Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1. Perkara No. 687Pdt.G2009PA.Tng 2. Perkara No. 992Pdt.G2009PA.Tng

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi setiap insan yang melakukannya. Ia adalah aktivitas kemanusiaan dengan makna yang luas dan berdimensi ibadah. Pernikahan yang dilakukan manusia merupakan naluri Illahiyah untuk berkembang biak melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi. 1 Agama Islam mengisyaratkan “nikah” sebagai satu-satunya bentuk hidup secara berpasangan yang dibenarkan. Melalui lembaga nikah, kebutuhan naluriah yang pokok dari manusia yang mengharuskan dan mendorong adanya hubungan antara pria dan wanita tersalurkan secara terhormat sekaligus memenuhi panggilan watak kemasyarakatan dari kehidupan manusia itu sendiri dan panggilan moral yang ditegakkan oleh agama. Sementara itu, kesejahteraan keluarga pun akan terwujud dengan baik, jika dapat dihayati dengan baik makna dan nilai yang ada dibalik “nikah”itu. 1 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006, h.2. Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain. Sehingga mencintai, menghasilkan keturunan dan hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan petunjuk dari Rasul-Nya yaitu dengan perkawinan. Islam membangun kehidupan keluarga atas dasar dua tujuan: pertama, menjaga keluarga dari kesesatan. Kedua, untuk menciptakan wadah yang bersih sebagai tempat lahir sebuah generasi yang berdiri di atas landasan yang kokoh dan teratur tatanan sosialnya. 2 Perkawinan merupakan sunna h Rasulullah SAW yang disyari‟atkan Allah SWT kepada hamba-hambanya. Dalam perspektif Islam, perkawinan tidak hanya sebagai kebutuhan biologis seksualitas antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, akan tetapi Islam memandang sebuah perkawinan sebagai institusi untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Tidak jarang kita temukan dalam sebuah bahtera keluarga suami membenci istrinya, dan begitu juga sebaliknya karena perkawinan tidak dibangun di atas pondasi rumah tangga yang dipenuhi rasa kasih sayang, tafahum, komunikasi yang baik, serta suami isteri yang menjalankan kewajibannya masing-masing. Hak tersebut bisa berupa hak bersama-sama, misalnya hak sama- sama mendapatkan „kesenangan‟, hak isteri terhadap suami, seperti hak kebendaan mahar dan nafkah, dan hak non kebendaankeadilan, hak suami terhadap isteri, misalnya suami harus ditaati oleh 2 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah: Pologami dalam Islam vs Monogami Barat, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet Ke-1, h. 8-9. isteri dan sebagainya. Jika beberapa unsur di atas belum terpenuhi, maka hehidupan keluarga tidak akan berjalan dengan baik. 3 Dalam Islam, perkawinan merupakan suatu ikatan, dan ikatan itu harus diupayakan terjalin utuh. Namun tidak demikian apabila secara manusiawi ikatan perkawinan dalam keluarga itu menjadi mustahil untuk dipertahankan. Hanya dalam keadaan yang tidak dapat dipertahankan itu sajalah perceraian diizinkan dalam syari‟ah. Apabila keadaan itu timbul, seseorang hendaknya mencamkan dalam hatinya bahwa melakukan perkawinan itu dia telah membuat janji ikatan yang kuat mitsaqan ghalizha. Dalam pasal 38 undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat terputus disebabkan karena: 1. Kematian; 2. Perceraian; 3. Atasan putusan pengadilan. 4 Terutama pada kasus perceraian dapat terjadi karena adanya ikrar talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka kemudhorotan yang akan terjadi. 5 Meski diperbolehkan untuk bercerai akan tetapi hal 3 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Beirut: Dar el-fikr, 1983, Juz II, h.135. 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Ke-6, h. 274-275. 5 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2003 Cet ke-1, h.124. itu suatu per buatan yang paling dibenci oleh syari‟at karena akan menghilangkan kemaslahatan antara suami-isteri. Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya perdamaian, maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkan perceraian, cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun kehendak isteri, hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian sehingga proses perceraian pun berbeda 6 , perceraian atas kehendak suami disebut cerai talak sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 114, menyatakan bahwa: putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. 7 Salah satu azas perkawinan yang ada adalah mempersulit terjadi perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula. Pada dewasa ini dengan berjalannya waktu, perempuan atau isteri dengan isu- isu gender mulai meminta haknya untuk disamakan dengan laki-laki, karena isteri sudah sibuk dengan pekerjaannya dan penghasilannya pun lebih tinggi dari penghasilan suami, sebagai isteri sudah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang 6 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet. Ke-1, h.206. 7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressido, 1992, Cet. Ke-1, h. 140 isteri dan ibu rumah tangga yaitu berbakti kepada suami. Berbeda dengan sekarang tidak sedikit isteri yang berpenghasilan lebih tinggi tidak mau diperintah oleh suaminya yang penghasilannya pas-pasan, sebagai isteri seharusnya ia menjalankan apa yang menjadi kewajibannya salah satunya memberikan nafkah bathin terhadap suaminya. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 33 dinyatakan: “suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu dengan yang lain.” Undang-undang tersebut dengan jelas menuntut pasangan suami isteri untuk berperilaku dan bertindak seperti yang disebutkan dalam undang-undang, tetapi kemudian dalam hal pasangan sering terjada penyimpangan, perceraian hemat penulis sangat mungkin terjadi. Misalnya, seorang suami yang menginginkan adanya perceraian karena isteri tidak mau mengurus dan melayani keperluan suami, sering keluar rumah tanpa izin suami, tidak patuh dan tidak hormat terhadap suami dan tidak lagi kembali ke pangkuan suami alias kabur. Hukum Islam menganjurkan suami untuk mengajukan cerai talak di Pengadilan seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan isteri hilang mafqudghoib pada pasal 116 point b yang menyatakan: “salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.” 8 Seorang isteri hilang mafqud tentunya akan menimbulkan banyak akibat mulai dari anak tidak ada yang mengurus alias terlantar begitu pun dengan suami 8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 141. keperluan dan segala macamnya tidak ada yang mengurus.dan lagi pula jarang kasus istri yang hilang mafqud. Berangkat dari kasus tersebutlah, penulis ingin sekali mengadakan penelitian yang berkenaan dengan “PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA TANGERANG DALAM PERKARA CERAI TALAK DENGAN ALASAN ISTERI MAFQUD B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas maka penulis memberi batasan pembahasan ini pada masalah perceraian isteri mafqud di Pengadilan Agama Tangerang dengan Nomor Perkara 687Pdt.G2009PA.Tng dan Nomor Perkara 992Pdt.G2009PA.Tng. Penulis mengangkat judul isteri mafqud karena isteri mafqud kasusnya jarang sekali terjadi dan ulama fikih belum membahasnya secara eksplisit tentang isteri mafqud kebanyakan mengarah kepada suami mafqud.

2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya kewajiban seorang isteri adalah berbakti kepada suami lahir dan bathin sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 81 ayat 1 “Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas- batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.” Dan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 116 point b yang menyatakan: “salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasa n yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.” Tetapi Yang menjadi masalah istri baru enam bulan mafqud hilang suami sudah mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama Kota Tangerang dan Permohonannya tersebut diterima dan diputus bercerai oleh Hakim. Rumusan tersebut penulis merinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana Majelis Hakim Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam memproses perceraian karena mafqud? b. Bagaimana putusan Hakim di Pengadilan Agama Kota Tangerang mengenai cerai talak tersebut? c. Apa sumber utama yang dipakai oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam menangani cerai talak tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian