ekonomi yang akut dan berlangsung lama; 4 krisis politik Krisis sosial; 5 Perbedaan keyakinan Kepercayaan dan agama; 6 perkembangan sosio kultural
dan situasional; 7 perbedaan kepentingan; dan 8 perbedaan individu.
C. Etnis Tionghoa di Indonesia
1. Pengertian Etnis Tionghoa
Istilah “orang Tionghoa” merupakan perdebatan yang hingga kini terus berlanjut. Relasi kekuasaan dalam konteks penjulukan yang ditujukan pada orang
Tionghoa telah dijadikan politik identitas yang sudah terjadi sejak zaman Belanda. Sebutan Cina berasal dari bahasa Belanda Chi’na yang mengacu pada Cina
kunciran. Istilah Cina mengandung arti yang merendahkan, dan dianggap oleh orang yang bersangkutan sebegai sebutan yang bersifat menghina Copple dan
Suryadinata via Meij, 2009: 6. Sejak berdirinya Tiong Heoa Hwe Koan dan kesepakatan para tokoh
pergerakan pada tahun 1928, sebutan Cina diganti menjadi Tionghoa. Itulah sebabnya dalam penjelasan UUD 1945, istilah yang digunakan adalah Tionghoa.
Namun berdasarkan keputusan politik yang dihasilkan Seminar Angkatan darat ke-2, sebutan Cina diwacanakan kembali sebagai upaya memojokkan mereka,
dengan tujuan membuat orang Tionghoa tidak berdaya sama sekali Tan, 2009: 6. Lain halnya dengan Mely G Tan yang lebih memilih penggunaan istilah
“Etnis Tionghoa” daripada “Orang Tionghoa” dalam berbagai artikel yang ditulisnya, ia beragumen bahwa istilah “etnis Tionghoa” mengacu pada sebuah
kelompok orang dengan elemen budaya yang dikenali sebagai atau dapat disebabkan oleh budaya Tionghoa. Kelompok tersebut secara sosial,
mengidentifikasikan diri dengan atau diidentifikasikan oleh kelompok yang lainnya sebagai kelompok yang berbeda Tan, 2008: 6.
2. Keberadaan Etnis Tionghoa di Indonesia
Orang Tionghoa di Indonesia berjumlah sekitar 6 juta jiwa, dan mewakili 3 persen penduduk Indonesia. Secara budaya, masyarakat Tionghoa di Indonesia
dapat dibagi menjadi kalangan peranakan berbahasa indonesia dan kalangan totok berbahasa Tionghoa, dan yang disebutkan terdahulu berjumlah lebih besar. Dalam
menganut agama, mereka terbagi dalam pemeluk agama Kristen, Budha, Konfusius, Tridarma, Islam dan agama lainnya Suryadinata, 2005: 2.
Menurut catatan sejarah, sejak Dinasti Han tahun 206 SM sd tahun 220 SM sudah ada orang Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa Djawa Dwipa di
kawasan Nan Yang Nusantara. Demikian juga pada jaman Dinasti Tang tahun 618 sd tahun 907 sejumlah musafir telah mampir di Kerajaan Sriwijaya abad
ke07 sd ke-13. Tetapi Suryadinata beranggapan bahwa orang Tionghoa telah datang dalam jumlah yang signifikan adalah pada Dinasti Ming, sekitar abad ke-
15 dan ke-16 bersamaan waktu dengan masa kunjungan Armada Laksamana Zheng Ho sebanyak 7 kali ke Nan Yang nusantara Suryadinata, 2005: 382.
Selain keberadaan Universitas Trisakti dan koran Sin Po, terdapat peristiwa- peristiwa penting mengenai sumbangsih atau keterlibatan orang Tionghoa di
Indonesia yang dicatat oleh Suryadinata 2005: 383, di antaranya sebagai berikut. Pertama
, peranan orang Tionghoa dalam proses penyebaran Agama Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sejumlah wali
songo adalah orang Tionghoa pendatang atau keturunan peranakan Tionghoa.
Kedua, peranan dan sumbangsih orang Tionghoa dalam bidang pendidikan
sejak tahun 1990 dan pengembangan bahasa dan kesusastraan Sastra melayu Tionghoa. Ketiga, turut sertanya empat orang Tionghoa dalam “Sumpah
Pemuda” yang telah meletakkan dasar yang penting bagi lahirnya nasion baru, yaitu Kwee Thiam Hong, Oei Kay Siang, John Lauw Tjoan hok, Tjio Djien Kwie.
Keempat, empat orang Tionghoa yang turut BPUPKI Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang beranggotakan 60 orang, yang kemudian diperlukan 66 orang adalah Oei Tjong Hauw, Oei Tjiang Tjoei,
Mr. Tan Eng Hua, dan Liem Koen Hian. Kelima, yang turut meresmikan UUD 1945 dalam penelitian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI adalah
Drs. Jap Tjwan Bing, seorang Apoteker. Keenam, selama masa revolusi mempertahankan makam pahlawan, antara lain, yang ada di Surabaya. Yang
paling terkenal di antaranya adalah John Lie, putra Manado yang kemudian menjadi perwira tinggi di Angkatan Laut Republik Indonesia ALRI berpangkat
Laksamana Madya. Ketujuh, turut sertanya sejumlah orang keturunan Tionghoa di Konferensi Meja Bundar di Negeri Belanda yang telah mengantarkan
penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RI tanggal 27 Desember 1949 yang lalu. Dapat dilihat dari serangkaian paparan tersebut dapat dipastikan bahwa etnis
Tionghoa telah lebih dari 400-500 tahun turut serta dalam berbagai kegiatan dalam masyarakat Indonesia, turut menyumbang dalam perkembangan dan
pembentukan nasion Indonesia. Oleh karena itu, kalau ditanya apa tugas dan kewajiban etnis Tionghoa dalam membangun bangsa dan negara, dengan
sendirinya jawaban yang pasti adalah persis sama dengan tugas dan kewajiban
semua komponen bangsa Indonesia lainnya, tanpa ada kecuali tanpa ada pembedaan.
3. Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia