sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
Sajogyo 1987, mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum.
Standar kebutuhan hidup minimum tersebut ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat
didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi.
2.2. Indikator-Indikator Kemiskinan
Kunci perumusan strategi penanggulangan kemiskinan adalah pemahaman yang akurat terhadap konsep kemiskinan dan indikator yang digunakan untuk
mengukur kemiskinan. Indikator kemiskinan menjadi dasar penentuan kelompok sasaran targetting, pemantauan kemajuan dan kinerja performance indikator.
Sajogyo 1987 dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan
perdesaan masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun.
Menurut data BPS Maret 2007, garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp 187.942 per kapita per bulan dan penduduk perdesaan
sebesar Rp 146.837 per kapita per bulan. Sejumlah uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2100 kalori per kapita per
hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya seperti
sandang, kesehatan, pendidikan dan transportasi.
Bappenas dalam Strategi Nasional Pengentasan Kemiskinan SNPK menerjemahkan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang,
laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasar untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Tidak terpenuhi hak-hak dasar
diartikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumberdaya sosial dan ekonomi, kegiatan usaha
produktif, perumahan, air bersih dan rasa aman. United Nation Development Program
UNDP dalam mengukur kemiskinan menggunakan Human Poverty Index HPI yang lebih dikenal sebagai
Indeks Kemiskinan Manusia IKM. Pengukuran kemiskinan didasarkan pada tiga indikator utama, yaitu : 1 angka daya hidup kurang dari 40 tahun, 2 tingkat
pendidikan dasar, diukur berdasarkan persentase penduduk dewasa yang buta huruf dan hilangnya hak pendidikan, 3 kriteria ekonomi.
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Strategi utama penanggulangan kemiskinan yang dirancang oleh Papilaya 2006 dalam penelitiannya, yaitu pelembagaan Good Governance, peningkatan
kapabilitas, revitalisasi modal sosial, advokasi kebijakan publik, keterjaminan sosial, pemberdayaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat dan
redistribusi aset produksi. Menurut penelitian Rahmawati 2006, faktor-faktor yang berpengaruh
nyata terhadap peluang suatu rumah tangga berada dalam kemiskinan antara lain jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan,
jenis kelamin dan pendapatan. Berdasarkan analisis tersebut, jika kepala rumah
tangga berjenis kelamin wanita maka peluang rumah tangga menjadi miskin menjadi lebih berkurang.
Alkatiri 2005 dengan penelitiannya yang berjudul demokratisasi pemerintahan dan penanggulangan kemiskinan menyimpulkan bahwa pengelolaan
pemerintahan berkorelasi negatif dengan kemiskinan. Apabila tata kelola pemerintah yang diukur dengan keefektifan, tingkat korupsi dan penegakan
hukum semakin baik, maka tingkat buta huruf dan tingkat kematian bayi akan semakin rendah.
Dalam penelitian Janheri 2005 menghasilkan beberapa informasi penting. Pola PIR Trans di Kabupaten Indragiri Hilir mengalami kegagalan dalam
hal peningkatan pendapatan petani kelapa. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani kelapa pola PIR Trans secara eksternal adalah peranan
perusahaan inti, kelembagaan, infrastruktur dan teknologi sedangkan faktor internal antara lain terbatasnya jumlah jam kerja usahatani dan teknologi
budidaya. Strategi untuk penanggulangan kemiskinan petani kelapa pola PIR Trans di Kecamatan Pulau Burung Kabupaten Indragiri Hilir, yaitu 1
memberdayakan lembaga perkelapaan yang mampu untuk meningkatkan pendapatan petani, 2 memperkuat KUD yang ada melalui pembenahan
kepengurusan, usaha dan modal. Wiraswara 2005 juga meneliti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut terdapat variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan di
Indonesia. Variabel-variabel itu terdiri dari angka melek huruf, keterjangkauan rumah tangga terhadap listrik dan dummy kabupaten atau kota di Jawa. Ketiga
variabel tersebut menurut data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan kabupaten atau kota di Jawa
lebih tinggi dari kabupaten atau kota di luar Jawa dan persentase penduduk melek huruf kabupaten atau kota di Jawa lebih rendah dari kabupaten atau kota di luar
Jawa. Kabupaten atau kota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumah tangga yang terjangkau listrik.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan efektivitas komunikasi dalam kelompok Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan P2KP menurut Nur
2004 adalah faktor internal, faktor eksternal, dukungan pemimpin formal, pendidikan formal, pengalaman berusaha dan motivasi anggota kelompok dengan
tingkat pemecahan masalah yang dihadapinya. Namun, yang berhubungan nyata dengan pola komunikasi dalam kelompok P2KP adalah dukungan pemimpin
formal. Syafwannur 2004 dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat tiga
program pengentasan kemiskinan di Kecamatan Tempuling diantaranya diversifikasi usahatani, program perlindungan kepemilikan lahan petani
perdesaan, dan program diversifikasi usaha rumah tangga tani. Program diversifikasi usahatani merupakan penganekaragaman penanaman tanaman dalam
satu lahan. Langkah pelaksanaan dari program perlindungan kepemilikan lahan petani perdesaan adalah tidak diijinkannya pemilik modal besar dan perusahaan
atau industri membeli lahan pertanian atau perkebunan milik petani perdesaan. Konsekuensinya pemerintah daerah menyediakan lahan miliknya untuk
disewakan kepada industri pengolahan dalam jangka panjang. Program
diversifikasi usaha rumah tangga tani bertujuan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga tani.
Hasil penelitiaan Intania 2002 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan adalah
umur, tingkat pendapatan, jumlah beban keluarga, pendapatan, pengalaman dan pelayanan pengelolaan kegiatan. Pada rentan umur sampai dengan 60 tahun,
semakin bertambah umur maka partisipasi masyarakat juga semakin tinggi. Kajian Widiyanti 2001 menunjukkan bahwa telaah terhadap partisipasi,
pendapatan dan tingkat kemiskinan peserta program perhutanan sosial dapat disusun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem orang
yang menggarap lahan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah jenis mata pencaharian pesanggem, luas penguasaan lahan pesanggem, pola usahatani
pesanggem dan pendapatan rumah tangga pesanggem. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian ini akan
menganalisis distribusi pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan di Kecamatan Cepu, mengidentifikasi desa-desa mana saja yang tergolong
berpenduduk miskin dan tidak miskin berdasarkan indeks kemiskinan manusia. Langkah selanjutnya adalah merumuskan alternatif strategi penanggulangan
kemiskinan yang lebih komprehensif, tentunya dengan melihat berbagai permasalahan yang terjadi pada kondisi kemiskinan di Kecamatan Cepu.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Teori Kemiskinan
Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumberdaya manusia,
penambahan modal investasi dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai macam dorongan dan dukungan diharapkan produktivitas akan meningkat.
Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Menurut Suharto 2003, dalam upaya mengatasi kemiskinan diperlukan
sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program anti kemiskinan. Hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih
berporos pada paradigma modernisasi modernization paradigm yang dimotori oleh Bank Dunia. Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi
Neoklasik orthodox neoclassical economics dan model yang berpusat pada produksi production-centered model. Sejak pendapatan nasional GNP mulai
dijadikan indikator pembangunan tahun 1950-an, misalnya para ahli ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemiskinan
di suatu negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya
indikator ‘garis kemiskinan’. Suharto 2003 mengemukakan bahwa di bawah kepemimpinan ekonomi
asal Pakistan, Mahbub Ul Haq, pada tahun 1990-an UNDP memperkenalkan pendekatan human development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks
Pembangunan Manusia Human Development Indeks. Dibandingkan dengan
pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena mencakup bukan saja dimensi ekonomi pendapatan,
melainkan pula pendidikan angka melek huruf, dan kesehatan angka harapan hidup. Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma
pembangunan kerakyatan popular development paradigm yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang
dikembangkan peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen. Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin
yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya karakteristik penduduk miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang
menyangkut usaha dan kemampuan penduduk miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak
tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial social capability dipandang lebih
lengkap daripada konsep pendapatan income dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin
dapat difokuskan pada beberapa key indicator yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencaharian livelihood capability,
memenuhi kebutuhan dasar basic need fulfillment, mengelola aset asset management
, menjangkau sumber-sumber acces to resources, berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan acces to social capital, serta kemampuan dalam
menghadapi guncangan dan tekanan cope with shocks and stresses Suharto, 2003.
Pembangunan perdesaan menurut rumusan Bank Dunia, merupakan strategi untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi lapisan masyarakat
tertentu, masyarakat perdesaan yang miskin dan melibatkan secara luas manfaat dari pola pembangunan untuk kelompok termiskin diantara mereka yang mencari
nafkah di perdesaan Alala, 1992. Khususnya dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat. PBB lebih menekankan pada proses dimana semua
usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan kultural serta
untuk mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan memberikan kesempatan secara penuh pada kemajuan dan
kemakmuran bangsa Conyers, 1987. Pembangunan perdesaan merupakan suatu strategi yang dirancang guna
memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi golongan miskin maka usaha untuk memeratakan pendapatan golongan miskin dituntut adanya perbaikan
kelembagaan Juoro, 1985. Menurut Soekartawi 1990, aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian secara keseluruhan,
tetapi juga segi ekonomi perdesaan. Dikatakan, bahkan aspek kelembagaan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur pembangunan di perdesaan
dikatakan maju sebagaimana yang dikemukakan Mosher 1974. Selama ini program-program pembangunan perdesaan seperti program
IDT Inpres Desa Tertinggal dan PPTAD Program Pengembangan Terpadu Antar Desa lebih cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga penekanan
terhadap pembangunan masyarakat umum belum tersentuh. Padahal berbagai persoalan yang membutuhkan penanganan pembangunan masyarakat desa
sesungguhnya mendesak, seperti ketertinggalan desa dari kota, tidak terakomodasinya keinginan dan kebutuhan masyarakat dalam program-program
pemerintah dan kualitas pendidikan dan kesejahteraan masih rendah Hernowo, 2003.
Dalam hubungannya dengan model pembangunan perdesaan, basis strategi pembangunan perdesaan adalah peningkatan kapasitas dan komitmen masyarakat
untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat desa secara langsung dalam setiap tahap proses pembangunan adalah
merupakan ciri utama pembangunan desa yang ideal, yang membedakannya dari pembangunan lainnya Ndraha, 1987.
Terdapat paradigma baru dalam pembangunan perdesaan dimana pertanian diposisikan sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan hasil memadai.
Pertanian dapat menjadi sumber pendapatan yang memadai apabila setiap program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang ada di wilayah perdesaan
sekitar 75 persen dari total penduduk dan tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini potensi sumberdaya manusia dan potensi sumberdaya
alamnya. Paradigma pembangunan tersebut akan dapat dicapai apabila potensi sumberdaya manusia di wilayah perdesaan yang sebelumnya menjadi obyek
diposisikan menjadi subyek pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan Saharia, 2003.
Pembangunan perdesaan mulai diarahkan secara integral dengan mempertimbangkan kekhasan daerah baik dari sisi kondisi, potensi dan prospek
dari masing-masing daerah. Namun di dalam penyusunan kebijakan pembangunan
perdesaan secara umum dapat dilihat dalam tiga kelompok Hernowo, 2003, yaitu :
1. Kebijakan secara tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya pembangunan perdesaan yang
mendukung kegiatan sosial ekonomi, seperti penyediaan sarana dan prasarana pendukung pasar, pendidikan, kesehatan, jalan dan lain sebagainya.
2. Kebijakan yang langsung diarahkan pada peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan.
3. Kebijakan khusus menjangkau masyarakat melalui upaya khusus, seperti penjaminan hukum melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap
keamanan dan kenyamanan masyarakat.
3.2. Kurva Lorenz