Tinjauan Hukum Terhadap Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Proses Jual Beli Perumahan Secara Kredit ( Studi Pada PT. Araban Makmur Semesta

(1)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PROSES JUAL BELI PERUMAHAN SECARA KREDIT

(STUDI PADA PT. ARABAN MAKMUR SEMESTA)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M

M

I

I

K

K

E

E

K

K

S

S

I

I

A

A

G

G

I

I

A

A

N

N

NIM. 090200417

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PROSES JUAL BELI PERUMAHAN SECARA KREDIT

(STUDI PADA PT. ARABAN MAKMUR SEMESTA)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M

M

I

I

K

K

E

E

K

K

S

S

I

I

A

A

G

G

I

I

A

A

N

N

NIM. 090200417

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum NIP. 195902051986012001

Pembimbing II

Puspa Melati Hsb, SH, M.Hum NIP. 196801281994032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Adapun skripsi ini berjudul : “Tinjauan Hukum Terhadap Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Proses Jual Beli Perumahan Secara Kredit ( Studi Pada PT. Araban Makmur Semesta”

Proses menyelesaiakn skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH. MH. DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syariah, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.


(4)

4. Ibu Puspa Melati Hsb, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.

5. Kepada ayahanda Ronald Siagian dan ibunda Nurmasiah Simatupang, atas

segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara

langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

8. Civitas Akademik Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, khususnya stambuk 2009.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala keterbatasan, kesalahan dan kekurangan, saya bersedia untuk menerima teguran dan bimbingan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, 2013

Penulis

Mike Siagian


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ... 11

A. Pengertian Dan Jenis-Jenis Perjanjian ... 11

B. Syarat Sahnya Perjanjiani... 22

C. Akibat Perjanjian... 30

D. Pengertian Kredit Dan Perjanjian Kredit... 32

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI ... 35

A. Pengertian Jual Beli ... 35

B. Saat Terjadinya Jual Beli ... 36

C. Kewajiban Si Penjual Dan Si Pembeli ... 39


(6)

BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN SECARA

KREDIT PADA PT. ARABAN MAKMUR SEMESTA ... 50

A. Bentuk Dan Isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Perumahan Pada PT. Araban Makmur Semesta ... 50

B. Upaya Pengembangan Di Dalam Melindungi Konsumen Perumahan Pada PT. Araban Makmur Semesta ... 56

C. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah Secara Kredit Pada PT. Araban Makmur Semesta ... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

Rabiatul Syahriah, SH, M.HUM* Puspa Melati Hsb, SH, M.Hum **

M

MiikkeeKKSSiiaaggiiaann******

Pengikatan jual beli yang dilakukan antara pengembang dengan pembeli, pada umumnya dilakukan dengan cara pembeli melakukan pembeyaran secara bertahap sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Sebaliknya para pengembang mengikatkan dirinya kepada pembeli untuk menyelesaikan pembangunan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama pula. Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli rumah, bagaimana bentuk dan isi perjanjian pengikatan jual beli perumahan dan bagaimanakah upaya pengembang di dalam melindungi konsumen perumahan.

Metode penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam

menyelesaikan skripsi ini bersumber dari data sekunder dan data primer serta Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dan penelusuran kepustakaan serta studi lapangan pada di PT. Araban Makmur Semesta.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan Hak dan kewajiban para

pihak dalam perjanjian jual beli rumah adalah secara bertimbal balik. Artinya kewajiban pihak pengembang (PT. Araban Makmur Semesta) menjadi hak konsumen perumahan. Demikian pula sebaliknya kewajiban konsumen menjadi hak pengembang. Adapun kewajiban pengemban meliputi menyerahkan hak milik atas rumah yang diperjual belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas rumah yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada pembeli. Sedangkan kewajiban Pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana dietapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tetang tempat dan waktu pembayaran maka si pembeli harus memmbayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan. Bentuk dan isi perjanjian pengikatan jual beli perumahan PT. Araban Makmur Semesta dalam hal memberikan perlindungan kepada konsumen pada dasarnya dilakukan secara tertulis, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk tiga kategori pengikatan yaitu perjanjian pengikatan jual beli dan dibuatnya akta jual beli, kedua pengikatan tersebut dilakukan antara konsumen dengan pihak pengembang, serta perjanjian kredit pemilikan rumah yang dilangsungkan antara konsumen dengan pihak bank.

Kata Kunci : Hak Dan Kewajiban, Jual Beli, Kredit

* Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(8)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan pembangunan Nasional Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia baik material maupun spiritual, yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok sandang, pangan (makanan) dan papan (perumahan) yang layak, sebagai wujud dari pembangunan yang berperi kemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan itu, diperlukan penyediaan kebutuhan akan barang dan jasa dalam jumlah yang cukup dan berkualitas.”1

Pembangunan Nasional telah menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan industri barang baik berskala besar maupun kecil, dapat dilihat dari perkembangan perumahan yang semakin lama semakin meningkat dan menjadi suatu kebutuhan hidup dari masyarakat. Berkenan dengan hal ini, tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai sosial asset dan sebagai capital asset. Sebagai sosial asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial

1

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Paulinus Josua, Medan, 1999, hal. 1.


(9)

dikalangan masyarakat Indonesia. Sebagai capital asset, tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan tapi juga sebagai obyek spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan disisi lain harus dijaga kelestariannya.2

Salah satu pengembang (PT. Araban Makmur Semesta) tempat penulis dilakukannya penelitian, berupaya mencari modal kerja. Ketika akan melakukan awal pembangunan pada umumnya pengembang akan mengambil inisiatif mengumpulkan modal dengan cara meminta uang muka kepada konsumen dan kemudian melakukan pengikatan jual beli dengan konsumen untuk rumah yang akan dijualnya. Pengikatan jual beli yang dilakukan antara Hal ini merupakan efek dari perkembangan zaman yang merubah pola hidup manusia dari hidup berpindah-pindah hingga membangun rumah dan lingkungan tempat tinggal sendiri secara menetap, tetapi pada dasarnya manusia menjadikan cenderung untuk membeli rumah siap huni yang

dibangun oleh pengembang (developer), karena tingginya kebutuhan untuk

memiliki bangunan rumah yang siap huni untuk dipergunakan sebagai tempat tinggal. Ini menjadi peluang bagi para pengusaha untuk melakukan pengembangan-pengembangan yang sekaligus juga membutuhkan modal kerja

yang sangat besar dan menjadi kendala bagi para developer khususnya di

daerah Kota Medan.

2

Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007, hal. 1


(10)

pengembang dengan pembeli, pada umumnya dilakukan dengan cara pembeli melakukan pembayaran secara bertahap sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Sebaliknya para pengembang mengikatkan dirinya kepada pembeli untuk menyelesaikan pembangunan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama pula. Kewajiban bagi pembeli untuk membayar pada jadwal yang telah ditentukan, juga dapat ditetapkan dengan cara menjanjikan suatu syarat yang bersifat timbal balik, contohnya apabila pengembang telah menyelesaikan tugasnya maka pihak pembeli melakukan pembayaran. Selanjutnya penjual menyerahkan atau pemindahan hak milik atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain adalah pembayaran harga yang telah disetujui, meskipun telah ada disebut dalam suatu Pasal 1457 KUH Perdata, namun sudah semestinya bahwa harga itu harus berupa sejumlah uang, karena jika berupa barang maka bukan jual beli yang terjadi tetapi tukar menukar.

Penyerahan menurut KUH Perdata ada 3 (tiga) macam yaitu : 1. Penyerahan barang bergerak

2. Penyerahan barang tidak bergerak 3. Penyerahan piutang atas nama”

Saat terjadinya pembelian perumahan maka timbul suatu perjanjian dimana perjanjian jual beli barang sebahagian besar dihimpun dalam KUH Perdata mengenai Jual Beli Barang yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur kewajiban pihak-pihak dan peralihan hak milik atas barang.


(11)

Jika pengembang memenuhi kewajiban untuk membangun rumah yang telah dijanjikan dan pembeli dapat memenuhi kewajiban untuk membayar uang yang telah dijanjikan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka terhadap perikatan yang telah mereka buat tersebut akan dilanjutkan dengan perjanjian pengikatan jual beli.

Perjanjian jual beli adalah perjanjian dimana dikatakan bahwa penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak miliknya atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga. Undang-Undang membedakan antara “Sell” dan “Agreement to Sell” Sell adalah jual beli dan hak milik atas barang seketika berpindah kepada pembeli, misalnya dalam jual beli tunai, sedangkan agreement to sell adalah jual beli barang dimana pihak-pihak setuju barangnya berpindah kepada pembeli pada suatu waktu yang akan datang.3

3

Abdulkadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 2006, hal.24.

Kewajiban penjual menyerahkan barang dan menanggungnya, adalah merupakan jaminan bagi pembeli bahwa barang yang diberinya dapat dinikmati sesuai dengan kegunaannya. Dilema jual beli ini selanjutnya diatur mengenai hak dan kewajiban, ini yang mengisyaratkan bahwa jual beli dilindungi oleh undang-undang, dan karena jual beli merupakan suatu persetujuan, maka jual beli harus dilakukan sesuai dengan syarat-syarat sahnya suatu persetujuan.


(12)

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Sebab halal tertentu.

Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya setiap perjanjian adalah sah, jika memenuhi keempat syarat tersebut yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Keempat syarat tersebut lazim dipahami sebagai syarat umum, berarti berlaku untuk semua jenis perjanjian. Lagi pula dipahami bahwa syarat itu adalah syarat minimal yaitu syarat yang sekurang-kurangnya harus ada dan dipenuhi supaya perjanjian sah. Karena merupakan syarat umum senantiasa ditambah dengan syarat khusus lainnya. Syarat khusus tergantung pada jenis atau macam perjanjian.

Dari keempat tersebut dapat dibedakan atas 2 golongan yaitu:

1. Syarat pertama dan kedua tersebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut orang atau person yang melakukan perjanjian

2. Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai perbuatan yang diperjanjikan.

Dari penggolongan di atas, tidaklah dapat dikatakan bahwa syarat objektif lebih penting dari pada syarat subjektif atau sebaliknya syarat


(13)

subjektif lebih bernilai dibandingkan syarat objektif, karena pada dasarnya keempat syarat itu merupakan hal yang essensial di dalam setiap persetujuan atau perjanjian.

Penyerahan barang yang paling tepat saatnya oleh penjual, adalah saat pembeli membayar harga barang tersebut. Dalam penyerahan barang terdapat perjanjian yang tidak terlaksanakan sesuai dengan isi yang telah dijanjikan akan mengakibatkan salah satu pihak melakukan pembuatan ingkar janji (wanprestasi).

Jika pembeli yang ingkar janji semata-mata tidak terlalu merugikan

pengembang sebab pihak pengembang telah menerima uang muka (down

payment) tetapi ketika pengembang yang ingkar janji dalam ketetapan waktu atau pun hal lainnya, sangat merugikan konsumen.

Berdasarkan uraian di atas, hal tersebut untuk diketahui lebih banyak tentang perjanjian pengikatan jual beli rumah antara pengembang dengan konsumen yang menyangkut hak dari konsumen selaku pembeli dan tanggung jawab pihak pengembang.

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang diajukan di dalam penelitian skripsi ini adalah :

1. Bagaimana bentuk dan isi perjanjian pengikatan jual beli perumahan pada


(14)

2. Bagaimanakah upaya pengembang di dalam melindungi konsumen perumahan pada PT. Araban Makmur Semesta?

3. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli rumah

pada PT. Araban Makmur Semesta

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk :

1. Untuk mengetahui bentuk dan isi perjanjian pengikatan jual beli

perumahan pada PT. Araban Makmur Semesta.

2. Untuk mengetahui upaya pengembang di dalam melindungi konsumen

perumahan pada PT. Araban Makmur Semesta.

3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli

rumah pada PT. Araban Makmur Semesta.

D. Manfaat Penulisan

Faedah penelitian di dalam pembahasan skripsi ditujukan kepada berbagai pihak terutama :

1. Secara Teoretis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum

perjanjian terutama perjanjian–perjanjian yang melibatkan pembangunan perumahan dan perlindungan hukum tersebut.

2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang


(15)

perumahan.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersumber dari data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa referensi kepustakaan dan ditambah tulisan-tulisan di majalah serta media masa lainnya. Sedangkan data primer didapatkan melalui penelitian pada PT. Araban Makmur Semesta.

2. Sumber Data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dan penelusuran kepustakaan serta studi lapangan pada di PT. Araban Makmur Semesta.

3. Analisis Hasil Penelitian

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif.

F. Keaslian Penulisan

Judul berikut ini “Tinjauan Hukum Terhadap Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Proses Jual Beli Perumahan Secara Kredit (Studi Pada PT.


(16)

Araban Makmur Semesta)” yang telah diangkat penulis sebagai judul skripsi yang baru, berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada yang membahas dengan pendekatan maupun perumusan masalah yang sama, sehingga dapat dinyatakan bahwa isi dari tulisan ini adalah asli dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dimana dalam bab terdiri dari beberapa sub-sub bab. Adapun sistematika penulisan ini adalah:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang: Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian dan

Jenis-Jenis Perjanjian, Syarah Sahnya Perjanjian, Akibat Hukum Perjanjian serta Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Bab III. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian

Jual Beli, Saat Terjadinya Jual Beli, Kewajiban Si Penjual dan Si Pembeli serta Risiko Dalam Perjanjian Jual Beli.


(17)

Bab IV. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Perumahan Secara Kredit Pada PT. Araban Makmur Semesta

Pada bab ini diuraikan tentang: Bentuk dan Isi Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Perumahan pada PT. Araban Makmur Semesta, Upaya Pengembang Di Dalam Melindungi Konsumen Perumahan pada PT. Araban Makmur Semesta serta Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah pada PT. Araban Makmur Semesta.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana


(18)

BAB II

PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut Overeenkomst. Secara yuridis pengertian perjanjian terdapat pada Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi “ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana sutu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih”

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.4

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung

pengertian: “Suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

4

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.


(19)

prestasinya”.5

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang dapat timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan

hukum/rechtshandeling. Tindakan/ perbuatan hukum yang dilakukan oleh

pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Menurut pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan

hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang

(persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”. Dengan demikian, perjanjian adalah

hubungan hukum / rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan

disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan / persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum perdata.


(20)

Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak lainnya memikul kewajiban menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari

verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai

schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan mempunyai karakter yang paling mutlak. Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang.

Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam

perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan

hukum/rechthandeling. Sekalipun yang menjadi objek atau voorwerp itu

merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht

dengan hukum perjanjian sebagai berikut :

1. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi


(21)

2. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, inviolable et sacre.

3. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya

atas benda tersebut.

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak yang relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan

hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara

orang-orang tertentu saja.

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “ inviolable et sacre “ dan memiliki droit de suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, buku II KUH Perdata tidak dinyatakan berlaku lagi.

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan juga pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.


(22)

Seperti yang dikemukakan, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada persoon

tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum. Pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian :

1. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua

orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

2. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata,

dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).6

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur .schuldenaar menyelesaikan pelaksanaan kewajiban / prestasi yang mereka perjanjikan.

Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa.

Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat

dipaksakan. Kekecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis.

6


(23)

Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. natuurlijke verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa.

Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara : 1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjnajian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti

natuurlijke verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.7

Dari rumusan di atas menerangkan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum yang lahir dari adanya kesepakatan antara dua belah pihak atau lebih, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya pada pihak yang lain untuk memenuhi prestasi yang terletak pada lapangan harta kekayaan dan pihak kedua berhak untuk menuntut prestasi yang disepakati bersama. Sehingga dapat rumusan bahwa unsur-unsur perikatan tersebut adalah :

1. Hubungan Hukum

Dimana hubungan antar pihak haruslah membawa akibat hukum dan dibenarkan oleh undang-undang. Hubungan hukum adalah hubungan-hubungan yang terjadi dalam lalu-lintas kegiatan masyarakat, dimana

7


(24)

hukum meletakkan hak pada suatu pihak dan meletakkan kewajiban pada pihak lain. Hal ini berarti bahwa apabila salah satu pihak tidak mematuhi aturan atau melanggar hubungan itu maka hukum akan memaksakan supaya hubungan tersebut terpenuhi atau dipulihkan kembali. Dengan demikian hubungan antara pihak haruslah membawa akibat hukum dan dibenarkan oleh undang-undang.

2. Para Pihak

Pihak yang berhak atas prestasi dan pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif atau pihak yang berhutang, mereka ini disebut subjek perikatan.

Hubungan hukum dalam suatu perjanjian terjadi antara pihak-pihak atau antara dua pihak sebagai subjek hukum, yaitu pihak yang aktif sebagai kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak yang pasif sebagai debitur yang berkewajiban memenuhi prestasi. Hukum dalam perjanjian perdata melekat prinsip pemaksaan, dimana apabila debitur tidak memenuhi prestasi secara sukarela, kreditur mempunyai hak untuk memaksakan pemenuhan prestasi tersebut. Pemenuhan prestasi dapat dipaksakan melalui alat kekuasaan atau pejabat pengadilan dengan mempergunakan produser yang ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Dan apabila kreditur ingkar janji, debitur juga mempunyai hak atas apa yang telah diperjanjikan dan mengadakan tuntutan untuk perjanjian yang telah disepakati. Selain itu kedua belah pihak juga dibebani dengan schuld yaitu


(25)

kewajiban melaksanakan prestasi dan haftung yaitu tanggung jawab secara hukum untuk memenuhi prestasi.

3. Prestasi

Prestasi merupakan sesuatu yang harus dipenuhi dan berhak untuk dituntut. Hak yang dilahirkan dari perjanjian itu bersifat hak relatif yang artinya hak

atas prestasi baru ada person tertentu, jika hak itu didasarkan pada

hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum namun ada pengecualiannya yaitu:

a Perjanjian bisa terjadi oleh karena suatu keadaan atau suatu kekayaan tertentu, sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara kedua orang tertentu misalnya pelanggaran kendaraan.

b. Oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata yang dapat dikonkritisasi sebagai perjanjian sekalipun tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu.

Dalam Pasal 1234 KUH Perdata Prestasi adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Kata sesuatu yang terjadi menjadi objek prestasi perjanjian berada pada lapangan hukum kekayaan. Sesuatu itu adalah sesuatu yang abstrak namun inilah yang akan dijadikan dan disepakati dalam isi perjanjian.

Tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Dari perkataan sesuatu inilah yang


(26)

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjian yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak.

Namun kebebasan dalam membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan norma hukum, ketertiban dan kesusilaan karena ini sangat menentukan keabsahan dari perjanjian tersebut.

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:8

1. Perjanjian timbal balik.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

Perjanjian tas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian bernama (benoemd, specified) dan perjanjian tidak bernama

(onbenoemd, unspecified).

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling

8


(27)

banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di masyarakat.

Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian ini adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian campuran (contractus sui generis).

Sehubungan dengan perbedaan di atas perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa), tetapi menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai paham.

a. Mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus

diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generis).

b. Mengatakan bahwa ketentuan yang dipakai adalah

ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorpsi).

c. Mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang


(28)

undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi). 5. Perjanjian obligatoir.

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUH Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan perjanjian jual belinya itu

dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban

(obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan (levering). Penyerahnnya sendiri merupakan perjanjian kebendaan.

6. Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst).

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan/ diserahkan (Transfer of title) kepada pihak lain.

7. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata). Namun demikian di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini


(29)

dinamakan perjanjian riil yang merupakan peninggalan Hukum Romawi. 8. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.

a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan

diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding) Pasal 1438 KUH Perdata.

b. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara

para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774

KUH Perdata.

d. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya

dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintahan), misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah (Keppres No. 29 tahun 1984).

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai suatu hal tertentu


(30)

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang–orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, di penjual mengingini sesuatu barang si penjual.9

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal - hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.

Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

10

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif,

9

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1985, hal. 7.

10


(31)

dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

Mengenai kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang – barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjiann itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa


(32)

barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang

sama namanya”.11

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu

Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.

Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya.

11


(33)

rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan :

1. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara

sah.

2. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinayatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :

1. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan

3. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi

kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu

sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum


(34)

harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konskwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata


(35)

tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyafi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat pada orang – orang yang tidak di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang


(36)

diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu.

“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum”.12

“Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu kedaan belaka. Dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu”.

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu :

13

12

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 94. 13

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1984, hal. 36. Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.


(37)

“Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang”.

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

C. Akibat Perjanjian

Undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.


(38)

Dengan istilah semua pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bersama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama. Di dalam istilah semua itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas partij autonomie.14

1. Isi perjanjian,

Dengan istilah sesecara sah pembentuk undang-undang hendak menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat. Yang dimaksud dengan secara sah disini ialah bahwa perbuatan perjanjian harus mengikuti apa yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Akibat dari apa yang diuraikan pada ayat 1 tadi melahirkan apa yang disebut pada ayat (2), yaitu perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali kesepakatan antara keduanya. Dalam ayat 1 dan ayat 3 terdapat asas kedudukan yang seimbang diantara kedua belah pihak.

Undang-undang mengatur tentang isi perjanjian dalam Pasal 1329 KUH perdata. Dari dua ketentuan ini, disimpulkan bahwa isi perjanjian terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut :

2. Kepatuhan

3. Kebiasaan.

Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di dalam perjanjian itu. Kepatuhan adalah ulangan dari kepatuhan yang

14


(39)

terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

Kebiasaan adalah yang diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata berlainan dengan yang terdapat dalam Pasal 1347 KUH Perdata. Kebiasaan yang tersebut dalam Pasal 1339 KUH Perdata bersifat umum, sedangkan yang disebut Pasal 1327 KUH perdata ialah kebiasan yang hidup di tengah masyarakat khusus (bestending gebruikelijk beding), misalnya pedagang.

Yang dimaksud dengan undang-undang di atas adalah undang-undang pelengkap, undang-undang yang bersifat memaksa tidak dapat dilanggar oleh para pihak.

Urutan isi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata, mengenai keputusan peradilan mengalami perubahan sehingga urutan dari elemen isi perjanjian menjadi sebagai berikut :

1. Isi perjanjian

2. Undang-undang

3. Kebiasaan

4. Kepatuhan

Hal ini didasarkan pada Pasal 3 A.B (Algemene Bepalingen) yang

menentukan bahwa kebiasaan hanya diakui sebagai sumbe hukum jika ditunjuk oleh undang-undang.

D. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit


(40)

namun semua pendapat tersebut mengarah kepada suatu tujuan yaitu kepercayaan.

Kredit menurut etimologi berarti “percaya, karena pihak yang memperoleh kredit pada dasarnya, adalah pihak yang memperoleh kepercayaan”.

Dalam perkembangannya kata kredit berubah makna menjadi pinjaman. Memang diakui bahwa pinjaman yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur dilandasi kepercayaan, bahwa pada suatu waktu tertentu pinjaman tersebut dikembalikan ditambah imbalan jasa tertentu.

“Dalam pengertian kredit ada terdapat pengertian transfer antara waktu sekarang dengan waktu yang akan datang. Dengan demikian didefinisikan sebagai suatu hak untuk menggunakan uang dalam batas waktu tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu “.15

Pinjaman yang diberikan (kredit) ialah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal, pihak peminjam

Istilah kredit berasal dari kata bahasa Romawi “credere” dan berarti kepercayaan. Dasar dari kredit adalah kepercayaan bahwa pihak lain ada pada masa yang akan datang akan memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. Apa yangdijanjikan untuk dipenuhi itu dapat berupa : barang, uang atau jasa “.

15


(41)

berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan .

Kredit berarti suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi.

Pada hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, yang berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh Bank sebagai pemberi kredit, dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh si penerima kredit sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama.

Berdasarkan pengertian kredit seperti tersebut di atas, maka ditarik suatu kesimpulan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pemberian kredit adalah :

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan si pemberi kredit (bank) bahwa prestasi

(uang) yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dari si penerima kredit pada suatu masa yang akan datang.

b. Waktu, yaitu jangka waktu antara saat pemberian prestasi dengan saat

pengembaliannya.

Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian tentang nilai agio uang yaitu nilai uang sekarang lebih berharga daripada uang di masa yang datang.

c. Resiko, yaitu risiko sebagai akibat yang akan dapat timbul pada

pemberian kredit. Guna menghindari risiko, maka sebelum kredit diberikan harus dilakukan penilaian secara cermat dan dilindungi dengan agunan/jaminan kredit sebagai benteng terakhir dalam pengamanan kredit.

d. Prestasi, dalam hubungannya dengan pemberian kredit. Yang dimaksud dengan prestasi adalah uang.16

16


(42)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli

Untuk mengetahui pengertian perjanjian jual beli ada baiknya dilihat Pasal 1457 KUH Perdata yang menentukan “jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga”.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan “jual beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang,

dan pihak lain berwajib membayar harga, yang dimufakati mereka berdua”.17

Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan “ jual

beli adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikat diri kepada pihak

lainnyam pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang”.18

Sedangkan R.M. Suryodiningrat mengemukakan jual beli itu ialah perjanjian/persetujuan/kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda/barang kepada pihak lainnya (pembeli)

17

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

Op.Cit, hal. 17. 18

R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1996, hal. 14.


(43)

yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.19

- Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli,

Dari pengertian yang diberikan Pasal 1457 KUH Perdata di atas, perjanjian jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban :

- Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada

penjual.20

B. Saat Terjadinya Jual Beli

Pasal 1458 KUH perdata dinyatakan bahwa “ jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar “.

Pasal 1458 KUH Perdata ini menunjukkan bahwa jual beli itu mempunyai sifat konsensual yaitu karena jual beli itu dilahirkan sebagai suatu perjanjian jual beli yang sah yang mengikat pihak-pihak dan mempunyai kekuatan serta daya hukum pada saat tercapainya kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu jenis barang dan patokan harga, walaupun jual beli ini mengenai barang yang bergerak atau tidak bergerak.

19

Ibid, hal. 15. 20


(44)

Jual beli dalam sistem obligatoir, apabila barang telah dijual tetapi belum ada penyerahan kepada pembeli, tetapi barang yang dijual itu kemudian dijual kembali untuk yang kedua kalinya oleh si penjual, dan diserahkan kepada pembeli kedua (2), maka barang tidak menjadi milik pembeli kedua, tegasnya apabila A selaku penjual, menjualkan barangnya kepada B, selaku pembeli yang pertama, sebelum barang diserahkan kepada B, A menjualkannya kembali kepada C, selaku pembeli yang kedua, di dalam sistem

obligatoir, perbuatan A, tidak dibenarkan, hal ini seperti yang dimuat di dalam Putusan Mahkamah Agung tertanggal 19 Juni 1973, No. 101 K/Sip/63 di dalam perkara ini PT. Daining diputuskan oleh Mahkamah Agung telah menyalahi janjinya untuk menjual sebuah pabrik kepada PT. Ichsani, dalam perkara ini Mahkamah Agung tidak membenarkan Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, bahwa dengan penyetoran uang harga pabrik tersebut oleh tergugat dalam kasasi (PT. Ichsani) di suatu bank atas rekening penjual, dengan sendirinya pabrik sudah menjadi milik tergugat dalam kasasi, dan juga penyerahan kepada PT. Ichsana tidak mungkin dilaksanakan karena pabrik tidak lagi berada di tangan PT. Daining.

Sifat obligatoir ini sangat berlainan sekali dengan Code Civil Prancis, yang menyatakan bahwa hak milik atas barang-barang yang dijual adalah sudah berpindah ke tangan pembeli pada waktu persetujuan jual beli diadakan, sedangkan dalam hukum adat di Indonesia, perincian-perincian pengertian


(45)

Menurut hukum adat Indonesia yang dinamakan jual beli, bukanlah persetujuan belaka, yang berada di antara kedua belah pihak, tetapi adalah suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik, atas barang itu dengan syarat pembayaran hanya tertentu, berupa uang oleh pembeli kepada penjual.

Dengan demikian dalam hukum adat setiap hubungan jual beli tidak mengikat kepada asas atau sistem obligatoir, atau sistem/ asas yang lainnya.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa :

Dalam hukum adat ada juga persetujuan antara kedua belah pihak yang berupa mufakat tentang maksud untuk memindahkan hak milik dari tangan penjual ke tangan pembeli dan pembayaran yang harga pembelian oleh pembeli kepada penjual, tetapi persetujuan itu hanya bersifat pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum tertentu yaitu berupa penyerahan tadi. Selama penyerahan barang belum terjadi, maka belum ada jual beli, dan pada hakekatnya belum ada mengikat apa-apa bagi kedua belah pihak.21

21

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 18.

Tentang perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUH Perdata). Jual beli tiada lain daripada persesuaian kehendak (wis overeenstemming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan hargalah yang menjadi essensial perjanjian jual beli. Tanpa ada barang yang hendak dijual, tidak mungkin terjadi jual beli. Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, jual beli dianggap tidak ada.


(46)

Cara dan terbentuknya perjanjian jual beli, bisa terjadi sevata openbar/terbuka, seperti yang terjadi pada penjualan atas dasar eksekutorial atau yang disebut excutoriale verkoop. Penjualan eksekutorial mesti dilakukan melalui lelang di muka umum oleh pejabat kantor lelang. Akan tetapi cara dan bentuk penjualan eksekutorial yang bersifat umum ini, jarang sekali terjadi. Penjualan demikian harus memerlukan keputusan pengadilan, karena itu jual beli yang terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat sehari-hari, adalah jual beli antara tangan ke tangan, yakni jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak resmi, dan tidak perlu di muka umum. Bentuk jual belinya, terutama jika objeknya barang-barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan, kecuali mengenai benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak pada umumnya, selalu memerlukan bentuk akta jual beli. Tujuan akta ini hanya sekedar mempelajari jual beli itu dengan keperluan penyerahan yang kadang-kadang memerlukan penyerahan yuridis di samping penyerahan nyata.

C. Kewajiban Si Penjual dan Si Pembeli

Dalam pembahasan sub bab ini tidak akan dibahas tentang hak-hak para pihak, baik itu penjual maupun pembeli, karena dari adanya kewajiban masing-masing pihak maka akan melahirkan hak pula disisi lainnya.

1. Kewajiban Penjual


(47)

KUH Perdata. Penjual wajib menegaskan dengan jelas untuk apa ia mengikatkan diri dalam persetujuan jual beli, lebih lanjut pasal tersebut memberikan segala sesuatu yang kurang jelas dalam persetujuan jual beli, atau yang mengandung pengertian kembar, harus diartikan sebagai maksud yang merugikan bagi pihak penjual.

Ketentuan penafsiran yang merugikan penjual ini seolah-olah bertentangan dengan ketentuan umum. Penjual yang dibebani kewajiban untuk menyerahkan barang ditinjau dari segi ketentuan umum hukum perjanjian, adalah berkedudukan sebagai pihak debitur. Menurut ketentuan umum, pihak debiturlah yang harus selalu diperlindungi, akan tetapi rasionya terletak pada hakekat jual beli itu sendiri. Umumnya pada jual beli, pihak penjual selamanya yang mempunyai kedudukan lebih kuat dibanding dengan kedudukan pembeli yang lebih lemah. Jadi penafsiran yang membebankan kerugian pada penjual tentang pengertian persetujuan yang kurang jelas atau yang mengandung

pengertian kembar, tidak bertentangan dengan ketertiban umum (openbare

orde).

Pasal 1473 KUH Perdata tidak menyebut apa-apa yang menjadi kewajiban pihak penjual, kewajiban itu baru dapat dijumpai pada pasal berikutnya, yakni Pasal 1473 KUH Perdata pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal tersebut terdiri dari dua :

- Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli,


(48)

bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan.

Penyerahan barang dalam jual beli, merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada penyerahan barang tadi diperlukan penyerahan yuridis (juridische levering) di

samping penyerahan nyata (feitelijke levering), agar pemilikan pembeli

menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan penyerahan tersebut (Pasal 1475 KUH Perdata). Misalnya penjualan rumah atau tanah. Penjual menyerahkan kepada pembeli, baik secara nyata maupun secara yuridis,

dengan jalan melakukan akte balik nama (overschrijving) dari nama penjual

kepada nama pembeli. Penyerahan nyata yang dibarengi dengan penyerahan juridis, umumnya terdapat pada penyerahan benda-benda tidak bergerak. Lain halnya denga benda-benda bergerak. Penyerahannya sudah cukup sempurna dengan penyerahan nyata saja (Pasal 612 KUH Perdata).

Mengenai ongkos penyerahan barang yang dijual, diatur dalam Pasal 1476 KUH Perdata.

- Ongkos penyerahan barang ditanggung oleh penjual,

- Biaya untuk datang mengambil barang dipikul oleh pembeli.

Namun demikian kedua belah pihak dapat mengatur lain, di luar ketentuan yang disebut di atas. Pasal 1476 KUH Perdata itu sendiri ada menegaskan, ketentuan pembayaran ongkos penyerahan yang dimaksud Pasal 1476 KUH Perdata tadi berlaku, sepanjang para pihak penjual dan pembeli


(49)

tidak memperjanjikan lain. Malah kalau dalam praktek sering ditemukan tidak dijumpai, pembelilah yang menanggung semua ongkos penyerahan barang. Atau sering juga penjual yang menanggung ongkos penyerahan. Jika demikian halnya, sedikit banyak harga penjualan akan lebih tinggi dari jika pembeli yang menanggung ongkos penyerahan.

Jika para pihak tidak menentukan tempat penyerahan dalam persetujuan jual beli, maka penyerahan dilakukan di tempat terletak barang yang dijual pada saat persetujuan jual beli terlaksana. Ketentuan ini terutama jika barang yang dijual terdiri dari benda tertentu (bepaalde zaak). Bagi jual beli barang-barang di luar barang-barang tertentu tertentu, penyerahan dilakukan menurut ketentuan Pasal 1393 ayat (2) KUH Perdata : penyerahan dilakukan di tempat tinggal kreditur, dalam hal ini di tempat pembeli.

Adapun barang yang diserahkan harus dalam keadaan sebagaimana adanya pada saat persetujuan dilakukan. Serta mulai saat terjadinya penjualan, segala hasil dan buah yang timbul dari barang, menjadi kepunyaan pembeli (Pasal 1481 KUH Perdata). Berarti sejak terjadinya persetujuan jual beli, pembeli berhak atas segala hasil dan buah yang dihasilkan barang, sekalipun barang belum diserahkan kepada pembeli. Hal ini erat sekali hubungannya dengan ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata. Yakni sejak terjadinya persetujuan jual beli, risiko atas barang telah berpindah menjadi tanggungan pembeli, sekalipun barangnya belum diserahkan kepadanya, dan penjual sejak saat itu berhak menuntut pembayaran atas harga kemusnahan barang. Atas


(50)

pembebanan risiko yang demikian, tentu pantas untuk mensejajarkannya dengan kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh dari benda sejak persetujuan jual beli diadakan, dan menjadi hak pembeli sekalipun barangnya belum diserahkan. Karena itu semua hasil atau buah yang timbul sebelum saat penyerahan harus dipelihara dan diurus oleh penjual sebagaimana layaknya seorang bapak yang berbudi baik.

2. Kewajiban Pembeli

Adapun kewajiban pembeli adalah :

a. Kewajiban membayar harga (Pasal 1513 KUH Perdata)

Kewajiban membayar harga merupakan kewajiban yang paling utama bagi pihak pembeli. Pembeli harus menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penyerahan barang. Jual beli tidak akan ada artinya tanpa pembayaran harga. Itulah sebabnya Pasal 1513 KUH Perdata sebagai pasal yang menentukan kewajiban pembeli dicantumkan sebagai pasal pertama, yang mengatur kewajiban pembeli membayar harga barang yang dibeli. Oleh karena itu sangat beralasan sekali menganggap pembeli yang menolak melakukan pembayaran berarti telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig).

b. Tempat pembayaran.

Tempat dan saat pembayaran pada prinsipnya bersamaan dengan tempat dan saat penyerahan barang. Inilah prinsip umum mengenai tempat dan saat pembayaran. Tempat dan saat pembayaran yang utama harus


(51)

dilakukan di tempat dan saat yang telah ditentukan dalam persetujuan. Jika tempat dan saat pembayaran tidak ditentukan dalam perjanjian, barulah dipedomani prinsip umum di atas. Yakni pembeli wajib melakukan pembayaran di tempat dan saat dilakukan penyerahan barang.

Atas dasar aturan yang diuraikan, maka dapat dilihat :

1) Pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal pembeli. Hal ini sesuai

dengan ketentuan, bahwa penyerahan atas barang generik dilakukan di tempat tinggal / kediaman pembeli.

2) Pembayaran barang-barang tertentu dilakukan di tempat dimana

barang tertentu tadi terletak ataupun di tempat penjual. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1429 KUH Perdata, yang menentukan penyerahan atas barang-barang tertentu harus dilakukan di tempat dimana barang tertentu terletak ataupun di tempat kediaman penjual. Ketentuan Pasal 1514 KUH Perdata, yang menentapkan pembayaran harus dilakukan di tempat penyerahan barang, bertujuan agar pembayaran dan penyerahan barang yang dibeli, terjadi bersamaan

dalam moment yang sama, sehingga pembayaran dan penyerahan

barang terjadi serentak pada tempat dan saat yang sama.

c. Hak Menunda pembayaran.

Hak menangguhkan / menunda pembayaran terjadi sebagai akibat gangguan (stornis) yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya. Gangguan itu berupa gugatan/tuntutan berupa hak hipotik pihak ketiga


(52)

yang masih melekat pada barang. Gangguan itu sedemikian rupa sehingga pembeli benar-benar terganggu menguasai dan memiliki barang tersebut. Hak menunda pembayaran sengaja diberikan kepada pembeli, demi untuk kepentingan pembeli atas kesewenangan penjual yang tidak bertanggung jawab atas jaminan barang yang dijualnya terbebas dari gangguan dan pembebanan. Oleh karena itu hak menangguhkan pembayaran akibat gangguan baru berakhir sampai ada kepastian lenyapnya gangguan. Hal yang mengalami gangguan hanya sebagian saja, bagaimana penyelesaiannya. Peristiwa seperti ini tidak ada diatur di dalam Pasal 1516 KUH Perdata. Dengan demikian, jika yang terganggu hanya sebahagian saja pembeli dapat memilih :

a. Menuntut pembatalan jual beli,

b. Jual beli jalan terus, dan menangguhkan pembayaran hanya untuk

sejumlah harga bahagian yang terganggu saja.

Atas kebijaksanaan mempergunakan analogi tersebut, dengan sendirinya telah dapat diatasi permasalahan penangguhan pembayaran atas gangguan yang terjadi atas sebagian barang. Yakni jual beli bisa dilanjutkan dengan jalan menunda pembayaran hanya sebesar harga bahagian barang yang terganggu. Selebihnya dapat dilunasi penjual. Bagaimana halnya, jika pembeli tidak melunasi pembayaran atau menangguhkan pembayaran tanpa alasan ? Gangguan maupun cacat tidak ada, namun pembeli tidak mau melakukan pembayaran. Menurut Pasal 1517 KUH Perdata, penjual dapat


(53)

menuntut pembatalan jual beli sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Sebenarnya Pasal 1517 ini sudah agak berlebihan. Sudah cukup jelas dipergunakan alasan wanprestasi atas dasar moral kreditur. Sebab keingkaran melakukan pembayaran telah menempatkan pembeli dalam keadaan lalai (mora). Sedangkan keadaan lalai itu sendiri adalah dasar hukum untuk menempatkan seseorang dalam keadaan wanprestasi.

Apa yang diterangkan di atas, menyangkut pembatalan jual beli atas barang-barang tidak bergerak, jika pembeli enggan membayar harga barang. Kalau obyek jual belinya terdiri dari barang-barang yang bergerak (barang-barang biasa, perabotan rumah tangga dan sebagainya), jika dalam persetujuan telah ditetapkan jangka waktu tertentu bagi si pembeli untuk mengambil barang dan waktu tersebut tidak ditepati oleh si pembeli, jual beli dengan sendirinya batal menurut hukum tanpa memerlukan teguran lebih dulu dari pihak penjual atau disebut wanprestasi zonder rechtelijke toessennkomst (Pasal 1518 KUH Perdata).

D. Risiko Dalam Perjanjian Jual Beli

Risiko atas barang objek jual beli terdapat perbedaan sesuai dengan sifat keadaan barang yang menjadi objek jual beli yaitu :

1. Objek jual beli terdiri dari barang tertentu (een zeker en bepaalde


(54)

Jika objek jual beli terdiri dari barang tertentu, risiko atas barang berada pada pihak pembeli terhitung sejak saat terjadinya persetujuan pembelian. Sekalipun penyerahan barang belum terjadi, penjual menuntut pembayaran harga seandainya barang musnah (Pasal 1460 KUH Perdata).

Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, jual beli mengenai barang tertentu, sekejap setelah penjualan berlangsung, risiko berpindah kepada pembeli.

Seandainya barang yang hendak di levering lenyap, pembeli tetap wajib

membayar harga. Hanya saja ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata di atas adalah hukum yang mengatur bukan hukum yang memaksa, karenanya ketentuan tersebut dapat dikesampingkan oleh persetujuan.

Sebenarnya adalag lebih memenuhi logika, bahwa dalam perjanjian timbal balik seperti pada jual beli apabila salah satu prestasi gugur, dengan sendirinya prestasi yang lainpun harus gugur. Dengan demikian lebih masuk akal, jika barang yang dijual musnah sebelum diserahkan pada pembeli, gugurlah kewajiban pembeli untuk membayar harga. Lebih menentukan risiko dalam jual beli barang tertentu, tetap berada pada pihak penjual selama barang belum diserahkan pada pembeli. Paling tidak risiko kemusnahan barang tidak menyebabkan pembeli harus membayar harga. Ganjil sekali rasanya pembeli dibebani membayar harga barang yang musnah. Bagaimana dapat diterima akal, jika tetap ada kewajiban membayar sesuatu yang telah musnah nilainya.


(55)

dengan Pasal 1237 KUH Perdata yang menentukan sejak terjadinya perjanjian, barang yang hendak diserahkan menjadi keuntungan bagi pihak kreditur. Jika debitur melakukan kealpaan, debitur harus menanggung kealpaan, terhitung sejak debitur melakukan kealpaan tersebut. Pasal 1460

KUH Perdata merupakan lex spesialis ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata

sebagai lex generalis.

Pasal 1460 KUH Perdata itu sendiri belum dapat memberi jawaban atas semua keadaan, terutama atas persoalan jika barang yang menjadi objek jual beli tadi benar-benar tidak dapat diserahkan, bukan karena barangnya musnah. Misalnya barangnya tidak dapat diserahkan atas alasan impossibilitas objektip, umpamanya, karena adanya larangan pemerintah menjual barang tersebut atau karena barang itu dicabut (onteigening) oleh pemerintah. Apakah dalam peristiwa-peristiwa yang seperti ini pembeli masih tetap diwajibkan membayar harga ? Kalau dalam hal-hal seperti inipun pembeli tetap wajib membayar harga, benar-benarlah Pasal 1460 merupakan ketentuan undang-undang yang paling merugikan bagi pembeli barang tertentu.

2. Objek jual beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan

bilangan atau ukuran, risiko atas barang, tetap berada di pihak penjual, sampai pada saat barang itu ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1461 KUH Perdata.


(56)

barang-barang menjadi risiko pembeli, meskipun barang-barang itu belum ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1462).

Memperhatikan ketentuan Pasal 1461 KUH Perdata, risiko jual beli atas barang-barang generik tetap berada pada pihak penjual sampai saat barang-barang itu ditimbang, diukur atau dihitung. Dengan syarat jika barang generik tadi dijual tidak dengan tumpukan. Apabila barangnya dijual dengan tumpukan/onggokan, barang menjadi risiko pembeli, sekalipun belum dilakukan penimbangan, pengukuran atau perkiraan.


(57)

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN SECARA KREDIT PADA PT. ARABAN

MAKMUR SEMESTA

A. Bentuk dan Isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Perumahan Pada PT.

Araban Makmur Semesta

Bentuk dalam perjanjian di PT. Araban Makmur Semesta seorang pembeli bila akan membeli rumah maka akan menjumpai dokumen-dokumen yang penting yaitu :

1. Perjanjian pengikatan jual beli, disingkat PPJB (nama lainnya seperti :

Perjanjian Pendahuluan Pembelian, perjanjian Akan Jual Beli) antara PT. Araban Makmur Semesta dan konsumen.

2. Akta jual beli yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) untuk mengalihkan atau memecah pemilikan tanah dan rumah dari PT. Araban Makmur Semesta kepada setiap konsumen.

3. Perjanjian kredit pemilikan rumah dari Bank Pemberi KPR.22

Dokumen yang pertama merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara pengembang dan konsumen, dimana PT. Araban Makmur Semesta mengikatkan diri untuk menjual rumah dan tanah kepada konsumen, sedangkan konsumen membeli rumah dari PT. Araban Makmur Semesta dengan kewajiban membayar harga

22

Hasil Wawancara Dengan Bapak Efendi Hamdani, Selaku Kepala Pemasaran PT. Araban Makmur Semesta, tanggal 22 Juni 2013.


(58)

jualnya dalam bentuk angsuran uang muka dan sisanya diselesaikan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah.

Sedangkan dokumen yang ketiga menunjukkan adanya hubungan hukum antara konsumen dengan bank pemberi KPR, antara lain diatur jumlah pinjaman, jangka waktu pelunasan KPR, besarnya atau sistem perhitungan bunga pinjaman. Keberadaan dokumen-dokumen itu sangat penting untuk mengupayakan sejauhmana perlindungan konsumen diakomodasikan dalam instrumen hukum perdata ini. Pemahaman sejak awal terhadap dokumen-dokumen itu sangat penting, terutama sekali sebelum membeli rumah.

Adanya praktek jual beli rumah yang masih dalam tahap pembangunan atau dalam tahap perencanaan ditampung atau diakomodasikan dengan dokumen hukum perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Dasar pemikiran hukumnya, PPJB bukanlah perbuatan hukum jual beli yang bersifat riil dan tunai. PPJB merupakan kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing di kemudian hari yakni pelaksanaan jual beli di hadapan PPAT, bila bangunan telah selesai bersertifikat dan layak huni.

Tak jarang harga jual yang sudah disepakati ternyata tidak diikuti dengan pelayanan yang baik kepada konsumen perumahan, misalnya : kualitas bangunan, pelayanan pra jual maupun purna jual, dan sebagainya. Keadaan ini sering membuat konsumen kecewa dan mengadukan permasalahan-permasalahan yang dialaminya, baik di media massa maupun lewat lembaga-lembaga perlindungan konsumen. Seringkali penyelesaian keluhan/komplain


(59)

konsumen itu tidak wajar bagi konsumen, bahkan sangat mengecewakan, disebabkan dasar untuk menyelesaikan keluhan itu, yaitu PPJB diduga tidak memberikan perlindungan hukum bagi konsumen.

Oleh karena PPJB dibuat oleh perusahaan pengembang yang dalam hal ini PT. Araban Makmur Semesta, faktor subjektivitas pengembang sangat mempengaruhi kepentingan-kepentingannya di dalam PPJB. Sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di dalam PPJB itu. Meskipun sudah ada Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman (disingkat UU Rukim), kepentingan konsumen tak terlindungi. Pada umumnya, kontrak standar dibuat dan dipersiapkan oleh pihak yang secara ekonomi kedudukannya lebih baik/kuat dari pihak lainnya, misalnya dalam hubungan antara nasabah dengan pihak bank, pada umumnya kontraknya sudah dibuat secara standar/baku oleh bank, sedangkan nasabah tinggal menandatanganinya. Demikian pula dalam hubungan antara pengembang dengan konsumen. PPJB sudah dipersiapkan secara baku dan sepihak oleh pengembang atau kuasa hukum pengembang. Sedangkan konsumen tinggal menandatanganinya. Jika setuju, jika tidak konsumen dapat meninggalkannya atau mengabaikannya. Tidak jarang konsumen harus terlebih dahulu membayar uang tanda jadi baru kemudian disodori PPJB-nya. Padahal pada hakikatnya uang tanda jadi tak lain adalah sebagian pembayaran angsuran uang muka.23

23

Hasil Wawancara Dengan Bapak Efendi Hamdani, Selaku Kepala Pemasaran PT. Araban Makmur Semesta, tanggal 22 Juni 2013.


(60)

Pihak yang memiliki kedudukan lebih baik memiliki peluang besar untuk melakukan penyalahgunaan keadaan. Artinya, secara leluasa ia dapat memasukkan semua kepentingannya dalam PPJB. Sebaliknya ia dapat menganulir kepentingan-kepentingan konsumen. Aplikasi PPJB ini menimbulkan permasalahan-permasalahan yang sangat merugikan konsumen, misalnya, menyangkut janji-janji pengembang dalam brosur/iklan, praktek pemasaran rumah pada tahap pra transaksi dan tahap purna transaksi.

Sejumlah ketidak adilan dalam klausula-klausula PPJB. Pertama akibat keterlambatan pembayaran yang dialami konsumen. Klausula –klausula dalam PPJB menentukan bahwa konsumen harus membayar penalti (denda) yang tinggi, bahkan menghadapi pembatalan perjanjian. Ada pula PPJB yang menegaskan bahwa di samping harus membayar penalti, juga diikuti dengan pembatalan perjanjian dengan tanpa pengembalian sebagian atau seluruh uang muka yang sudah dibayarkan. Dalam hubungan ini, bila pengembang yang terlambat menyelesaikan atau menyerahkan bangunan, akibat yang dialaminya hanya sebatas penalti, atau bahkan akibat yang dialami pengembang tidak diatur sama sekali dalam PPJB. Kerugian-kerugian akibat keterlambatan itu, juga tak diperhitungkan. Tak hanya itu masalah yang dialami konsumen. Meskipun harga rumah berikut tanah telah dibayar lunas, dokumen-dokumen pemilikan rumah dan tanah, seperti sertifikat hak guna bangaunan pecahan dan izin mendirikan bangunan belum diberikan atau diserahkan kepada konsumen.


(61)

Kedua, pembatasan tanggung jawab pengembang atas klaim/tuntutan konsumen. Dalam praktek, penerapannya dilakukan dengan mencantumkan klausula-klausula dalam PPJB yang pada intinya menetapkan suatu tenggang waktu untuk mengajukan klaim atas kondisi atau mutu bangunan atau hal-hal lain yang diperjanjikan pengembang. Biasanya dalam PPJB dicantumkan klausula-klausula bahwa konsumen dapat mengajukan klaim kepada pengembang dalam waktu 90 hari atau 100 hari setelah serah terima bangunan, khususnya klaim mengenai kondisi atau kualitas bangunan, termasuk dalam hal ini masalah cacat tersembunyi. Lewat dari waktu yang ditetapkan secara sepihak itu, klaim/tuntutan apapun tak dilayani. Pembatasan ini tak adil bagi konsumen. Tenggang waktu 90 hari atau 100 hari hanya cukup untuk meneliti kondisi atau kualitas bangunan yang terlihat kasat mata.

Untuk mengetahui cacat-cacat tersembunyi pada bangunan, seperti konstruksi bangunan, penggunaan semen yang tidak sesuai dengan perbandingan dan sebagainya, tak cukup dalam tenggang waktu itu. Klaim konsumen tentang konstruksi bangunan tak dilayani pengembang setelah melampaui jangka waktu itu. Ini sama saja mengabaikan hak konsumen untuk mendapatkan barang atau jasa sesuai nilai tukar yang diberikannya.

Dalam keadaan ini, pihak yang lebih kuat kedudukannaya (pengembang menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri sedapat mungkin membatasi atau menyampingkan tanggung jawabnya, termasuk pula dalam


(62)

hal-hal adanya cacat-cacat tersembunyi (hidden defects) pada objek perjanjian. Undang-Undang Pasal 1493 KUH perdata memang memungkinkan untuk mengurangi kewajiban salah satu atau kedua belah pihak. Pasal 1493 KUH perdata menentukan sebagai berikut :

Kedua belah pihak diperbolehkan, dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas, atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun.

Ketentuan ini sering digunakan untuk memojokkan konsumen secara hukum, padahal pasal selanjutnya (Pasal 1494 KUH perdata menegaskan bahwa :

Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu apapun, namun ia tetap bertanggungjawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal.

Untuk hal yang demikian maka dikeluarkanlah oleh pemerintah Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1994 tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional (BKP4N). Tugas pokok badan tersebut adalah :

1. Menyiapkan rumusan kebijaksanaan di bidang pembangunan perumahan

dan pemukiman,


(1)

perlindungan bagi para pihak yang hendak melakukan transaksi jual beli perumahan. Oleh karena itu dapat dikatakan PPJB menjadi jaminan awal bagi para pihak untuk melindungi kepentingan mereka nantinya.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bentuk dan isi perjanjian pengikatan jual beli perumahan PT. Araban Makmur Semesta dalam hal memberikan perlindungan kepada konsumen pada dasarnya dilakukan secara tertulis, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk tiga kategori pengikatan yaitu perjanjian pengikatan jual beli dan dibuatnya akta jual beli, kedua pengikatan tersebut dilakukan antara konsumen dengan pihak pengembang, serta perjanjian kredit pemilikan rumah yang dilangsungkan antara konsumen dengan pihak bank. Meskipun penuangan bentuk dan isi perjanjian pengikatan jual beli perumahan dibuat secara tertulis tetapi pada dasarnya keberadaan isi perjanjian tersebut hanya melindungi kepentingan pengembang saja dan melupakan kepentingan hukum konsumen.

2. Upaya pengembang di dalam melindungi konsumen perumahan dilakukan dengan memberikan bank garansi pada konsumen atas risiko-risiko yang kelak terjadi, dimana risiko tersebut datangnya dari pihak pengembang. Dengan adanya bank garansi ini tuntutan ganti rugi yang dialami konsumen dapat dialihkan kepada perbankan sebagai akibat kelalaian atau kegagalan pengembang dalam menyelesaikan proyek pembangunan rumah.


(3)

3. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli rumah adalah secara bertimbal balik. Artinya kewajiban pihak pengembang (PT. Araban Makmur Semesta) menjadi hak konsumen perumahan. Demikian pula sebaliknya kewajiban konsumen menjadi hak pengembang. Adapun kewajiban pengemban meliputi menyerahkan hak milik atas rumah yang diperjual belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas rumah yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada pembeli. Sedangkan kewajiban Pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana dietapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tetang tempat dan waktu pembayaran maka si pembeli harus memmbayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan.

B. Saran

1. Dalam memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk konsumen perumahan khususnya, agar tercipta suatu kepastian hukum dan kepada lembaga juga diberikan wewenang untuk melakukan penuntutan kepada produsen termasuk pihak pengembang perumahan. 2. Dalam hal membuat suatu perjanjian pengikatan jual beli tanah serta


(4)

juga hak-hak konsumen sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 5 UU N0. 8 Tahun 1999 sehingga dengan demikian konsumen memiliki dasar yang kuat untuk melakukan penuntutan dan meminta ganti rugi apabila ia dirugikan oleh pihak pengembang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku:

Badrulzaman, Darus Mariam dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Barkatullah, Abdul Halim, 2010, Bisnis E-Commerce: Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fuady, Munir, 2001, Hukum Kontrak, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 2002, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar

Grafika, Jakarta.

Meliala, A. Qirom Syamsuddin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2006, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung.

---, 1984, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung. Rubaie, Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,

Bayumedia, Malang.

Sidabalok, Janus, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Paulinus Josua, Medan.

Suryodiningrat, R.M, 1996, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung.

Shofie, Yusuf, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.


(6)

B. Perundang-Undangan:

KUH Perdata

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Terhadap Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Proses Jual Beli Perumahan Secara Kredit ( Studi Pada PT. Araban Makmur Semesta

0 113 90

Analisis Hak Dan Kewajiban Para Pihak Pada Perjanjian Jual Beli Piutang Dalam Pembiayaan Anjak Piutang

15 106 166

Analisis Hukum Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing Dengan Objek Alat Berat (Pada Kontrak PT. Clipan Finance Indonesia Tbk. Dan PT. Dipo Star Finance)

1 37 129

Tinjauan Hukum Jual Beli Rumah Dalam Proses Kredit (Studi Pada PT Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar)

7 120 128

Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Beritikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli

3 76 72

Tinjauan Hukum Perjanjian Terhadap Tanggung Jawab Para Pihak Atas Wanprestasi Yang Terjadi Dalam Jual Beli Software Secara Elektronik

6 85 208

Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh

0 35 120

BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Jenis-Jenis Perjanjian - Tinjauan Hukum Terhadap Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Proses Jual Beli Perumahan Secara Kredit ( Studi Pada PT. Araban Makmur Semesta

0 0 24

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI PIUTANG DALAM PEMBIAYAAN ANJAK PIUTANG A. Dasar Hukum 1. Sejarah Anjak Piutang - Analisis Hak Dan Kewajiban Para Pihak Pada Perjanjian Jual Beli Piutang Dalam Pembiayaan Anjak Piutang

0 2 54

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hak Dan Kewajiban Para Pihak Pada Perjanjian Jual Beli Piutang Dalam Pembiayaan Anjak Piutang

0 0 20