Laporan Praktik Kerja Profesi Rumah Sakit Di Rsup H. Adam Malik Medan Studi Kasus Tuberkulosis Paru
LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI RUMAH SAKIT
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Studi Kasus
TUBERKULOSIS PARU
Disusun Oleh:
Rachmad Anres Dongoran, S.Farm NIM 103202106
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
RINGKASAN
Studi kasus pada praktik kerja profesi di rumah sakit dilakukan dengan
pengkajian rasionalitas penggunaan obat pada pasien. Pengkajian ini sangat penting
dilakukan oleh apoteker untuk menjamin ketepatan pasien, indikasi, obat, dan dosis
serta mewaspadai efek samping. Pengamatan dilakukan pada tanggal 7 s.d. 15
Oktober 2011 di ruang rawat inap terpadu (rindu) A3
Studi kasus yang diambil yaitu pada pasien (WL) yang menderita
tuberkulosis paru. Kegiatan studi kasus meliputi visite (kunjungan) terhadap
pasien; melihat rasionalitas penggunaan obat terhadap pasien; memberikan
konseling, informasi dan edukasi terkait obat kepada pasien dan keluarga pasien;
dan memberikan pertimbangan kepada tenaga kesehatan lain dalam meningkatkan
rasionalitas penggunaan obat.
pulmonologis Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik.
Penilaian rasionalitas penggunaan obat meliputi 4 T + 1 W yaitu tepat
pasien, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis dan waspada efek samping.
Obat-obatan yang dipantau dalam kasus ini adalah NaCl, seftriakson, retaphyl® SR (teofilin), rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol, sohobion® (vit. B1, vit. B6,
(3)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
RINGKASAN ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru ... 3
2.2 Diagnosis Tuberkulosis ... 5
2.2.1 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis ... 6
2.2.2 Diagnosis Tuberkulosis Paru ... 6
2.3 Klasifikasi Tuberkulosis ... 6
2.4 Pengobatan Tuberkulosis ... 9
2.4.1 Prinsip Pengobatan Tuberkulosis ... 10
2.4.2 Panduan OAT yang Digunakan di Indonesia ... 11
BAB III PELAKSANAAN UMUM ... 13
3.1 Identitas Pasien ... 13
3.2 Ringkasan pada Waktu Pasien Masuk ke RSUP H. Adam Malik ... 13
(4)
3.4 Pemeriksaan Objektif ... 15
3.5 Terapi ... 16
BAB IV PEMBAHASAN ... 17
4.1 Pengkajian Tepat Pasien ... 17
4.2 Pengkajian Tepat Indikasi ... 18
4.3 Pengkajian Tepat Obat ... 19
4.4 Pengkajian Tepat Dosis ... 24
4.5 Pengkajian Waspada Efek Samping ... 26
4.6 Pengkajian Interaksi Obat ... 27
4.7 Rekomendasi untuk Dokter ... 28
4.8 Rekomendasi untuk Perawat ... 29
4.9 Pelayanan Konseling, Informasi dan Edukasi Pasien ... 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 33
5.1 Kesimpulan ... 33
5.2 Saran ... 33
(5)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Jenis dan dosis OAT ... 10
Tabel 2.2 Dosis kategori satu ... 12
Tabel 2.3 Dosis kategori dua ... 12
Tabel 3.1 Hasil pemeriksaan patologi klinik I ... 14
Tabel 3.2 Hasil pemeriksaan patologi klinik II ... 15
Tabel 3.3 Hasil pemeriksaan patologi klinik III ... 15
Tabel 3.4 Hasil pemeriksaan objektif pada pasien ... 15
Tabel 3.5 Daftar obat-obat yang digunakan pasien ... 16
(6)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Lembaran Penilaian Rasionalitas Penggunaan Obat ... 36
Lampiran 2. Format Tabel Rekaman Pemberian Antibiotik ... 39
Lampiran 3. Blanko Pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)... 40
Lampiran 4. Format Laporan Visite Pasien Rawat Inap RSUP H. Adam
Malik dan Format Konseling dengan Tenaga Medis Lainnya .... 42
Lampiran 5. Format Lembar Pelayanan Informasi Obat ... 43
Lampiran 6. Contoh Kartu Konseling Pasien Rawat Jalan
(7)
RINGKASAN
Studi kasus pada praktik kerja profesi di rumah sakit dilakukan dengan
pengkajian rasionalitas penggunaan obat pada pasien. Pengkajian ini sangat penting
dilakukan oleh apoteker untuk menjamin ketepatan pasien, indikasi, obat, dan dosis
serta mewaspadai efek samping. Pengamatan dilakukan pada tanggal 7 s.d. 15
Oktober 2011 di ruang rawat inap terpadu (rindu) A3
Studi kasus yang diambil yaitu pada pasien (WL) yang menderita
tuberkulosis paru. Kegiatan studi kasus meliputi visite (kunjungan) terhadap
pasien; melihat rasionalitas penggunaan obat terhadap pasien; memberikan
konseling, informasi dan edukasi terkait obat kepada pasien dan keluarga pasien;
dan memberikan pertimbangan kepada tenaga kesehatan lain dalam meningkatkan
rasionalitas penggunaan obat.
pulmonologis Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik.
Penilaian rasionalitas penggunaan obat meliputi 4 T + 1 W yaitu tepat
pasien, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis dan waspada efek samping.
Obat-obatan yang dipantau dalam kasus ini adalah NaCl, seftriakson, retaphyl® SR (teofilin), rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol, sohobion® (vit. B1, vit. B6,
(8)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada
pelayanan pasien. Farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang
farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari
paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru (patient oriented) dengan
filosofi pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian (Depkes RI, 2004).
Peran farmasis dalam farmasi klinis antara lain mengkaji instruksi
pengobatan atau resep pasien; mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah
yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan; memantau efektifitas dan keamanan
penggunaan obat dan alat kesehatan; memberikan informasi kepada petugas
kesehatan, pasien/keluarga; memberi konseling kepada pasien/keluarga; melakukan
pencampuran obat suntik; melakukan penyiapan nutrisi parenteral; melakukan
penanganan obat kanker; melakukan penentuan kadar obat dalam darah; melakukan
pencatatan setiap kegiatan dan melaporkan setiap kegiatan (Depkes RI, 2004).
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap baik visite
mandiri maupun bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuannya
adalah menilai rasionalitas penggunaan obat. Penilaian rasionalitas penggunaan
obat meliputi 4 T + 1 W yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis
(9)
Studi pengkajian penggunaan obat secara rasional dilaksanakan di ruang
rawat inap terpadu (rindu) A3
1.2 Tujuan
pulmonologis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik.
Tujuan dilakukan studi kasus ini adalah:
1. Meningkatkan rasionalitas penggunaan obat di RSUP H. Adam Malik
2. Memberikan pemahaman dan motivasi kepada pasien untuk mematuhi terapi
yang telah ditetapkan dokter
(10)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium
tuberculosis termasuk bakteri gram positif dan berbentuk batang. Umumnya
Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain.
Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan,
hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut
sebagai basil tahan asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan
lembab. Kuman dapat dormant atau tertidur sampai beberapa tahun dalam jaringan
tubuh.
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar
dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
(11)
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca
primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk
pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam
alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman
tuberkulosis yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu
terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Kelanjutan infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan
respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan
cara menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang
menetap sebagai “persister” atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat
menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan
menjadi penderita tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini
biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk
dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat
timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular.
Infeksi pasca primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang
luas dengan terjadinya efusi pleura.
Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal,
terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis, sebagian besar adalah faktor
(12)
kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan
pengobatan dengan immunosupresan.
Penderita tuberkulosis paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah
sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali
dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan obat
antituberkulosis (OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan
simtomatis. Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penderita yang
menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Resistensi
ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak
lagi dapat membunuh kuman.
2.2 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga seringterjadi overdiagnosis.
2.2.1 Gejala Klinis Tuberkulosis Paru
Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun,
(13)
meriang lebih dari satu bulan. Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia saat
ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien tuberkulosis dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2.2.2 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
1. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.
2. P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
3. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
2.3 Klasifikasi Tuberkulosis
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
(14)
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik:
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
tuberkulosis positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
(15)
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas.
2. Tuberkulosis ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
1) Tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar
limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2) Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier,
perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis
tulang belakang, tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih dan
alat kelamin.
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
(16)
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).
2.4 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat
dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.
Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat
membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat
membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit
dan lambat dibandingkan antibakteri lain (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok
yaitu kelompok pertama dan kelompok kedua. Kelompok obat pertama yaitu
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin. Kelompok obat ini
memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima.
(Depkes RI, 2006). Jenis dan dosis OAT dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis dan dosis OAT
Jenis OAT Dosis harian
(mg/kg)
Dosis 3 kali seminggu (mg/kg)
Rifampisin (R) 10 (8-12) 10 (8-12)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 10 (8-12)
(17)
Etambutol (E) 15 (15-20) 30 (20-35)
Streptomisin (S) 15 (12-18) 15 (12-18)
Antituberkulosis kelompok kedua yaitu antibiotik golongan fluorokuinolon
(siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, kanamisisn,
kapreomisin dan para aminosalisilat (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Penggunaan OAT kelompok kedua misalnya golongan aminoglikosida
(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada
pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT kelompok pertama juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi
pada OAT kelompok kedua (Depkes RI, 2006).
2.4.1 Prinsip Pengobatan Tuberkulosis
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Penggunaan
OAT tunggal (monoterapi) harus dihindari. Pemakaian obat antituberkulosis
kombinasi dosis tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Pengawasan langsung atau directly observed treatment (DOT) oleh seorang
pengawas menelan obat (PMO) harus dilakukan untuk menjamin kepatuhan pasien.
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada
tahap intensif atau awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
(18)
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
2.4.2 Panduan Obat Antituberkulosis yang Digunakan di Indonesia
Paduan obat antituberkulosis yang digunakan oleh program nasional
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia dibagi dalam dua kategori.
1. Kategori satu
Kategori satu diobati dengan kombinasi 2(HRZE)/4(HR)3. Tahap intensif
terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama dua bulan, kemudian diteruskan
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu
selama empat bulan.
Pasien yang termasuk kategori satu yaitu pasien baru tuberkulosis paru
dengan hasil uji BTA positif, pasien tuberkulosis paru dengan hasil uji BTA negatif
tetapi hasil foto toraks positif dan pasien tuberkulosis ekstra paru. Dosis obat
antituberkulosis untuk kategori satu dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Dosis kategori satu
Berat badan (kg)
Tahap intensif tiap hari selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
2. Kategori dua
Kategori dua diobati dengan kombinasi 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)3.
(19)
HRZES setiap hari, dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga
kali dalam seminggu. Paduan obat antituberkulosis ini diberikan untuk pasien BTA
positif yang telah diobati sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal, pasien
dengan pengobatan setelah default (terputus). Dosis obat antituberkulosis untuk
kategori dua dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Dosis kategori dua
Berat badan (kg)
Tahap intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 5 bulan RH (150/150) +
E(275)
Selama 56 Hari Selama 28
hari
2 tablet 2KDT + 2 tablet Etambutol 30-37 2 tablet 4KDT +
500 mg Streptomisin
injeksi
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT + 2 tablet Etambutol
38-54 3 tablet 4KDT + 750 mg Streptomisin
injeksi
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT + 3 tablet Etambutol
55-70 4 tablet 4KDT + 1000 mg Streptomisin
injeksi
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT + 4 tablet Etambutol
(20)
BAB III
PENATALAKSANAAN UMUM
3.1 Identitas Pasien
Nama : WL
No. RM : 00.48.94.91
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 15 Oktober 1959
Agama : Kristen Protestan
Suku : Nias
Alamat : Dusun II, Hilimaebu, Sisarahili, Susua, Nias Selatan
Berat Badan : 45 kg
Ruangan : Rindu A3
Pembayaran : Askes
(Pulmonologis) Kamar I-1
Tanggal Masuk : 7 Oktober 2011
3.2 Ringkasan pada Waktu Pasien Masuk ke RSUP H. Adam Malik
Pasien masuk ke RSUP H. Adam Malik melalui instalasi gawat darurat (IGD)
pada tanggal 7 Oktober 2011 dengan keluhan sesak nafas, batuk, dan nyeri dada.
Sesak nafas dialami pasien lebih kurang 10 bulan. Nafas berbunyi dialami lebih
kurang 4 bulan ini, nafas berbunyi juga dialami ketika pasien sedang tidur. Pasien
menderita batuk selama 1 tahun ini, kadang berdahak, kadang batuk kering dan
frekuensi batuk sering. Nyeri dada dialami pasien lebih kurang 6 bulan. Pasien
sering demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Keringat pada malam hari
(21)
bulan terakhir lebih kurang 5 kg. Riwayat menggunakan obat antituberkulosis
(OAT) sejak tanggal 26 September 2011 dari dokter spesialis paru di Nias
berdasarkan uji BTA, gejala klinis dan foto toraks. Pasien menggunakan OAT
secara teratur. Riwayat kontak dengan penderita TB tidak dijumpai. Riwayat
keluarga menderita tuberkulosis, diabetes dan tumor tidak dijumpai. Riwayat
minum minuman keras lebih kurang 10 tahun dan 6 bulan ini berhenti
3.3 Pemeriksaan
Selama dirawat di RSUP H. Adam Malik, pasien telah menjalani
pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium patologi klinik yang meliputi
hematologi, analisa gas darah, hati, gula darah, ginjal, dan elektrolit.
Pemeriksaan radiologi foto toraks dengan sinar X pada tanggal 8 Oktober
2011 menunjukkan infiltrasi, fibrosis, dan efusi pleura. Hasil pemeriksaan CT scan
thorax pada tanggal 12 Oktober 2011 menunjukkan infeksi pada paru-paru, efusi
pleura, infiltrasi, dan fibrosis.
Pemeriksaan patologi klinik I dan II dilakukan pada tanggal 7 Oktober 2011
dan pemeriksaan patologi klinik III dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2011. Hasil
pemeriksaan patologi klinik pasien ditunjukkan pada Tabel 3.1, Tabel 3.2, dan
Tabel 3.3.
Tabel 3.1 Hasil pemeriksaan patologi klinik I
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
Hematologi:
Hemoglobin g % 10,50 13,2 – 17,3
Eritrosit 106/mm3 3,59 4,20 – 4,87
Leukosit 103/mm3 13,89 4,5 – 11,0
(22)
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan KIMIA KLINIK
Analisa gas darah :
pH 7,469 7,35 – 7,45
pCO2 mmHg 28,4 38 – 42
pO2 mmHg 147,7 85 – 100
Hati :
SGOT/AST U/l 28 < 38
SGPT/ALT U/l 10 < 41
Gula darah :
Glukosa darah (sewaktu)
mg/dl 85,40 < 200
Ginjal :
Ureum mg/dl 15,40 < 50
Kreatinin mg/dl 0,59 0,7 – 1,20
Elektrolit :
Natrium mEq/l 131 135 – 155
Kalium mEq/l 3,7 3,6 – 5,5
Klorida mEq/l 102 96 – 106
Tabel 3.3 Hasil pemeriksaan patologi klinik III
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
KIMIA KLINIK GINJAL
Asam urat mg/dl 8,2 < 7,0
3.4 Pemeriksaan Objektif Harian
Hasil pemeriksaan objektif pasien dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Hasil pemeriksaan objektif harian dari pasien
Tanggal Sensorium BP
(mmHg)
HR (kali/menit)
RR (kali/menit)
T (oC)
7 Oktober 2011 cm 110/70 88 36 37,6
8 Oktober 2011 cm 110/70 82 32 37,9
9 Oktober 2011 cm 110/70 80 30 36,5
10 Oktober 2011 cm 130/80 88 28 37,1
11 Oktober 2011 cm 130/80 98 28 37,2
12 Oktober 2011 cm 120/80 104 32 37
13 Oktober 2011 cm 110/60 62 20 36,6
14 Oktober 2011 cm 120/80 80 24 38,1
15 Oktober 2011 cm 120/80 84 26 36
Keterangan : cm = compos mentis (sadar penuh), BP = blood pressure, HR = heart rate, RR = respiratory rate, T = temperature.
(23)
Obat-obat yang digunakan pasien selama terapi dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5 Daftar obat-obat yang digunakan pasien
Nama Obat Sediaan Dosis Rute Tanggal (Oktober 2011)
Bentuk Kekuatan 7 8-9 10-11 12-14 15
NaCl Seftriakson Retaphyl® Rifampisin S R (Teofilin) Isoniazid Pirazinamid Etambutol Sohobion® Kodein Parasetamol Zyloric® (Alopurinol) Infus Injeksi Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet 0,9% 1 g 300 mg 450 mg 300 mg 500 mg 500 mg Vit. B1
100 mg, Vit. B6
100 mg, Vit. B12
20 mg 5000 mcg 500 mg 300 mg 20 tetes/menit 1 g/12 jam 2 x ½ tablet
1 x 1 tablet 1 x 1 tablet 1 x 2 tablet 1 x 2 tablet 1 x 1 tablet
3 x 1 tablet 3 x 1 tablet 1 x ½ tablet
Iv Iv Po Po Po Po Po Po Po Po Po √ √ √ √ √ √ √ √ √ -- √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ Keterangan: Iv = intravena, Po = peroral.
(24)
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian Tepat Pasien
Pasien masuk ke RSUP H. Adam Malik melalui instalasi gawat darurat
(IGD) pada tanggal 7 Oktober 2011. Pasien telah menjalani pemeriksaan
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan objektif harian, pemeriksaan radiologi dan
pemeriksaan laboratorium patologi klinik yang meliputi hematologi, analisa gas
darah, hati, gula darah, ginjal, dan elektrolit. Hasil pemeriksaan ini sangat penting
untuk menegakkan diagnosis pasien sehingga ketepatan pasien sebagai salah satu
faktor dalam penilaian rasionalitas penggunaan obat terpenuhi.
Gejala klinis yang dialami pasien antara lain sesak nafas , nafas berbunyi,
batuk, nyeri dada, demam, keringat pada malam hari, badan lemas, tidak ada nafsu
makan, dan penurunan berat badan. Gejala klinis yang dialami oleh pasien ini
adalah gejala klinis utama tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
Pemeriksaan radiologi foto toraks dengan sinar X pada tanggal 8 Oktober
2011 menunjukkan infiltrasi dan fibrosis. Infiltrasi, fibrosis, dan efusi pleura
merupakan gambaran radiologis yang mendukung dalam diagnosis tuberkulosis
(Bahar, 2001). Hasil pemeriksaan CT scan thorax pada tanggal 12 Oktober 2011
menunjukkan infeksi pada paru-paru, efusi pleura, infiltrasi, dan fibrosis.
Pemeriksaan radiologis paru-paru dengan computed tomography scanning (CT
scan) merupakan pemeriksaan yang lebih canggih. Pemeriksaan dengan CT scan
lebih superior dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis biasa karena perbedaan
(25)
Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan jumlah leukosit yang tinggi dan
menandakan adanya infeksi. Jumlah eritrosit dan hemoglobin berada di bawah nilai
normal. Kadar elektrolit natrium juga di bawah nilai normal.
Berdasarkan semua hasil pemeriksaan tersebut dokter menyatakan bahwa
pasien menderita tuberkulosis paru kategori satu. Pasien yang termasuk kategori
satu yaitu pasien baru tuberkulosis paru dengan hasil uji BTA positif, pasien
tuberkulosis paru dengan hasil uji BTA negatif tetapi hasil foto toraks positif dan
pasien tuberkulosis ekstra paru (Depkes RI, 2006).
Diagnosis ini sama dengan diagnosis dokter spesialis paru di Nias yang telah
melakukan pemeriksaan terhadap pasien berdasarkan gejala klinis, uji BTA dan
foto toraks. Pasien juga telah mendapatkan obat antituberkulosis dari dokter
tersebut sejak tanggal 26 September 2011 dan menggunakannya secara teratur.
Pasien mengalami gout akut sejak tanggal 9 Oktober 2011. Diagnosis ini
berdasarkan gejala klinis pada pasien seperti nyeri pada persendiaan, sendi tidak
bisa digerakkan, sendi berwarna kemerah-merahan, terjadi pembengkakan dan rasa
panas pada sendi. Gejala klinis ini didukung oleh hasil pemeriksaan kadar asam
urat pasien di atas normal (hiperurisemia). Pasien juga sering mengalami demam
dengan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi.
4.2 Pengkajian Tepat Indikasi
Diagnosis dokter menyatakan bahwa pasien menderita tuberkulosis paru
kategori satu. Pemberian kombinasi rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol sesuai dengan pedoman penatalaksanaan pasien tuberkulosis paru,
dimana untuk kategori satu diobati dengan kombinasi 2(HRZE)/4(HR)3 (Depkes
(26)
Efek merugikan dari isoniazid adalah neuropati perifer. Efek ini dapat
diatasi dengan pemberian piridoksin (vitamin B6) dengan dosis 10 mg dan tiamin
(vitamin B1) dengan dosis 100 mg. Indikasi pemberian sohobion® sudah tepat
untuk mengatasi efek neuropati dari isoniazid, karena mengandung piridoksin
(vitamin B6) dan tiamin (vitamin B1
Dokter memberikan zyloric ).
®
Pemberian seftriakson kepada pasien karena diduga terjadi infeksi lain yang
belum terbukti selain infeksi utama oleh Mycobacterium tuberculosis. Pemberian
seftriakson ini kurang tepat karena penggunaannya secara empiris tanpa ada
pengujian kultur.
(alopurinol) untuk mengatasi hiperurisemia
yang disebabkan oleh pirazinamid dan etambutol. Alopurinol menghambat
pembentukan asam urat dengan cara menghambat (inhibitor) enzim xanthine
oxidase, sehingga menghalangi pembentukan xantin dari hipoxantin dan
pembentukan asam urat dari xantin (Stockley, 2008). Alopurinol kurang tepat
diindikasikan untuk mengobati efek hiperurisemia dari pirazinamid dan etambutol
karena hiperurisemia yang terjadi adalah akibat dihambatnya ekskresi asam urat di
ginjal oleh pirazinamid dan etambutol.
Pemberian teofilin untuk mengatasi sesak nafas yang dialami oleh pasien
sudah tepat indikasi. Pemberian kodein sebagai antitusif untuk mengatasi batuk
kering yang dialami oleh pasien sudah tepat indikasi. Pemberian parasetamol
sebagai antipiretik sudah tepat indikasi.
4.3 Pengkajian Tepat Obat
Mikobakteri yang menyebabkan tuberkulosis tumbuh sangat lambat
(27)
mencegah resistensi penting menggunakan kombinasi dari empat atau lima
senyawa yang menimbulkan sensitivitas pada mikobakteri tersebut. Satu kombinasi
biasanya terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol (Stringer,
2006). Kombinasi ini menggabungkan tingkat efikasi terbesar dengan derajat
toksisitas yang dapat diterima (Petri, 2003).
Pemberian kombinasi rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol
sesuai dengan pedoman penatalaksanaan pasien tuberkulosis paru, dimana untuk
kategori satu diobati dengan kombinasi 2(HRZE)/4(HR)3. Rifampisin bersifat
bakterisid dengan cara menghambat sintesis asam ribonukleat (RNA) melalui
pembentukan suatu kompleks yang stabil antara rifampisin dengan RNA
polimerase . Isoniazid bersifat bakterisid dengan cara menghambat sintesis asam
mikolat yang digunakan untuk pembentukan dinding sel mikobakteri (Stringer,
2006). Mekanisme kerja pirazinamid berdasarkan pengubahannya menjadi asam
pirazinat oleh enzim pirazinamidase yang berasal dari basil TBC. Mekanisme kerja
etambutol berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang
membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel (Tan
dan Rahardja, 2010).
Efek merugikan dari isoniazid adalah neuropati perifer. Hal ini disebabkan
oleh peningkatan ekskresi piridoksin. Pasien yang makanannya kurang bergizi dan
pasien yang mempunyai predisposisi neuropati karena menderita diabetes, uremia
dan alkoholisme beresiko besar untuk mendapatkan efek neuropati ini (Woodley
and Whelan, 1992). Efek neuropati ini disebabkan oleh kompetisi isoniazid dengan
piridoksin untuk enzim apotriptofanase karena keduanya mempunyai struktur
(28)
piridoksin (vitamin B6) dengan dosis 10 mg dan tiamin (vitamin B1
Pemberian sohobion
) dengan dosis
100 mg (Tan dan Rahardja, 2010).
®
diindikasikan untuk mengatasi efek neuropati dari
isoniazid, karena mengandung piridoksin (vitamin B6) dan tiamin (vitamin B1).
Sohobion® tidak hanya mengandung piridoksin (vitamin B6) 100 mg dan tiamin
(vitamin B1) 100 mg tetapi juga mengandung sianokobalamin (vitamin B12) 5000
mcg. Sianokobalamin (vitamin B12) merupakan obat yang meningkatkan produksi
asam urat (Depkes RI, 2006). Pirazinamid dan etambutol yang diberikan pada
pasien tuberkulosis akan menghambat ekskresi asam urat dan menginduksi
hiperurisemia. Keadaan hiperurisemia ini akan semakin diperburuk dengan
pemberian sianokobalamin (vitamin B12) yang justru meningkatkan produksi asam
urat, sehingga akumulasi asam urat atau hiperurisemia yang terjadi tidak lagi hanya
karena terhambatnya ekskresi asam urat oleh pirazinamid dan etambutol, tetapi
juga karena meningkatnya pembentukan asam urat oleh sianokobalamin (vitamin
B12). Pemberian sohobion®
Penggunaan pirazinamid harus dihentikan jika terjadi hiperurisemia yang
disebabkan oleh pirazinamid dan disertai oleh acute gouty arthritis. Penggunaan
pirazinamid dihentikan sampai kadar asam urat normal kembali disertai dengan
pemantauan kadar asam urat (Stockley, 2008). Penggunaan pirazinamid dihentikan
sejak tanggal 10 Oktober 2011 karena terjadinya gout akut pada pasien. Gejala
klinis gout akut yang dialami oleh pasien didukung oleh hasil pemeriksaan kadar
asam urat pasien yang meningkat menjadi 8,2 mg/dl.
dalam hal ini tidak tepat sebagai pilihan obat untuk
mengatasi efek samping dari isoniazid, di samping itu tersedia bentuk sediaan
tunggal dalam daftar plafon dan harga obat (DPHO) yaitu piridoksin dengan
(29)
Dokter memberikan zyloric®
Urikosurik seperti probenesid dapat digunakan untuk mengatasi hal ini.
Probenesid bekerja meningkatkan ekskresi asam urat dengan cara menghambat
reabsorpsi di tubular ginjal. Urikolitik seperti urat oxidase juga dapat diberikan.
Urat oksidase berperan sebagai katalisator untuk mengubah asam urat menjadi
alantoin yang larut dalam air, namun sampai saat ini sediaan urat oksidase belum
ada di Indonesia (Depkes RI, 2006).
(alopurinol) untuk mengatasi hiperurisemia
yang disebabkan oleh pirazinamid dan etambutol. Alopurinol menghambat
pembentukan asam urat dengan cara menghambat (inhibitor) enzim xanthine
oxidase, sehingga menghalangi pembentukan xantin dari hipoxantin dan
pembentukan asam urat dari xantin (Stockley, 2008). Alopurinol tidak tepat
digunakan untuk mengobati efek hiperurisemia dari pirazinamid karena
hiperurisemia yang terjadi adalah akibat dihambatnya ekskresi asam urat di ginjal
oleh pirazinamid dan etambutol.
Zyloric®
Pasien kembali menerima pirazinamid pada tanggal 15 Oktober 2011.
Pemberian kembali pirazinamid ini disertai dengan pemberian alopurinol kepada
pasien. Pemberian bersama pirazinamid dan alopurinol harus dihindari (Adverse
Drugs Interaction, 2002). Pirazinamid terhidrolisa di dalam tubuh menjadi asam
pirazinoat yang bertanggung jawab atas efek hiperurisemia dari pirazinamid. Asam
pirazinoat dioksidasi oleh enzim xanthine oxidase menjadi asam
5-hidroksipirazoat. Oksidasi asam pirazinoat ini dihambat oleh alopurinol yang (alopurinol) tidak terdapat dalam DPHO sehingga pasien harus
membeli dari apotek luar, padahal alopurinol terdapat dalam DPHO dalam bentuk
sediaan tablet dengan dosis 100 mg dan 300 mg. Probenesid juga terdaftar dalam
(30)
bekerja sebagai inhibitor enzim xanthine oxidase sehingga meningkatkan
akumulasi asam pirazinoat dan menginduksi hiperurisemia (Stockley, 2008).
Pemberian seftriakson kepada pasien karena diduga terjadi infeksi lain yang
belum terbukti selain infeksi utama oleh Mycobacterium tuberculosis. Pemberian
seftriakson ini tidak tepat karena penggunaannya secara empiris tanpa ada
pengujian kultur. Selain itu, obat antituberkulosis seperti rifampisin selain aktif
terhadap mikobakterium juga efektif melawan berbagai bakteri gram positif dan
negatif.
Pemberian elektrolit dalam bentuk infus NaCl 0,9 % sudah tepat karena dari
hasil pemeriksaan elektrolit pasien menunjukkan kadar natrium di bawah nilai
normal.
Sesak nafas yang dialami oleh pasien diatasi dengan pemberian teofilin.
Pemberian teofilin (retaphyl® SR) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal. Teofilin juga merupakan stimulan pusat
pernafasan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi
saluran pernapasan kronik (Adverse Drugs Interaction, 2002). Pemberian teofilin
dalam bentuk sustained release adalah untuk memberikan konsentrasi yang
konstan dalam darah (Tan dan Rahardja, 2010). Formulasi sediaan sustained
release dirancang sedemikian rupa untuk pelepasan zat aktif secara terkontrol.
Sediaan retaphyl® SR mengandung teofilin dengan kekuatan 300 mg/tablet dan dosis yang diberikan oleh dokter kepada pasien adalah 150 mg setiap 12 jam
sehingga tablet harus dibagi dua. Sifat sustained release dari sediaan ini akan rusak
dan profil pelepasannya pun tidak terkontrol lagi. Pemberian retaphyl® SR ini tidak tepat dan dapat diganti dengan bentuk sediaan teofilin dalam DPHO yaitu teofilin
(31)
Pemberian kodein sebagai antitusif yaitu untuk mengatasi batuk kering
yang dialami oleh pasien. Kodein adalah narkotika turunan morfin yang
mempunyai efek antitusif dan analgetik. Kodein bekerja sentral menekan pusat
batuk di sistem saraf pusat (Tan dan Rahardja, 2010).
Parasetamol memiliki efek sebagai analgetik dan antipiretik. Pemberian
parasetamol sebagai antipiretik yaitu untuk menurunkan demam pada pasien. Daya
antipiretik parasetamol didasarkan pada rangsangan pada pusat penghantar panas di
hipotalamus, menimbulkan vasodilatasi perifer sehingga terjadi pengeluaran panas
yang disertai banyak keringat. Kemampuannya parasetamol sebagai analgetik akan
meningkat jika dikombinasikan dengan kodein sehingga dapat mengatasi nyeri
pada pasien (Tan dan Rahardja, 2010).
Pemberian gas O2 untuk mengatasi sesak nafas yang dialami oleh pasien.
Pemberian gas O2
4.4 Pengkajian Tepat Dosis
akan memperbaiki penyampaian oksigen dan memperbaiki kerja
otot pernafasan.
Pengkajian tepat dosis meliputi dosis bentuk sediaan, rentang dosis, rute
pemberian, waktu pemberian, lama pemberian dan interval pemberian. Pemberian
obat-obat kepada pasien sudah tepat dosis. Dosis obat-obat yang diberikan dapat
dilihat pada Tabel 3.5, halaman 16. Persyaratan ketepatan dosis obat-obat yang
digunakan oleh pasien dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Pengkajian tepat dosis
Jenis Obat/ Bentuk Sediaan / Kekuatan Sediaan
Rentang Dosis
Rute Pemberian
Lama Pemberian
Waktu Pemberian
Interval Pemberian
(32)
(Tan dan Rahardja, 2010; Depkes RI, 2007).
4.5 Pengkajian Waspada Efek Samping
Efek samping dari rifampisin yang terpenting adalah gangguan hati dan
bersifat reversibel, tetapi gangguan ini tidak sering. Efek samping utama dari Rifampisin/
tablet/ 450 mg/ tablet
450-600 mg/ hari
Per-oral Disesuaikan dengan kategori penyakit Pagi hari sebelum makan Setiap 24 jam Isoniazid/ tablet/ 300 mg/tablet 300-400 mg/ hari Per-oral Disesuaikan dengan kategori penyakit Pagi hari sebelum makan Setiap 24 jam Pirazinamid/ tablet/ 500 mg/tablet 20-30 mg/ kgBB /hari Per-oral Disesuaikan dengan kategori penyakit Pagi hari sebelum makan Setiap 24 jam Etambutol/ tablet/ 500 mg/tablet 15-20 mg/ Kg BB/ hari Per-oral Disesuaikan dengan kategori penyakit Pagi hari sebelum makan Setiap 24 jam Kodein/ tablet/ 20 mg/ tablet 10-20 mg, 4-6 kali sehari
Per-oral Disesuaikan dengan keadaan penyakit Diberikan sebelum atau sesudah makan Setiap 8 jam Teofilin/ tablet/ 300 mg/tablet 3-4 kali 125-250 mg
Per-oral Disesuaikan dengan keadaan penyakit Diberikan setelah makan Setiap 12 jam Alopurinol/ tablet/300 mg/tablet 100 mg sehari, maks10 mg/kg BB/hari
Per-oral Disesuaikan dengan keadaan penyakit Diberikan setelah makan Setiap 24 jam Seftriakson/ inj./1g/ vial 1-2 g/hari
Intravena 7-14 hari - Setiap 12
(33)
isoniazid adalah hepatotoksisitas dan neuropati perifer. Gangguan fungsi hati yang
diinduksi oleh isoniazid dapat terjadi pada 10-20% pasien, dan insidensi meningkat
seiring bertambahnya usia. Gannguan hati ini bersifat reversible pada sebagian
besar pasien (Stringer, 2006). Pemeriksaan fungsi hati perlu dilakukan kepada
pasien untuk melihat apakah gangguan hati terjadi pada pasien.
Efek neuropati perifer oleh isoniazid disebabkan oleh peningkatan ekskresi
piridoksin. Pasien yang makanannya kurang bergizi dan pasien yang mempunyai
predisposisi neuropati karena menderita diabetes, uremia dan alkoholisme beresiko
besar untuk mendapatkan efek neuropati ini (Woodley and Whelan, 1992). Hal ini
disebabkan oleh kompetisi isoniazid dengan piridoksin untuk enzim
apotriptofanase karena keduanya mempunyai struktur kimia yang mirip (Mycek,
dkk., 1995). Efek ini dapat diatasi dengan pemberian piridoksin (vitamin B6)
dengan dosis 10 mg dan tiamin (vitamin B1
Pada hampir semua pasien, pirazinamid menghambat pengeluaran asam
urat dari ginjal sehingga meningkatkan kadar asam urat dalam darah
(hiperurisemia) dan menimbulkan serangan encok (gout). Etambutol juga dapat
mengakibatkan kadar asam urat dalam serum akibat penurunan bersihan asam urat
melalui ginjal, yang dapat menyebabkan gout (Stringer, 2006). Vitamin B
) dengan dosis 100 mg (Tan dan
Rahardja, 2010).
12
Efek samping dari seftriakson adalah diare, mual, muntah dan pruritus Mual
dapat terjadi pada pemberian kodein dengan dosis yang lebih tinggi. Efek samping
yang terpenting dari teofilin adalah mual dan muntah, baik pada penggunaan oral, dapat
meningkatkan produksi asam urat (Depkes RI, 2005). Pemantauan kadar asam urat
perlu dilakukan pada pasien dan jika terjadi gout akut dapat diatasi dengan
(34)
rektal maupun parenteral. Efek samping piridoksin jarang terjadi dan biasanya
berupa reaksi alergi. Efek samping alopurinol jarang terjadi dan biasanya berupa
reaksi alergi kulit, gangguan lambung dan usus, nyeri kepala, dan pusing. Efek
samping parasetamol yang terjadi biasanya berupa reaksi hipersensitivitas. Pada
dosis di atas 6 g sehari dapat mengakibatkan nekrosis hati yang ireversibel (Tan
dan Rahardja, 2010).
4.6 Pengkajian Interaksi Obat
Kombinasi rifampisisn, isoniazid, pirazinamid dan etambutol akan
meningkatkan efektivitas dan untuk mencegah resistensi. Masing-masing obat
dalam kombinasi ini mempunyai mekanisme kerja yang berbeda (Stringer, 2006).
Rifampisin merupakan inducer poten isoenzim sitokrom P-450 yang
mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh
isoenzim tersebut (Stringer, 2006). Teofilin merupakan obat yang dimetabolisme di
hati oleh isoenzim sitokrom P-450. Rifampisin akan meningkatkan metabolisme
teofilin sehingga menurunkan kadarnya dalam darah (Depkes RI, 2005), oleh
karena itu dosis teofilih harus dinaikkan. Teofilin juga mempunyai indeks
terapeutik yang sempit sehingga perlu dilakukan penetapan dosis secara individual
dan pemantauan kadar obat dalam darah (Tan dan Rahardja, 2010).
Makanan akan mengurangi absorbsi rifampisin dan isoniazid pada saluran
pencernaan sehingga menurunkan konsentrasinya (Stockley, 2008; Depkes RI,
2005). Antasida dapat mengurangi absorbsi isoniazid pada saluran pencernaan
(Petri, 2003). Rifampisin dan isoniazid sebaiknya tidak diberikan bersama dengan
makanan dan antasida. Obat-obat ini dapat diberikan pada pagi hari sebelum
(35)
Pirazinamid terhidrolisa di dalam tubuh menjadi asam pirazinoat yang
bertanggung jawab atas efek hiperurisemia dari pirazinamid. Asam pirazinoat
dioksidasi oleh enzim xanthine oxidase menjadi asam 5-hidroksipirazoat. Oksidasi
asam pirazinoat ini dihambat oleh alopurinol yang bekerja sebagai inhibitor enzim
xanthine oxidase sehingga meningkatkan akumulasi asam pirazinoat dan
menginduksi hiperurisemia (Stockley, 2008). Pemberian pirazinamid bersama
alopurinol harus dihindari (Adverse Drugs Interaction, 2002).
Pirazinamid dan etambutol yang diberikan pada pasien tuberkulosis akan
menghambat ekskresi asam urat dan menginduksi hiperurisemia. Keadaan ini akan
semakin diperburuk dengan pemberian sianokobalamin (vitamin B12
4.7 Rekomendasi untuk Dokter
) yang
meningkatkan produksi asam urat (Depkes RI, 2006). Pemberian pirazinamid dan
etambutol bersama sianokobalamin harus dihindari.
Beberapa rekomendasi yang diberikan kepada dokter antara lain:
1. Pemberian sohobion® yang diindikasikan untuk mengatasi efek neuropati dari isoniazid dapat diganti dengan sediaan tunggal piridoksin (vitamin B6)
dan tiamin (vitamin B1
2. Pemantauan kadar asam urat pasien harus dilakukan sehingga dapat
diketahui dengan tepat waktu pemberian kembali pirazinamid kepada
pasien. Pemantauan ini juga berguna untuk mengetahui perkembangan
pasien baik setelah pemberian obat-obat yang digunakan untuk mengatasi
asam urat maupun setelah pemberian kembali pirazinamid.
) yang ada dalam daftar plafon dan harga obat
(DPHO) yaitu piridoksin dengan sediaan tablet 10 mg dan tiamin dengan
(36)
3. Urikosurik seperti probenesid dapat digunakan untuk mengatasi
hiperurisemia pada pasien. Probenesid bekerja meningkatkan ekskresi asam
urat dengan cara menghambat reabsorpsi di tubular ginjal.
4. Pemberian pirazinamid bersama alopurinol harus dihindari karena akan
meningkatkan resiko hiperurisemia.
5. Pemberian seftriakson kepada pasien karena diduga terjadi infeksi lain yang
belum terbukti selain infeksi utama oleh Mycobacterium tuberculosis.
Pemberian seftriakson ini tidak tepat karena penggunaannya secara empiris
tanpa ada pengujian kultur. Selain itu, beberapa obat antituberkulosis selain
aktif terhadap mikobakterium juga efektif melawan berbagai bakteri gram
positif dan negatif.
6. Pemberian teofilin dapat dilakukan dengan memberikan secara langsung
sediaan tablet dosis 150 mg yang ada dalam daftar plafon dan harga obat
(DPHO).
4.9 Rekomendasi untuk Perawat
Beberapa rekomendasi yang diberikan kepada perawat antara lain :
1. Pemberian obat-obat injeksi kepada pasien oleh perawat sebaiknya tepat
waktu, karena interval pemberian merupakan salah satu bagian dari
ketepatan dosis, misalnya injeksi seftriakson diberikan tepat setiap 12 jam.
2. Obat-obat yang belum digunakan sebaiknya disimpan sesuai dengan
persyaratan kondisi penyimpanan, karena penyimpanan pada umumnya
berpengaruh kepada stabilitas sediaan, misalnya serbuk injeksi seftriakson
(37)
3. Sediaan obat injeksi yang terlebih dahulu dilarutkan harus disesuaikan
dengan pelarut dan jumlahnya, misalnya 1 gram serbuk seftriakson
dilarutkan dalam 9,6 ml akua pro injeksi sehingga mengurangi rasa nyeri di
tempat penyuntikan.
4. Pembuangan wadah bekas obat seperti vial, ampul dan spuit harus
disesuaikan dengan tempat penampungan wadah bekas pakai.
4.9 Pelayanan Konseling, Informasi, dan Edukasi Pasien
Seorang apoteker harus mampu berkomunikasi memberikan konseling,
informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien terkait dengan penyakit
dan penggunaan obat. Beberapa informasi penting yang disampaikan kepada pasien
antara lain:
1. Perlunya seorang anggota keluarga sebagai pengawas menelan obat (PMO)
untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menggunakan obat. Kepatuhan
pasien menelan obat merupakan kunci keberhasilan pengobatan
tuberkulosis paru.
2. Perlunya pasien dan keluarga untuk mewaspadai penularan tuberkulosis
dari pasien kepada anggota keluarga yang lain.
3. Perlunya diet tinggi kalori dan tinggi protein kepada pasien.
4. Memberikan informasi mengenai kegunaan obat-obat yang diterima pasien:
1) Rifampisin dan kombinasinya dengan isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol adalah antibiotik untuk mengatasi mikobakteri penyebab TB
paru.
2) Teofilin adalah obat yang digunakan untuk mengatasi sesak nafas yang
(38)
3) Kodein adalah obat batuk kering yang akan menekan batuk pada pasien.
4) Piridoksin dan tiamin diberikan untuk mengatasi efek samping dari
isoniazid.
5) Alopurinol diberikan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah.
6) Parasetamol diberikan untuk menurunkan demam.
5. Memberikan informasi tentang efek samping dan informasi lainnya
mengenai obat yang diterima pasien seperti:
1) Rifampisin dapat menyebabkan urin, feses, keringat dan air mata
berwarna merah.
2) Rifampisin dan isoniazid sebaiknya tidak diberikan bersama makanan
dan antasida. Obat-obat ini dapat diberikan pada pagi hari sebelum
makan.
3) Pada hampir semua pasien, pirazinamid dan etambutol menghambat
pengeluaran asam urat dari ginjal sehingga meningkatkan kadar asam
urat dalam darah (hiperurisemia) dan menimbulkan serangan encok
(gout).
4) Etambutol dapat menyebabkan neuritis optik, yang menimbulkan
hilangnya penglihatan sentral dan gangguan pembedaan warna merah
(39)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Ketepatan pasien sebagai salah satu faktor dalam penilaian rasionalitas
penggunaan obat sudah terpenuhi. Ketepatan diagnosis berdasarkan hasil
pemeriksaan gejala klinis, radiologi, laboratorium patologi klinik, laboratorium
mikrobiologi, dan pemeriksaan objektif.
Pemberian obat-obat kepada pasien masih ada yang tidak tepat indikasi dan
tidak tepat obat, antara lain pemberian seftriakson, sohobion®, alopurinol, dan retaphyl®
Pemberian obat-obat kepada pasien sudah tepat dosis. Pengkajian tepat
dosis meliputi dosis bentuk sediaan, rentang dosis, rute pemberian, waktu
pemberian, lama pemberian dan interval pemberian. SR.
Efek samping obat seperti hiperurisemia yang disebabkan oleh
pirazinamid, etambutol dan sianokobalamin belum diatasi secara benar.
Daftar plafon dan harga obat (DPHO) untuk peserta askes tidak sepenuhnya
dipergunakan oleh dokter sehingga pasien harus membeli obat dari apotek luar,
padahal di dalam DPHO ada terdaftar obat dengan kandungan zat aktif dan dosis
yang sama, misalnya zyloric®
5.2 Saran
.
1. Sebaiknya pemberian sohobion® diganti dengan sediaan tunggal piridoksin (vitamin B6) dan tiamin (vitamin B1
2. Injeksi seftriakson seharusnya tidak diberikan kepada pasien.
) yang tersedia dalam daftar plafon dan
(40)
3. Efek samping obat-obat yang diberikan sebaiknya diatasi secara tepat.
4. Pemberian pirazinamid bersama alopurinol harus dihindari karena akan
meningkatkan resiko hiperurisemia.
5. Pemberian teofilin dapat dilakukan dengan memberikan secara langsung
sediaan tablet dosis 150 mg yang tersedia dalam daftar plafon dan harga
obat (DPHO).
6. Sebaiknya dilakukan sosialisasi kembali kepada dokter mengenai
(41)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2002). Adverse Drug Interactions. New York: The Medical Letter.
Bahar, A. (2001). Tuberkulosis Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 819-837.
Depkes RI. (2004). Keputusan Menkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Depkes RI. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Jakata: Depkes RI. Halaman 13-21.
Depkes RI. (2007). Pharmaceutical Care untuk Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan. Jakarta: Depkes RI. Halaman 47-50.
Depkes RI. (2008). Pelayanan Informasi Obat. Jakarta: Depkes RI.
McEvoy, G. K. (2005). AHFS Drug Information. Bethesda: American Society of Health System Pharmacists.
Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe, P.C. (1995). Farmakologi Ulasan Bergambar. Penerjemah Azwar Agoes. Jakarta: Penerbit Widya Medika. Halaman 335-340.
Petri, W.A. (2003). Senyawa Antimikroba dalam Dasar Farmakologi Terapi. Volume 2. Jakarta: Penerbit EGC Buku Kedokteran. Hal. 1246-1265.
Setiabudy, R. dan Istiantoro, Y.H. (2007). Tuberkulostatik dan Leprostatik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 613-637.
Stockley, I. H. (2008). Drug Interaction, A Source Book of Interactions, Their Mechanism, Clinical, Importance and Management. Seventh Edition. London: Pharmaceutical Press.
Stringer, J.L. (2006). Konsep Dasar Farmakologi. Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit EGC Buku Kedokteran. Halaman 206-210.
Tan, H. T., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Halaman 154-162.
Woodley, M.M.D., dan Whelan, A. (1992). Manual of Medical Therapeutics.
Penerjemah Robet. Washington: Departemen of Medicine. Washington University. Halaman 373-375.
(42)
Lampiran 1 . Lembaran Penilaian Rasionalitas Penggunaan Obat Nama pasien : WL
Nomor RM : 00.48.94.91
Tanggal Diagnosis Nama obat
Rasionalitas
Indikasi Obat Pasien
Dosis Dosis pemberian Saat pemberian Interval pemberian Lama pemberian Rute pemberian
R T
R R TR R TR R TR R TR R TR R TR R TR
1 3 4 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
7 Oktober 2011
Tuberkulosis paru
Rifampisin √ √ √ √ √ √ √ √
Isoniazid √ √ √ √ √ √ √ √
Pirazinamid √ √ √ √ √ √ √ √
Etambutol √ √ √ √ √ √ √ √
Seftriakson √ √ √ √ √ √ √ √
Kodein √ √ √ √ √ √ √ √
Retaphyl® SR √
(Teofilin) √ √ √ √ √ √ √
Sohobion® (vit. B1, vit.
B6, vit. B12
√ ) √ √ √ √ √ √ √ 8-9 Oktober 2011 Tuberkulosis paru
Rifampisin √ √ √ √ √ √ √ √
Isoniazid √ √ √ √ √ √ √ √
Pirazinamid √ √ √ √ √ √ √ √
(43)
Seftriakson √ √ √ √ √ √ √ √
Kodein √ √ √ √ √ √ √ √
Parasetamol √ √ √ √ √ √ √ √
Retaphyl®
√
SR
(Teofilin) √ √ √ √ √ √ √
Sohobion® (vit. B1, vit.
B6, vit. B12
√ ) √ √ √ √ √ √ √ 10-11 Oktober 2011 Tuberkulosis paru
Rifampisin √ √ √ √ √ √ √ √
Isoniazid √ √ √ √ √ √ √ √
Etambutol √ √ √ √ √ √ √ √
Seftriakson √ √ √ √ √ √ √ √
Kodein √ √ √ √ √ √ √ √
Zyloric®
(alopurinol) √ √ √ √ √ √ √ √
Retaphyl®
√
SR
(Teofilin) √ √ √ √ √ √ √
Sohobion® (vit. B1, vit.
B6, vit. B12
√
)
√ √ √ √ √ √ √
12-14 Oktober
2011 Tuberkulosis
paru
Rifampisin √ √ √ √ √ √ √ √
Isoniazid √ √ √ √ √ √ √ √
Etambutol √ √ √ √ √ √ √ √
Seftriakson √ √ √ √ √ √ √ √
Kodein √ √ √ √ √ √ √ √
Zyloric® √ √ √ √ √ √ √ √
(44)
(Teofilin) Sohobion® (vit. B1, vit.
B6, vit. B12
√
)
√ √ √ √ √ √ √
15 Oktober 2011
Tuberkulosis paru
Rifampisin √ √ √ √ √ √ √ √
Isoniazid √ √ √ √ √ √ √ √
Pirazinamid √ √ √ √ √ √ √ √
Etambutol √ √ √ √ √ √ √ √
Seftriakson √ √ √ √ √ √ √ √
Kodein √ √ √ √ √ √ √ √
Zyloric®
(alopurinol) √ √ √ √ √ √ √ √
Retaphyl® SR √
(Teofilin) √ √ √ √ √ √ √
Sohobion® (vit. B1, vit.
B6, vit. B12
√
)
√ √ √ √ √ √ √
Keterangan: R = Rasional
(45)
Lampiran 2. Format Tabel Rekaman Pemberian Antibiotik
Nama: WL Jenis Kelamin: L Umur: 45 Tahun Berat: 45 Kg Ruang: RA3
Nama Antibiotik & Dosis Regimen:
Seftriakson 1 g
Lama Penggunaan Tanggal 7 Okt. 8 Okt. 9 Okt. 10 Okt 9 hari Pemberian Jam Pr Jam Pr Jam Pr Jam Pr
Tx Profilaksis □ Jam: 07.00 √ √ √ √ √ √ √
Tx Empiris □√ Jam: 19.00 √ √ √ √ √ √ √
Tx Definitif □ Jam: Informasi: T.T. Dr. : Jam: T.T. Apt. : Jam: Nama Antibiotik & Dosis
Regimen:
Lama Penggunaan Tanggal 14 Okt. 15 Okt.
Pemberian Jam Pr Jam Pr Jam Pr Jam Pr
Tx Profilaksis □ Jam: √ √
Tx Empiris □√ Jam: √ √
Tx Definitif □ Jam: Informasi: T.T. Dr. : Jam: T.T. Apt. : Jam:
Lampiran 3. Blanko Pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
a. Bagian Depan
(46)
b. Bagian Belakang
(47)
Lampiran 4. Format Laporan Visite Pasien Rawat Inap RSUP H. Adam Malik dan Format Konsultasi dengan Tenaga Medis Lainnya
LAPORAN VISITE PASIEN RAWAT INAP RSUP H. ADAM MALIK
Jumlah Pasien yang di visite : ………Orang
Uraian Masalah pasien terhadap Obat (Drug Related Problem)
Pasien/RM : Diagnosa: Ruangan :
Hari/ Tgl/ Bln/ Thn : Masalah Obat Pasien :
... ... ... ... Rekomendasi :
... ... ... ...
Apoteker :
(………..)
*
FORMAT KONSULTASI DENGAN
(DOKTER/PERAWAT/TENAGA MEDIS ) LAINNYA
Pasien/RM : Diagnosa: Hari/ Tgl/ Bln/ Thn:
Masalah Obat Pasien:
... ... ... ... Rekomendasi :
... ... ... ...
Apoteker : *(Dokter/Perawat/Tenaga Medis Lainnya)
(………..) (………….………....)
*Coret yang tidak perlu
(48)
LEMBAR PELAYANAN INFORMASI OBAT
1. Identitas Penanya
Nama : Status :
No Telp : 2. Data Pasien :
3. Pertanyaan : Uraian permohonan
... ...
Jenis Permohonan
o Identifikasi Obat o Antiseptik o Stabilitas o Kontra Indikasi o Ketersediaan o Harga Obat
o ESO
o Dosis o Interaksi Obat
o Farmakokinetik/Farmakodinamik o Keracunan
o Penggunaan Terapeutik o Cara Pemakaian o Lain - Lain
4. Jawaban : ...
...
5. Referensi : ...
6. Penyampaian Jawaban Segera dalam waktu 24 jam, > 24 jam
Apoteker yang menjawab : ...
Tgl : ... Waktu : ...
Metode jawaban : Lisan / Tertulis / Pertelp.
NO :……… .Tgl : ………… Waktu : ………….Metode lisan/pertelp/tertulis
Umur :……. Berat :…… .Kg Jenis Kelamin : L/K Kehamilan : Ya / Tidak………Minggu Menyusui : Ya/ Tidak Umur bayi :………
(49)
Lampiran 6. Format Kartu Konseling Pasien Rawat Jalan RSUP H. Adam Malik
C. PERSYARATAN KLINIS:
JENIS SKRINING URAIAN
a Ketepatan indikasi B Ketepatan obat c Ketepatan pasien
d Ketepatan dosis Regimen: Saat pemberian: Lama pemberiaan: Interval pemberian: Cara pemberian:
e Duplikasi pengobatan f Interaksi obat:
1. Obat >< Obat 2. Obat >< Makanan 3 Obat >< Hasil Laboratorium 4 Obat >< Obat Tradisional g Kontraindikasi h Efek samping Obat i Efek Adiktif
D.KONSELING
Nasehat/Advice :
POKJA APOTEK II NOMOR : KONSELING FARMASI TANGGAL :
A. PERSYARATAN ADMINISTRASI Jenis
Skrining
Tidak Jelas
Jelas Jenis Skrining
Tidak Jelas
Jelas
Ruangan/unit Nama
dokter
Nama Alamat
Umur
Jenis kelamin
Paraf dokter
Berat badan NO.
REK. MEDIS DIAGNOSA :
B. PERSYARATAN FARMASI
Jenis Skrining Uraian
Bentuk sediaan Kekuatan sediaan Jumlah obat Stabilitas PASIEN TANDA TANGAN
KONSELOR TANDA TANGAN
(1)
(Teofilin)
Sohobion
®(vit. B
1, vit.
B
6, vit. B
12√
)
√
√
√
√
√
√
√
15 Oktober
2011
Tuberkulosis
paru
Rifampisin
√
√
√
√
√
√
√
√
Isoniazid
√
√
√
√
√
√
√
√
Pirazinamid
√
√
√
√
√
√
√
√
Etambutol
√
√
√
√
√
√
√
√
Seftriakson
√
√
√
√
√
√
√
√
Kodein
√
√
√
√
√
√
√
√
Zyloric
®(alopurinol)
√
√
√
√
√
√
√
√
Retaphyl
®SR
√
(Teofilin)
√
√
√
√
√
√
√
Sohobion
®(vit. B
1, vit.
B
6, vit. B
12√
)
√
√
√
√
√
√
√
Keterangan:
R = Rasional
(2)
Lampiran 2.
Format Tabel Rekaman Pemberian Antibiotik
Nama: WL Jenis Kelamin: L Umur: 45 Tahun Berat: 45 Kg Ruang: RA3 Nama Antibiotik & Dosis
Regimen:
Seftriakson 1 g
Lama Penggunaan Tanggal 7 Okt. 8 Okt. 9 Okt. 10 Okt 9 hari Pemberian Jam Pr Jam Pr Jam Pr Jam Pr
Tx Profilaksis □ Jam: 07.00 √ √ √ √ √ √ √
Tx Empiris □√ Jam: 19.00 √ √ √ √ √ √ √
Tx Definitif □ Jam: Informasi: T.T. Dr. : Jam: T.T. Apt. : Jam: Nama Antibiotik & Dosis
Regimen:
Lama Penggunaan Tanggal 14 Okt. 15 Okt.
Pemberian Jam Pr Jam Pr Jam Pr Jam Pr Tx Profilaksis □ Jam: √ √
Tx Empiris □√ Jam: √ √ Tx Definitif □ Jam:
Informasi: T.T. Dr. : Jam: T.T. Apt. : Jam:
Lampiran 3.
Blanko Pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
a.
Bagian Depan
(3)
b. Bagian Belakang
(4)
Lampiran 4.
Format Laporan
Visite
Pasien Rawat Inap RSUP H. Adam Malik
dan Format Konsultasi dengan Tenaga Medis Lainnya
LAPORAN VISITE PASIEN RAWAT INAP RSUP H. ADAM MALIK
Jumlah Pasien yang di visite : ………Orang
Uraian Masalah pasien terhadap Obat (Drug Related Problem) Pasien/RM : Diagnosa: Ruangan : Hari/ Tgl/ Bln/ Thn :
Masalah Obat Pasien :
... ... ... ... Rekomendasi :
... ... ... ...
Apoteker :
(………..)
*
FORMAT KONSULTASI DENGAN
(DOKTER/PERAWAT/TENAGA MEDIS ) LAINNYA
Pasien/RM : Diagnosa: Hari/ Tgl/ Bln/ Thn: Masalah Obat Pasien:
... ... ... ... Rekomendasi :
... ... ... ...
Apoteker : *(Dokter/Perawat/Tenaga Medis Lainnya)
(………..) (………….………....)
*Coret yang tidak perlu
(5)
LEMBAR PELAYANAN INFORMASI OBAT
1. Identitas Penanya
Nama : Status :
No Telp : 2. Data Pasien :
3. Pertanyaan : Uraian permohonan
... ... Jenis Permohonan
o Identifikasi Obat o Antiseptik o Stabilitas o Kontra Indikasi o Ketersediaan o Harga Obat
o ESO
o Dosis o Interaksi Obat
o Farmakokinetik/Farmakodinamik o Keracunan
o Penggunaan Terapeutik o Cara Pemakaian o Lain - Lain
4. Jawaban : ... ...
5. Referensi : ...
6. Penyampaian Jawaban Segera dalam waktu 24 jam, > 24 jam
Apoteker yang menjawab : ... Tgl : ... Waktu : ... Metode jawaban : Lisan / Tertulis / Pertelp.
NO :……… .Tgl : ………… Waktu : ………….Metode lisan/pertelp/tertulis
Umur :……. Berat :…… .Kg Jenis Kelamin : L/K Kehamilan : Ya / Tidak………Minggu Menyusui : Ya/ Tidak Umur bayi :………
(6)
Lampiran 6
. Format Kartu Konseling Pasien Rawat Jalan RSUP H. Adam Malik
C. PERSYARATAN KLINIS:JENIS SKRINING URAIAN
a Ketepatan indikasi B Ketepatan obat c Ketepatan pasien
d Ketepatan dosis Regimen: Saat pemberian: Lama pemberiaan: Interval pemberian: Cara pemberian:
e Duplikasi pengobatan f Interaksi obat:
1. Obat >< Obat 2. Obat >< Makanan 3 Obat >< Hasil Laboratorium 4 Obat >< Obat Tradisional g Kontraindikasi h Efek samping Obat i Efek Adiktif
D.KONSELING Nasehat/Advice :
POKJA APOTEK II NOMOR : KONSELING FARMASI TANGGAL :
A. PERSYARATAN ADMINISTRASI Jenis
Skrining
Tidak Jelas
Jelas Jenis Skrining
Tidak Jelas
Jelas
Ruangan/unit Nama
dokter
Nama Alamat
Umur
Jenis kelamin
Paraf dokter
Berat badan NO.
REK. MEDIS DIAGNOSA :
B. PERSYARATAN FARMASI
Jenis Skrining Uraian
Bentuk sediaan Kekuatan sediaan Jumlah obat Stabilitas