Indeks Kekeringan TINJAUAN PUSTAKA

yang memiliki pola hujan ekuatorial serta tidak jelas pada daerah yang memiliki pola lokal yaitu pola hujan yang berkebalikan dengan pola monsun. Spatial coherence atau pengaruh keruangan yang relatif luas menunjukkan pengaruh faktor geofisik yang mendasari distribusi keruangan pengaruh ENSO terhadap hujan. Pulau dan pegunungan dapat mengganggu pola angin umum atau regional dan menghasilkan angin lokal. Pola lokal ini terkadang menyebabkan adanya daerah yang biasa disebut bayangan hujan Partridge, 2002. Hujan merupakan hasil akhir dari proses yang berlangsung di atmosfer bebas. Daerah jatuhnya maupun besarnya curah hujan yang turun merupakan proses beberapa faktor yaitu kelembaban udara, topografi, arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan hadapan lereng Sandy, 1987. Proses hujan dapat terjadi, jika beberapa mekanisme agar fase uap yang lembab yang tidak jenuh dapat berubah menjadi fase cair. Hal ini terjadi bila udara dekat permukaan tanah menjadi lebih dingin karena mengalami proses pengangkatan udara, menjadi jenuh dan kemudian mengembun. Mekanisme pengangkatan udara yang kuat dapat terjadi oleh aktivitas konveksi, yaitu radiasi balik yang ditimbulkan oleh permukaan tanah setelah beberapa saat menerima limpahan energi dari radiasi matahari, proses ini dominan terjadi di daerah tropik. Mekanisme pengangkatan udara juga dapat terjadi akibat adanya hambatan pergerakan masa udara pada permukaan tanah orografik, atau dapat pula terjadi pada saat berlangsungnya konvergensi Haryanto, 1998. Sosrodarsono, 1985 dalam Haryanto 1998, menjelaskan hujan dari proses konvektif terkenal menimbulkan kerusakan pada tanah. Karena energi kinetik yang besar sebagai akibat intensitasnya yang besar torrential dan tetes hujannya yang besar pula. Hujan konvektif disebabkan oleh naiknya udara yang panas dan ringan di sekitar udara yang lebih rapat dan dingin. Perbedaan suhu yang mencolok antara udara di bagian bawah dekat permukaan tanah dengan udara di lapisan yang lebih tinggi terjadi akibat pemanasan permukaan tanah yang intens pada siang hari dan menimbulkan arus termal convection yang memindahkan masa udara di bagian bawah ke lapisan yang lebih tinggi, sehingga memberi peluang yang besar untuk proses pengembunan.

2.4 Indeks Kekeringan

Indeks-indeks kekeringan diperoleh dari ribuan data curah hujan, salju, aliran sungai dan indikator sumber lainnya. Dalam pengambilan keputusan, nilai indeks kekeringan berciri angka tunggal jauh lebih berarti dibandingkan data mentah Hayes, 2006. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ogallo dan Gbeckor-kove 1989 dalam Turyanti 1995 bahwa curah hujan merupakan indeks tunggal yang paling penting dalam menduga kekeringan tetapi jika kekeringan hanya dilihat dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat beragam bergantung kepada waktu dan tempat penelitian. Menurut Hounam et. al 1975 penentuan tingkat kekeringan bertujuan untuk: 1. mengevaluasi kecenderungan klimatologis menuju keadaan keringtingkat kekeringn dari suatu wilayah 2. memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu 3. mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal 4. melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional Ada beberapa indeks yang diukur dari banyaknya presipitasi pada suatu periode waktu yang menyimpang dari data historis. Walaupun tidak ada indeks-indeks penting yang menjadi dominan pada semua kondisi, beberapa indeks lebih baik digabungkan untuk penggunaan tertentu. Agar dapat dibandingkan indeks yang satu dengan indeks yang lain. Indeks kekeringan banyak macamnya. Macam-macam indeks tersebut antara lain, Standardized precipitation index SPI, Palmer Drought Severity Index PDSI, Crop Moisture Index CMI, Surface Water Supply Index SWSI, Reclamation Drought Indeks RDI, dan masih banyak lagi. Indeks-indeks ini diciptakan tergantung dari gambaran umum yang melatar belakangi daerah tersebut, pengguna, proses, input dan hasil outputnya atau masing-masing klasifikasi. Pemetaan wilayah kekeringan telah dilakukan dengan berbagai metode yang berbeda. Salah satu diantaranya yang sering digunakan adalah metode Palmer. Seperti yang telah dilakukan oleh Sudibyakto 1985 di daerah Kedu Selatan, Jawa Tengah, dimana hasil perhitungan indeks kekeringan didasarkan pada data curah 4 5 hujan titik menimbulkan indeks yang terlalu basah over estimate. Kemudian oleh Historiawati 1987 di daerah Purwodadi dan Grobogan, Jawa Tengah, serta Turyanti 1995 di daerah Jawa Barat menyatakan bahwa evaluasi kekeringan menggunakan indeks Palmer menunjukkan tingkat kekeringan di Jawa Barat sangat bervariasi dengan nilai indeks sekitar -25 hingga 139. Nilai indeks ini sangat beragam, mulai ekstrim kering hingga ekstrim basah. Daerah Pantai Utara dan Pantai Selatan pada tahun 1987, 1991, 1994 mengalami kondisi cukup parah dengan nilai indeks kekeringan di bawah -10. Hasil dari ketiga penelitian tersebut menyatakan bahwa curah hujan dan indeks kekeringan yang dihasilkan memperlihatkan kecenderungan embutan yang sama.

2.5 Palmer Drought Severity Index PDSI