yang kaya akan potensi air
merupakan kawasan pertanian yang masih perlu ditingkatkan intensifikasikan.
Ujung Kulon sebagai taman Nasional Konservasi Badak Jawa Rhini Sondaicus.
DAS Cibaliung-Malimping, merup cekungan yang kaya akan air tetapi belum
dimanfaatkan secara efektif dan produktif. Sekelilingnya berupa bukit-bukit
bergelombang dengan rona lingkungan kebun campur dan talun, hutan rakyat yang
tidak terlalu produktif.
2 Kependudukan, Perekonomian, dan Tata Guna Lahan
Luas lahan di Prov 878.881 hektar. Pada tahun 2006, penduduk
berjumlah 9.351 ngan 3.370.182 jiwa 36,04 anak-
anak, 240.742 jiwa 2,57 lanjut usia, sisanya 5.740.546 jiwa berusia diantara 15 sampai 64
tahun Wikipedia, 2007. Produk Domestik Regional Bruto
PDRB tahun 2005 mayoritas berasal dari sektor industri pengolaha
perdagangan, hotel dan restoran 17,13, pengangkutan dan komunikasi
8,58 dan pertanian yang hanya 8,53. Namun berdasarkan jumlah penyerapan tenaga
kerja, industri menyerap 23,11 tenaga kerja, diikuti oleh pertanian 21,14, perdagangan
20,84 dan transportasikomunikasi yang hanya 9,50 Wikipedia, 2007.
Penggunaan lahan untuk sektor pertanian seluas 546.204 ha 62,2, dengan rincian sawah
satu kali 90.424 ha 79.118 ha dan kebun campuran 246.636
has serta untuk perkebunan, peternakan dan perikanan 457.111 ha. Sedangkan sisanya terdiri
dari lahan non pertanian dan penggunaan lainnya Lampiran 4 dan 5.
Jumlah penduduk Provinsi Banten 7,80 juta jiwa yang tersebar di enam wilayah.
Kabupaten Tangeran te
yaitu sebesar 2,80 juta jiwa dan jumlah terkecil yaitu Kota Cilegon yaitu sebesar 0,25 juta
jiwa. Kepadatan penduduk provinsi Banten sebesar 907,96 juta jiwa per km
2
. wilayah terpadat adalah Kota Tangerang dengan kepadatan
penduduk sebesar 8.428,80 jiwa per km
2
dan wilayah paling jarang penduduknya adalah Lebak
dengan 345,66 jiwa per km
2
BPS 2003.
4.1.3 Tanah Provinsi Banten
Berdasarkan peta jenis tanah provinsi ten yang diterbitkan oleh PUSLITT
Ban Bogor tahun 2004, provinsi B
am jenis tanah. Secara umum tanah wilayah ini didominasi oleh tanah podsolik
kuning, aluvial kelabu tua, latosol coklat kemerahan dan asosiasi podsolik kuning dan
regosol. Distribusi jenis tanah kabupaten Tangerang dan Serang hampir sama, hanya saja di
kabupaten Serang terdapat daerah pegunungan sehingga mempunyai jenis tanah yang lebih
spesifik didominasi latosol coklat kemerahan. Untuk kawasan bagian selatan antara kabupaten
Pandeglang dan Lebak juga mempunyai distribusi jenis tanah yang relatif sama yaitu didominasi
podsolik kuning dan asosiasi podsolik kuning dan regosol Lampiran 6.
4. 2 Keadaan Iklim dan Pola Distribusi Curah Hujan P
Ik oleh angin Monson Monson Trade dan saat
bang La Nina atau El Nino. Sa n November-Maret cuaca didominasi
oleh angin Barat dari Sumatera Hindia sebelah selatan India yang bergabung dengan angin dari
Asia yang melewati laut Cina Selatan. Pada musim kemarau Juni-Agustus, cuaca didominasi
oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras
10
11
rah hujan juga berbeda-beda di setia
dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat
ovinsi Banten curah h
sebagai musim pancaroba. Dari Gambar 4 dapat diketahui musim hujan terjadi
ada awal dan akhir tahun yaitu sekitar bulan esember hingga Maret dan puncaknya terjadi
ada bulan Januari. Untuk musim kemarau terjadi ada pertengahan tahun Juni-September dan
uncaknya terjadi sekitar bulan Agustus. Bulan pril-Mei merupakan musim pancaroba untuk
usim hujan memasuki musim kemarau dan ulan Oktober-November merupakan musim
ancaroba untuk musim kemarau memasuki usim hujan.
nan tertinggi di stasiun Gardutanjak dan daerah terendah ada di stasiun
Ciboleger. Besarnya curah hujan hampir mengikuti besarnya ketinggian, kecuali di
beberapa stasiun, sebagai contoh yang terjadi di terutama di wilayah bagian pantai utara,
terlebih lagi bila berlangsung El Nino. Temperatur di daerah pantai dan perbukitan
berkisar antara 22ºC dan 32ºC, sedangkan suhu dipegunungan dengan ketinggian antara 400-
1350m dpl mencapai antara 18ºC-29ºC.
Curah hujan berbeda-beda di setiap tempat, karena curah hujan dibentuk oleh
adanya proses fisis yang timbal dari interaksi berbagai faktor. Cu
p waktu karena kadar peubah yang berinteraksi berbeda setiap saat. Daerah yang
tinggi umumnya memiliki curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang
rendah.
Secara klimatologis pola iklim di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 yaitu pola
monsun, pola ekuatorial dan pola lokal. Pola monsun
unimodal 1 puncak musim hujan. Selama 3 bulan curah hujan relatif tinggi biasa
disebut musim hujan, yakni Desember, Januari, Februari dan 3 bulan curah hujan rendah biasa
disebut musim kemarau, periode Juni, Juli, dan Agustus, sementara 6 bulan sisanya merupakan
periode peralihan 3 bulan peralihan kemarau ke hujan dan 3 bulan peralihan hujan ke
kemarau. Pada pola ini penerimaan curah hujan musim penghujan dan musim kemarau
berbeda nyata. Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal 2 puncak
hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober yaitu pada saat matahari
berada dekat ekuator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal 1 puncak hujan
tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe monsun Gambar 3.
Distribusi curah hujan baik jumlah maupun waktu akan berbeda dari satu tempat
dengan tempat yang lain. Berdasarkan data curah hujan dari 62 stasiun di pr
ujan yang terjadi berpola monsun Gambar 4. Data selama 28 tahun 1979-2006
menunjukkan puncak curah hujan terjadi pada bulan Januari, dengan rata-rata curah hujan
tahunan sebesar 2070,62 mmtahun. Berdasarkan kriteria bulan basah dan
bulan kering menurut Oldeman 1975, apabila curah hujan bulanan 200 mm ditetapkan sebagai
musim hujan, apabila curah hujan bulanan 100 mm ditetapkan sebagai musim kemarau dan
apabila curah hujan bulanannya antara 100-200 mm ditetapkan
p D
p p
p A
m b
p m
4. 3 Karakteristik
Kekeringan Secara
Klimatologis Provinsi Banten
Ketinggian pada provinsi Banten berkisar antara 2-697 mdpl, dengan daerah terendah di
stasiun Banyawakan dan daerah tertinggi di stasiun Mandalawangi. Curah hujan tahunan
berkisar antara 626-3638 mmtahun, dengan daerah CH tahu
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 100
200 300
400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tipe Lokal
Tipe Equatorial
Tipe Monsoon
POLA CURAH HUJAN PROVINSI BANTEN TAHUN 1979-2006
350
50 100
150 200
250 300
Jan Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu
Sep Okt
Nov Des
Bulan CH
m m
Gambar 4. Pola Curah Hujan Provinsi Banten Gambar 3. Pola Iklim Indonesia Boer, 1999
12
PELUANG DERET HARI KERING 5 PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.000 0.100
0.200 0.300
0.400
Jan Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu
Sep Okt
Nov Des
Bulan DH
K 5
PELUANG DERET HARI KERING 10 PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.000 0.050
0.100 0.150
0.200 0.250
Jan Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu
Sep Okt
Nov Des
Bulan DHK
1
PELUANG DERET HARI KERING 15 PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.000 0.020
0.040 0.060
0.080 0.100
0.120
Jan Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu
Sep Okt
Nov Des
Bulan DHK
1 5
Gambar 6. Grafik Rata-rata DHK ≥5,10,dan 15
Provinsi Banten Gardutanjak, dengan ketinggian hanya 7 mdpl
tetapi memiliki CH tahunan tertinggi sebesar 3638 mmtahun, kemudian di Cikasungka
dengan ketinggian 40 mdpl memiliki CH sebesar 3573 mmtahun. Hal ini menunjukkan
bahwa pada beberapa daerah, memiliki sebaran curah hujan yang tidak merata.
Rata-rata hari hujan dalam setahun berkisar antara 45.2-184.1, dengan hari hujan
yang paling jarang yaitu terjadi di stasiun Bobojong dan stasiun yang paling sering turun
hujan terjadi di Cikomara. Rata-rata hari kering dalam setahun berkisar antara 207.2-320.1,
dimana yang paling sedikit jumlah hari keringnya terjadi di stasiun Cikasungka dan
yang paling banyak jumlah hari keringnya terjadi di stasiun Bobojong. Untuk stasiun
Bobojong antara hari hujan dan hari kering saling berkesinambungan, dengan memiliki
paling sedikit hari hujan dan memiliki hari kering paling banyak. Sehingga dapat dikatakan
daerah Bobojong dominan kering. Pada Gambar 5 dapat dilihat rata-rata hari hujan dan
hari kering selalu berlawanan.
Rata-rata DHK ≥5 dalam setahun
berkisar antara 0.651-4.035, nilai peluang terkecil terjadi di stasiun Gardutanjak dan
terbesar terjadi di stasiun Kalimati. Rata-rata DHK
≥10 dalam setahun berkisar antara 0.236- 2.386, dengan peluang tekecil terjadi di stasiun
Banjaririgasi dan terbesar di Kalimati. Rata-rata DHK
≥15 dalam setahun berkisar antara 0.078- 1.315, dengan peluang terkecil terjadi di stasiun
Banjaririgasi dan terbesar di Kalimati. Di stasiun Banjaririgasi memiliki peluang DHK
≥10 dan DHK
≥15 yang paling kecil, sehingga dapat dikatakan stasiun tersebut paling jarang terjadi
hari kering pada hari yang berturut-turut. Sedangkan di stasiun Kalimati memiliki peluang
DHK ≥5, DHK≥10, DHK≥15 yang paling besar,
sehingga dapat disimpulkan stasiun Kalimati paling sering terjadi hari kering pada hari yang
berturut-turut. Gambar 6 menunjukkan DHK ≥5
lebih sering terjadi, dibandingkan DHK ≥10 dan
DHK ≥15.
Rata-rata P00 dalam setahun berkisar antara 6.810-10.583, dengan P00 terkecil terjadi
di stasiun Cikomara dan terbesar terjadi di stasiun Karangkobong. Rata-rata P10 dalam setahun
berkisar antara 4.923-8.202 dengan P10 terkecil terjadi di stasiun Cikomara dan terbesar di
Kosambi Dalam. Gambaran karakteristik kekeringan secara klimatologis ini dapat dilihat
RATA-RATA JUMLAH HARI HUJAN PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.0 4.0
8.0 12.0
16.0
Jan Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu Sep Okt
Nov Des
Bulan C
H mm
RATA-RATA JUMLAH HARI KERING PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.0 5.0
10.0 15.0
20.0 25.0
30.0
Jan Feb Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu Sep Okt
Nov Des
Bulan CH
mm
Gambar 5. Grafik Rata-rata Jumlah Hari Hujan dan Jumlah Hari Kering
Provinsi Banten
13
pada Lampiran 7. Grafik 7 menunjukkan P00 lebih sering terjadi daripada P10.
4. 4 Hubungan Curah Hujan dengan Peluang Deret Hari Kering
Provinsi Banten mempunyai topografi yang cukup beragam. Akibatnya kondisi iklim
wilayah ini juga menjadi cukup beragam, terutama curah hujan. Tinggi rendahnya curah
hujan diwilayah ini tidak lepas dari pengaruh laut dan gunung yang berada di provinsi
Banten. Daerah pesisir pantai atau daerah dataran rendah, pada umumnya mempunyai
permukaan tanah yang relatif lebih datar dibandingkan dengan daerah yang jauh dari
pantai atau daerah dataran tinggi perbukitan dan pegunungan yang umumnya lebih
bergelombang. Pada dataran rendah kondisi iklimnya termasuk curah hujan sangat
dipengaruhi letak terhadap laut, sedangkan di dataran tinggi faktor yang lebih dominan
mempengaruhi jumlah curah hujan adalah faktor letaknya terhadap gunung.
Plot data peluang deret hari kering DHK pada 5, 10 dan 15 hari berturut-turut
pada gambar 5 tersebut diperoleh dari data DHK. PDHK
≥5 bernilai rendah mendekati nol pada saat curah hujan tinggi, kemudian
meningkat dengan menurunnya curah hujan. Pada saat curah hujan mulai berada dibawah
200 mmbulan, PDHK ≥5 mulai meningkat
dengan tajam hingga mencapai PDHK ≥5=0,629
pada saat rata-rata curah hujan bulanan sama dengan 15 mmbulan. Lain halnya pola yang
terjadi pada PDHK ≥10 dan PDHK≥15 dimana
peluang-peluang yang ada meningkat perlahan- lahan dan tidak terlalu tajam. Peningkatan
PDHK ≥10 dan PDHK≥15 terjadi pada saat
curah hujan mulai berada dibawah 100 mmbulan. Untuk nilai curah hujan kritis pada
PDHK ≥5 dan PDHK≥15 mempunyai nilai
yang sama yaitu sekitar pada 13 mmbulan. Sedangkan pada PDHK
≥10 memiliki nilai curah hujan kritis sebesar 15 mmbulan.
Pada DHK ≥5, hubungan antara curah
hujan dengan DHK meningkat tajam saat curah hujan kurang dari 100 mm. Pada DHK
≥10, hubungan antara curah hujan dengan DHK
meningkat tajam saat curah hujan kurang dari 75 mm. Pada DHK
≥15, hubungan antara curah hujan dengan DHK meningkat tajam saat curah hujan
kurang dari 50 mm. Adapun analisis DHK ini sangat penting
dilakukan karena apabila kejadian ini terjadi pada lahan-lahan yang tidak mempunyai sumber air
selain air hujan maka akan menyebabkan ancaman yang sangat serius terhadap tanaman, terutama
pada awal tanam dan masa pembungaan dan inisiasi buah atau biji Boer dan Las, 1997.
Untuk wilayah yang berpeluang mengalami peningkatan jumlah curah hujan yang
signifikan dapat dilakukan langkah antisipasi, misalnya dengan pemeliharaan jaringan irigasi
atau drainase dengan baik, sehingga apabila terjadi peningkatan jumlah curah hujan dapat
dialirkan dengan baik.
PELUANG KEJADIAN HARI KERING SETELAH HARI KERING P00 PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.000 0.200
0.400 0.600
0.800 1.000
Jan Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu
Sep Okt
Nov Des
Bulan P0
PELUANG KEJADIAN HARI KERING SETELAH BUKAN HARI KERING P10 PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.000 0.200
0.400 0.600
0.800
Jan Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu
Sep Okt
Nov Des
Bulan P1
Gambar 7. Grafik Rata-rata P00 dan P10 provinsi Banten
14
PLOT PELUANG DERET HARI KERING =5 DENGAN CURAH HUJAN BULANAN PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.000 0.100
0.200 0.300
0.400 0.500
0.600 0.700
100 200
300 400
500 600
CURAH HUJAN P
DHK 5
data aktual model
PLOT PELUANG DERET HARI KERING =10 DENGAN CURAH HUJAN BULANAN PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.000 0.050
0.100 0.150
0.200 0.250
0.300 0.350
0.400 0.450
100 200
300 400
500 600
CURAH HUJAN DHK
1
data aktual model
PLOT PELUANG DERET HARI KERING =15 DENGAN CURAH HUJAN BULANAN PROVINSI BANTEN 1979-2006
0.000 0.050
0.100 0.150
0.200 0.250
0.300
100 200
300 400
500 600
CURAH HUJAN DHK
1 5
data aktual model
Gambar 8. Plot Peluang DHK 5,10 dan 15 Hari Berturut-turut atau Lebih dengan Curah Hujan Bulanan
4.5 Sebaran Nilai Indeks Kekeringan