BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Suatu karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya. Artinya, pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius yang kemudian
dengan elegannya menciptakan suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pemikiran, refleksi, dan rekaman budaya
pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri dan masyarakat. Karya sastra juga merupakan suatu kerucutisasi subjektif pengarang dalam
memberikan suatu ide, pemikiran, pesan, dan gagasan terhadap suatu hal. Menurut Zainuddin 1992:99, sastra adalah karya seni yang dikarang
menurut standar bahasa kesusastraan. Standar kesusastraan yang dimaksud adalah penggunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik.
Sedangkan menurut Walek dan Warren 1995:109, sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan dan
kehidupan itu sendiri adalah kehidupan sosial. Salah satu negara di Asia yang banyak melahirkan sastrawan-sastrawan
yang karya sastranya telah banyak dibaca dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa adalah Jepang. Jepang mengenal kesusastraan lisan dan kesusastraan
tulisan. Pada umumnya, karya sastra berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua
bagian yaitu, karya sastra yang bersifat fiksi dan nonfiksi. Karya sastra yang bersifat fiksi berupa novel, cerpen, esei, dan cerita rakyat. Sedangkan karya sastra
Universitas Sumatera Utara
yang bersifat nonfiksi berupa puisi, drama dan lagu articlesarchive.desihanara.com.
Menurut Aminuddin 2000:66, fiksi adalah kisah cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku yang tertentu yang bertolak dari imajinasi pengarang sehingga
menjalin suatu cerita. Dengan demikian karya sastra fiksi merupakan suatu karya sastra naratif yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi
bukan karena keadaan yang nyata sehingga tidak perlu dicari kebenarannnya, karena tokoh, peristiwa, tempat yang mendukung cerita itu seluruhnya bersifat
imajiner. Salah satu karya sastra fiksi adalah cerpen. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, cerpen adalah kisahan pendek yang memberikan kesan tunggal yang dominant dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi.
Ajip Rosidi dalam Zen 2006:2 mengatakan bahwa cerita pendek merupakan cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa di dalam sebuah cerita pendek terdapat suatu kesatuan yang utuh yang mampu menampilkan cerita yang baik dan menarik
dengan isi cerita yang pendek. Ada dua unsur yang membangun dan sangat berpengaruh dalam suatu
karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri atau dengan kata lain unsur-
unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur-unsur yang dimaksud misalnya, tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang penceritaan,
bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur- unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi karya sastra tersebut atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak
ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut adalah kebudayaan, sosial, psikologis, ekonomi, politik, agama, dan lain-lain yang dapat
mempengaruhi pengarang dalam karya yang ditulisnya. Cerpen mempunyai kedua unsur tersebut. Unsur intrinsik yang akan
ditelaah dalam cerpen adalah tokoh. Dalam Aminuddin 2000:79, tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga
peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita. Walaupun tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia tetap seorang tokoh
yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Tokoh yang ditampilkan
pengarang dalam karyanya merupakan kebebasan kreativitas seorang pengarang. Pengarang bebas menciptakan dunia dalam fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh
untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan keinginannya, bagaimanapun perwatakan, permasalahan yang dihadapi, kondisi sosial
masyarakat, dan lain-lain merupakan kebebasan dari pengarang. Berbicara tentang hubungan manusia dalam masyarakat dalam suatu karya
sastra berarti kita berbicara tentang unsur ekstrinsik dari karya sastra tersebut. Hubungan manusia dalam masyarakat pada karya sastra merupakan suatu unsur
yang tidak berada di dalam karya sastra tersebut tetapi mempengaruhi bangun cerita dari karya sastra tersebut.
Hubungan manusia yang terdapat dalam karya sastra fiksi merupakan hak seorang pengarang untuk menampilkan bagaimana hubungan manusia tokohnya
Universitas Sumatera Utara
sehingga terdapat keserasian dan kesesuaian antara tokoh dan jalan cerita yang dibuat oleh pengarang tersebut. Kondisi sosiologis dapat kita lihat dari hubungan
timbal balik dan hubungan yang tak terpisahkan antara tokoh dan masyarakat di dalam cerita fiksi tersebut.
Salah satu sastrawan Jepang yang terkenal adalah Akutagawa Ryunosuke yang telah memberikan banyak sumbangan dalam dunia sastra yang berupa karya
sastra fiksi. Karya sastra fiksi Ryunosuke banyak dikagumi oleh pembaca karya sastra di seluruh dunia. Salah satu hasil karya sastra fiksi Ryunosuke adalah cerita
pendek cerpen. Banyak cerpen yang telah dihasilkan Ryunosuke, salah satunya adalah cerpen yang berjudul “Imogayu”.
Cerpen “Imogayu” yang ditulis Akutagawa Ryunosuke merupakan cerpen yang berlatar pada zaman Heian 794-1192. Tokoh utamanya adalah seorang goi
samurai pada zaman Heian yang menduduki kelas paling rendah yang tidak diketahui namanya dengan jelas. Goi itu adalah seorang lelaki yang
penampilannya sangat tidak menarik. Pertama, tubuhnya pendek, hidungnya merah, ekor matanya turun, dan berkumis tipis. Pipinya yang cekung
menyebabkan dagunya tampak panjang, tidak seperti orang kebanyakan. Tampangnya sangat aneh dan tidak menarik. Pakaian yang dikenakannya
membuatnya semakin tidak menarik. Dari hari ke hari yang dilakukan hanya melakukan pekerjaan yang sama. Siapapun yang melihatnya tidak akan pernah
berpikir bahwa ia pernah muda. Sepertinya, sejak lahir ia telah memiliki hidung merah seperti orang kedinginan dan kumis tipis yang diembus angin sekitar jalan
Shujaku.
Universitas Sumatera Utara
Barangkali dengan mudah dapat dibayangkan perlakuan yang diterimanya, ia bertampang aneh bila dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Para samurai
sekelasnya tidak mengacuhkan dan menganggapnya cuma bagaikan seekor lalat. Bahkan para pembantu yang masuk dalam kelas tertentu pun, atau yang sama
sekali tidak, yang berjumlah sekitar 20 orang, juga bersikap tidak acuh kepadanya. Jika ia memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka tidak peduli dan tetap saja
mengobrol. Bagi mereka keberadaannya tampak seperti udara belaka, seolah tidak kasat mata. Kalau para pembantu saja bersikap seperti itu, tentu saja para samurai
kelas atas jauh lebih tidak menghargainya lagi. Keberadaannya diabaikan oleh hampir-hampir layaknya anak kecil yang tidak punya arti apa-apa. Mereka tidak
memikirkan Goi sama sekali. Padahal tidak sepenuhnya Goi bersalah karena terlahir dengan fisik seperti itu. Tidak ada rasa sosial sama sekali. Berdasarkan
itulah penulis tertarik dalam skripsi yang berjudu l “Analisis Hubungan Manusia dalam Cerpen ‘Imogayu’ Karya Akutagawa Ryunosuke” dengan harapan dapat
memberikan pandangan dan informasi kepada pembaca tentang kondisi sosial tokoh Goi yang digambarkan Akutagawa Ryunosuke dalam karya sastra yang
telah melejitkan kepopulerannya itu.
1.2 Perumusan Masalah