Dalam cerpen Imogayu, Akutagawa menggambarkan latar tempat dari cerita di Jalan Shujaku Kyoto dan Echizen di Tsuruga. Latar waktu dari cerita
digambarkan pada sekitar akhir tahun Genkei atau awal tahun Ninna dan terjadi pada zaman heian yang sudah berselang cukup lama. Dan jika dilihat dari latar
sosialnya, cerpen Imogayu menggambarkan kehidupan masyarakat yang menganggap rendah seseorang yang dianggap tidak normal sehingga pantas untuk
diolok-olok.
2.1.2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik yang akan dilihat dari cerpen Imogayu ini adalah biografi dari pengarangnya yaitu Akutagawa Ryunosuke. Pengarang merupakan unsure
ekstrinsik yang paling berpengaruh akan bangun cerita dari sebuah karya fiksi. Walaupn unsur ekstrinsik bukan merupakan unsur yang membangun cerita dari
dalam karya sastra itu sendiri tetapi keberadaan unsur ekstrinsik dalam hal ini pengarang secara tidak langsung sangat mempengaruhi hasil dari karya sastra fiksi
tersebut. Akutagawa Ryunosuke adalah seorang penulis Jepang era Taisho 1912-
1926 yang sangat banyak meraih pembaca di luar Jepang. Karya-karyanya sebagaimana karya Natsume Soseki dan Mori Ogai banyak mengilhami para
sastrawan jepang modern. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih dari seratus cerita pendek.
Akutagawa lahir dengan nama Ryunosuke di Irifunecho, Tokyo pada 1 Maret 1892 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Irifunecho merupakan
daerah tempat tinggal orang asing, ketika itu hanya ada tiga rumah orang Jepang,
Universitas Sumatera Utara
di sana termasuk keluarga Ryunosuke. Kakak perempuan sulungnya, Hatsuko meninggal setahun sebelum Ryunosuke lahir pada usia tujuh tahun karena radang
selaput otak, karena itu ketika Ryunosuke lahir ia hanya memiliki satu saudara perempuan, Hisako.
Karena lahir pada tahun Naga, ia diberi nama Ryunosuke. Ryu dalam bahasa Jepang berarti Naga. Ibunya bernama Fuku dan ayahnya bernama Niihara
Toshizo yang bekerja sebagai pengusaha peternakan sapi perah di Irifunecho dan daerah Shinjuku. Sekitar sembilan bulan setelah Akutagawa lahir ibunya menjadi
gila hingga kematiannya pada tahun 1902. ketika Ryunosuke lahir ayahnya berusia 42 tahun dan ibunya 33 tahun, usia-usia sial menurut kepercayaan Jepang.
Untuk menghindari kemalangan yang akan menimpa, seharusnya Ryunosuke dibuang. Karena itulah kemudian diputuskan Ryunosuke seolah-olah dibuang
dengan dipelihara oleh teman lama ayahnya, Matsumura Senjiro. Ibunya yang menjadi sakit jiwa juga dianggap sebagai bagian dari kesialan tersebut.
Ryunosuke kemudian diadopsi oleh kakak ibunya, Akutagawa Michiaki. Bibinya ini merawatnya dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya seperti anak
sendiri. Kakak perempuan ibunya yang tidak menikah, Fuki, yang tinggal bersama mereka juga sangat menyayanginya. Secara resmi Ryunosuke menggunakan nama
Akutagawa dua tahun setelah ibunya meninggal, yakni ketika berusia dua belas tahun.
Sejak kecil Akutagawa Ryunosuke banyak membaca karya-karya klasik Jepang dan Cina. Minatnya terhadap kesusasteraan memang sudah tampak sejak
ia duduk di sekolah dasar. Ia juga menyukai para penulis pertengahan zaman Meiji, seperti Ozaki Koyo dan koda Rohan, dan akrab dengan karya-karya para
Universitas Sumatera Utara
sastrawan besar seperti Natsume Soseki dan Mori Ogai. Ia mengenal pula karya- karya para penulis Eropa seperti Maupassant, Balzac, Tolstoy, Anatole France dan
Dostoyevski sejak duduk di bangku sekolah menengah umum. Di bangku sekolah menengah umum ini pula ia sudah membaca buku-buku Euken dan Spinoza.
Kebiasaannya yang lain adalah melihat pameran dan menghadiri diskusi sastra serta membaca buku di perpustakaan umum atau perpustakaan keliling.
Pada tahun 1913 ia masuk Jurusan Sastra Inggris Universitas Tokyo. Bersama Kume Masao dan Kikuchi Kan ia menghidupkan kembali majalah sastra
Universitas Shinsicho aliran Pemikiran Baru, yang sudah mati dan mulai menerbitkan karyanya di majalah tersebut. Ia memulai debutnya dengan
menerjemahkan karya France, “Balthasar”. Karya aslinya yang pertama yang muncul di Shinshicho berjudul “Ronen” 1914. Setahun kemudian, 1915, ia
meluncurkan “Rashomon”, salah satu cerpennya yang terbaik dan menjadi judul kumpulan cerpennya yang pertama. Tahun 1916 tercatat sebagai tahun
kesuksesannya yakni ketika cerpennya yang berjudul “Hana” Hidung dipuji oleh Natsume Soseki, empu sastra waktu itu dan majalah sastra mulai melirik penulis
muda ini. Lulus dari universitas pada tahun 1916 Akutagawa kemudian mengajar
bahasa Inggris pada sekolah teknik kelautan di Yokosuka. Tahun 1919 ia berhenti sebagai pengajar karena ingin mencurahkan perhatian sepenuhnya pada dunia
tulis-menulis. Setelah berhenti mengajar ia mengantongi kontrak yang aman untuk menulis fiksi di surat kabar Osaka Mainichi. Pada Maret 1921 Akutagawa dikirim
ke China selama empat bulan oleh Osaka Mainichi, dan kesehatannya mulai
Universitas Sumatera Utara
memburuk sewaktu berada di Shanghai. Pada masa inilah ia menulis karya-karya seperti “Jigokuhen” Lukisan Neraka dan “Hokyonin no Shi” Martir.
Sejak pulang dari China kesehatannya terus merosot. Dalam surat yang ditulis kepada salah seorang temannya pada akhir tahun 1922, ia mengeluh bahwa
dirinya sedang menderita kelelahan saraf, kejang-kejang perut, sakit kantung kemih, dan punya masalah jantung. Surat ini juga mendaftar berbagai penyakit
ringan yang diderita oleh istrinya, kedua anaknya, dan orang tua asuhnya. Karya- karya yang ditulis pada masa ini sangat berbeda dengan karya-karya awalnya.
“Torokko” misalnya, lebih merupakan cerita anak-anak. Banyak yang mengatakan bahwa karya ini mirip dengan “Manazuru” 1920 karya Shigo Naoya. Akutagawa
memang mengetahui bahwa ia mengagumi sastrawan tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam “Bungeiteki Na” 1927. Dalam tulisan ini ia menyatakan
sangat mengagumi sentuhan realisme Shiga yang begitu indah yang begitu indah. Bagi Akutagawa, Shiga bahkan lebih unggul dibandingkan Tolstoy karena ia
memakai realisme dengan semangat puitis yang diambil dari tradisi ketimuran. Selanjutnya, ketika Akutagawa mencari gaya pengungkapan baru di luar
cerpen seiring kesehatan fisik dan mentalnya yang semakin memburuk, popularitasnya menurun. Dalam masa ini ia menulis novel-novel yang didasarkan
pada pengalaman pribadinya, atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada, seperti “Kappa” 1927, “Seiho no Hito” Pria dari Barat, 1927, dan esai
“Bungekiteki na, amari ni Bungekiteki na” Secara Sastra, Terlalu Sastra, 1927. Pada Juli 1927, di usia 35 tahun, Akutagawa agaknya benar-benar sudah
tidak kuat lagi menanggung kelelahan mental dan fisik yang dipikulnya sehingga nekat bunuh diri dengan menelan obat tidur secara overdosis.
Universitas Sumatera Utara
Hidup Akutagawa memang pendek, tapi karya-karyanya dinilai sangat luar biasa sehingga ia dinobatkan sebagai “raja” cerpen dalam lesusastraan Jepang
Modern. Teman lama Akutagawa, Kikuchi Kan, mendirikan Penghargaan Akutagawa Akutagawasho pada tahun 1935 untuk mengenang Akutagawa.
Sampai sekarang Akutagawasho menjadi penghargaan kesusastraan paling bergengsi bagi para penulis baru.
Karya-karya Akutagawa dapat digolongkan dalam beberapa kategori, yakni Edo-mono cerita-cerita berlatar belakang masa Edo, Ocho-mono cerita-
cerita yang berkaitan dengan Kristen di Jepang era pramodern, yang semuanya berjumlah sekitar lima belas, dan Kaiko-mono cerita-cerita awal periode Meiji.
Karya-karya terbaik dalam kelompok Edo-mono adalah Gesaku Zammai 1917 dan Karena-sho 1918, Ocho-mon diwakili oleh Jigokuhen, Kirishitan-mono
diwakili oleh Hokonin no Shi 1918 dan Kaika-mono diwakili oleh Butokai 1919.
Periode setelah Akutagawa meninggalkan kedudukannya sebagai guru bahasa Inggris pada akademi kelautan di Yokosuka dan menjadi pegawai Koran
Osaka Mainichi dan setahun sebelumnya 1918 menikahi Tsukamoto Fumiko merupakan periode produktifnya. Karya-karya yang turut mendongkrak
popularitasnya, seperti Mikan Jeruk, 1919 dan Aki Musim gugur, 1920, mendorong ia untuk mengalihkan perhatiannya kepada bahan-bahan modern.
Karya awal Akutagawa berupa sejumlah terjemahan France dan Yeats. Karya seperti “The Old Man” 1914 dan “Youths and Death” 1914 muncul
dalam edisi ketiga majalah Shinshicho. Ketika ia mempublikasikan “Hana”, namanya langsung melejit karena mendapat pujian dari Natsume Soseki. Soseki
Universitas Sumatera Utara
menulis surat ucapan selamat kepada penulis muda ini, “Saya akui karya Anda sangat menarik. Sederhana dan serius tanpa mencoba untuk melucu”. Soseki juga
menambahkan bahwa karya tersebut mengandung citra rasa humor yang luar biasa. Bahasanya segar dan menarik dan gaya penulisannya anggun. Soseki juga
menambahkan pesan, “Lanjutkan dan hasilkan dua puluh atau tiga puluh cerita seperti ini. Tidak lama lagi Anda menjadi tidak tertandingi dalam dunia
kesusastraan.” Pada masa ini Akutagawa menulis novel-novelnya berdasarkan pada
pengalaman pribadinya atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada, seperti “Kappa” dan “Seiho no Hito” Pria dari Barat dan esai Bungeikiteki na,
amari ni Bungeiteki na Secara Sastra, Terlalu Sastra. Pada tahun itu juga, pada musim semi tahun 1927, Akutagawa juga
meninggalkan sebuah catatan untuk temannya, pelukis Oana Ryuichi, tentang kesedihannya karena berselingkuh dengan seorang wanita menikah ketika
Akutagawa berusia 29 tahun. Surat tersebut ditutup dengan kalimat, “Tetapi saya melihat bahwa saya pada dasarnya adalah anak orang gila, sekarang saya merasa
muak terhadap dunia terutama terhadap diri sendiri”. Setelah Akutagawa meninggal, terbit beberapa karyanya, seperti Aru Aho no Issho Kehidupan Si
Tolol dan Harugama, yang dianggap sebagai karya agungnya yang terakhir. Dalam Harugama, dia menggambarkan dirinya dengan suasana ketegangan
mental yang akut.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Defenisi Sosiologi Sastra