Zat Pengatur Tumbuh Study on induction and maturation of somatic embryos of Jatropha Curcas L. initiated from different types of explants and plant growth regulators
zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur. Menurut Pierik 1997, senyawa-senyawa lain yang memiliki karakteristik sama dengan hormon,
tetapi diproduksi secara eksogen dikenal sebagai zat pengatur tumbuh, sedangkan menurut Hendaryono dan Wijayani 1994, zat pengatur tumbuh adalah senyawa
organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan.
Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman dan dapat menimbulkan tanggapan secara
biokimia, fisiologis, dan morfologis Gaba, 2005. Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tanaman tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi,
genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman Satyavathi et al. 2004. Zat pengatur tumbuh ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu
auksin, sitokinin, giberelin dan inhibitor. Zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin adalah Indol Asam Asetat IAA, Indol Asam Butirat IBA, Naftalen
Asam Asetat NAA dan 2.4-Diklorofenoksiasetat 2.4-D. Zat pengatur tumbuh yang termasuk golongan sitokinin adalah Kinetin, Zeatin dan Bensil Aminopurin
BAP, sedangkan golongan giberelin adalah GA1, GA2, GA3, GA4, dan golongan inhibitor adalah fenolik dan asam absisik.
Zat pengatur tumbuh golongan auksin menurut Pierik 1997, umumnya berperan merangsang pemanjangan sel, terutama di daerah meristem, pembelahan
sel dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dibutuhkan
dalam meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah meningkatkan pembentukan akar adventif,
sedangkan konsentrasi auksin yang tinggi merangsang pembentukan kalus, mencegah morfogenesis, mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio
somatik yang terbentuk. Peran auksin pada embriogenesis somatik antara lain untuk inisiasi
embriogenesis somatik, induksi kalus embriogenik, proliferasi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik Utami et al. 2007. Dari berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus
embriogenik. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adenin BA atau kinetin secara bersamaan Bhojwani dan Razdan 1996.
Golongan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam embriogenesis somatik. Raemakers et al. 1995 melaporkan keberhasilan
embriogenesis somatik dari 65 spesies tanaman dikotil, pada media tanpa zat pengatur tumbuh mencapai 17 spesies, pada media yang mengandung auksin
mencapai 29 spesies dan 25 spesies pada media yang mengandung sitokinin. Diantara zat pengatur tumbuh auksin yang digunakan adalah 2.4-D 49, NAA
27, IAA 6, picloram 5 dan Dicamba 5, sedangkan sitokinin yang digunakan adalah BAP 57, kinetin 37, zeatin 3 dan thidiazuron 3
Raemaker et al. 1995. Selain golongan auksin, zat pengatur tumbuh yang sering digunakan
adalah golongan sitokinin. Sitokinin berperan dalam meningkatkan pembelahan sel serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di dalam kultur
jaringan, sitokinin berperan dalam proliferasi dan morfogenesis pucuk. Golongan sitokinin yang sering dipergunakan dalam kultur jaringan adalah BAP 6-
Benzylaminopurine. Menurut George dan Sherrington 1984, BAP merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena
tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Menurut Noggle dan Fritz 1983, BAP memiliki struktur yang mirip dengan kinetin dan juga aktif dalam
pertumbuhan dan proliferasi kalus, sehingga BAP merupakan sitokinin yang
paling aktif. D.
Embriogenesis Somatik
Embrio tumbuhan terbentuk melalui proses embriogenesis, baik sebagai kelanjutan dari proses pembuahan embrio zigotik maupun melalui proses
induksi dari sel-sel somatik embrio somatik. Pada saat perkembangan embrio, setidaknya ada beberapa tahap yang dapat diamati secara visual, yaitu fase
globular, triangular, jantung, dan torpedo. Tahap perkembangan selanjutnya setelah terbentuk kotiledon adalah tahap maturasi dan germinasi George et al.
2008.
Embriogenesis somatik berlangsung melalui tahap yang serupa dengan embriogenesis zigotik, dan dapat diperoleh secara langsung dari eksplan jaringan,
atau secara tidak langsung melalui kultur sel somatik atau kultur kalus. Embrio somatik adalah struktur yang harus melalui tahap diferensiasi, sehingga proses
diferensiasi dan metabolisme yang menyertainya dapat ditingkatkan. Mikropropagasi dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur
organogenesis dan embriogenesis somatik. Pada organogenesis, proses pembentukan pucuk dan atau akar adventif berkembang dari dalam massa kalus
yang berlangsung setelah periode pertumbuhan kalus Hartman et al. 1990, sedangkan embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik
baik haploid maupun diploid berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet Williams
Maheswara 1986, sedangkan menurut Zulkarnain 2009, embriogenesis somatik adalah proses perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif atau sel-sel
somatik yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan yang inisiasi dan diferensiasinya tidak melibatkan proses seksual.
Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai calon meristem akar dan meristem tunas. Mikropropagasi melalui
embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu lebih singkat.
Regenerasi tumbuhan melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan dari organogenesis, karena tumbuhan yang diregenerasikan dari embrio somatik dapat
berkembang dari sel tunggal, sehingga mengurangi variasi somaklonal Endress 1997. Embrio somatik memiliki kemampuan pertumbuhan dan perkembangan
seperti embrio zigotik, sehingga sangat efisien untuk digunakan dalam studi perkembangan, manipulasi genetik dan benih sintetis Kumari et al. 2000. Selain
itu, embrio somatik juga diketahui mengakumulasi produk penyimpanan, seperti protein dan lipid yang dapat digunakan dalam pengembangan produksi metabolit
tanaman secara in vitro Preil dan Beck 1991. Di samping keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan
embriogenesis, yaitu peluang terjadi mutasi lebih tinggi, metode lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis dari kalus embriogenik karena subkultur berulang
serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kultur lebih rapuh. Namun demikian, variasi yang dihasilkan sering dianggap menguntungkan karena
dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik gene pool Purnamaningsih, 2002.
Embrio somatik biasanya dapat diinisiasi dari jaringan juvenil atau jaringan meristematik. Eksplan yang digunakan dapat berupa daun muda, embrio
muda, ujung tunas, kotiledon, dan hipokotil. Tetapi respon eksplan sangat tergantung dari genotip tanaman. Jadi untuk spesies tanaman yang berbeda, hanya
jaringan tertentu yang dapat digunakan untuk inisiasi embrio somatik Gray, 2005.
Induksi embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Embrio somatik dapat langsung terbentuk dari eksplan daun, batang,
protoplas maupun dari mikrospora. Pada tahap ini, sel-sel pada eksplan tersebut telah mengalami determinasi untuk membentuk embrio dan hanya memerlukan
kondisi yang sesuai untuk ekspresinya. Embriogenesis langsung secara in vitro umumnya terjadi pada sel-sel eksplan yang masih muda jaringan meristematik,
sedangkan embriogenesis tak langsung terjadi pada sel-sel yang telah mengalami diferensiasi, pembelahan sel, dan transformasi menjadi sel embriogenik. Sel-sel
embriogenik yang akan menjadi embrio adalah sel-sel yang berukuran kecil, dengan isi sitoplasma yang penuh atau tanpa vakuola. Pada pembentukan embrio
somatik secara tidak langsung, pembentukan embrio terjadi melalui fase kalus terlebih dahulu atau melalui kultur suspensi. Proses embriogenesis somatik secara
tidak langsung memerlukan media yang lebih kompleks, antara lain diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh untuk menginduksi dediferensiasi dan reinisiasi
pembelahan sel dari sel-sel yang telah terdiferensiasi sebelum sel-sel dapat mengekspresikan kompetensi embriogeniknya Jimenez 2001.
Tahapan dalam proses embriogenesis somatik adalah induksi kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, dan hardening tahap aklimatisasi
Purnamaningsih 2002. Pada tahap induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya
aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi dibandingkan keperluan auksin pada pertumbuhan sel normal Kiyosuke et al. 1983. Dari berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup
kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adedin BA atau
kinetin secara bersamaan Bhojwani dan Razdan, 1989. Auksin yang tinggi diperlukan untuk tahap awal induksi kalus embriogenik, sedangkan untuk tahap
proliferasi dibutuhkan auksin yang rendah atau tanpa auksin. Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular
membentuk kotiledon dan primordia akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering
digunakan media tanpa auksin Pierik 1987, media dengan konsentrasi auksin rendah Purnamaningsih 2002, media dengan konsentrasi auksin dan sitokinin
yang sangat rendah dapat menginduksi pembentukan embrio bipolar yang selanjutnya berkembang membentuk planlet Ammirato 1984.
Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik membentuk tunas dan akar. Pada media perkecambahan, konsentrasi zat pengatur tumbuh
sitokinin yang digunakan sangat rendah atau tanpa zat pengatur tumbuh. Menurut Mariska et al. 2001,
pada tahap perkecambahan sering ditambahkan GA
3
. Tahap hardening, yaitu tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dari
kondisi in vitro ke lingkungan baru di rumah kaca. Aklimatisasi dilakukan setelah embrio berkecambah dan diperoleh plantlet yang siap untuk dipindahkan ke
lapangan. Aklimatisasi plantlet hasil dilakukan dengan menurunkan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya.
Menurut Namasivayam 2007 pembentukan embrio somatik dapat dipengaruhi oleh genotipe, jaringan dan tahap perkembangan eksplan, dan kondisi
kultur seperti keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen, kondisi osmotik dan perubahan pH. Penggunaan eksplan yang bersifat merismatik
umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan
dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Sumber nitrogen dan gula yang terdapat dalam komposisi media berperan penting dalam induksi dan
perkembangan embriogenesis somatik. Nitrogen merupakan faktor utama dalam
morfogenesis secara in vitro yang berfungsi untuk inisiasi dan perkembangan embrio, sedangkan gula berfungsi sebagai sumber karbon dan mempertahankan
osmotik media. Menurut Chen dan Chang 2001 zat pengatur tumbuh yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik adalah auksin
dan sitokinin.
BAHAN DAN METODE