Latar Tempat Latar Waktu Defenisi Sosiologi Sastra

a. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada dan terjadi yaitu di tempat dan waktu seperti yang diceritakan itu.

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat dan latar sosial sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan.

c. Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial jjuga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas. Universitas Sumatera Utara Dalam cerpen Imogayu, Akutagawa menggambarkan latar tempat dari cerita di Jalan Shujaku Kyoto dan Echizen di Tsuruga. Latar waktu dari cerita digambarkan pada sekitar akhir tahun Genkei atau awal tahun Ninna dan terjadi pada zaman heian yang sudah berselang cukup lama. Dan jika dilihat dari latar sosialnya, cerpen Imogayu menggambarkan kehidupan masyarakat yang menganggap rendah seseorang yang dianggap tidak normal sehingga pantas untuk diolok-olok.

2.1.2. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik yang akan dilihat dari cerpen Imogayu ini adalah biografi dari pengarangnya yaitu Akutagawa Ryunosuke. Pengarang merupakan unsure ekstrinsik yang paling berpengaruh akan bangun cerita dari sebuah karya fiksi. Walaupn unsur ekstrinsik bukan merupakan unsur yang membangun cerita dari dalam karya sastra itu sendiri tetapi keberadaan unsur ekstrinsik dalam hal ini pengarang secara tidak langsung sangat mempengaruhi hasil dari karya sastra fiksi tersebut. Akutagawa Ryunosuke adalah seorang penulis Jepang era Taisho 1912- 1926 yang sangat banyak meraih pembaca di luar Jepang. Karya-karyanya sebagaimana karya Natsume Soseki dan Mori Ogai banyak mengilhami para sastrawan jepang modern. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih dari seratus cerita pendek. Akutagawa lahir dengan nama Ryunosuke di Irifunecho, Tokyo pada 1 Maret 1892 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Irifunecho merupakan daerah tempat tinggal orang asing, ketika itu hanya ada tiga rumah orang Jepang, Universitas Sumatera Utara di sana termasuk keluarga Ryunosuke. Kakak perempuan sulungnya, Hatsuko meninggal setahun sebelum Ryunosuke lahir pada usia tujuh tahun karena radang selaput otak, karena itu ketika Ryunosuke lahir ia hanya memiliki satu saudara perempuan, Hisako. Karena lahir pada tahun Naga, ia diberi nama Ryunosuke. Ryu dalam bahasa Jepang berarti Naga. Ibunya bernama Fuku dan ayahnya bernama Niihara Toshizo yang bekerja sebagai pengusaha peternakan sapi perah di Irifunecho dan daerah Shinjuku. Sekitar sembilan bulan setelah Akutagawa lahir ibunya menjadi gila hingga kematiannya pada tahun 1902. ketika Ryunosuke lahir ayahnya berusia 42 tahun dan ibunya 33 tahun, usia-usia sial menurut kepercayaan Jepang. Untuk menghindari kemalangan yang akan menimpa, seharusnya Ryunosuke dibuang. Karena itulah kemudian diputuskan Ryunosuke seolah-olah dibuang dengan dipelihara oleh teman lama ayahnya, Matsumura Senjiro. Ibunya yang menjadi sakit jiwa juga dianggap sebagai bagian dari kesialan tersebut. Ryunosuke kemudian diadopsi oleh kakak ibunya, Akutagawa Michiaki. Bibinya ini merawatnya dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya seperti anak sendiri. Kakak perempuan ibunya yang tidak menikah, Fuki, yang tinggal bersama mereka juga sangat menyayanginya. Secara resmi Ryunosuke menggunakan nama Akutagawa dua tahun setelah ibunya meninggal, yakni ketika berusia dua belas tahun. Sejak kecil Akutagawa Ryunosuke banyak membaca karya-karya klasik Jepang dan Cina. Minatnya terhadap kesusasteraan memang sudah tampak sejak ia duduk di sekolah dasar. Ia juga menyukai para penulis pertengahan zaman Meiji, seperti Ozaki Koyo dan koda Rohan, dan akrab dengan karya-karya para Universitas Sumatera Utara sastrawan besar seperti Natsume Soseki dan Mori Ogai. Ia mengenal pula karya- karya para penulis Eropa seperti Maupassant, Balzac, Tolstoy, Anatole France dan Dostoyevski sejak duduk di bangku sekolah menengah umum. Di bangku sekolah menengah umum ini pula ia sudah membaca buku-buku Euken dan Spinoza. Kebiasaannya yang lain adalah melihat pameran dan menghadiri diskusi sastra serta membaca buku di perpustakaan umum atau perpustakaan keliling. Pada tahun 1913 ia masuk Jurusan Sastra Inggris Universitas Tokyo. Bersama Kume Masao dan Kikuchi Kan ia menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Shinsicho aliran Pemikiran Baru, yang sudah mati dan mulai menerbitkan karyanya di majalah tersebut. Ia memulai debutnya dengan menerjemahkan karya France, “Balthasar”. Karya aslinya yang pertama yang muncul di Shinshicho berjudul “Ronen” 1914. Setahun kemudian, 1915, ia meluncurkan “Rashomon”, salah satu cerpennya yang terbaik dan menjadi judul kumpulan cerpennya yang pertama. Tahun 1916 tercatat sebagai tahun kesuksesannya yakni ketika cerpennya yang berjudul “Hana” Hidung dipuji oleh Natsume Soseki, empu sastra waktu itu dan majalah sastra mulai melirik penulis muda ini. Lulus dari universitas pada tahun 1916 Akutagawa kemudian mengajar bahasa Inggris pada sekolah teknik kelautan di Yokosuka. Tahun 1919 ia berhenti sebagai pengajar karena ingin mencurahkan perhatian sepenuhnya pada dunia tulis-menulis. Setelah berhenti mengajar ia mengantongi kontrak yang aman untuk menulis fiksi di surat kabar Osaka Mainichi. Pada Maret 1921 Akutagawa dikirim ke China selama empat bulan oleh Osaka Mainichi, dan kesehatannya mulai Universitas Sumatera Utara memburuk sewaktu berada di Shanghai. Pada masa inilah ia menulis karya-karya seperti “Jigokuhen” Lukisan Neraka dan “Hokyonin no Shi” Martir. Sejak pulang dari China kesehatannya terus merosot. Dalam surat yang ditulis kepada salah seorang temannya pada akhir tahun 1922, ia mengeluh bahwa dirinya sedang menderita kelelahan saraf, kejang-kejang perut, sakit kantung kemih, dan punya masalah jantung. Surat ini juga mendaftar berbagai penyakit ringan yang diderita oleh istrinya, kedua anaknya, dan orang tua asuhnya. Karya- karya yang ditulis pada masa ini sangat berbeda dengan karya-karya awalnya. “Torokko” misalnya, lebih merupakan cerita anak-anak. Banyak yang mengatakan bahwa karya ini mirip dengan “Manazuru” 1920 karya Shigo Naoya. Akutagawa memang mengetahui bahwa ia mengagumi sastrawan tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam “Bungeiteki Na” 1927. Dalam tulisan ini ia menyatakan sangat mengagumi sentuhan realisme Shiga yang begitu indah yang begitu indah. Bagi Akutagawa, Shiga bahkan lebih unggul dibandingkan Tolstoy karena ia memakai realisme dengan semangat puitis yang diambil dari tradisi ketimuran. Selanjutnya, ketika Akutagawa mencari gaya pengungkapan baru di luar cerpen seiring kesehatan fisik dan mentalnya yang semakin memburuk, popularitasnya menurun. Dalam masa ini ia menulis novel-novel yang didasarkan pada pengalaman pribadinya, atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada, seperti “Kappa” 1927, “Seiho no Hito” Pria dari Barat, 1927, dan esai “Bungekiteki na, amari ni Bungekiteki na” Secara Sastra, Terlalu Sastra, 1927. Pada Juli 1927, di usia 35 tahun, Akutagawa agaknya benar-benar sudah tidak kuat lagi menanggung kelelahan mental dan fisik yang dipikulnya sehingga nekat bunuh diri dengan menelan obat tidur secara overdosis. Universitas Sumatera Utara Hidup Akutagawa memang pendek, tapi karya-karyanya dinilai sangat luar biasa sehingga ia dinobatkan sebagai “raja” cerpen dalam lesusastraan Jepang Modern. Teman lama Akutagawa, Kikuchi Kan, mendirikan Penghargaan Akutagawa Akutagawasho pada tahun 1935 untuk mengenang Akutagawa. Sampai sekarang Akutagawasho menjadi penghargaan kesusastraan paling bergengsi bagi para penulis baru. Karya-karya Akutagawa dapat digolongkan dalam beberapa kategori, yakni Edo-mono cerita-cerita berlatar belakang masa Edo, Ocho-mono cerita- cerita yang berkaitan dengan Kristen di Jepang era pramodern, yang semuanya berjumlah sekitar lima belas, dan Kaiko-mono cerita-cerita awal periode Meiji. Karya-karya terbaik dalam kelompok Edo-mono adalah Gesaku Zammai 1917 dan Karena-sho 1918, Ocho-mon diwakili oleh Jigokuhen, Kirishitan-mono diwakili oleh Hokonin no Shi 1918 dan Kaika-mono diwakili oleh Butokai 1919. Periode setelah Akutagawa meninggalkan kedudukannya sebagai guru bahasa Inggris pada akademi kelautan di Yokosuka dan menjadi pegawai Koran Osaka Mainichi dan setahun sebelumnya 1918 menikahi Tsukamoto Fumiko merupakan periode produktifnya. Karya-karya yang turut mendongkrak popularitasnya, seperti Mikan Jeruk, 1919 dan Aki Musim gugur, 1920, mendorong ia untuk mengalihkan perhatiannya kepada bahan-bahan modern. Karya awal Akutagawa berupa sejumlah terjemahan France dan Yeats. Karya seperti “The Old Man” 1914 dan “Youths and Death” 1914 muncul dalam edisi ketiga majalah Shinshicho. Ketika ia mempublikasikan “Hana”, namanya langsung melejit karena mendapat pujian dari Natsume Soseki. Soseki Universitas Sumatera Utara menulis surat ucapan selamat kepada penulis muda ini, “Saya akui karya Anda sangat menarik. Sederhana dan serius tanpa mencoba untuk melucu”. Soseki juga menambahkan bahwa karya tersebut mengandung citra rasa humor yang luar biasa. Bahasanya segar dan menarik dan gaya penulisannya anggun. Soseki juga menambahkan pesan, “Lanjutkan dan hasilkan dua puluh atau tiga puluh cerita seperti ini. Tidak lama lagi Anda menjadi tidak tertandingi dalam dunia kesusastraan.” Pada masa ini Akutagawa menulis novel-novelnya berdasarkan pada pengalaman pribadinya atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada, seperti “Kappa” dan “Seiho no Hito” Pria dari Barat dan esai Bungeikiteki na, amari ni Bungeiteki na Secara Sastra, Terlalu Sastra. Pada tahun itu juga, pada musim semi tahun 1927, Akutagawa juga meninggalkan sebuah catatan untuk temannya, pelukis Oana Ryuichi, tentang kesedihannya karena berselingkuh dengan seorang wanita menikah ketika Akutagawa berusia 29 tahun. Surat tersebut ditutup dengan kalimat, “Tetapi saya melihat bahwa saya pada dasarnya adalah anak orang gila, sekarang saya merasa muak terhadap dunia terutama terhadap diri sendiri”. Setelah Akutagawa meninggal, terbit beberapa karyanya, seperti Aru Aho no Issho Kehidupan Si Tolol dan Harugama, yang dianggap sebagai karya agungnya yang terakhir. Dalam Harugama, dia menggambarkan dirinya dengan suasana ketegangan mental yang akut. Universitas Sumatera Utara

2.2. Defenisi Sosiologi Sastra

Sosiologi adalah ilmiah yang objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Lewat penelitian yang ketat melalui lembaga- lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama apa yang disebut sosiologi, dikatakan memperoleh gambaran cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu Swingewood dalam Faruk, 1994:1. Sorokin dalam Suekanto 1990:20 mendefinisikan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari: 1. Hubungan dengan timbal balik antara gejala-gejala sosial misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; masyarakat dengan politik dan sebagainya. 2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala- gejala non-sosial misalnya gejala geografis biologis. Roucek dalam Suekanto 1990:20 mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok- kelompok. Selo Sumardjan dalam Suekanto 1990:21 mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk Universitas Sumatera Utara perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaedah sosial norma-norma sosial lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial. Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehiduppan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya Endraswara, 2008:77. Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerpen misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannnya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh cerpen, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dengan rekaan Teeuw dalam Tarihoran, 2009:23. Universitas Sumatera Utara Secara esensial, sosiologi adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya. c. Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya. Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur sosial. Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yaknii: a. Konsep stabilitas sosial. b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda. c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnnya. d. Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat. e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme. Dalam cerpen Imogayu karya Ryunosuke Akutagawa ini terdapat tokoh utama, seorang goi, dan beberapa tokoh pendukung cerpen seperti Fujiwara Toshihito, ayah mertua Toshihito Arihito, para samurai, pembantu, dan masyarakat. Setiap tokoh memiliki peranan masing-masing, berinteraksi satu dengan yang lain dalam kondisi sosial pada zaman itu. Beberapa tokoh tidak menerima kondisi tokoh Goi karena kondisi fisiknya yang aneh. Karena kondisi fisik tokoh Goi itulah mereka sering mengolok-olok tokoh Goi. Universitas Sumatera Utara Dasar-Dasar Etika di Jepang Ruth Benedict dalam Situmorang 1995:64 mengatakan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Ruth Benedict membedakan dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut, nilai yang paling tinggi adalah rasa takut kepada Tuhan. Berbeda dengan masyarakat Jepang yang memiliki kebudayaan rasa malu haji. Kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu ini mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah yang mengandalkan rasa bersalah yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau ia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang. Rasa bersalah tidak memerlukan hal tersebut Benedict, 1982 : 233. Jika seseorang mendapat kritik dari orang lain maka akan timbul reaksi malu dari dalam dirinya. Reaksi ini bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih kepada reaksi psikologi seseorang yang mendapat kritik tersebut. Oleh karena itu nilai yang paling tinggi adalah bukan rasa takut kepada dewa atau Tuhan, tetapi rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya. Dalam kehidupan masyarakat Jepang rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain atau prinsip keterutangan Universitas Sumatera Utara terutama pada utang budi. Oleh karena itu seluruh aktifitas mereka difokuskan pada penghindaran rasa malu Situmorang, 2008 : 8. Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan menerima dan memberi budi baik. Bagi orang Jepang yang dibesarkan dengan ajaran-ajaran moral seperti tahu malu dan menghargai diri sendiri akan merasakan bahwa budi baik yang mereka terima dari orang lain merupakan beban terberat dalam hidupnya. Oleh karena itu, masyarakat menuntut kepada setiap orang warganya untuk membalas kembali segala kebaikan yang diterimanya. Dalam Situmorang 1995:66 dikatakan karena adanya hutang budi maka orang Jepang merasa berkewajiban untuk membalas budi baik dari orang tua, para penguasa, masyarakat, dan negara. Rasa kebajikan itu disebut gimu. Gimu adalah konsep pembalasan kebaikan setulus hati, yaitu bahwa kebaikan yang telah diterima tersebut harus dibalas tanpa memikirkan untung rugi. Berdasarkan hal tersebut, Watsuji dalam Situmorang 1995:44-45 terdapat lima macam pemikiran mengenai etika kesadaran Gorin yang meliputi pengabdian seseorang, yaitu: 1. Pengabdian pengikut terhadap tuannya 2. Pengabdian anak terhadap ayah 3. Pengabdian adik laki-laki terhadap kakak laki-laki 4. Pengabdian istri terhadap suami 5. Hubungan antar orang yang sederajat Menurut Konghucu, alam semesta berjalan atas peraturan tertentu. Agar kehidupan manusia selaras dengan alam semesta, maka memerlukan tata tertib. Tata tertib itu berdasar pada pembenaran nama. Segala sesuatu di dunia ini Universitas Sumatera Utara punya nama. Di dalam nama terkandung fungsinya. Begitu pula di dalam masyarakat, setiap orang punya nama. Di dalamnya terkandung tanggung jawab dan kewajiban masing-masing. Jika setiap orang membenarkan dan tidak memalsukan namanya, pergaulan sosial akan berjalan baik. Berhubungan dengan hal tersebut, setiap pihak berkelakuan sesuai dengan kedudukannya. Ayah mencintai anak, anak menghormati. Kakak berbaik hati, adik menjunjung. Suami tulus, istri patuh. Sahabat lebih tua peka, sahabat muda hormat. Yang berkuasa murah hati, yang dikuasai setia. Tiga dari lima pertalian itu merupakan hubungan keluarga, memang keluarga dapat dianggap sebagai dasar masyarakat. Dalam lembaga sosial inilah, manusia dididik, diajar kebajikan, dan dibentuk tabiatnya. Kalau manusia dibesarkan secara tepat maka dunia akan damai. Konghucu berkata, Jika ada kebenaran di hati, ada keindahan di watak. Jika ada keindahan di watak, ada harmoni di rumah. Jika ada harmoni di rumah, ada tata tertib di negara. Jika ada tata tertib di negara, ada damai di dunia. Perlu ditambahkan bahwa dalam keluarga kewajiban anak terhadap orang tua sangat dititikberatkan. Anak harus taat atau berbakti kepada orang tua. Terjalinlah Lima Hubungan Sosial yang disebut dengan Wu Lun, yaitu: 1. Hubungan antara pimpinan dan bawahan 2. Hubungan antara suami dan istri 3. Hubungan antara orang tua dan anak 4. Hubungan antara kakak dan adik 5. Hubungan antara kawan dan sahabat Universitas Sumatera Utara http:translate.google.co.idtranslate?hl=idlangpair=en|idu=http:en.wikipedi a.orgwikiConfucianism Dalam ajaran agama Budha, hal yang paling diutamakan adalah cinta kasih terhadap manusia. Menjunjung tinggi sosok atau wajah alami manusia merupakan representasi dari pengamatan cinta kasih aijo. Sesuatu yang merupakan kemurnian cinta kasih terhadap orang lain yang disebut jihi sangat diutamakan dan karenanya ditekankan untuk dipahami secara mendalam oleh para penganut agama Budha Jepang Anwar, 2004:123. Sehingga setiap manusia harus saling menghormati satu sama lain. Hubungan-hubungan sosial ini terdapat dalam cerpen Imogayu. Berbagai jenis hubungan terdapat dalam cerpen ini, ada yang baik dan ada pula sebaliknya. Hubungan-hubungan ini dapat dilihat dalam pembahasan bab selanjutnya. Universitas Sumatera Utara BAB III ANALISIS HUBUNGAN MANUSIA DALAM CERPEN IMOGAYU

3.1. Sinopsis Cerita