Pelarangan Bersekolah di Sekolah Priyayi

b. Pelarangan Bersekolah di Sekolah Priyayi

Tidak hanya Miss Lu Tua saja yang merasakan pahitnya hidup di negeri orang, tetapi anak-anaknya pun juga merasakan hal yang sama. Bentuk lain dari sikap diskriminasi yang diterima anak-anak Miss Lu Tua adalah pelarangan bersekolah di sekolah priyayi. Hal tersebut terjadi karena Miss Lu Tua dan suami bukanlah seorang pedagang besar. Bisa dilihat dari kutipan berikut ini, “Oma saya juga bilang begitu,” Miss Lu menegaskan, “Karena orang tuanya bukan pedagang besar, jadi ya... anaknya tidak bisa masuk sekolah bersama anak-anak priyayi” Pranoto, 2003: 136. Kutipan di atas sangat kontras dengan Instruksi Presiden Kabinet No. 37UIn61967 tentang tempat-tempat yang disediakan untuk anak-anak WNA Tionghoa di sekolah-sekolah nasional sebanyak 40 dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Tionghoa. Bisa dikatakan bahwa status kewarganegaraan seseorang dapat menjadi kendala untuk menempuh pendidikan. Jangankan bermimpi untuk mencapai pendidikan tinggi, untuk bersekolah di sekolah dasar atau menengah saja etnis Tionghoa mengalami berbagai kendala. Meski sebenarnya tindak diskriminasi tersebut lebih dikarenakan karena status ekonomi Miss Lu Tua, namun status Miss Lu Tua sebagai seorang etnis Tionghoa menjadi pertimbangan tersendiri bagi pihak sekolah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suryadinata 1999: 73 bahwa banyak yang merasa bahwa etnis Tionghoa adalah pendatang yang memiliki kebudayaan asing dan indin mengintegrasikan kebudayaan tersebut ke tengah masyarakat tempat mereka berada. Sebenarnya, aspek-aspek ekonomi dan budaya merupakan dua bidang utama dari apa yang disebut masalah Cina chinese problem. Tidak semua orang Tionghoa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta yang elit. Beberapa dari mereka memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri agar lebih mampu “menyatu” dengan Indonesia. Meski tidak dipungkiri banyak etnis Tionghoa yang merasa lebih aman untuk bersekolah di sekolah swasta karena mereka tidak ingin memeroleh pengalaman yang tidak menyenangkan berkaitan dengan identitas ketionghoaan mereka.

c. Penggantian Kewarganegaraan dan Perubahan Nama