Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM

PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN

DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

BPHTB DAN PPh

TESIS

Oleh

LINDA

067011048/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

S

E K O L AH P

A

S C

A S A R JA


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM

PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN

DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

BPHTB DAN PPh

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

LINDA

067011048/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA

PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN

KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPH

Nama Mahasiswa : Linda

Nomor Pokok : 0607011048

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Ketua

)

(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) (Dr. Budiman Ginting, SH, MHum

Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Ir. T .Chairun Nisa, B.M.Sc)


(4)

Telah Diuji Pada Tanggal

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Undang-Undang menentukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) hanya boleh menandatangani akta jual beli setelah kepadanya diserahkan fotocopi bukti pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) yang menjadi kewajiban penjual dan pembeli. Apabila PPAT yang melanggar ketentuan seperti yang disebut diatas, maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Meskipun Buku III KUHPerdata yang mengatur perihal perikatan (verbintenis) menyebutkan bahwa kesepakatan antara penjual dan pembeli saja sudah cukup mengikat dan menimbulkan kewajiban bagi penjual untuk menyerahkan tanah dan/atau bangunannya dan pembeli untuk menyerahkan uangnya sebesar yang telah disepakati, namun dari segi pembuktian yang diatur dalam Buku IV KUHPerdata menyebutkan khusus untuk jual beli wajib dilaksanakan dengan pembuatan akta otentik, dengan ancaman kebatalan bagi pihak-pihak yang melanggarnya. Pembuatan Akta Otentik oleh Pejabat Umum yang berwenang, baru bisa dilaksanakan apabila pajak yang berlaku bagi pengalihan tanah dan atau bangunan dilaksanakan sesuai ketentuan perpajakan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari penelitian ini adalah proses penerimaan BPHTB yakni pembatasan waktu penerimaan BPHTB sampai pukul 11.00 WIB (Sebelas Waktu Indonesia Bagian Barat).

Penelitian ini bersifat Deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, sementara untuk mendukung penelitian normatif, dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap layak dan mengetahui proses pembuatan akta jual beli tanah dan bangunan. Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan menggunakan metode deduktif serta disajikan dalam bentuk deskriptif.

Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa karena dengan adanya batas lokasi tempat pembayaran BPHTB sehingga mengakibatkan proses pembayaran pajak khususnya BPHTB untuk perbuatan hukum jual beli menjadi terhambat.Selain masalah pembayaran pajak BPHTB, kendala lain juga timbul dari wajib pajak. Kendala yang dimaksud adalah apabila salah satu pihak misalnya pihak penjual telah melakukan pembayaran pajak, tetapi pihak pembeli belum melakukan pembayaran pajak, agar pihak penjual dapat terlindungi maka dilakukan perjanjian jual beli. Mengenai kendala dalam pembayaran pajak BPHTB hendaknya dapat dilakukan melalui ATM (Automatic Teller Machine).

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan, PPh & BPHTB


(6)

ABSTRACT

The regulations had determined for a notary to sign a deed of established of trading only after a notary received the copies evidence of income tax payment and rights achievements of land and/or building fees which become the duty of seller and buyer. If there were a notary whom disobey the regulations mentioned above, than the punishment will be accused as fine amount Rp 7,500,000,- (seven millions and five hundreds thousands rupiahs). Even though civil code book III which regulate the commitment (verbintenis) mentioned that the agreement between seller and buyer party has just enough to tie up and occur the responsibility for the seller party to hand over land and/or building and for the buyer party to submitted the money as much as the deal, however seen from authentication point of view that had been regulated in civil code book IV mention specifically for trading the making the authentic of a deed of established is a must, followed by threat of abrogation to parties whom disobey it. The making of authentic a deed of established of, by an authority public notary can be accomplished whenever the prevail tax for transferring of land use and building is done as the taxation certain prevail. However the objective of this research is about the acceptance process of rights for land use and/or building fees that is acceptance time delimitation of rights for land use and/or building until 11.00 pm (Indonesian time zone).

The research is a descriptive research. The characteristics of the research that is used is normative juridical approach, mean while to support normative research, interviewed with a several capable sources that knowing well the making of a deed of established of trading the land an building process has been done. The main material for this research are secondary data by collecting the materials as law prime material, secondary and tertiary by using deductive method and displayed in descriptive form.

The result of this research revealed because of the delimitation of payment location has impacting to the tax payment process especially in law deed of trading is obstructed. Another obstacle is occurred from tax obligatory. The obstacle that purposed is whenever one of the parties for example the seller party had accomplished the tax payment, but at the buyer party had not accomplished the tax payment, in order to protect the seller party, the trading agreement need to be done. About the obstacle of rights achievements for land use and/or building tax payment wish it could be done through the ATM (Automatic Teller Machine).

Key Word: Law Protection, Land and/or Building trading, Income Tax and Rights Achievements for land use and/or Building fees


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan, kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNYA, dengan mengkaruniakan kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK

DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini penulis mendapat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak dan untuk itu penulis ingin mengaturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada: Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn dan Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Komisi Pembimbing.

Selanjutnya ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.


(8)

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Komisi Penguji yang telah memberikan masukan dan pengarahan demi memperkaya penulisan tesis ini. 5. Chadidjah Dalimunthe, SH, MHum, Selaku Komisi Penguji yang telah

memberikan masukan dan pengarahan demi memperkaya penulisan tesis ini. 6. Para Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera.

7. Para Notaris/PPAT, di wilayah Medan yang telah memberi kesempatan dan membantu penulis dalam penelitian juga telah memberi masukan dan saran-saran untuk mendukung penulisan tesis ini.

8. Para Staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan yang telah membantu dalam mengurus administrasi selama perkuliahan.

9. Kepada teman-teman seperjuangan lainnya yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan persahabatannya.

Secara khusus penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta SIAMIN dan ananda tersayang FELIX FANADY, dan Ibunda


(9)

tercinta serta keluarga besar penulis semuanya yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu, semoga do’a dan kasih sayang mereka tetap menyertai penulis.

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, Amin……….

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi kemajuan kita bersama. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan kita semua atas

perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2008 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Linda

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 05 Juni 1981

Alamat : Jalan Gatot Subroto Nomor 35 Medan

Pendidikan :

- S D : Tahun 1987 s/d 1993

SD Perguruan Kristen Kalam Kudus Medan, Sumatera Utara.

- S M P : Tahun 1993 s/d 1996

SMP Perguruan Kristen Kalam Kudus Medan, Sumatera Utara.

- S M A : Tahun 1996 s/d 1999

SMA Perguruan Kristen Kalam Kudus Medan, Sumatera Utara.

- Perguruan Tinggi / S 1 : Tahun 1999 s/d 2003

Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan, Sumatera Utara.

- Perguruan Tinggi / S 2 : Tahun 2006 s/d 2008

Sekolah Pascasarjana Program Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Permasalahan ... 12

C. Tujuan Penelitian... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 27

G. Metodologi Penelitian ... 38

1. Sifat Penelitian ... 38

2. Jenis Penelitian ... 39

3. Bahan-Bahan Penelitian ... 40


(12)

5. Analisis Data ... 41

BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh ... 43

A. Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan... 43

B. Pengertian Hukum Pajak dalam Peraturan Perpajakan yang Berlaku dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan Bangunan ... 60

C. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli Atas Jual Beli Tanah dan Bangunan ... 71

BAB III PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM KAITANNYA DENGAN BPHTB DAN PPh ATAS JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN 77

A. Peran PPAT Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Terhadap Setiap Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan 77

B. Prosedur dan Syarat-Syarat Pembayaran PPh dan BPHTB.. 86

BAB IV KENDALA DAN UPAYA MENGATASINYA DALAM PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh ATAS JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN... 93

A. Kendala-Kendala dalam Pembayaran BPHTB dan PPh ... 93

B. Upaya – Upaya Mengatasi dalam Kendala Pembayaran BPHTB dan PPh ... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 102


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Permasalahan

Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah

obyek pajak. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli. Bagi pihak penjual dikenakan Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disingkat dengan PPh) yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan. Sementara itu bagi pihak pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (yang selanjutnya disingkat dengan BPHTB). Pembayaran pajak yang menyangkut PPh dan BPHTB adalah jual beli tanah yang ada haknya.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang – Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.1

1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Fungsi pajak ada dua yaitu, fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengatur).

1


(14)

Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan, sebagai sumber keuangan negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.

2. Fungsi Regulerend (Mengatur)

Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.2

Wajib pajak adalah subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak. Karena yang menjadi subjek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, yang menjadi wajib pajak tentulah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan sesuai dengan perolehan hak yang terjadi. Kewajiban pembayaran pajak ini harus dilakukan oleh wajib pajak pada saat terutangnya pajak sesuai ketentuan Undang-Undang. Bila kewajiban ini belum terpenuhi, perolehan hak akan tertunda. Dalam hal ini, pejabat yang berwenang tidak akan mengesahkan perolehan hak tersebut sebelum BPHTB terutang dibayar/dilunasi oleh wajib pajak.3

PPh yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan bagi penjual tersebut bersifat final, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994, tertanggal 27 Desember 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,

2

Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta, 2004, hal. 2.

3

Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 73.


(15)

yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995 (selanjutnya disingkat dengan PP No. 48 Tahun 1994).

Pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut diatur:

1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar pajak penghasilan.

2. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:

a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.

b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.

c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. 4

Besarnya PPh yang harus dibayar oleh penjual diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan5

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 ini

kemudian diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1996, tertanggal 16 April 1996 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau bangunan (selanjutnya disingkat dengan PP

.

4

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak

Penghasilan dari Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. 5


(16)

No. 27 Tahun 1996) Perubahan tersebut diantaranya mengenai:6

1. Besarnya pajak, dibedakan antara PPh yang berlaku bagi wajib pajak developer yang menjual barang dagangannya sebesar 2 % (dua persen), dan wajib pajak lain dan developer yang menjual tanah dan/atau bangunan yang bukan merupakan barang dagangannya sebesar 5 % (lima persen).

2. Sifat final PPh tersebut diubah, bagi wajib pajak developer yang menjual barang dagangannya dapat dikompensasikan dengan pajak terutang pada tahun berjalan, sedangkan bagi wajib pajak lainnya dan developer yang menjual tanah dan/atau bangunan selain barang dagangannya bersifat final.

Pembayaran PPh dilakukan oleh Wajib Pajak/wakilnya/kuasanya ke kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan SSP) melalui Bank Persepsi yang ditunjuk atau Kantor Pos, sebelum akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat dengan PPAT).

Khusus mengenai pajak yang dibebankan kepada pembeli, yang berupa BPHTB diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dirumuskan sebagai berikut: “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.”

6

Pasal 4 Juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 Tentang Perubahan

atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


(17)

BPHTB merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang

memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

Mengenai saat terutang pajak yang berupa BPHTB tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU BPHTB), yaitu:

a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta. b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta. c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor Pertanahan.

e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

i. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan.


(18)

j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditanda-tanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

k. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditanda tanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

l. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta. n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

Timbulnya utang pajak dari Wajib Pajak BPHTB atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan adalah pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta dihadapan PPAT. Pembayaran dari Wajib Pajak tidak didasarkan pada Surat Keterangan Pajak, akan tetapi timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh Undang-Undang sekaligus syarat-syarat subyektif dan obyektif terpenuhi.

Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment system di mana Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disingkat dengan SSB) dan/atau melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.


(19)

Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran atau penyetoran BPHTB dari Wajib Pajak dan memindahbukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank Operasional V BPHTB, yang wewenang penunjukannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Anggaran7

Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, Pasal 9 ayat (2) UU BPHTB menentukan pajak yang terutang harus sudah dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana telah disebutkan. Ketentuan mengenai waktu pembayaran pajak oleh pembeli ini dipertegas lagi dengan kewajiban bagi PPAT, dan Pejabat lelang Negara untuk menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan dimaksud setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (Pasal 24 UU Nomor 20 Tahun 2000) dan bagi PPAT dan pejabat lelang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan denda sebesar dengan Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor KEP-04/A/2002 tanggal 28 Januari 2002 tentang Penunjukan Bank Persepsi BPHTB dan Bank Operasional V BPHTB.

BPHTB terutang dibayar ditempat pembayaran BPHTB di wilayah Kabupaten/Kota yang meliputi letak tanah dan/atau bangunan dengan menggunakan dan mengisi SSB.

7

Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Tentang Penunjukan Tempat dan

Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Kepmen Keuangan


(20)

Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran (Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2000).

Sampai disini tidak ada masalah yang ditimbulkan dengan berlakunya perundang-undangan perpajakan terhadap pelaksanaan penjualan dan pembelian tanah dan/atau bangunan, karena secara teoritis setiap pelaksanaan penjualan dan pembelian tanah dan/atau bangunan baru akan dilaksanakan setelah pajak-pajak yang diwajibkan sebagaimana telah diterangkan tersebut dibayarkan seluruhnya. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan hal tersebut mengalami beberapa kendala.

Dalam pelaksanaan jual beli, pada umumnya para penjual dan/atau pembeli melakukan pembayaran pajak pada saat perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan dihadapan PPAT.

Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan pembayaran pajak, biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual maupun pembeli dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dilakukan pada hari dan tanggal akta jual belinya ditandatangani oleh para pihak di hadapan PPAT, dan demi menjaga kepastian pembayaran pajak tersebut dilakukan oleh para pihak, biasanya PPAT yang bersangkutan dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak tersebut kepada instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi.

Pembayaran pajak harus dilakukan sebelum akta jual beli dilakukan

dihadapan PPAT, meskipun sedemikian rupa kinerja PPAT untuk memprioristakan pembayaran pajak tersebut, tetap saja ada masalah yang ditemukan di lapangan, seperti yang akan penulis kutip dari Artikel Renvoi yang akan disebut di bawah ini tentang Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi.

Masalah yang timbul di lapangan itu adalah seperti yang terjadi pada Bank Sumut Cabang Utama Medan dinilai sangat kaku dalam melayani para wajib pajak, pada tanggal 27 Desember 2007 dari pagi pukul 08.00 WIB mereka telah mengantri selama kurang lebih 2 jam di depan teller, tapi pihak bank tidak mau menerima BPHTB kecuali PPh sedangkan sebelum melakukan pembuatan Akta Jual Beli harus lebih dulu membayar BPHTB dan PPh, jadi apa artinya jika hanya PPh saja yang harus dibayarkan dan hal ini tetap saja menghambat pembuatan Akta Jual Beli. Sebenarnya Bank Sumut tidak menolak atas pembayaran BPHTB tersebut, namun karena telah diberi waktu oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) selaku BO III (bank operasional III) yang merupakan pengumpul dana dari bank persepsi penerima BPHTB dan PPh untuk melimpahkan penyetoran ke Kas Negara. Batas yang diberikan BO III selambat-lambatnya pada pukul 14.00 WIB (Empat belas Waktu Indonesia Bagian Barat) dan jika tidak sesuai waktu tersebut, maka bank persepsi akan dikenakan sanksi. Selama ini, Bank Sumut Cabang Utama Medan selalu melayani penerimaan pemasukan negara atas BPHTB dan PPh hingga pukul 11.00 WIB.8

8

Artikel Renvoi, Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi, Februari 2008 No. 9.57.V.


(21)

Selain itu implikasi tentang penanggalan bukti pembayaran pajak tersebut terhadap tanggal dan nomor akta yang dibuat oleh PPAT menjadi tantangan bagi PPAT. Apabila PPAT berpedoman pada fakta perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan, maka akta jual beli yang dibuat akan tetap diberi nomor, hari dan tanggal saat perbuatan hukum tersebut secara nyata dilakukan, dengan resiko bagi PPAT yang bersangkutan akan terkena sanksi denda sebesar Rp. 7.500.000.,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) setiap akta karena melakukan penandatanganan akta sebelum lunasnya pembayaran PPh dan BPHTB.

Namun, apabila pejabat tersebut mempertimbangkan demi menghindari kewajiban membayar denda yang mengancam dirinya, nomor dan tanggal akta yang dicantumkan dalam aktanya akan ditentukan setelah atau setidak-tidaknya sama dengan tanggal yang tercantum dalam bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual dan pembeli dibayarkan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos. Apabila Pilihan kedua yang dilaksanakan, hal ini akan sangat bertentangan dengan prinsip hukum yang menjadi kewajiban Notaris yang ditunjuk sebagai mitra Pemerintah untuk menjamin kepastian tanggal dari suatu perbuatan hukum yang dibuat di hadapannya, sebagaimana itu diatur dalam Pasal 15 (1) Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia, UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan jabatan Notaris dimana disebutkan:

“ Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu Peraturan Perundang-undangan dan/atau yang dikhendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.


(22)

PPAT seharusnya tetap menjaga dan menjunjung tinggi fungsinya sebagai pejabat umum yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mencatat dan menjamin tanggal dari perbuatan hukum yang dilakukan dihadapannya agar akta yang dibuatnya dapat memenuhi syarat sebagai akta otentik. Pertimbangan perlunya dituangkan dalam bentuk akta otentik adalah untuk menjamin kepastian hukum guna melindungi pihak-pihak.9

“Akta yang dibuat Notaris adalah akta otentik dan otensitasnya itu bertahan terus, bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda tangannya pada waktu akta itu tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta itu. Apabila Notaris untuk sementara waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai akta otentik, tetapi akta-akta itu haruslah telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan sementara waktu itu dijatuhkan”.

Suatu akta akan memiliki karakter yang otentik, jika akta itu mempunyai daya bukti antara para pihak dan terhadap pihak ketiga, sehingga hal itu merupakan jaminan bagi para pihak bahwa perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangan yang dikemukakan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.

10

Namun, denda yang diberlakukan oleh Menteri Keuangan yang dibebankan terhadap Notaris/PPAT yang membuat dan menandatangani akta sebelum kewajiban pembayaran PPh dan BPHTB dipenuhi menjadi kendala bagi PPAT untuk melakukan fungsi dan kewajibannya sebagaimana diamanahkan oleh peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, bahkan apabila PPAT tersebut kurang berhati-hati ada

9

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation Studies of Business Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003, hal. 49.

10


(23)

kemungkinan akan mendapat tuntutan hukum di kemudian hari atas dasar perbuatan pidana, karena telah memasukkan data palsu ke dalam aktanya.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan perbuatan pidana dengan memasukkan data palsu ke dalam aktanya adalah melakukan pergeseran nomor dan tanggal akta jual beli sesuai dengan bukti pembayaran pajaknya.

Mengingat adanya dilema bagi PPAT mengenai kondisi sebagaimana telah diuraikan tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai peraturan

perundang-undangan yang ada yang berkaitan dengan pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan, serta perlindungan hukum terhadap para pihak dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan berkaitan dengan pembayaran pajak yang

diwajibkan.

Pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap para pihak dalam

pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh adalah dalam hal pemenuhan kewajiban pajak, di mana untuk melihat kesesuaian pembayaran pajak yang akan dilakukan oleh wajib pajak, dan juga membahas tentang kendala pembayaran BPHTB dan PPh. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menulis tesis ini dengan judul: Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh.


(24)

B.

Permasalahan

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum para pihak dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh ?

2. Bagaimana peran PPAT untuk melindungi para pihak dalam pelaksanaan pembayaran dan penyetoran BPHTB dan PPh terhadap jual beli tanah dan bangunan ?

3. Apakah kendala yang terdapat dalam pembayaran PPh dan BPHTB tersebut serta bagaimana upaya mengatasinya?

C.

Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak dalam kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh.

2. Untuk mengetahui peran PPAT melindungi para pihak dalam hal penyetoran BPHTB dan PPh atas jual beli tanah dan bangunan tersebut.

3. Untuk mengetahui kendala yang terdapat dalam pembayaran PPh dan BPHTB serta upaya untuk mengatasinya.


(25)

D.

Manfaat Penelitian

Di samping mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat. Manfaat penulisan ini dapat diklasifikasikan atas dua jenis yaitu Manfaat Teoritis dan Manfaat Praktis.

a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat tentang pemahaman kewajiban pembayaran pajak oleh penjual dan pembeli dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kalangan masyarakat, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah itu sendiri.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh” ini belum ada yang membahasnya.

Namun penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa, yang mengangkat tentang Perpajakan atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


(26)

dalam hal Jual beli, akan tetapi permasalahan yang diangkat tidak sama dengan para penulis sebelumnya, yaitu:

1. Penelitian oleh SHIRLEY (NIM : 067011080), dengan judul tesis: Pelaksanaan Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Dikaitkan dengan Tugas Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta Hibah Atas Tanah dan/atau Bangunan di Kota Medan, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimanakah kepatuhan Notaris/PPAT terhadap pelaksanaan UU BPHTB dalam penandatanganan akta hibah tanah dan/atau bangunan?

b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dan ketidakpatuhan Notaris/PPAT terhadap UU BPHTB atas hibah tanah dan/atau Bangunan? c. Apakah akibat hukum dari ketidakpatuhan Notaris/PPAT terhadap UU

BPHTB dalam pembuatan akta hibah atas tanah dan/atau bangunan?

2. Penelitian oleh JANSEN RICARDO SITANGGANG (NIM : 067011121), dengan judul tesis: Penerapan Prinsip Kepastian Hukum dan Keadilan Dalam Pengenaan BPHTB Terhadap Subjek Pajak Pada Proses Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimana kepastian hukum diterapkan dalam undang-undang tentang BPHTB ini


(27)

b. Bagaimana prinsip keadilan dalam pengenaan BPHTB terhadap subjek hukum dalam proses perolehan hak atas tanah dan atau bangunan?

3. Penelitian oleh Rahmaida (2005), dengan judul tesis: Peningkatan Penerimaan Pajak Atas Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (studi penelitian di kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan medan dua), dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan pada Kantor Pelayanan Bumi dan Bangunan Medan Dua.

b. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Dua.

c. Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Dua.

Berdasarkan penelusuran tersebut maka dapat dipastikan penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi


(28)

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi11. Sedang kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.12

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.13

Official Assessment System adalah di mana wewenang pemungutan pajak ada pada fiskus. Fiskus berhak menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.

Untuk itu dalam tulisan ini akan diuraikan tentang Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh berdasarkan data-data kepustakaan dan perundang-undangan.

Dalam pemungutan pajak ada dikenal beberapa sistem pemungutan pajak yaitu:

1. Official Assessment System

11

JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.

12

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hal. 80.

13

Bandingkan Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja. Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.


(29)

badan dengan mengeluarkan ketetapan pajak, yang merupakan bukti timbulnya suatu utang pajak. Jadi, dalam sistem ini para wajib pajak bersifat Pasif dan menunggu ketetapan fiskus mengenai utang pajaknya.

2. Semi Self Assessment System

Semi Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana

wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang dari wajib pajak berada pada kedua belah pihak, yaitu wajib pajak dan fiskus.14

3. Withholding System

Mekanisme pelaksanaan dalam sistem ini berdasarkan suatu anggaran bahwa wajib pajak pada awal tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiskus.

Penerapan Semi Self Assessment System bersama-sama dengan Withholding

System, yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan tata cara Menghitung Pajak

sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang (MPO) dilaksanakan pada periode 1968-1983.

15

Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana pihak

ketiga memungut dan menyetorkan pajak ke kas negara atas nama wajib pajak, kewenangan tersebut diatur dalam peraturan pajak. Sehingga pada prinsipnya

14

Rimsky K. Judisseno, Perpajakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal 3.

15


(30)

Withholding System telah diatur dalam Undang-Undang Perpajakan dengan tarif yang

pasti besarnya dan pembayarannya dapat sebagai angsuran pajak atau bersifat final. 4. Self Assessment System16

a. Teori Asuransi

Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana wajib

pajak menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan. Penekanannya adalah wajib pajak harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus.

Sistem ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Dengan menyadari kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan sistem tersebut di atas, maka pada umumnya menggunakan Self

Assessment System.

Selain dikenal dengan adanya sistem pemungutan pajak, juga ada teori pemungutan pajak, yaitu:

Dimana teori ini menjelaskan bahwa Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.17

b. Teori Kepentingan

16

Mardiasmo, Op.Cit, hal 8.

17


(31)

Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Semakin besar kepentingan yang harus dilindungi, maka pajak yang dibayarnyapun lebih besar. Teori asuransi dan Teori Kepentingan banyak ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan sifat hukum pajak itu sendiri, yaitu tidak ada imbalan yang langsung dapat ditunjuk.

c. Teori Daya Pikul

Menurut Rimsky K. Judisseno, teori daya pikul merupakan pembebanan pajak itu harus sama beratnya untuk setiap orang sesuai dengan daya pikulnya masing-masing.18

d. Teori Asas Daya Beli

Bahwa pajak yang dipungut merupakan usaha untuk menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara, yang kemudian sebagai balasannya negara akan menyalurkannya kembali dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

“Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil daya beli masyarakat untuk rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali

18

Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjuan tentang Kepastian Hukum


(32)

kepada masyarakat dengan maksud memelihara dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu demikian pula bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. 19

e. Teori Bakti

Penekanan teori ini terletak pada negara yang mempunyai hak untuk memungut pajak dari warganya sebagai tindak lanjut teori kepentingan dalam hal penyediaan fasilitas umum yang diselenggarakan oleh Negara, maka dengan pajak inilah masyarakat dapat menunjukkan salah satu baktinya kepada Negara.20

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, tidak secara eksplisit mengatur secara tegas kewajiban PPAT untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang dibuat dihadapannya, tetapi apabila memperhatikan bagian menimbang, definisi, tugas dan kewenangan pejabat pembuat akta tanah pada peraturan pemerintah tersebut sebagaimana di bawah ini :21

19

R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco Bandung, 1995, hal 35-36.

20

Op.Cit, hal. 10.

21

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat


(33)

a. Bagian menimbang huruf b :

Bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah telah ditetapkan jabatan PPAT yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran.

b. Bab I, ketentuan umum, Pasal 1 butir (1) :

Pejabat pembuat akta tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

c. Bab II, tugas pokok dan kewenangan PPAT, Pasal 2 ayat (1) :

PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Dalam ketiga ketentuan tersebut disebutkan PPAT diberikan kewenangan untuk membuat alat bukti yang berupa akta otentik. Mengenai istilah dari akta otentik sendiri dapat diperoleh dari Pasal 1870 KUHPerd, yang menjelaskan bahwa akta otentik memberikan diantara para pihak, beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.22

Pasal 1868 KUHPerd menjelaskan maksud dengan : 22

Soegondo, Notodisurjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Edisi 1, Cetakan 2 PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1993, hal. 8.


(34)

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya.”

Sejak 1961, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1961, Notaris tidak lagi berhak membuat perjanjian pemindahan hak atas tanah. Wewenang itu selanjutnya diberikan kepada PPAT yang khusus diangkat oleh dahulu Menteri Agraria, sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional (yang selanjutnya disingkat dengan BPN), dan para camat yang juga diberikan wewenang sebagai PPAT. Para Notaris pada umumnya juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.23

23

Ibid, hal. 9.

Apabila ini terjadi, akta jual beli yang dibuat oleh Notaris tersebut akan menjadi cacat hukum dalam pembuatannya, karena pemindahan hak atas tanah yang ada haknya adalah merupakan kewenangan dari PPAT. Dalam hal ini akta yang dibuat oleh Notaris tersebut akan kehilangan otentiknya dan dapat merugikan para pihak. Istilah akta jual beli PPAT yang dikenal dalam masyarakat luas, secara hukum mempunyai pengertian berupa alat bukti bahwa telah dibuat perikatan berdasarkan perjanjian jual beli atas tanah dan/atau bangunan oleh para pihak, pembuktian telah dibuatnya perikatan tersebut berupa akta yang dibuat oleh pejabat tertentu yang oleh peraturan perundangan diberi kewenangan untuk itu, yaitu PPAT.


(35)

Pasal 1320 KUHPerd, mengandung unsur-unsur dari perikatan yang timbul dari perjanjian, yaitu adanya: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Azas kebebasan untuk membuat perjanjian atau lazim kita kenal dengan azas kebebasan berkontrak ternyata dalam uraian Pasal 1338 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa setiap orang diberi hak untuk membuat perjanjian mengenai apapun dan dengan isi pengaturan yang bagaimanapun, asal saja tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu:24

1. Unsur Essentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan didalam suatu perjanjian.

2. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian, walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.

3. Unsur Accidentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa dengan memperhitungkan sah atau tidaknya suatu perjanjian tergantung dengan dipenuhinya Pasal yang termuat dalam 1320 KUHPerdata. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa:

24


(36)

a. Perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya, dalam arti sebagai lex Specialis, khusus bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

b. Pengakhiran suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan para pihak atau karena Undang-Undang menyatakan telah berakhir.

c. Perjanjian harus ditaati oleh para pembuat perjanjian (pacta sun servada).

Dalam perjanjian yang berisi jual beli, Pasal 1457 KUHPerdata memberikan defenisinya, yaitu:

“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

R. Subekti25

Jual beli ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya

, perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak dinamakan menjual (verkoopt) sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli

(koopt). Itu adalah sesuai dengan istilah Belanda. istilah ini mencakup dua perbuatan

yang bertimbal balik.

Sesuai prinsip hukum Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat-syarat untuk terjadinya perjanjian jual beli, cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Khusus mengenai perjanjian yang bersifat jual beli ini, Pasal 1458 dan Pasal 1459 KUHPerdata mengatur bahwa:

25


(37)

belum dibayar. Namun hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut hukum. Jadi hak milik yang diperjual belikan baru dianggap beralih/berpindah kepada pembeli setelah dilakukan penyerahan atas barang tersebut dari penjual kepada pembeli.

Dengan demikian perjanjian jual beli harus diikuti oleh penyerahan barang agar terjadi peralihan kepemilikan atas barang yang diperjualbelikan. Pemilikan baru berganti setelah adanya pemindahan hak milik atas barang tersebut, yang ditandai oleh “penyerahan” barang tersebut.26

Perbedaan cara penyerahan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak, erat sekali kaitannya dengan kedudukan berkuasa (bezit) atas benda-benda tersebut. Menurut Pasal 1977 KUHPerd, Bezit ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda sebenarnya ada pada siapa. Bezit atas benda-benda bergerak berlaku sebagai titel yang sempurna, artinya barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Sedangkan

Bezit atas benda-benda tidak bergerak belum tentu adalah pemilik atas benda-benda

tersebut.27

Prof. Subekti menguraikan Pasal 1977 KUHPerdata secara lengkap, sebagai berikut:28

26

Sri Soedewi, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 67.

27

Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi Kenikmatan Jilid I, Cetakan Kedua, Ind. – Hil. Co, Jakarta, 2002, hal. 45.

28


(38)

“Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna, dengan itu dimaksudkan bahwa siapa saja yang dengan jujur memperoleh suatu barang bergerak dari seorang

bezitter, seketika itu juga memperoleh hak milik atas barang itu.”

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep diartikan sebagai suatu konstruksi metal, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.29

Jual beli merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, sebagaimana itu dapat disimpulkan dari isi Pasal 1457 KUHPerd : Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam Jual beli senantiasa terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Dari sisi hukum kebendaan, jual beli menimbulkan hak bagi kedua belah pihak atas tagihan yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak, dan pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk

Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian tentang konsep-konsep dalam penelitian tesis ini.

Dalam pelaksanaan jual beli tanah dan/atau bangunan perlu kiranya terlebih dahulu memahami arti jual beli tersebut.

29


(39)

penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.30

30

Gunawan Widjaja; Kartini Muljadi, Jual Beli, Seri Hukum Perikatan, Ed.1, Cet. 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 27.

Dalam pelaksanaan jual beli berarti telah terjadinya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang mengakibatkan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk melakukan pembayaran pajak. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli. Bagi pihak penjual dikenakan PPh yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan. Sementara itu bagi pihak pembeli dikenakan pajak yang berupa BPHTB. Dengan adanya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka dikenakan pajak atas pengalihan tersebut seperti dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000, dinyatakan bahwa atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam bidang perpajakan, menurut Pasal 1 ayat (2), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 tahun 1994, tanggal 27 Desember 1994, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1995, bahwa yang dimaksud pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:


(40)

a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.

b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.

c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

Selain kewajiban pembayaran PPh yang dikenakan kepada pihak yang

memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pihak lawannya kepada siapa ia mengalihkan hak atas tanah dan bangunannya juga berkewajiban untuk membayar pajak yang berupa BPHTB. Kewajiban membayar pajak bagi penerima hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, yang diumumkan pada Lembaran Negara tahun 1997, Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688, diundangkan pada tanggal 29 Mei 1997. Semula Undang-Undang ini ditetapkan berlaku mulai 01 Januari 1998, tetapi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998, waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tersebut ditunda menjadi mulai berlaku 30 Juni 1998. Undang-Undang tersebut telah diubah dengan


(41)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB yang mulai berlaku pada tanggal 01 Januari 2001.31

Pengertian PPh mengandung dua kata yang mempunyai pengertian disatukan satu sama lain. Yang pertama mengenai arti dari pajak adalah suatu kewajiban dari masyarakat untuk menyerahkan sebagian dana kepada negara dalam membiayai kepentingan umum serta keperluan negara lainnya, yang pelaksanaannya diatur oleh Undang-Undang. Kedua mengenai arti penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang-perorangan, badan atau bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan aktivitas ekonomi seperti mengkomsumsi dan/atau menimbun serta menambah kekayaan.

32

31

Muhammad Rusjdi, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, 2005, hal. 127. 32

Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum

dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal 9.

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tidak memberikan pengertian yang terperinci mengenai defenisi PPh, tetapi hanya memberikan pengertian dari objek PPh, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) (d) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yaitu:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk komsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dalam bentuk apapun, termasuk karena keuntungan, karena penjualan atau karena pengalihan harta…”


(42)

Jelas bahwa Undang-Undang ini menganut prinsip perpajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk komsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk membiayai kegiatan rutin, pembangunan dan kepentingan umum serta keperluan negara lainnya.

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan Perundang-undangan lainnya. Yang menjadi objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang meliputi jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah, pemberian hak baru karena pelepasan


(43)

hak, dan pemberian hak baru di luar pelepasan hak.33

1. Hak Milik

Hak atas tanah diatur dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 16 ayat (1) adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan Hak-hak lain yang tidak termasuk diatas akan ditetapkan dalam Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam Pasal 53. Yang menjadi objek BPHTB adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Hak Pengelolaan.

Objek BPHTB yang disebutkan diatas merupakan pengenaan PPh dan BPHTB yang dapat dijabarkan lebih lanjut, yaitu:

Hak Milik adalah hak atas tanah yang sifatnya terpenuh, terkuat, turun temurun yang dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Hak Milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Hak Milik juga dapat dimiliki oleh badan-badan tertentu yang ditunjuk oleh Pemerintah, yang mempunyai fungsi sosial tanah. Penggunaan tanah Hak Milik oleh orang yang bukan pemiliknya dibatasi dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Hak Milik harus didaftarkan dan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (ikatan

33

Valentina Sri S., Aji Suryo, Perpajakan Indonesia, Seri Belajar untuk Mahasiswa Cet. I UPP MPP YKPN, Yogyakarta, 2003, hal. 2.


(44)

hipotik atau kredit verband). Semua warga negara Indonesia sama haknya untuk memiliki tanah Hak Milik tanpa memandang jenis kelamin dan ras.

2. Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak Guna Usaha hanya diberikan kepada orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan pertanian saja. Dalam hal peralihan HGU sebelum diperoleh hak atas tanah harus sudah dibayar BPHTB adalah sesuai dengan ketentuan UU BPHTB, akan tetapi sebaiknya pengenaan pajak BPHTB ini dikenakan setelah seseorang memperoleh hak atas tanah tersebut baru diwajibkan untuk membayar pajak BPHTB, karena dalam HGU belum terjadinya perolehan hak secara nyata yang dituabgkan dalam bentuk akta otentik, di mana seseorang masih sebatas mengunakan tanah dan belum adanya perolehan hak atas tanah tersebut. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28-34 Undang-Undang Pokok Agraria (yang selanjutnya disingkat dengan UUPA).

3. Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Dengan demikian Hak Guna Bangunan adalah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat


(45)

mendirikan bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri. Berlainan dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tidak mengenai pertanian, karena itu tanah yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan meliputi baik tanah yang merupakan milik orang atau pihak lain maupun tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35-40 UUPA.

4. Hak Pakai

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat berwenang yang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Hak Pakai merupakan hak atas tanah baik untuk tanah bangunan maupun tanah pertanian. Perkataan “menggunakan” menunjuk pada tanah bangunan sedangkan perkataan “memungut hasil” menujuk pada tanah pertanian. Hak Pakai dapat diberikan oleh Pemerintah tetapi dapat pula diberikan oleh pemilik tanah. Perkataan orang lain pada defenisi hak pakai harus diartikan luas dan meliputi juga badan-badan hukum yang mempunyai tanah hak milik. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA.


(46)

5. Hak Atas Satuan Rumah Susun

Hak Atas Satuan Rumah Susun adalah hak atas bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan berbagai benda bersama dan tanah bersama.

6. Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan merupakan suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada dalam UUPA, karena itu khusus hak ini demikian pula luasnya hak terdapat diluar ketentuan UUPA.34

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga.35

34

A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 1.

35

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f.

Saat ini Hak Pengelolaan diberikan kepada instansi Pemerintah, Pemerintah daerah administrasi (Orotita Batam), Badan Usaha Milik Negara (misalnya Perum Perumnas), dan badan hukum swasta lainnya. Hak Pengelolaan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada instansi pemerintah atau badan hukum


(47)

yang ditunjuk oleh negara/pemerintah untuk melaksanakan Hak Menguasai Negara atas tanah.

Selain Objek BPHTB, Terdapat beberapa subjek pajak yang oleh peraturan Perundang-undangan tidak dikenakan BPHTB, yaitu:

1. Perwakilan diplomatik, konsulat, berdasarkan atas perlakuan timbal balik. 2. Negara atau penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan

pembangunan guna kepentingan umum.

3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.

4. Orang pribadi atau badan karena wakaf.

5. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 6. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan

hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.

Besarnya BPHTB adalah 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan NPOPKP). NPOPKP diperoleh dengan cara mengurangi Nilai Perolehan Objek Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan NPOP) - Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan NPOPTKP). NPOPTKP untuk masing-masing daerah tidak sama dan ditentukan secara regional. Undang-Undang hanya mengatur mengenai ketentuan maksimal NPOPTKP, yaitu sebesar Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah).


(48)

Khusus untuk perolehan hak atas tanah yang disebabkan adanya hak waris atau hibah wasiat yang diterima dalam garis keturunan lurus atau derajat ke atas atau satu derajat ke bawah, termasuk suami/isteri ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).

Menurut Undang-Undang BPHTB harus telah dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. PPAT dan Kepala Kantor Lelang Negara hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa Surat Setoran BPHTB, dengan ancaman denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran, bagi yang melanggarnya.36

1. Kewajiban perpajakan adalah sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

PPAT dan Kepala Kantor Lelang Negara selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya, wajib melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak, dengan sanksi administratif dan denda sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini. Maka konsepsi yang telah diuraikan di atas, yaitu:

37

36

Valentina Sri S, Aji Suryo, Op.Cit. hal. 8-9.

37

Perpajakan adalah wajib pajak menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan


(49)

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang, sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.38

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 adalah Pajak Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Pajak perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah: BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.

4. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak terjadi karena adanya perbuatan hukum atas tanah dan bangunan yaitu: pemindahan hak dan pemberian hak baru.39

G.

Metodologi Penelitian

1. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi. 40

38

Marsono, Susunan dalam Satu Naskah UUD 1945 dengan Perubahan Perubahannya

1999-2002, CV Eko Jaya, Jakarta, 2005. 39

Pasal 2 ayat 2 bagian a dan b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

40


(50)

Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwanya,41

2. Jenis Penelitian

kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum sehingga dapat diperoleh gambaran tentang data faktual yang berhubungan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh.

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif,42

41

Sutrisno Hadi, Metodelogi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989, hal. 3.

42

Penelitian Hukum Normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum

Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 13.

yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas. Sementara itu untuk mendukung penelitian normatif, dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap layak dan mengetahui proses pembuatan Akta Jual Beli Atas Tanah dan Bangunan. Informasi yang didapat dari informan ini dijadikan sebagai data pendukung untuk menambah dan memperkuat data sekunder yaitu bahan-bahan primer, sekunder, dan tertier.


(51)

3. Bahan-Bahan Penelitian

Bahan-Bahan Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dibantu dengan data yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini.

Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder.43

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 dan bahan hukum dari masa kolonial belanda yang masih berlaku, antara lain KUHPerdata.

Data sekunder dan bahan pustaka tersebut adalah sebagai berikut:

b. Bahan hukum sekunder, antara lain buku-buku rujukan, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum dan berbagai makalah yang berkaitan dengan pelaksanaan jual beli tanah dan/atau bangunan.

c. Bahan Hukum Tertier, antara lain berupa kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar, artikel dan jurnal-jurnal hukum serta laporan ilmiah.

43

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 121.


(52)

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pedoman Wawancara, yang berisikan daftar pertanyaan yang akan digunakan dalam wawancara dengan para informan, yakni dari beberapa Notaris/PPAT di Kota Medan yang sering membuat Akta Jual Beli Tanah dan atau Bangunan yang terhadap peristiwa hukum jual beli tersebut terkait dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh bagi pembeli dan penjual.

2. Studi Kepustakaan, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

5. Analisis Data

Analisis data terhadap data sekunder mengenai perlindungan hukum terhadap para pihak dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan, dan kemudian dievaluasi sehingga diketahui validitasnya , lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dengan logika deduksi, yaitu berpikir dari hal yang umum menuju hal yang lebih khusus, dengan menggunakan perangkat normatif, yaitu dengan cara melakukan interprestasi dan konstruksi hukum atas peristiwa hukum konkrit yang terjadi terutama hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pihak penjual dan pembeli dalam kaitannya dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh bagi


(53)

pihak penjual dan pembeli atas transaksi yang dibuat mereka dihadapan PPAT di Kota Medan. Dari kegiatan interprestasi data sekunder yang diperoleh diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian.


(54)

BAB II

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK

DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN/ATAU

BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh

A. Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan

Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan).44

UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria kita sekarang ini memakai sistem dan azas-azas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual, yaitu menurut pengertian hukum adat.45

Di dalam Pasal 1457 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan dan juga dalam Pasal 1458 KUHPerdata disebutkan “Jual Beli dianggap

44

Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Pandang Praktisi

Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hal. 1. 45


(55)

telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.46

Buku III KUHPerdata berjudul perihal perikatan (Verbintenis), ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

Perjanjian atau perikatan secara hukum masuk ke wilayah hukum keperdataan karena mengatur kepentingan-kepentingan perorangan, dan mendapat pengaturannya dalam Buku III KUHPerdata.

47

Sebenarnya istilah perikatan dalam KUHPerdata sendiri mempunyai arti lebih luas dari sekedar perjanjian, karena dalam Buku III KUHPerdata, selain diatur mengenai perikatan-perikatan yang timbul karena adanya persetujuan/perjanjian, juga diatur mengenai perikatan-perikatan yang timbul karena Undang-Undang. Perikatan yang timbul karena Undang-Undang, misalnya perikatan yang timbul karena adanya perbuatan yang melanggar hukum (Onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul karena perbuatan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan

(Zaakwaarneming). Sebagian besar Buku III KUHPerdata ditujukan untuk

perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.48

46

R. Subekti, AnekaPerjanjian, Alumni, Bandung, 1977, hal. 1-2.

47

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Jakarta Intermasa, 2003, hal. 122.

48

Ibid. Subekti memberikan penjelasan bahwa perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.


(56)

Mengenai Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, ada dikenal dengan Perjanjian Bernama. Perjanjian Bernama yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. Selain dikenal dengan adanya perjanjian bernama ada juga perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu, dan ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi masing-masing pihak.49 Lebih dari itu, tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus Buku III KUHPerdata, tetapi pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan peraturan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri.50

Dengan adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maka hal itu telah menimbulkan hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang telah disepakati. Jadi Undang-Undang tidak mensyaratkan adanya bukti tertulis untuk sahnya suatu perikatan. Dengan tercapainya kata sepakat diantara para pihak saja, telah cukup bagi

Jadi Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap (Aanvullend recht), bukan hukum yang memaksa (Dwingend recht).

49

R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10.

50


(57)

perjanjian tersebut untuk mengikat dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.

Namun demikian perjanjian ini akan sangat lemah sifatnya, karena akan sangat tergantung dari itikad baik masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak yang berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi tidak memenuhi kewajibannya (prestasinya) kepada pihak lainnya dan menyangkal telah membuat perjanjian itu, atau menyatakan mengakui membuat perjanjian tetapi tidak sesuai seperti yang dituntut oleh lawannya, maka pihak yang menuntut pemenuhan prestasilah yang berkewajiban untuk membuktikkan tentang adanya janji tersebut.

Pengaturan pembuktian tentang adanya janji dalam pemenuhan prestasi diatur dalam Buku IV KUHPerdata ini kurang disetujui oleh Prof. Subekti, karena seharusnya pembuktian masuk dalam wilayah hukum acara, sedangkan KUHPerdata pada umumnya mengatur mengenai hukum materiil. Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa hukum acara sendiri dapat dibagi menjadi hukum acara formil dan hukum acara materiil, sedangkan peraturan mengenai alat-alat pembuktian termasuk dalam hukum acara materiil. Rupanya pembentuk Undang-Undang pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dilahirkan menganut pendapat ini. Sedangkan di Indonesia peraturan mengenai pembuktian telah dimasukkan dalam H.I.R. yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.51

51


(58)

Karena Undang-Undang menentukan pihak yang menuntutlah yang berkewajiban untuk membuktikkan haknya, sehingga karena itu untuk menjamin kepastian dipenuhinya prestasi dari masing-masing pihak yang membuat perjanjian diperlukanlah adanya suatu alat bukti dalam setiap perjanjian. Alat bukti tersebut menurut ketentuan Pasal 1866 bisa berupa: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan (surat) dapat dibedakan menjadi surat-surat akta dan surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani. Sedangkan surat yang berbentuk akta masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Akta otentik (akta resmi) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut Undang-Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut, sedangkan akta dibawah tangan (onderhand) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum.52

52

Ibid, hal. 179.

Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan akta resmi. Tetapi apabila tandatangan tersebut disangkal, maka sesuai ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata, pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akta tersebut. Sebaliknya dalam akta otentik, pihak yang


(1)

maupun pihak pembeli tidak dapat membatalkan secara sepihak atas perjanjian jual beli tersebut.

2. Disarankan kepada pemerintah untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian insentif kepada PPAT atas kontribusinya dalam hal pembayaran BPHTB. Dengan memperhatikan kepada SK Walikota Medan No. 973/313 K tanggal 17 Maret 2006 perihal dokumen dan daftar realisasi pembayaran biaya operasional BPHTB tahun anggaran 2006 atas kontribusinya yang telah diberikan kepada PPAT, yang pada kenyataannya ditarik kembali sebagaimana dapat dilihat dalam lampiran. 3. Hendaknya pihak Bank Persepsi tidak membatasi waktu dan tempat

penyetoran pajak BPHTB kepada pihak yang ingin mengadakan transaksi jual beli. Hal tersebut memerlukan peninjauan kembali mengenai batas waktu penerimaan setoran pajak yang berlaku pada bank-bank persepsi, sehingga para pihak tersebut mempunyai hak-hak yang tidak dapat dikesampingkan karena dengan adanya aturan-aturan yang begitu kaku terhadap proses pembayaran pajak yang telah ditetapkan oleh bank persepsi. Seharusnya pembayaran BPHTB dapat disamakan seperti pembayaran pajak lainnya yang dapat dilakukan di bank manapun baik bank swasta maupun negeri. Dan diharapkan juga pembayaran pajak tersebut dapat dilakukan melalui Automatic Teller Machine (ATM). Hal ini untuk memudahkan penjual dan pembeli dalam hal pembayaran dilakukan pada hari libur dan juga meringankan tugas dari PPAT.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Adi, Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta.

Brotodiharjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 1995. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Perkasa,

Jakarta, 1999.

Hadi, Sutrisno, Metodelogi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989.

Hasbullah, Husni Frieda, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi Kenikmatan Jilid I, Cetakan Kedua, Ind. – Hil.Co, Jakarta, 2002.

K. Judisseno, Rimsky, Perpajakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. __________, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu tinjauan tentang kepastian hukum dan

penerapan akuntansi di indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.

K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994. Muhammad, Abdul Kadir Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986.

__________, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Mardiasmo, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta, 2005.

Marsono, Susunan Dalam Satu Naskah UUD 1945 dengan Perubahan Perubahannya 1999-2002, CV Eko Jaya, Jakarta, 2005.

Meliala, Syamsuddin Qiram, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1985.

Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2002.


(3)

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja. Rosdakarya, Bandung, 1993.

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation Studies of Business Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003.

Notodisurjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Edisi 1, Cetakan 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Parlindungan A.P , Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, C.V. Mandar Madju, Bandung, 1989.

_________, Pendaftaran Tanah di Indonesia, C.V. Mandar Madju, Bandung, 1999. Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria Indonesia suatu Telaah dari Pandang

Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986.

_________, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum, Ed.1 Cet.4, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Resmi, Siti, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta, 2004. R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet 10 , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. _________, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Intermasa, Jakarta, 2003. _________, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1977.

_________, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985.

_________, Hukum Pembuktian, PT. Pradyna Paramita, Jakarta, 2001.

Rusjdi, Muhammad, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, 2005.

Santoso, Djohari dan Ali, Achmad, Hukum Perjanjian Indonesia, Penerbit Perpustakaan Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989. Siahaan, P. Marihot, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, PT. Raja


(4)

Soedewi, Sri, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Suryodiningrat, R.M, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978.

Soemitro, Rochmat, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta,1974.

Sukadji, Untung, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Tjahyono, Achmad dan Wahyudi, Triyono, Perpajakan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Tobing, Lumban, G.H.S, Peraturan Jabatan Notaris, cet. Ke 3, Erlangga, Jakarta, 1983.

Valentina Sri S., Aji Suryo, Perpajakan Indonesia, Seri Belajar untuk Mahasiswa Cet. I, UPP MPP YKPN, Yogyakarta, 2003.

Waluyo, Perpajakan Indonesia Buku 2, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2002. Widjaja, Gunawan, Kartini Muljadi, Jual Beli, Seri Hukum Perikatan, Ed.1, Cet. 2

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Wuisman. JJJ. M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

Makalah, Jurnal, Majalah dan Wawancara

Artikel Renvoi, Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi, Februari 2008 No. 9.57.V.

Bank Rakyat Indonesia, Cabang Putri Hijau Medan.

Edy, Notaris/PPAT, Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.

Poeryanto Poedjiaty, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008. Rahanum, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.


(5)

Syahril Sofyan, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 04 Juli 2008.

Tjong, Deddy Iskandar, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008 dan 18 Juli 2008.

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pasal 5.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ketentuan Penutup. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan

dari Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005.

Keputusan Menteri Keuangan, tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Kepmen Keuangan No.517/KMK.04/2000, Pasal 4 ayat (1).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/2000.


(6)