dan pemukiman. 3.
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.
Pengaturan pengawasan pemerintah atau campur tangan terhadap PPJB telah dituangkan dalam bentuk :
1. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 11KPTS1994 tentang
Pedoman Perikatan Jual Beli Rumah Susun. 2.
Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No. 09KPTSM1995 tentang Pedoman perikatan Jual Beli Rumah.
24
Kedua produk hukum ini direspon oleh pengembang secara tidak konsisten. Pada satu sisi pengembang merasa tidak terikat dengan kedua
produk hukum itu dengan alasan : 1.
Kedua ketentuan itu tingkatannya lebih rendah dari undang-undang atau peraturan pemerintah,
2. Kedua ketentuan itu hanya sekadar pedoman, sifatnya hanya kebolehan
saja.
B. Upaya Pengembang Di Dalam Melindungi Konsumen Perumahan
Pada PT. Araban Makmur Semesta
Permasalahan konsumen perumahan sudah sedemikian sulit. Mulai dari brosur yang tidak jelas sampai menguapnya uang muka yang telah dibayar
24
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
konsumen akibat dilarikan pengembang. Tak hanya itu, kebijakan likuidasi bank di tengah-tengah krisis moneter yang sudah berlangsung sejak Juli 1997
turut menimbulkan bencana bagi konsumen KPR, terutama bank yang memberikan KPR-nya dilikuidasi.
25
25
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. 2008, hal. 45.
Di tengah-tengah lesunya penjualan rumah-rumah tipe menengah ke atas, muncul sejumlah pengembang perumahan yang menawarkan rumah
murah kepada konsumen, padahal belum ada kejelasan status tanah dimana rumah murah itu akan dibangun, termasuk berbagai perizinannya.
Izin prinsip dan izin lokasi yang dipunyai pengembang belum dapat menjadi jaminan bagi konsumen. Dengan memegang izin lokasi, pengembang
lahan yang boleh dibebaskannya, walaupun kenyataannya ia tidak dapat begitu saja mengusir pemilik lahan. Pembebasan lahan yang akan diperuntukkan
lokasi pembangunan perumahan merupakan hasil kesepakatan secara musyawarah antara pemilik lahan dengan pengembang. Bila tidak tercapai
kesepakatan maka pembebasan lahan tersebut tidak berhasil sepenuhnya atau bahkan mungkin gagal sama sekali. Itulah sebabnya izin lokasi itu berlaku
selama 12 bulan dan dapat diperpanjang satu kali. Jadi, bagi konsumen belumlah aman membeli rumah dan tanah pada pengembang di lokasi yang
baru memiliki izin demikian sebab itu berarti sebenarnya pengembang belum memiliki lahan itu. Tidak ada jaminan keamanan dana uang muka yang sudah
dibayarkan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu pola atau cara melindungi konsumen perumahan ini adalah dengan cara memakai bank garansi. Melalui bank garansi, diasumsikan
konsumen percaya kepada pihak bank sebagai penjamin pengembang dengan berpegang pada kepercayaan sebagian besar masyarakat kepada bank. Peran
bank ini menghindarkan konsumen dari risiko sebagai akibat kelalaian atau kegagalan pengembang dalam menyelesaikan proyek pembangunan rumah.
Atas jaminan yang diberikan oleh bank ini, bank menerima jasa dari pengembang berupa provisi. Oleh karena bank garansi terikat jangka waktu,
hal penting yang harus diperhatikan bank, yaitu bank harus selalu mengetahui berakhirnya bank garansi sehingga dapat melakukan tindakan sebelum masa
berlaku bank garansi berakhir. Jangka waktu bank garansi ini hendaknya memperhitungkan pula jangka waktu yang diberikan dalam izin lokasi dan
jangka waktu penyelesaian bangunan rumah. Praktek pemasaran rumah dalam bentuk pre-project selling selama ini
belum memberikan kepastian hukum bahwa lokasi pembangunan sudah menjadi milik pengembang, karena pengembang baru memiliki izin prinsip,
izin lokasi, dan izin mendirikan bangunan. Kepastiannya baru diperoleh bila pengembang telah memiliki hak guna bangunan induk atas lokasi, dimana
dilakukan proyek pembangunan rumah. Mencermati praktek demikian, akan lebih baik bila bank garansi diterapkan dalam bisnis perumahan, sehingga
konsumen tidak merasa khawatir uang muka yang telah dibayarkannya akan
Universitas Sumatera Utara
lenyap dalam hal pengembang tidak jadi meneruskan atau menyelesaikan proyeknya. Jadi ada jaminan pengembalian uang muka konsumen.
Setiap kesepakatan antara dua pihak tentu diikat oleh suatu perjanjian. Demikian juga halnya di dalam perjanjian jual beli rumah beserta tanah, maka
kedua belah pihak diikat oleh suatu perjanjian yang disebut surat perjanjian pengikatan tanah beserta bangunan. Perjanjian tersebut secara jelas di atur
tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak baik konsumen sebagai pembeli maupun juga pihak produsen yang dalam hal ini adalah pengembang.
Perlindungan konsumen dituangkan dalam surat perjanjian pengikatan tanah beserta bangunan adalah dalam bentuk hak-hak konsumen, baik itu
spesifikasi bangunan yang diinginkannya maupun juga adanya pengalihan hak dari pengembang kepada konsumen jika konsumen telah melakukan semua
kewajibannya. Termasuk juga adanya jaminan pengembang bahwa tanah beserta bangunan yang di atasnya tidak dalam sengketa. Hal yang mendasar ini
harus dituangkan dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah beserta bangunan di atasnya sehingga dengan demikian hak-hak konsumen terlindungi
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999. Sedangkan hubungannya dengan KUH Perdata adalah dimana KUH
Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat suatu perjanjian, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa
“ semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya “. Dengan demikian kesepakatan yang dibuat
Universitas Sumatera Utara
oleh konsumen dengan pihak pengembang apabila dihubungkan dengan KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka.
Dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen pada suatu transaksi, akan menimbulkan akibat-akibat hukum yang memang secara sadar
dikehendaki para pihak. Akibat hukum itu tidak hanya tunduk pada hukum positif yang berlaku, melainkan juga pada nilai-nilai ketertiban masyarakat.
Hal ini didasarkan oleh pandangan bahwa istilah tanggung jawab lebih cenderung pada perwujudan nilai-nilai etika dan moral, sedangkan istilah
kewajiban merupakan perwujudan nilai atau kaidah hukum. Untuk itu mencermati tanggung jawab pelaku usaha terhadap
konsumen tidak cukup dari sisi etika bisnis. Ada sudut pandang lain dari sisi sosial maupun individual. Maka adalah wajar apabila lebih berharap banyak
pada pelaku usaha untuk secara aktif merealisasikan tanggungjawabnya kepada konsumen dalam rangka menjalankan perannya dalam industri
perumahan. Tentu saja tanpa mengabaikan kewajiban konsumen terhadap pelaku usaha. Tuntutan akan tanggungjawab pun didasari pada sebuah
kenyataan terhadap ada tidaknya kerugian yang diderita suatu pihak sebagai akibat adanya hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dalam
penggunaan, pemanfaatan serta pemakaian oleh konsumen atas barang danatau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha.
Setiap bisnis perumahan, proses serah-terima dari pihak pengembang ke konsumen merupakan salah satu tahap dari serangkaian proses yang harus
Universitas Sumatera Utara
dilakukan. Langkah ini merupakan pengalihan hak kepemilikan bangunan dari pihak pengembang kepada pihak konsumen. Secara hukum, kedua belah pihak
setuju untuk menerima tanpa adanya unsur pemaksaan. Konsumen dalam proses tersebut seharusnya sudah dapat melihat
seberapa besar tanggungjawab pengembang. Konsumen memiliki hak untuk meneliti kembali kondisi akhir bangunan yang diserahkan pihak pengembang,
dan mengecek kondisi akhir bangunan dengan metode check list. Beberapa pengembang besar yang cukup mempunyai reputasi, sudah melakukan
prosedur ini. Mereka biasanya sudah memiliki standar prosedur produksi, mulai dari tahap produksi bagian hulu tahap perencanaan awal dan tahap
pengadaan sub-kontraktor sampai tahap bagian hilir tahap pelaksanaan, tahap pengawasan, dan tahap pemeliharaan.
Apabila semua prosedur sudah dilakukan sesuai standar, berarti konsumen telah membeli rumah dari pengembang yang baik. Namun, hal ini
belum tentu menjamin tidak akan terjadi kasus-kasus yang menimbulkan kerugian konsumen, Sebab, banyak dari konsumen melakukan pemeriksaan
secara selayang pandang saja, tidak secara teliti dan hati-hati, dan baru mengetahui hal-hal yang tidak sesuai dengan standar kualitas beberapa waktu
kemudian. Selain itu tidak sedikit pihak pengembang hanya memperlihatkan spesifikasi bangunan yang baik saja. Karena itu, ada atau tidak prosedur
pengecekan akhir dari pihak pengembang, hendaknya konsumen tetap harus berinisiatif untuk melakukan pengecekan sendiri dengan cermat. Prosedur
Universitas Sumatera Utara
pengecekan ini merupakan kesempatan yang seharusnya diberikan kepada konsumen sebagai pertanggungjawaban pengembang mengenai hasil akhir dari
produk yang ditawarkan, apakah telah sesuai dengan apa yang dijanjikan sejak awal dan sesuai dengan yang tertera dalam brosur promosi.
Walaupun demikian, pengembang tidak bertanggung jawab tersebut, mengambil sikap untuk tidak memperpanjang sengketa hingga ke ranah
hukum, apalagi sampai ke jalur pengadilan. Faktor mahal dan lamanya sistem peradilan ikut menjadi pertimbangan malasnya konsumen untuk mengambil
jalur tersebut. Sehingga kekurangan fasilitas ataupun kerusakan rumah akibat wanprestasi pengembang, diupayakan sendiri oleh para konsumen, yang tentu
saja memerlukan biaya ekstra. Demikian juga untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum yang belum
tersedia, konsumen secara bersama-sama berusaha mewujudkannya secara sederhana, misalnya lapangan olahraga bulutangkis dan bola volley, musholla,
sarana bermain anak, dan sebagainya. Hal-hal inilah yang menjadi realita yang dihadapi sebagian besar konsumen perumahan. Walau jelas-jelas menderita
kerugian akibat wanprestasi developer, namun tidak berarti komplain konsumen segera mendapat tanggapan, apalagi sampai ditindak lanjuti.
Komplain konsumen seharusnya mendapatkan respon positif dari pihak pengembang, sebagai indikasi adanya itikad baik pengembang, utamanya
terkait dengan pemberian ganti rugi atau kompensasi sebagai bentuk pertanggung jawabannya sebagai pelaku usaha. Sehingga sesuai dengan yang
Universitas Sumatera Utara
telah ditetapkan oleh UU No. 8 Tahun 1999, yaitu ; Pasal 7 huruf a UU No. 8 Tahun 1999 ; “kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam
menjalankan usahanya” Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 1999, bahwa ; “Pelaku usaha wajib
memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”
Pada sisi lain realita yang dihadapi konsumen perumahan tersebut, terkait dengan kecenderungan pengembang untuk menghindari tanggung
jawab, memberikan konklusi belum terealisirnya apa yang menjadi asas dan tujuan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang termuat
dalam Pasal 2 huruf e yaitu ; “Perlindungan konsumen bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha”
Hubungan konsumen perumahan dengan pengembang atau developer tidak dapat dikatakan baik, dan permasalahan utamanya adalah pengembang
yang sering melakukan wanprestasi dalam kesepakatan atau perjanjian jual beli, serta kurangnya rasa tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak konsumen
terutama dalam hal ganti rugi atau kompensasi. Lembaga ini menyebut terdapat beberapa komponen transaksi perumahan penyebab wanprestasi
seperti ; 1. Tidak sesuai antara penawaran dan kenyataan.
Universitas Sumatera Utara
Iklan atau promosi seringkali merupakan pencetus utama ketertarikan konsumen terhadap suatu produk. Sayangnya, umumnya iklan berisi
informasi yang tidak seimbang karena yang diungkapkan hanya sisi positif. Akibatnya konsumen tidak siap ketika menghadapi sisi negatif yang tidak
pernah terpikir atau terduga. Contohnya, beberapa bulan setelah akad kredit, listrik di rumah salah satu konsumen belum terpasang seperti yang
dijanjikan. Konsumen diberi solusi pemasangan listrik sementara yang ilegal, sehingga berbahaya bagi masyarakat, dan rawan penertiban dari
pihak PLN. 2. Aspek internal developer yang informasinya sulit diakses oleh konsumen
Tidak semua informasi internal developer mudah diakses konsumen, terutama aspek-aspek yang awam bagi kebanyakan konsumen. Contohnya,
pengembang yang nekad beroperasi tanpa dokumen perizinan yang lengkap akibatnya Dinas Pengawasan dan Penertiban Kota menyegel lokasi
sehingga pembangunan tertunda. Konsumen yang sudah melakukan akad kredit dirugikan akibat ketidakpastian penyelesaian rumah yang
berimplikasi pada kerugian material dan immaterial yang lebih besar. 3. Perjanjian baku atau standar
Meski sudah dilarang oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen, perjanjian baku masih menjadi norma dalam transaksi perumahan.
Konsumen diberi perjanjian yang sudah disiapkan, dan tinggal menandatangani. Sehingga surat perjanjian jual-beli seringkali tidak
Universitas Sumatera Utara
dimengerti dengan baik oleh konsumen sehingga berpotensi menjebak konsumen. Contohnya pengembang memberikan pilihan pahit kepada
konsumen yang ingin membatalkan perjanjian atau akad kredit, yaitu hangusnya booking fee.
4. Negosiasi ulang dengan developer Posisi tawar menjadi isu utama di sini, misalnya ketika terjadi negosiasi
ulang dalam hal pembayaran akibat keadaan yang di luar kemauan kedua pihak. Contohnya dalam kasus penyegelan di atas. Konsumen memaksa
untuk penundaan pembayaran angsuran selama proses pembangunan terhenti.. Dalam akad kredit, pasal-pasal yang membolehkan renegosiasi
dibatasi oleh pasal-pasal lain yang memberatkan konsumen untuk mengambil pilihan renegosiasi. Ruang gerak dan pilihan konsumen
menjadi terbatas, sehingga win-win solution untuk kasus tak terduga seperti ini tidak dapat tercapai.
5. Itikad tidak baik pengembang Seringkali ditemukan bahwa ketika bersengketa dengan konsumen,
pengembang tidak menunjukkan itikad yang baik dalam penyelesaian sengketa. Contohnya saat terjadi wanprestasi, di mana pengembang lalai
menjalankan kewajibannya, pengembang tetap menuntut konsumen untuk membayar kewajibannya, tanpa peduli bahwa konsumen tidak menerima
hak sesuai perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 1 ; “Setiap konsumen yang dirugikan bisa
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang
berada dilingkungan peradilan umum” Gugatan terhadap masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan,
dimana posisi konsumen dan pelaku usaha sama-sama berimbang di mata hukum. Konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar perlu
mengadukannya kepada lembaga yang berwenang. Konsumen bisa meminta bantuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM
terlebih dahulu untuk meminta bantuan hukum atau bisa langsung menyelesaikan masalahnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Konsumen juga bisa mendatangi sub Direktorat Pelayanan Pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan. Setelah
dilakukan proses konfirmasi, pejabat yang bersangkutan akan melakukan analisis terhadap masalah yang diadukan, kemudian diadakan klarifikasi
kepada konsumen dengan cara meminta bukti-bukti dan kronologi kejadian. Baru kemudian dilakukan proses klarifikasi terhadap pelaku usaha. Seandainya
pelaku usaha menyanggah tuduhan dan tidak ada titik kejelasan, akan dilakukan beberapa langkah seperti ; mediasi atau konsiliasi.
Universitas Sumatera Utara
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah Secara Kredit Pada PT. Araban Makmur Semesta
Unsur-unsur pokok dalam perjanian jual beli seperti jual beli rumah adalah barang berupa rumah dan harga, sesuai asas konsesualisme
kesepakatan yang menjiwai hukum perjanjian maka perjanjian jual beli akan ada saat terjadinya atau tercapainya sepakat mengenai barang dan harga.
Sifat konsesual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah
pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Sebagaimana diketahui hukum perjanjian dari KUH Perdata menganut asas konsesualisme, artinya ialah bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan
sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsesus sebagaimana dimaksud di atas.
Sedangkan hal-hal mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli rumah adalah secara bertimbal balik. Artinya kewajiban
pihak pengembang PT. Araban Makmur Semesta menjadi hak konsumen perumahan. Demikian pula sebaliknya kewajiban konsumen menjadi hak
pengembang. Adapun kewajiban pengembang meliputi:
1. Menyerahkan hak milik atas rumah yang diperjual belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum
Universitas Sumatera Utara
diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas rumah yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada pembeli.
2. Menanggung tenteram atas rumah tersebut. Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi dari pada jaminan yang oleh
penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban
atau tuntutan dari sesuatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika
sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan pihak ke tiga. 3. Memenuhi semua kriteria yang disertakan dalam jual beli rumah seperti
sepesifikasi rumah, fasilitas dan lain-lainnya. Sedangkan kewajiban Pembeli adalah membayar harga pembelian pada
waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu
pembayaran maka si pembeli harus memmbayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan.
PT. Araban Makmur Semesta adalah perusahaan pengembang perumahan developer. PT. Araban Makmur Semesta memasarkan perumahan
dengan sistem pesan bangun. Makna dari sistem pesan bangun adalah suatu sistem penjualan satuan unit rumah pada saat konsumen hendak membeli
satuan unit rumah, rumah yang akan dibeli itu belum dibangun.
26
26
Hasil Wawancara Dengan Bapak Efendi Hamdani, Selaku Kepala Pemasaran PT. Araban Makmur Semesta, tanggal 22 Juni 2013.
Universitas Sumatera Utara
Secara rinci tahapan dalam perjanjian jual beli rumah diawali dengan penawaran yang dilakukan oleh perusahaan pengembang. Penawaran dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain melalui brosur, melalui iklan media cetak, baliho atau dunia maya. Ketika konsumen tertarik untuk
menerima penawaran itu, maka konsumen harus melakukan penerimaan dengan cara membayar sejumlah uang sebagai tanda jadi pemesanan
panjerbooking fee. Uang booking fee ini berfungsi sebagai jaminan bahwa konsumen memang benar-benar hendak membeli rumah.
27
Uang ini nantinya akan diperhitungkan sebagai bagian dari jumlah harga rumah keseluruhan. Namun dalam hal konsumen membatalkan jual beli,
maka uang panjer ini akan menjadi milik developer sepenuhnya. Hal ini terjadi karena jual beli tanah atau rumah dalam hukum agraria menggunakan sistem
hukum adat yang bersifat tunai, berbeda dengan sistem hukum perdata barat yang bersifat konsensual. Bersifat tunai artinya untuk terjadi perjanjian jual
beli memerlukan formalitas tertentu, sedangkan bersifat konsensual artinya, perjanjian lahir atau terjadi seketika tercapai kata sepakat di antara para pihak
penjual dan pembeli dan tidak memerlukan formalitas tertentu.
28
Tiga cara pembayaran dapat dilakukan oleh konsumen yaitu dengan cara cashtunai artinya dua minggu setelah pembayaran booking fee konsumen
membayar kekurangan harga rumah secara langsung sesuai harga rumah
27
Hasil Wawancara Dengan Bapak Efendi Hamdani, Selaku Kepala Pemasaran PT. Araban Makmur Semesta, tanggal 22 Juni 2013.
28
Hasil Wawancara Dengan Bapak Efendi Hamdani, Selaku Kepala Pemasaran PT. Araban Makmur Semesta, tanggal 22 Juni 2013.
Universitas Sumatera Utara
kepada developer ditambah biaya-biaya lain misalnya BPHTB Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan PPN Pajak Penambahan Nilai.
Cara kedua, konsumen membayar dengan uang tunai bertahap, artinya dua minggu setelah pembayaran booking fee konsumen langsung membayar
50 dari harga rumah pada developer. Kekurangannya dibayar dalam beberapa tahap sesuai kesepakatan. Cara ketiga adalah dengan Kedit Pinjaman
Rumah KPR yaitu pembayaran dilakukan secara angsuran oleh bank sebagai pihak ketiga yang bertindak juga sebagai penjamin bagi konsumen.
Sebaliknya, konsumen juga harus memberikan jaminan atau agunan berupa rumah yang menjadi objek perjanjian jual beli antara konsumen dengan
developer dan pembayaran sejumlah 30 dari harga rumah.
29
Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau perjanjian pendahuluan adalah perjanjian antara penjual developer dan pembeli konsumen yang dibuat
untuk mendahului perjanjian jual beli yang sesungguhnya yang dituangkan dalam Akta Jual Beli oleh PPAT. PPJB merupakan dokumen yang
menunjukkan adanya hubungan hukum antara developer dengan konsumen. Hubungan hukum terjadi karena developer mengikatkan diri untuk menjual
tanah beserta rumah sedangkan konsumen wajib membayar harga objek Jika pembayaran booking fee telah beres, pihak developer dan
konsumen kemudian menuangkan kesepakatan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB.
29
Hasil Wawancara Dengan Bapak Efendi Hamdani, Selaku Kepala Pemasaran PT. Araban Makmur Semesta, tanggal 22 Juni 2013.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian itu. PPJB bukan merupakan perjanjian jual beli, karena perjanjian jual beli itu belum terjadi.
Perjanjian jual beli itu belum terjadi karena masih ada persyaratan yang belum terlaksana, misalnya jual beli harus telah dibayar lunas harganya baru
kemudian Akta Jual Beli dapat ditandatangani atau tanah dan rumah belum bersertifikat. Belum selesainya semua persyaratan ini menyebabkan Pejabat
Pembuat Akta Tanah akan menolak membuatkan akta jual beli. Agar para pihak tetap dapat melakukan jual beli rumah, maka mereka sepakat jual beli
akan dilakukan setelah sertifikat telah jadi dan konsumen telah membayar lunas harganya.
Sementara persyaratan belum selesai diurus, para pihak menuangkan kesepakatan awal dalam perjanjian pengikatan jual beli atau lazim disebut
perjanjian pendahuluan. Perjanjian pengikatan jual beli dibuat oleh para pihak karena objek jual beli secara fisik belum ada sama sekali atau masih dalam
proses pembangunan atau karena pembeli belum melunasi objek jual beli tersebut.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, akan tetapi tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dalam
Buku III KUHPerdata. Ketentuan khususnya ada dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09KPTSM1995 tentang Pedoman
Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Universitas Sumatera Utara
Menurut J. M. van Dunne dalam setiap perjanjian terdapat tiga tahapan yang akan dilalui oleh para pihak dalam perjanjian. Tahapan itu meliputi: a
Tahap prakontraktual precontractuele fase; b Tahap kontraktual contractuele fase; c Tahap pascakontraktual postcontractuele.
30
Subekti mengemukakan bahwa terdapat dua jenis asas itikad baik yaitu itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif maknanya
adalah kejujuran. Kejujuran harus ada sebelum perjanjian dilaksanakan oleh Jika dikaitkan dengan asas itikad baik maka dapat dikatakan bahwa
pada masa prakontraktual telah ada itikad baik. Artinya itikad baik harus telah ada di antara para pihak pada masa negosiasi. Secara sederhana dapat
dikatakan pada setiap negosiasi untuk menentukan isi perjanjian maka kedua belah pihak harus mengedepankan kejujuran.
Dalam perjanjian bisa dibedakan antara teori modern dengan konvensional. Pada teori konvensional, ikatan di antara para pihak artinya
janji-janji yang dilakukan oleh developer dianggap belum terwujud pada tahap prakontraktual dalam perjanjian sehingga tidak mengikat sama sekali. Berbeda
dengan teori konvensional, dalam teori modern janji-janji yang telah disepakati oleh para pihak pada tahap prakontraktual dianggap telah mengikat. Jadi pada
intinya konsep bahwa perjanjian hanya mengikat pada saat tahap kontraktual saja telah bergeser. Maknanya perjanjian telah mengikat para pihak baik pada
tahap prakontraktual, kontraktual dan pascakontraktual.
30
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1985. hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
para pihak. Artinya pada tahap prakontraktual telah ada itikad baik subjektif, sedangkan itikad baik objektif ada pada tahap kontraktual. Makna itikad baik
objektif adalah kepatutan dan berada pada tahap kontraktual. Hal ini terjadi karena masa tahap kontraktual isi perjanjian yang berupa hak dan kewajiban
harus dilaksanakan dengan itikad baik pula. Pada tahap kontraktual ini yang berwenang menilai apakah dalam perjanjian ada kepatutan atau tidak adalah
hakim. Itikad baik objektif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa tentang isi atau hak dan kewajiban dalam perjanjian.
Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik goeder trouw. Undang-undang hanya
menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik; tetapi tidak menentukan tahap prakontraktual, kontraktual atau pascakontraktual. Jadi
dapat disimpulkan bahwa itikad baik harus sudah ada sejak tahap prakontraktual sampai pascakontraktual.
31
Berdasarkan keterangan dari delapan responden konsumen yang Sementara itu perlu untuk ditelaah lebih lanjut apakah PPJB yang
merupakan perjanjian pendahuluan antara developer dengan konsumen sebagai bagian dari tahap prakontraktual mengikat sebagai perjanjian. Seperti diketahui
PPJB adalah perjanjian yang mengikat para pihak. Sebagai perjanjian yang mengikat para pihak maka harus memenuhi ketentuan tentang syarat sahnya
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
31
Abdul Halim Barkatullah, Bisnis E-Commerce: Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2010, hal. 66.
Universitas Sumatera Utara
melakukan PPJB ini, semua PPJB telah memenuhi persyaratan sahnya perjanjian. Hal itu dapat dibuktikan bahwa syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian, dalam perjanjian
pendahuluan antara developer PT. Griya Albania dengan konsumen telah ada kata sepakat untuk mengadakan hubungan hukum jual beli. Kata
sepakat di antara para pihak ditandai dengan penandatanganan perjanjian. 2.
Syarat kecakapan dalam membuat perikatan dapat ditunjukkan dengan fakta bahwa baik konsumen maupun developer cakap melakukan perbuatan
hukum. Konsumen sebagai pembeli dibuktikan dengan identitas KTP sedangkan pihak developer sebagai badan hukum berbentuk perseroan
terbatas. Perseroan terbatas adalah salah satu bentuk badan hukum. Badan hukum dapat digolongkan sebagai subjek hukum sehingga dianggap cakap
melakukan perbuatan hukum.
3. Suatu hal tertentu. Dalam PPJB, objek perjanjian berupa tanah dan rumah
dapat ditunjukkan dari ketentuan letak kavling, tipe tanah dan bangunan
yang telah disepakati bersama.
4. Syarat sebab yang halal menunjukkan tujuan utama dilakukan perjanjian
antara developer dan konsumen adalah mengalihkan hak milik rumah dan tujuan perjanjian jual beli ini tidak beretentangan dengan peraturan
perundangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Dari empat syarat Pasal 1320 KUHPerdata di atas, nampak bahwa
perjanjian PPJB ini sah. Dalam PPJB rumah ini konsumen ditentukan juga
Universitas Sumatera Utara
harus membayar booking fee paling lambat dua minggu sebelum pembayaran harga rumah. Perjanjian jual beli tanah dan rumah menganut sistem hukum
adat di mana pembayaran harus dilakukan secara kontan atau tunai. Oleh karenanya konsumen harus memberikan uang panjer atau uang muka sebagai
tanda jadi. Pembayaran harga dan penyerahan hak dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu jual beli dianggap selesai, sedangkan sisa harga
dianggap sebagai utang konsumen kepada developer. Hal ini berbeda dengan sistem hukum barat di mana perjanjian jual beli bersifat konsensuil. Hal itu
tampak dari isi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA yaitu dalam Pasal 5, yang intinya menyebutkan
bahwa UUPA menggunakan sistem hukum adat sehingga jual beli bersifat tunai dan tidak mengenal pembayaran secara kredit atau angsuran.
Selain tersebut di atas juga terdapat kewajiban developer untuk menyerahkan objek perjanjian berupa tanah dan rumah tepat pada waktu yang
telah diperjanjikan.
32
Satu ketentuan dalam PPJB di PT. Araban Makmur Semesta mengatur tentang denda yang harus ditanggung konsumen ketika membatalkan
Adanya keterlambatan pembayaran, maka developer harus membayar denda keterlambatan sebesar 0,1 dari nilai total pembayaran
yang telah dilakukan oleh konsumen setiap hari keterlambatan dan maksimal denda sebesar 2. Secara lengkap dalam Kepmen PPJB Angka II diatur
kewajiban penjual dan dalam Angka IV diatur kewajiban pembeli.
32
Fandy Tjiptono, Manajemen Jasa, Andi Yogyakarta, 1996. Hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian pendahuluan ini. Kewajiban lain yang juga merugikan konsumen adalah ketentuan tentang larangan bagi konsumen untuk merubah bentuk
bangunan meskipun hak milik telah beralih ke konsumen. PPJB bukan merupakan sesuatu hal yang baru di ranah hukum jual beli
perumahan property di Indonesia. PPJB sering digunakan oleh para pengembang developer untuk menunjang kegiatan bisnisnya. Hal ini
disebabkan karena bisnis perumahan membutuhkan suatu bentuk perjanjian pendahuluan guna menjamin kepentingan para pihak ketika titik temu
mengenai hal-hal yang pokok telah dimiliki. PPJB perumahan biasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian standar, meskipun demikian tidak
menutup kemungkinan adanya negosiasi di antara para pihak. PPJB dapat dikatakan sebagai perjanjian pendahuluan artinya nanti
akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail dan lengkap, sehingga hanya berisikan hal-hal yang pokok saja.
Yang di dalamnya terkandung unsur kepercayaan dan janji yang memberikan rasa saling pengertian di antara para pihak sebelum membuat perjanjian jual
beli. Isi dari PPJB selanjutnya di kemudian hari harus dimasukkan ke dalam PJB, sehingga akan memiliki kekuatan mengikat selayaknya kekuatan
mengikat yang dimiliki perjanjian pada umumnya. Perjanjian pra jual beli merupakan suatu bentuk kesepakatan dari para
pihak yaitu pengembang perumahan dengan calon konsumen mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan setelah melalui negosiasi sebagai langkah awal
Universitas Sumatera Utara
untuk menuju tahapan perjanjian jual beli yang sesungguhnya. Di sini objek perjanjiannya berupa rumah yang masih dalam tahap pembangunan. Hal-hal
pokok yang diperjanjikan biasanya mengenai lingkup objek perjanjian jual beli seperti kondisi atau spesifikasi rumah yang dijual kepada konsumen, meliputi
letak atau lokasi, keadaan lingkungan sekitar, bentuk bangunan, dan fasilitas lain, harga rumah, cara pembayaran uang muka, jangka waktu pembayaran,
ketentuan persyaratan dokumen atau berkas untuk keperluan PJB, pengunduran diri dan sanksi, pilihan hukum dan upaya penyelesaian
perselisihan. Di dalam PPJB kedua belah pihak membubuhkan tanda tangan. Pasal 134 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun
perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan pasilitas umum yang diperjanjikan. Selain itu terdapat pula sanksi pidana
yang diatur dalam Undang-Undang ini yaitu dalam Pasal 151 ayat 1 dan 2. Pada PPJB telah disertai dengan negosiasi di antara para pihak
mengenai hal-hal pokok yang akan dituangkan dalam isi perjanjian jual beli. Dalam tahapan ini maka dapat diketahui adanya suatu kesepakatan awal para
pihak mengenai substansi atau klausula-klausula esensial yang nantinya hendak dicantumkan dalam perjanjian jual beli yang sebenarnya atau disebut
Perjanjian Jual Beli PJB. Dalam PPJB biasanya dimasukkan klausula seperti halnya dalam PJB pada umumnya, karena merupakan suatu upaya
Universitas Sumatera Utara
perlindungan bagi para pihak yang hendak melakukan transaksi jual beli perumahan. Oleh karena itu dapat dikatakan PPJB menjadi jaminan awal bagi
para pihak untuk melindungi kepentingan mereka nantinya.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN