Ditelantarkan Pemerintah Bentuk Diskriminasi Terhadap Masyarakat Etnis Tionghoa

1. Bentuk Diskriminasi Terhadap Masyarakat Etnis Tionghoa

a. Ditelantarkan Pemerintah

Diskriminasi yang terjadi terhadap masyarakat etnis Tionghoa dalam novel Miss Lu mengarah pada satu ranah yaitu ranah publik. Diskriminasi tersebut berawal dari kebijakan politik yang dibuat pemerintah pada tahun 1960an sehingga membuat hidup Miss Lu Tua terlunta-lunta. Kebijakan tersebut dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti pendidikan, status bahasa Cina, Undang- Undang Kewarganegaraan, dan peraturan penggantian nama. Akibat dari salah satu dari serangkaian kebijakan diskriminasi yang dibuat pemerintah, Miss Lu Tua harus merasakan hidup yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dimulai dari Miss Lu Tua dan suami yang harus merasakan kebangkrutan dalam berdagang. Pemerintah pada saat itu melarang warga asing untuk berdagang, dilanjutkan dengan pelarangan berdagang di pedesaan, kota kecamatan serta kota kabupaten. Miss Lu Tua beserta suami hanya diperbolehkan berjualan di kota- kota besar. Dilanjutkan dengan penolakan Miss Lu Tua untuk mengganti nama Cinanya. Miss Lu Tua kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus pulang ke kampung halamannya secara paksa dan berpisah dengan suaminya yang bersedia mengubah nama Cinanya dan memilih tinggal di Indonesia. Pada saat itu Miss Lu Tua kembali ke Cina hanya dengan membawa serta Pingping, sedangkan anak-anak Miss Lu Tua yang lainnya memilih menetap di Singapura. Kesaksian hidup Miss Lu Tua mengenai peristiwa tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini, “Ya, oma saya hidup terlunta-lunta karena menjadi korban politik. Maksud saya, kebijakan politik pemerintah Indonesia, tahun 60-an,” suara Miss Lu seperti tercekik Pranoto, 2003: 121. Berdasarkan kutipan di atas, tampak bahwa kehidupan Miss Lu Tua berubah setelah pemerintah Soekarno mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dirasa sangat menyudutkan masyarakat etnis Tionghoa pada waktu itu.Kebijakan- kebijakan tersebut diantaranya penggantian kewarganegaraan, perubahan nama, pelarangan berdagang, pembatasan wilayah usaha, pelarangan bersekolah. Tiga diantara kebijakan tersebut, yaitu tentang kewarganegaraan, penggantian nama, dan pelarangan bersekolahmemiliki satu garis lurus yaitu tentang keidentitasan para warga Tionghoa itu sendiri. Secara perlahan pemerintah ingin membuat para etnis Tionghoa bisa melepaskan diri dari budaya Tionghoa dan membuat mereka berasimilasi secara total. Masalah keidentitasan inilah yang juga memacu terjadinya berbagai konflik di penjuru negeri. Konsep di atas diamini oleh argumentasi Heryanto via Meij, 2009: 154 bahwa pada pemerintah Orba, konsepsi etnisitas sebagai sesuatu yang dihubungkan dengan garis etnis atau hubungan darah seseorang merupakan konsep usang. Etnisitas pada masa Orba tidak disadari sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara sosial. Ketionghoaan terus menerus dipersepsi sebagai sesuatu yang tetap dan terberi, baik oleh orang Tionghoa itu sendiri maupun oleh non- Tionghoa. Hal serupa juga berlaku bagi pemahaman etnisitas selain Tionghoa. Masyarakat tidak sadar bahwa hal tersebut merupakan korban dari diskriminasi etnis dilakukan oleh “mayoritas penguasa.”

b. Pelarangan Bersekolah di Sekolah Priyayi