A MODELING OF MANAGEMENT AND SOLVING ELECTION CONFLICT (A Descriptive Study of Reconciling Election Conflict in South Lampung District and Pringsewu District) PEMODELAN PENGELOLAAN DAN RESOLUSI KONFLIK ( Suatu Kajian Deskripsi Penyelesaian Sengketa Pilkad

(1)

ABSTRACT

A MODELING OF MANAGEMENT AND SOLVING ELECTION CONFLICT

(A Descriptive Study of Reconciling Election Conflict in South Lampung District and Pringsewu District)

By Nurlis Mefita

This study aimed to describe in more detail depth-study about (1) the potential sources of conflict both before election term, on-going election, as well as the announcement of the election results, (2) finding several trigger-factors of electoral conflicts, especially on the local political elite and (3 ) management of election conflict to produce election dispute resolution.

The type of research used in this study is descriptive qualitative. This study is a process of analytical understanding based on methodology used to investigate a certain situation. Data collection technique primarily in this study used interviews and documentation way. Meanwhile, data processing techniques consist of three phases, as phase editing, categorization, and interpretation of data result. Data analysis techniques were more focused on the field observation along with the collecting, processing the data, and analyzing of post-field observation.

From the research, it could be concluded that all those systematically organizing elections should have enriched the stake-holder the knowledge and the experience that could lead both a systematically prevented conflict and a comprehensive management and conflict resolution. Moreover, it is to socialize to the public about that is the election conflict could not be avoided, but it was utilized to be a positive way.


(2)

ABSTRAK

PEMODELAN PENGELOLAAN DAN RESOLUSI KONFLIK ( Suatu Kajian Deskripsi Penyelesaian Sengketa Pilkada Kabupaten

Lampung Selatan dan Kabupaten Pringsewu )

Oleh

NURLIS MEFITA

Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai (1) Sumber-sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada?; (2) faktor pemicu konflik pilkada, terutama para pada elite politik lokal?; dan (3) pengelolaan konflik pilkada hingga menghasilkan penyelesaian sengketa pilkada.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif Kualitatif, penelitian ini merupakan suatu proses pemahaman analitis berdasarkan metodologi yang digunakan untuk menyelidiki suatu situasi.Tehnik Pengumpulan data utama dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi, dan Tehnik pengolahan data nya terdapat tiga tahap, tahap editing,kategorisasi,interpretasi. Tehnik analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan, proses data, dan setelah di lapangan.

Dari hasil penelitian dari semua pihak penyelenggaraan pilkada seharusnya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sistematis dan komprehensif tentang pengelolaan dan resolusi konflik. Serta mensosialisasikan ke masyarakat bahwa konflik tidak dapat dihindari justru didayagunakan menjadi hal yang positif. Kata Kunci : Pengelolaan, Resolusi, Konflik, Pilkada


(3)

PEMODELAN PENGELOLAAN DAN RESOLUSI KONFLIK ( Suatu Kajian Deskripsi Penyelesaian Sengketa Pilkada Kabupaten

Lampung Selatan dan Kabupaten Pringsewu)

Oleh

NURLIS MEFITA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

(5)

(6)

(7)

MOTO

“ Hargai apa yang kamu miliki saat ini, karena kebahagiaan tidak akan pernah datang kepada mereka yang tidak menghargai apa yang telah dimiliki “

( Nurlis Mefita )

“Aktifitas adalah jembatan yang menghubungkan antara apa yang anda inginkan terjadi dengan keinginan yang belum terjadi. Bangunlah jembatan di atas pondasi pengetahuan dan pengalaman, agar anda mampu menciptakan keputusan yang bermanfaat. Pengalaman tanpa pengetahuan adalah sesat, sementara pengetahuan tanpa pengalaman adalah rusak. Yang diperoleh dengan cara yang idak baik tidak

akan bisa dinikmati dengan baik, karena ia akan bisa dinikmati dengan baik, karena ia akan lepas dari tangan kita dengan cara yang sama mudahnya seperti

tatkala diperoleh.”

_Thomas Hendy_

“ Jika kalian tidak bisa ikut golongan yang memperbaiki, maka setidaknya, janganlah ikut golongan yang merusak. Jika kalian tidak bisa berdiri di depan menyerukan kebaikan, maka berdirilah di belakang. Dukung orang-orang yang

mengajak pada kebaikan dengan segala keterbatasan. Itu lebih baik “


(8)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang Maha Mulia dan Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberi rahmat dan hidayah,kekuatan, akal fikir, serta izin-nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang diberi judul “ Pemodelan Pengelolaan dan Resolusi Konflik” ( Suatu Kajian Deskripsi Penyelesaian Sengketa Pilkada Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pringsewu ). Adalah sebagai salah satu syarat untuk pencapaian gelar sarjana Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis membuka selebar-lebarnya pintu kritik dan saran terhadap karya tulis ini. Terkahir dengan selesainya skripsi ini, maka penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tulus kepada :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

2. Bapak Drs. Susetyo, M.Si selaku Ketua Jurusan dan Dosen Pembimbing Akademik yang banyak membantu penulis sejak awal penyusunan skripsi ini.


(9)

penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Ikram, M.Si selaku pembimbing Utama yang selama ini banyak membantu dan membimbing penulis dalam proses pembuatan skripsi ini. Terimakasih untuk semua kesabaran, ketulusan, nasehat, bimbingan dan masukan yang telah diberikan serta memberikan banyak pelajaran, dan saran-saran yang bersifat konstruktif pada penulis. “Makasih pak atas nasehat-nasehatnya”.

5. Bapak Drs. Gunawan Budikahono selaku pembahas dan penguji skripsi terimakasih atas masukan saran dan kritik dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Bapak dan ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dengan segala ketulusannya.

7. Seluruh staf pengajar dan akademik di Jurusan Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

8. Kedua orang tua Papa dan Mama terimakasih atas doa dan kasih sayang bahkan kesabaran dalam mendidik si penulis.

9. Adikku Febriyanto selalu menjadi adik yang baik walau terkadang ngeselin dan terimakasih atas doanya.

10.Keluarga besar papa dan mama terimakasih selalu ,memberikanku semangat,motivasi dan juga kebersamaan yang telah kita lewati bersama, terimakasih atas doanya.


(10)

memberikan kebahagiaan semoga apa yang kita lalui tidak akan lekang oleh waktu semoga allah meridhoi dan mendengar setiap niat tulus yang telah kita rencanakan. Amin..

12.Sahabat-sahabatku cobel (wanita penuh kepalsuan), gheol (ratu shooping), makasih ya udah menambah hari-hariku menjadi lebih berwarna.

13.Teman-teman Sosiologi Ekstensi 07, Nova, eli, budi, adi, indri terimaksih atas bantuan dan kebersamaannya.

14.Staf pengajar TK NURUL ISLAM, Umi Nurma terimaksih telah memberikan waktunya,dan mendukung setiap langkah dalam proses penyusunan skripsi ini,bu atik yang rela membagi waktunya,memberikan senyum,semangat dan dukungannya, bu yeni,bu ida,selvi,ana dan tika terimakasih telah mewarnai hidup saya dan berbagi pengalaman serta menghibur disaat sedih,terima kasih.

15.Sahabat-sahabat SMARTIS 07 IPS 9,sew, nyit, ivan, hesty, indri, aang,eka toyib, orbit, zai, pandi, hafis, jojo, mega, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

16.Terima kasih kepada pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(11)

penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin

Wassallamu’alaikum Wr.Wb………..

Bandar Lampung, November 2013 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

BAB I

I. PENDAHULUAN ………...…… 1.1 Latar Belakang Masalah ………...…………... 1.2 Rumusan Masalah ………...………... 1.3 Tujuan Penelitian ………...…………...…... 1.4 Kegunaan Penelitian ………...……... BAB II

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 2.1 Konflik Politik ………... 2.2 Teori-teori Penyebab Konflik …...………... 2.3 Persepsi Tentang Konflik ……….……... 2.4 Pengelolaan Konflik Politik ……….………...

2.4.1 Tahap Persiapan Intervensi ……….…... 2.4.2 Tahap Meningkatkan Kesadaran dan Mobilitas untuk

mendukung Perubahan ………... 2.4.3 Tahap Pencegah ………... 2.4.4 Tahap mempertahankan Kehadiran ………... 2.5 Model Pengelolaan Konflik Pilkada …………...…….….…………...

BAB III

III. METODE PENILITIAN ………... 3.1 Pendekatan Penelitian ……….…... 3.2 Fokus dan Lokasi Penelitian ………...… 3.3 Jenis dan Sumber Data ………...………

22 22 24 25 26 7 7 8 9 11 14 14 15 15 17 1 1 4 5 5


(13)

3.4 Teknik Pengumpulan Data ………... 3.5 Teknik Pengelolaan Data ………... 3.6 Keabsahan Data ………... 3.7 Analisis Data ……….………...

BAB IV

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN... 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung ... 4.2 Kondisi Topografi ... 4.3 Tutupan Lahan ... 4.4 Administrasi Pemerintahan ... 4.5 Kependudukan ... 4.6 Latar Belakang Konflik ...

4.6.1 Penegrtian Konflik ... 4.6.2 Akar Konflik Masyarakat ...

BAB V

V. PEMBAHASAN... 5.1 Klaim Kemenangan ... 5.2 Sengketa Empat Pilkada Lampung Masuk MK ... 5.3 Awal Sengketa Pilkada ... 5.4 Persidangan Sengketa Pilkada ... 5.5 Faktor Uang Menentukan Kemenangan Pilkada ...

BAB V

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 6.1 Kesimpulan ... 6.2 Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN 27 28 30 31 31 32 33 34 36 39 39 41 47 47 48 49 54 57 68 68 69 70 i


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak bulan Juni 2005 pemilihan kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125). Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan agenda politik yang panjang dalam sejarah pemerintahan daerah, betapa tidak semenjak tahun 2005 dan tahun-tahun selanjutnya, harus digelar pemilihan kepala daerah secara langsung di 226 daerah, meliputi 11 pemilihan gubernur, 179 pemilihan bupati, dan 36 pemilihan walikota (Kompas, 26/02/11). Perkembangan politik semacam ini tentu menyisakan berbagai persoalan, baik pada pra pemilihan, pada saat pemilihan, maupun pasca pemilihan.

Kemunculan konflik-konflik lokal di berbagai daerah dalam menghadapi arus demokrasi langsung tersebut, sulit untuk dihindari. Sorensen mengatakan bahwa konflik domestik yang terjadi pada berbagai level dan segmen masyarakat, yang bersumber dari dan mengakibatkan kemerosotan otoritas kekuasaan, dan pada gilirannya diikuti dengan kekerasan dan anarki (Zein:2005).

Perbedaan kepentingan politik sesungguhnya sesuatu yang tidak dapat dinafikan dalam konteks demokrasi, demokrasi membuka seluas-luasnya


(15)

kebebasan untuk berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berserikat dalam masyarakat politik, meskipun demikian terjadinya konflik politik, bahkan sampai pada aras kekerasan politik juga sesuatu yang sulit dihindari (Sulistyaningsih dan Hijri, 28:2005).

Dalam kaitan itu, setidaknya ada 5 (lima) sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada (Haris:2005). Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antarpasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil pilkada. Kelima, konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada.

Mekanisme pemilihan pilkada langsung hanya bagian kecil dari peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Ia tidak dengan sendirinya menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Kualitas demokrasi sebenarnya didasarkan pada banyak hal, khususnya menyangkut penerapan prinsip transparansi anggaran, partisipasi kelembagaan lokal, dan akomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat di dalam pengambilan keputusan/peraturan di daerah.

Sebaik apa pun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dalam cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya. Pelaksanaan pemilihan bisa saja bervariasi, namun intisarinya tetap sama untuk


(16)

semua masyarakat demokratis, yakni akses bagi semua warga negara yang memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pilih, perlindungan bagi tiap individu terhadap pengaruh suara, dan penghitungan yang jujur dan terbuka terhadap hasil pemungutan suara.

Dalam kerangka pemikiran seperti inilah, isu pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, menjadi momentum untuk mempertegas aura optimisme dalam lajur pengembangan dan penumbuhan demokrasi. Pilkada secara langsung, mau tak mau meletakkan aspirasi publik sebagai bagan awal dalam pengembangan dan penumbuhan demokrasi, yang lahir dari realitas bawah. Realitas arus bawah sering kali dianggap sebagai bentuk pengejawantahan dari aspirasi publik riil, yang dianggap sebagai parameter dari pengembangan dan penumbuhan demokrasi.

Idealnya pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan kontribusi positif dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan lokal yang otonom dan demokratis, namun secara empiris tidak menutup kemungkinan potensi masalah, termasuk konflik politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) akan bermunculan, dimulai dari masa persiapan sampai dengan pascapenetapan hasil. Demikian pula masalah bisa muncul dari unsur penyelenggara sampai pada pasangan calon dan partai politik yang mengusungnya.

Peta konflik dalam pemilihan kepala daerah secara langsung diprediksikan akan menjadi sebuah rentetan konflik, bahkan potensi konflik ini juga bisa mencuat di daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah normal- normal saja, atau daerah yang tidak pernah terjadi konflik sebelumnya. Dilihat dari dimensi vertikal-horizontal hubungan elite-massa yang begitu dekat,


(17)

etnonasionalisme, absolutisme kedaerahan, dan syarat dengan polarisasi kepentingan pilkada secara langsung sangat rentan dengan konflik. Selain itu pula, pemetaan konflik politik dapat juga dilakukan dari berbagai segi, seperti ideologi secara makro, kondisi politik lokal (geopolitik), sosial budaya, dan keamanan (Hijri, 11: 2004).

Meskipun disadari bahwa konflik dalam Pilkad merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan, namun tentu saja peristiwa sosial semacam itu tidak boleh dibiarkan. Keteraturan sosial (social order) atau dalam tataran yang lebih makro yakni integrasi bangsa tetap menjadi prioritas dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Resolusi atau pengelolaan konflik dalam Pilkada menjadi urgent untuk dipikirkan, dirumuskan, dan diimplementasikan secara proporsional dan professional. Salah satu cara untuk mendapatkan model yang baik adalah dengan melakukan penelitian lapangan.

1.2 Rumusan Masalah

Beberapa pilkada yang sudah dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia, persoalan yang hampir sama terjadi yaitu rawannya konflik dalam setiap tahapan pilkada. Meskipun pilkada bukan hal yang baru lagi, namun masalah konflik selalu saja terjadi, hal ini menggambarkan bahwa pelaksanaan pilkada tidak selalu dipersiapkan dengan matang, termasuk dalam upaya pengelolaan konflik didalamnya. Setidaknya dapat dilihat dari karakteristik konflik yang sering terjadi dari pilkada ke pilkada yang relatif hampir sama, jika tidak dalam tahapan kampanye, konflik itu terakumulasi pasca pemilihan, atau tepatnya dalam penghitungan suara akhir pilkada yang tidak semua pihak/kelompok dapat menerimanya.


(18)

Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah (1) Apa sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada?; (2) Apa faktor yang juga sering kali menjadi pemicu konflik pilkada, terutama para pada elite politik lokal?; dan (3) Bagaimana pengelolaan konflik pilkada hingga menghasilkan penyelesaian sengketa pilkada?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian dengan judul Pemodelan Pengelolaan Konflik Pemilihan Kepala Daerah, dimaksudkan untuk melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai (1) Sumber-sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada?; (2) faktor pemicu konflik pilkada, terutama para pada elite politik lokal?; dan (3) pengelolaan konflik pilkada hingga menghasilkan penyelesaian sengketa pilkada.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini bermaksud untuk digunakan sebagai (1) masukan pengetahuan dan ketrampilan yang sistematis dan komprehensif tentang pengelolaan dan resolusi konflik bagi pihak penyelenggara pilkada; (2) bahan sosialisasi ke warga masyarakat bahwa konflik merupakan keniscayaan. Sesuatu yang dalam hal-hal tertentu tidak dapat dihindari, melainkan justru harus didayagunakan menjadi hal yang positif; dan (3) bahan simulasi tentang resolusi konflik yang diharapkan dapat berfungsi sebagai forum total institutions yang berguna untuk mencabut nilai-nilai diri yang tidak dikehendaki serta menginternalisasikan nilai-nilai baru yang dikehendaki.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konflik Politik

Pada dasarnya politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan. Suatu konflik biasanya berawal dari kontroversi-kontroversi yang muncul dalam berbagai peristiwa politik, dimana kontroversi tersebut diawali dengan hal-hal yang abstrak dan umum, kemudian bergerak dan berproses menjadi suatu konflik (Hidayat, 2002:124).

Konflik politik merupakan salah satu bentuk konflik sosial, dimana keduanya memiliki ciri-ciri mirip, hanya yang membedakan konflik sosial dan politik adalah kata politik yang membawa konotasi tertentu bagi sitilah konflik politik, yakni mempunyai keterkaitan dengan negara/ pemerintah, para pejabat politik/pemerintahan, dan kebijakan (Rauf, 2001:19).

Konflik politik merupakan kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang keputusan politik, kebijakan publik dan pelaksanaannya, juga perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik (Surbakti, 1992:151).

Sebagai aktivitas politik, konflik merupakan suatu jenis interaksi (interaction) yang ditandai dengan bentrokan atau tubrukan diantara kepentingan, gagasan, kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan dasar lainnya yang


(20)

satu sama lain saling bertentangan (Plano, dkk, 1994:40). Dengan demikian, makna benturan diantara kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan individu atau individu, kelompok dengan pemerintah (Surbakti, 1992:149).

Salah satu faktor yang menggerakkan potensi konflik menjadi terbuka (manifest conflict), menurut Eric Hoffer adalah faktor keinginan akan perubahan dan keinginan mendapat pengganti Faktor tersebut, suatu saat, mampu menggerakkan sebuah gerakan massa yang bergerak seketika, menuntut perubahan revolusioner (Hoffer:1998).

2.2 Teori-Teori Penyebab Konflik

Konflik sebagai akibat dari menajamnya perbedaan dan kerasnya benturan kepentingan yang saling berhadapan, disebabkan oleh beberapa latar belakang yang ada. Pertama, adanya latar belakang sosial politik, ekonomi dan sosial budaya yang berbeda dan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Kedua, adanya pemikiran yang menimbulkan ketidak sepahaman antara yang satu dengan yang lain. Ketiga, adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan mekanisme yang ada dalam organisasi. Keempat, adanya rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi, sikap frustasi, rasa tidak senang, dan lain-lain, sementara tidak dapat berbuat apa-apa dan apabila harus meningggalkan kelompok, berarti harus menanggung resiko yang tidak kecil. Kelima, adanya dorongan rasa harga diri yang berlebih-lebihan dan berakibat pada keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk melakukan rekayasa dan manipulasi (Hidayat, 2002:124).


(21)

Simon Fisher (2001:7-8) menjelaskan teori penyebab konflik dalam masyarakat. Pertama, teori hubungan masyarakat, bahwa konflik yang terjadi lebih disebabkan polarisasi, ketidakpercayaan (distrust) maupun permusuhan antar kelompok yang berada ditengah-tengah masyarakat kita. Kedua, teori negosiasi prinsip, bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras serta perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Ketiga, teori kebutuhan manusia, bahwa konflik yang muncul ditengah masyarakat disebabkan perebutankebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi dalam perebutan tersebut. Keempat, teori identitas, bahwa konflik lebih disebabkan identitas yang terancam atau berakar dari hilangnya sesuatu serta penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan. Kelima, teori transformasi konflik, bahwa konflik disebabkan oleh hadirnya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ranah kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.

2.3 Persepsi Tentang Konflik

Secara sosiologis, konflik dipercaya memiliki dua fungsi, yakni fungsional dan tidak fungsional. Dalam pandangan struktural fungsional, konflik justru akan dapat menciptakan kreasi dan kemajuan masyarakat bahkan mampu mendewasakannya (Hale:2003), akan mampu mengintegrasikan masyarakat serta sebagai sumber perubahan (Surbakti, 1992:150).

Terdapat berbagai tipologi persepsi anggota masyarakat tentang konflik (Yuliyanto, 2004:3). Pertama, konflik sebagai sesuatu yang ditabukan. Kedua,


(22)

konflik sebagai sesuatu yang menakutkan. Ketiga, konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari. Keempat, konflik sebagai sesuatu yang harus dicegah.

Berkaitan dengan konflik ini ada dua pandangan yang berbeda dalam memahami konflik yang terjadi, yaitu pandangan lama dan baru, seperti yang dijelaskan oleh Stepphen P. Robbin dalam bukunya Managing Organizational Conflic, New York, Prentice-Hall Englewood Cliffts: 1974 (Urbaningrum, 1998:17).

Pandangan Lama Pandangan Baru - Konflik tidak dapat dihindarkan

- Konflik disebabkan oleh kesalahan-kesalahan manajemen dalam

perencanaan dan pengelolaan organisasi atau oleh pengacau

- Konflik mengganggu organisasi dan menghalangi pelaksanaannya secara optimal

- Tugas manajemen (pemimpin)

- Konflik dapat dihindarkan

- Konflik timbul karena banyak sebab, perbedaan tujuan yang tak dapat dihindarkan, perbedaan persepsi nilai-nilai pribadi, dan sebagainya

- Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan kegiatan organisasi (masyarakat) dalam berbagai derajat

Sumber : Stephen P. Robbins (1974) Managing Organizational Conflict, dalam Anas Urbaningrum (1998), Ranjau-Ranjau Reformasi: Potret Konflik Politik Pasca Kejatuhan Soeharto.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu konflik itu bersifat positif atau negatif bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat dalam konflik, terutama pada sikap masyarakat secara umum terhadap sistem politik yanng berlaku. Dalam hal ini yang menjadi sandaran untuk menentukan suatu konflik bersifat positif atau negatif, yakni tingkat legitimasi


(23)

sistem politik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat terhadap sistem politik itu sendiri.

2.4 Pengelolaan Konflik Politik

Dalam konteks demokrasi ada perubahan pemahaman mengenai konflik politik, dimana konflik tidak lagi dipahami sebagai aktifitas yang negatif, buruk, dan merusak, tetapi sebaliknya konflik merupakan aktifitas yang positif dan dinamis. Hal ini berlanjut pada perubahan konsepsi penyelesaian konflik menjadi

pengelolaan konflik (management conflict). Ini sebuah perbedaan sangat penting. Pertama, penyelesaian konflik menunjuk pada penghentian atau penghilangan suatu konflik, dengan demikian implikasinya adalah konflik merupakan sesuatu yang negatif, yang bisa diselesaikan, diakhiri, bahkan dihapuskan. Kedua, berbeda dengan penyelesaian konflik, pengelolan konflik lebih memberi pemahaman bahwa konflik bisa positif, bisa juga negatif. Meskipun makna istilah-istilah tadi tentu masih menjadi perdebatan (debatable) hal ini menunjukkan bahwa persoalan konflik memiliki berbagai pendekatan termasuk istilah-istilahnya.

Ada beberapa pendekatan untuk menangani konflik, yang terkadang juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses. Fisher, dkk (2001:6-7) menggambarkan sebagai berikut. Pertama, istilah pencegahan konflik yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras. Kedua, penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetjuan perdamaian. Ketiga, pengelolaan konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Keempat, resolusi konflik yaitu kegiatan menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubunganbaru yang bisa tahan lama di


(24)

antara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Kelima, transformasi konflik yaitu kegiatan mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. Berikut gambar yang merupakan penjelasan kelima beberapa istilah tersebut diatas:

Gambar. 1. Respon Terhadap Berbagai Konflik: Melalui Liku-liku Istilah

M

Mengelola konflik yaitu bagaimana menanganinya dengan cara yang konstruktif, bagaimana membawa pihak-pihak yang bertikai bersama dalam suatu proses yang kooperatif, bagaimana merancang sistem kooperatif yang praktis dan dapat dicapai untuk mengelola perbedaan secara konstruktif, bukan sebaliknya mengadvokasi metode-metode untuk menghilangkan konflik (Harris dan Reilly, 2000:20).

Sedangkan menurut Robinson dan Clifford ( Liliweri, 2005 : 288 ) manajemen konflik merupakan tindakan yang konstruktif yang direncanakan , diorganisasikan, digerakan, dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi

Konflik Laten Konflik di Permukaan Konflik Terbuka Pencegahan Konflik Penyelesaian Konflik Pengelolaan Konflik Resolusi Konflik Transformasi Konflik Meningkatnya Ruang Me n in g katn ya R u a n g L in g k u p


(25)

mengakhiri konflik. Manajemen konflik harus dilakukan sejak pertama kali konflik mulai tumbuh. Karena itu sangat dibutuhkan kemampuan manajemen konflik, antara lain, melacak pelbagai faktor positif pencegah konflik daripada melacak faktor negatif yang mengancam konflik.

Manajemen konflik merupakan sebuah sistem tawar-menawar dan bernegosiasi, dimana dalam konteks demokrasi dapat membantu mengatasi konflik antar kelompok dan menggiring mereka ke dalam dialog dan debat politik, dan menjauhkan mereka dari kekerasan di jalan. Tujuan manajemen konflik adalah menjaga supaya perselisihan yang ada bisa disalurkan ke dalam arena negosiasi dan mencegahnya jangan sampai mengalami peningkatan yang berujung pada konfrontasi dan kekerasan (Sisk dkk, 2002:96).

Ada beberapa hal yang tercakup dalam konsep manajemen konflik menurut Boulding (Liliweri, 2005:289) seperti: (1) adanya pengakuan bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik; (2) Analisis situasi yang menyertai konflik, misalnya mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, apakah konflik berhubungan dengan nilai, tujuan, cara, teritori, atau kombinasi dari faktor-faktor tadi; (3) Analisis perilaku semua pihak yang terlibat; (4) Tentukan pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (5) Fasilitas komunikasi, yaitu mebuka semua jalur komunikasi baik langsung maupun tidak langsung, diskusi dan dialog, dalam rangka hearing; (6) Negosiasiyaitu teknik untuk melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (7) Rumuskan beberapa anjuran, tekanan, dan konfirmasi bagi kelestarian relasi selanjutnya; (8) Hiduplah dengan konflik, karena semua konflik tidak dapat dihilangkan kecuali dapat ditekan atau ditunda kekerasannya.


(26)

Menurut Fisher (2001:91), tindakan dalam pengelolaan konflik dapat dilakukan dalam tiga cara, yakni: 1) Mengelola konflik secara lansung; 2) Mengelola berbagai akibat konflik; dan 3) Mempengaruhi struktur sosial. Mengelola Konflik Secara Langsung (Fisher,2001:95-108) dapat dilakukan dengan tindakan- tindakan sebagai berikut:

2.4.1 Tahap Persiapan Intervensi

1. Mengidentifikasi, memilih dan mengubah pendekatan terhadap konflik. Dalam hal ini ada 5 pendekatan yang dapat dicermati, yakni:

a. Kompromi (Mengurangi harapan-harapan, tawar menawar, memberi dan menerima dan memecah perbedaan).

b. Ako mo d asi (Memb erikan p erset ujuan , men en t r amkan mengurangi atau mengabaikan perbedaan pendapat, menyerah).

c. Pemecahan Masalah (Pengumpulan informasi.dialog, mencari alternatif). d. Pengendalian (Mengendalikan, menyaingi, menekan, memaksa,

bertempur).

e. Penolakan (Menolak, melarikan diri, menyangkal, mengabaikan, menarik diri, menunda).

2. Mengidentifikasi dan mengurangi prasangka.

2.4.2 Tahap Meningkatkan Kesadaran dan Mobilisasi untuk Mendukung Perubahan

a. Melobi kepada para pengambil keputusan dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan mereka.


(27)

b. Berkampanye, dengan tujuan utamanya adalah menciptakan iklim di kalangan public yang lebih luas, yang akan mendorong atau menekan para pengambil keputusan untuk mengubah kebijakan mereka.

c. Tindakan langsung dengan tanpa kekerasan melalui: Protes, anti kerjasama, ketidak patuhan sipil, dan berprasa.

2.4.3 Tahap Pencegahan

Mencegah konflik memanas sehingga berubah sekedar menjadi tindak kekerasan, atau bahkan tidak menjadi konflik. Beberapa mekanisme yang dapat di pilih, misalnya:

a. Membentuk forum yang berasal dari berbagai bagian masyarakat.

b. Mengirim sesepuh dari marga, suku, atau kelompok tradisional lainnya sebagai utusan.

c. Mengundang tokoh-tokoh agama untuk melakukan intervensi, dengan tujuan menyediakan ruang untuk dialog.

d. Memanfaatkan ritual yang ada dengan tujuan untuk membawa orang bersama-sama memperhatikan nilai-nilai yang ada.

e. Memanfaatkan struktur atau kelompok yang ada dan di hormati.

f. Menggunakan publikasi secara hati-hati untuk menyoroti kebutuhan tindakan darurat.

2.4.4 Tahap Mempertahankan Kehadiran

Para aktivis lokal dan para pekerja perdamaian dan hak asasi manusia di harapkan dapat mempertahankan kehadirannya, dengan tujuan dapat memberikan


(28)

bantuan secara efektif, dan mempengaruhi suasana kembali normal. Tindakan yang dapat di lakukan di sini dapat meliputi: (1) Perlindungan tanpa senjata; (2) Aktif melakukan pemantauan dan observasi terhadap perkembangan situasi. Pada umumnya rekontruksi pasca konflik akan terfokus pada upaya-upaya pemenuhan kebutuhan fisik. Sedangkan rekontruksi psikologis adalah merupakan upaya untuk membantu individu individu atau korban mengatasi masa lampaunya. Misalnya, bantuan untuk mengatasi trauma, dan bantuan kepada korban untuk mengungkapkan pengalaman mereka sehingga terhindar dari tekanan psikologi. Sementara itu, rekonstruksi atau rekonsiliasi sosial merupakan suatu proses membangun kembali suatu masyarakat yang mengalami kesengsaraan akibat kekerasan/ konflik melalui: pertama, Pengungkapan tentang kebenaran penyembuhan dan pemulihan (bukan kebenaran faktual/obyektif ataupun subyektif). Kedua, aktualisasi sikap dan perilaku belas kasihan, yakni kemampuan orang-orang yang telah menjadi korban kekerasan/ konflik untuk tetap menghargai sesamanya dan mengakui bahwa mereka bisa hidup bersama. Ketiga, penegakan keadilan, yakni tindakan pemulihan hak-hak tanggung jawab, dan kesetaraan yang diberikan kepada para korban kekerasan/ konflik.

Tindakan pengelolaan konflik menurut Fisher (2001:141-153) adalah berupa upaya untuk mempengaruhi struktur sosial. Dalam hal ini ada tiga cara yang dapat ditempuh, yakni: Pertama, penyelengaraan pendidikan, perdamaian dan keadilan, di institusi-institusi formal, informal maupun non formal. Dalam kerangka ini anggota masyarakat diarahkan untuk memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan damai dan adil kepada sesama manusia. Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Ketiga, membangun pemerintah global. Pemerintah yang baik setidaknya memberikan peluang kepada


(29)

proses konsultif, rakyat-pemerintah dan masyarakat madani untuk semakin mandiri.

Dalam kerangka konflik politik akhir-akhir ini, istilah pengelolan konflik atau manajemen konflik lebih marak dengan istilah resolusi konflik. Menurut Morton Deutch dalam bukunya, The Resolution of Conflict (Liliweri, 2005:289) adalah sekumpulan teori penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat politik, meneliti strategi terjadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik.

Dengan demikian penyelesaian konflik atau resolusi konflik sesungguhnya adalah proses mendiskusikan sebuah atau serangkaian isu, mencapai kesepakatan, dan melaksanakannya, kemudian menghilangkan akar penyebab konflik sebisa mungkin. Sejauh perangkat peraturan itu dipandang adil oleh segenap lapisan masyarakat dan tidak ada kelompok mayoritas yang menentang atau berniat mengganti peraturan itu, konflik yang ada bisa dikatakan berhasil diselesaikan (Siska dkk, 2002:96).

2.5 Model Pengelolaan Konflik Pilkada

Pilkada sebagai bentuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, kerap kali berujung pada konflik. Konflik itu sendiri biasanya diawali dari pelanggaran- pelanggaran yang selanjutnya menjadi sengketa diantara kelompok yang mencalonkan pasangan kepala daerah, penyelenggara pilkada, dan elemen lain yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada. Siapa pun yang ikut ambil bagian dalam arena pilkada tidak menginginkan konflik itu terjadi. Kalau pun pada kenyataannya konflik itu tidak terelakan, maka agar tidak menjadi eskalatif, konfrontatif, dan destruktif perlu adanya model resolusi yang tepat.


(30)

Analisis model resolusi konflik atas dasar hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Lombok Barat dengan memperhatikan catatan lapangan (field records), tepatnya atas dasar data emik yang dikumpulkan dari subyek-subyek penelitian, serta dengan mengikuti proses analisa data sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008), maka data tentang resolusi konflik Pilkada tersebut dapat direduksi (data reduction) ke dalam tabel di bawah ini:

Hasil Reduksi Data Resolusi Konflik Pilkada

No. FOKUS DESKRIPSI

1. Persepsi tentang Penyabab Konflik

1. Dominasi ekonomi dan politik di kelompok tertentu;

2. Sikap tidak simpatik terhadap petugas dan sistem atau mekanisme adminstrasi Pilkada;

3. Rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi Pilkada;

4. Ketidakadilan perlakuan terhadap kontestan Pilkada.

2 Kategori Aktor Resolusi Konflik

1. Aktor Politik; 2. Aktor Ekonomi; 3. Aktor Sosial; 4. Aktor Agama 3 Peran Aktor dalam Resolusi

Konflik

1. Pencegahan konflik;

2. Penyelesaian konflik (mengakiri); 3. Pengelolaan konflik (membatasi dan

menghindari meluasnya kekerasan); 4. Resolusi konflik (membangun

hubungan baru);

5. Transformasi konflik (merubah yang negatif menjadi positif)

4 Tujuan Resolusi 1. Menguji validitas bukti-bukti material; 2. Menghentikan konflik dan

mengembalikan kerukunan antar pihak yang berkonflik

5 Strategi Resolusi 1. Mekanisme legal-formal; 2. Personal Approach

6 Tempat Resolusi 1. Kepolisian dan Pengadilan; 2. Arena social

7 Hasil Resolusi 1. Ketetapan hukum legal formal; 2. Transformasi


(31)

Berdasarkan hasil reduksi data di atas, selanjutnya kategori-kategori utama, atau konsep-konsep pokok yang ditemukan di lapangan yang terkait dengan proses resolusi konflik kemudian dijadikan bahan untuk dilakukannya display data. Tahap ini merupakan fase dimana kategori pokok yang ditemukan kemudian dicoba saling dihubungkan atau dikoneksikan dengan tujuan agar semakin nampak jelas model yang hendak dicari dalam suatu penelitian.

Penelitian ini menemukan model resolusi konflik yang kemudian kita sebut dengan fluidity resolution models atau model resolusi yang mencair sebagaimana tergambarkan dalam tabel di bawah ini. Disebut dengan model resolusi yang mencair karena menurut temuan di lapangan, ternyata model baku yang ditawarkan pemerintah melalui desk Pilkada tidak fungsional untuk merespon dinamika konflik yang muncul. Warga lebih memilih jalur formal resolution, jika konflik yang terjadi disebabkan oleh persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan pelanggaran ketentuan hukum positif. Namun jika akar konflik Pilkada itu disebabkan oleh persoalan-persoalan sosial, politik, dan ekonomi, maka warga lebih memilih jalur informal and accidental resolution. Ketidak-bakuan atau keluwesan mekanisme resolusi konflik semacam inilah yang kemudian penelitian ini menyebutnya sebagai model resolusi yang mencair.

Sebagaimana dipaparkan di bagian terdahulu, resolusi informal dan aksidental tersebut merupakan fungsi dari nilai-nilai dan atau norma-norma sosial budaya (termasuk di dalamnya tentu terkait dengan nilai-nilai agama) yang sangat dihormati oleh warga masyarakat, sekaligus juga merespon social personality warga masyarakat Indonesia yang sulit menyelesaikan konflik secara face to face di forum formal.


(32)

FLUIDITY RESOLUTION MODELS

KONFLIK

RANAH HUKUM: Persyaratan administratif (Ijazah),

Tindakan Destruktif, dll

RANAH SOSIAL, POLITIK, & EKONOMI: Kebencian, Perebutan pengaruh, kampanye, persaingan bisnis, dll

FINAL RESOLUTION INFORMAL AND

ACCIDENTAL RESOLUTIONS

AKTOR POLITIK & HUKUM: ParPol, Polisi, Pengadilan, Kejaksaan,

KPU, PTUN, Panwaslu

AKTOR SOSIAL, EKONOMI, & POLITIK: Tokoh Masy dan Agama, Tim Sukses,

Pengusaha, ParPol

TUJUAN & STRATEGI RESOLUSI: Uji validitas bukti2 material melalui

mekanisme legal formal

TUJUAN & STRATEGI RESOLUSI: Menghentkn & mengemblkn kerukunan

warga melalui personal approaches

TEMPAT RESOLUSI: Forum Pengadilan

TEMPAT RESOLUSI: Arena and Social Events

HASIL RESOLUSI: Ketetapan Hukum atas kasus yang

menjadi penyebab konflik

HASIL RESOLUSI: Transformasi Konflik dari Manifes

menjadi Laten


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif. Dimaksud dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini merupakan suatu proses pemahaman analitis berdasarkan metodologi yang digunakan untuk menyelidiki suatu situasi tentang fenomena konflik antar kelompok sosial dan pengelolannya. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran yang kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan informan, dan melakukan studi pada situasi sosial yang alami (Bungin, 2007:69). Mengacu pada pendapat Bogdan dan Taylor (Moleong, 2000:3), bahwa metodologi kualitatif ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Pada penelitian kualitatif, peneliti sekaligus sebagai instrumen kunci. Peneliti sudah mempersiapkan bekal teori dan wawasan yang cukup berkaitan dengan persoalan yang diteliti, sehingga bisa dapat dikembangkan secara terarah dan sistematis baik dalam bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif ini digunakan karena masalah yang diteliti belum


(34)

cukup jelas, berguna untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi antar kelompok sosial, untuk mengembangkan teori, dan untuk memastikan kebenaran data.

Menurut Strauss dan Corbin (Bungin, 2007:68), penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.

Penelitian kualitatif ini merupakan proses melakukan penafsiran terhadap fenomena konflik antar kelompok sosial dan pengelolannya, sebagai indikasi kualitas keharmonisan sosial. Menggunakan multi metode (trianggulasi) untuk pencapaian validitas dan reliabilitas data. Dalam penelitian ini juga digunakan semiotika, narasi, isi, diskursus, arsip, analisis fonemik, bahkan data kuantitatif, sehingga lebih dekat dengan metodoogi konstruktivisme (Agus Salim, 2006:53).

Dimaksud dengan metode deskriptif dalam penelitian ini adalah sebagai sebuah prosedur dalam memecahkan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan hubungan konflik dan mekanisme pengelolannya yang telah dan sedang terjadi, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan ini bertujuan membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual, tajam, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar kelompok sosial yang sedang diteliti (Nazir, 1999:63); atau berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Moleong, 2000:119); sebagai


(35)

penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan (Sugiyono, 2010:205).

Sesuai dengan pandangan Nawawi (1989:72) penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan ini ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia yang berhubungan dengan konflik dan keharmonisan sosial. Fenomena itu berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya dalam hubungan antar etnik yang diteliti. Jadi, penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan ini berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung terkait dengan konflik dan keharmonisan hubungan antar etnik di dalam lingkungan penelitian.

3.2 Fokus dan Lokasi Penelitian

Format penelitian deskriptif kualitatif yang dipergunakan dalam penelitian ini lebih pada mengungkap berbagai kasus konflik pilkada dan mekanisme pengelolaanya yang sudah atau yang sedang terjadi. Penelitian studi kasus berupaya mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa kejadian-kejadian pada saat sebelum berlangsung pilkada, pelaksanaan pilkada dan penghitungan suara, serta penerimaan hasil perhitungan suara.


(36)

Fokus penelitian kualitatif berkaitan erat dengan atau bersumber dari permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, karena menjadi acuan dalam penentuan fokus penelitian tersebut. Fokus penelitian dimaksudkan untuk memandu dan mengarahkan jalannya penelitian, sehingga dapat mengetahui berbagai data yang dibutuhkan dan data yang sebaiknya dibuang atau tidak diperlukan sebagai jawaban terhadap rumusan masalah. Penentuan fokus penelitian dilakukan dengan maksud untuk membatasi studi kualitatif, sekaligus membatasi peneliti guna memilih mana data yang relevan dan mana yang tidak (Moleong, 2000:237).

Mengacu pada alasan di atas, maka penelitian ini difokuskan pada konflik pilkada dalam kerangka integrasi bangsa. Dalam penelitian ini lebih melihat konflik pilkada secara komprehensif meliputi sebab, proses, akibat, dan mekanisme penyelesaiannya, sistem siaga dini dan sistem tanggap dini yang telah dilakukan pada konflik pilkada yang telah terjadi, khususnya di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pringsewu. Proses penyelesaian pasca konflik sudah dilakukan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dari berbagai sumber. Data utama, baik yang bersifat primer maupun sekunder, dalam penelitian kualitatif ini adalah berupa fakta, informasi, dokumen-dokumen, dan opini atau pandangan serta harapan yang diperoleh dari institusi, organisasi dan individu, baik yang langsung maupun yang tidak langsung terlibat dalam situasi yang diteliti.


(37)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data utama dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan dukumentasi. Pertama, teknik wawancara yang digunakan adalah bersifat terbuka dan dalam bentuk terstruktur, yakni merupakan alat re-cheking

atau pembuktian terhadap berbagai informasi atau keterangan yang diperoleh pada situasi munculnya persengketaan pilkada yang sering terjadi. Teknik ini digunakan untuk memperoleh berbagai informasi sesuai dengan kebutuhan dalam tujuan penelitian, dengan cara memberikan daftar pertanyaan terbuka dan terstruktur. Daftar pertanyaan tersbuka tersebut dijadikan sebagai instrumen utama para petugas pencari informasi yang digali dari informan.

Kedua, teknik dokumentasi dimaksudkan untuk memperoleh sejumlah besar fakta dan data yang tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumen-dokumen. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, laporan, berita acara dan kliping. Sifat utama data dokumen ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam dan yang sedang terjadi atau suatu kejadian dalam situasi sosial yang masih berlangsung hingga penelitian ini dilakukan. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu surat-surat, laporan peristiwa (termasuk hasil penelitian), gambar, putusan pengadilan, surat perjanjian damai, pemetaan wilayah rawan konflik pilkada, berita acara dan kliping, serta dokumen pemerintah yang dimiliki oleh Polda, Polres dan Polsek, dan berbagai institusi terkait lainnya.


(38)

3.5 Teknik Pengolahan Data

Setelah data-data hasil penelitian dikumpulkan, maka tahap selanjutnya adalah berupa pengolahan data. Teknik pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu :

1. Tahap editing, yaitu suatu proses pemeriksaan kembali data-data yang telah didapat atau diperoleh di lapangan. Data yang diperoleh di lapangan dipilah dan dipilih guna mendapatkan data-data yang benar-benar terkait dan berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Kategorisasi, yaitu tahap penyusunan data ke dalam bentuk kategori tertentu yang telah diproses dan disusun dalam suatu pola tertentu secara berurutan agar sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Pada tahap ini dilakukan pengelompokkan data yang telah diperoleh menjadi 3 kategori sesuai dengan tujuan penelitian. Kategori pertama adalah data-data yang terkait dengan sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada. Konflik pilkada dipilah lagi menjadi dua ketegori, yakni konflik dan resolusi konflik pilkada (formal) dan konflik dan resolusi konflik pilkada (informal dan accidental). Kategori kedua adalah data-data yang terkait dengan faktor yang sering kali menjadi pemicu konflik pilkada, terutama pada tataran elite politik lokal. Kategori ketiga adalah data, informasi dan opini yang terkait dengan berbagai upaya dalam pengelolaan konflik pilkada hingga menghasilkan penyelesaian sengketa pilkada.


(39)

3. Interpretasi, yaitu memberikan penafsiran atau penjabaran atas hasil penelitian tersebut untuk dicari maknanya yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban yang diperoleh dengan berbagai data lain yang terkait.

3.6 Keabsahan Data

Banyak kritik telah dilontarkan oleh berbagai kalangan ilmuwan bahwa hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena sedikitnya berkaitan dengan tiga hal. Pertama, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif. Kedua, instrumen yang digunakan (seperti dalam penelitian ini menggunakan wawancara terbuka dan terstruktur serta dokumentasi) yang mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan pembuktian di lapangan, apalagi jika tanpa kontrol dengan tepat. Ketiga, sumber data kualitatif yang kurang

credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan empat cara untuk menentukan keabsahan data, yaitu kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas (Sugiyono, 2010: 270-277).

Kredibilitas digunakan untuk mengetahui apakah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya. Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, peer debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check. Cara yang digunakan untuk memperoleh tingkat kepercayaan dalam penelitian ini adalah: (1) dengan memperpanjang masa pengamatan memungkinkan pening-katan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan


(40)

para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri; (2) dengan pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci; (3) dengan menggunakan teknik triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut; (3) dengan melakukan peer debriefing

(membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat; dan (4) mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.

Transferability yaitu dengan menguji apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. Dependability yaitu apakah hasil penelitian yang dilakukan ini mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Sedangkan konfirmability dilakukan untuk mengetahui apakah hasil penelitian yang dilakukan ini dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.


(41)

3.7 Analisis Data

Analisis data dilakukan sejak sebelum memasuki/terjun ke lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Sugiyono (2010: 245; Moleong, 2000: 207) menyatakan bahwa “analisis telah mulai dilakukan sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian”. Dalam penelitian ini, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan, proses data, dan setelah di lapangan. Analisis data setelah di lapangan ini bukan berarti pengumpulan data di lapangan sudah benar-benar selesai, melainkan secara fisik sudah tidak lagi terjun di lapangan, tetapi dengan menggunakan alat komunikasi elektronik (telepon, handphone dan internet). Tahapan aktivitas analisis data mengikuti proses reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi.


(42)

BAB IV

Gambaran Umum Daerah Penelitian

4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung

Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Lampung tanggal 18 Maret 1964. Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada kedudukan 103º40” (BT) Bujur Timur sampai 105º50” (BT) Bujur Timur dan 3º45” (LS) Lintang Selatan sampai 6º45” (LS) Lintang Selatan. Provinsi Lampung meliputi areal daratan seluas 35.288,35 km (Lampung dalam angka, BPS 2012) termasuk 132 pulau di sekitarnya dan lautan yang berbatasan dalam jarak 12 mil laut dari garis pantai kearah laut lepas. Luas perairan laut Provinsi Lampung diperkirakan lebih kurang 24.820 km (atlas sumberdaya pesisir Lampung, 1999). Panjang garis pantai Provinsi Lampung lebih kurang 1.105 km, yang membentuk 4 (empat) wilayah pesisir, yaitu Pantai Barat (210 km), Teluk Semangka (200 km), Teluk Lampung dan Selat Sunda (160 km), dan Pantai Timur (270 km). Batas administrasi wilayah Provinsi Lampung adalah :

1) Sebelah Utara dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu 2) Sebelah Selatan dengan selat Sunda


(43)

4) Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia

Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar Lampung, yang merupakan gabungan dari Kota Kembar Tanjungkarang dan Telukbetung memiliki wilayah yang relative luas dan menyimpan potensi kelautan. Pelabuhan utamanya bernama Panjang dan Bakauheni serta Pelabuhan nelayan seperti Pasar Ikan (telukbetung), Tarahan dan Kalianda di Teluk Lampung. Sedangkan di Teluk Semangka adalah Kota Agung dan laut Jawa terdapat pula Pelabuhan nelayan seperti Labuhan Maringgai dan Ketapang. Disamping itu Kota Menggala juga dapat dikunjungi kapal-kapal nelayan dengan menyusuri sungai Way Tulang Bawang, adapun Samudra Indonesia terdapat Pelabuhan Krui. Lapangan terbang utamanya adalah Radin Inten II yaitu nama baru dari Branti 28 Km dari ibukota melalui jalan Negara menuju Kotabumi dan Lapangan terbang AURI terdapat di Menggala yang bernama Astra Ksetra.

4.2 Kondisi Topografi

Menurut kondisi topografi, Provinsi Lampung dapat dibagi ke dalam 5 (lima) satuan ruang, yaitu:

Daerah berbukit sampai bergunung, dengan ciri khas lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar 25% dan ketinggian rata-rata 300 m di atas permukaan laut (dpl). Daerah ini meliputi Bukit Barisan, kawasan berbukit di sebelah Timur Bukit Barisan, serta Gunung Rajabasa.

1) Daerah berombak sampai bergelombang, yang dicirikan oleh bukit-bukit sempit, kemiringan antara 8% hingga 15% dan ketinggian antara 300 meter


(44)

sampai 500 meter (dpl). Kawasan ini meliputi wilayah gedung tataan, kedaton, sukoharjo dan pulau panggung di daerah Kabupaten Lampung Selatan serta adirejo dan bangun rejo di daerah Kabupaten Lampung Tengah. 2) Dataran alluvial, mencakup kawasan yang sangat luas meliputi Lampung

Tengah hingga mendekati pantai sebelah timur. Ketinggian kawasan ini berkisar antara 25 hingga 75 meter (dpl) dengan kemiringan 0% hingga 3%. 3) Rawa pasang surut di sepanjang pantai timur dengan ketinggian 0,5 hingga 1

meter (dpl).

4) Daerah aliran sungai, yaitu Tulang Bawang, Way Seputih, Way Sekampung, Way Semangka, dan Way Jepara.

4.3 Tutupan Lahan (Land Coverege)

Berdasarkan data peta RBI BAKOSURTANAL 2001 dari luas wilayah Provinsi Lampung sebesar 35.288,35 km². Tutupan lahan Provinsi Lampung dapat dilihat secara rinci pada tabel sebagai berikut:

Tabel 1 Tutupan Lahan Provinsi Lampung Tahun 2010

No. Pemanfaatan Luas (km²) Persentase (%)

1 Permukiman 2.321,83 6.58

2 Sawah 205,5 0.58

3 Pertanian lahan kering 21.492 60.90

4 Perkebunan 1.231,31 3.49

5 Hutan 2.080,26 5.90

6 Rawa, sungai, tubuh air 170,44 0.48

7 Tambak 340,87 0.97

8 Mangrove 4,36 0.01

9 Savana dan semak belukar 4.780,84 13.55 10 Tambang dan tanah terbuka 2.407,09 6.82

11 Penggunaan lainnya 253,83 0.72


(45)

4.4 Administrasi Pemerintahan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1964, yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 14 tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Provinsi Lampung dengan ibukota Tanjungkarang-Telukbetung. Kemudian berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 1983 telah diganti namanya menjadi Kotamadya Bandar Lampung terhitung tanggal 17 Juni 1983.

Administrasi Pemerintahan di Provinsi Lampung dibagi dalam 14 (empat belas) Kabupaten/Kota yang selanjutnya terdiri dari beberapa wilayah Kecamatan dengan perincian sebagai berikut :

1) Kota Bandar Lampung dengan luas wilayah 192,96 Km² terdiri dari 13 (tiga belas) Kecamatan;

2) Kota Metro dengan luas wilayah 61,79 Km² terdiri dari 5 (lima) Kecamatan; 3) Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa, luas wilayah 3.356,61 Km²

terdiri dari 25 (dua puluh lima) Kecamatan;

4) Kabupaten Tanggamus dengan ibukota Kota Agung, luas wilayah 3.356,61 Km² terdiri dari 20 (dua puluh) Kecamatan;

5) Kabupaten Lampung Selatan dengan ibukotanya Kalianda, luas wilayah 2.007,01 Km² terdiri dari 17 (tujuh belas) Kecamatan;

6) Kabupaten Lampung Timur dengan ibukota Sukadana, luas wilayah 4.337,63 Km² yang terdiri dari 24 (dua puluh empat) Kecamatan;


(46)

7) Kabupaten Lampung Tengah dengan ibukota Gunung Sugih, luas wilayah 4.789,82 Km² terdiri dari 28 (dua puluh delapan) Kecamatan;

8) Kabupaten Lampung Utara dengan ibukota Kotabumi, luas wilayah 2.725,63 Km² terdiri dari 23 (dua puluh tiga) Kecamatan;

9) Kabupaten Way Kanan dengan ibukota Blambangan Umpu, luas wilayah 3.921,63 Km² terdiri dari 14 (empat belas) Kecamatan;

10) Kabupaten Tulang Bawang dengan ibukotanya Menggala, luas wilayah 7.770,84 Km² terdiri dari 15 (lima belas) Kecamatan;

11) Kabupaten Pesawaran dengan ibukotanya Gedong Tataan, luas wilayahnya 1,173,77 Km² terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan;

12) Kabupaten Pringsewu dengan ibukotanya Pringsewu, luas wilayah 625,00 Km² terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan;

13) Kabupaten Mesuji dengan ibukotanya Mesuji, luas wilayah 2.184,00 Km² terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan;

14) Kabupaten Tulang Bawang Barat dengan ibukota Panaragan Jaya, luas wilayah 1.201,00 Km² terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan.

4.5 Kependudukan

Berdasarkan data Kependudukan pada tahun 2000 penduduk Provinsi Lampung berjumlah 6.659.869 jiwa dan rata-rata kepadatan penduduk per-Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 189 jiwa per Km² tahun 2000 berturut-turut adalah Kabupaten Lampung Barat 74 orang per Km², Kabupaten Tanggamus 239, Kabupaten Lampung Selatan 356, Kabupaten Lampung Timur 200,


(47)

Kabupaten Lampung Tengah 218, Kabupaten Lampung Utara 195, Kabupaten Way Kanan 91, Kabupaten Tulang Bawang dan Kota Bandar Lampung 3.851 dan Kota Metro 1.917 orang per Km² .

Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 (SP2010) Penduduk Provinsi Lampung tahun 2010 sebesar 7.608.405 orang dan rata-rata kepadatan penduduk per Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 216 orang per Km² tahun 2010 berturut-turut adalah Kabupaten Lampung Barat 85 orang, Kabupaten Tanggamus 196 orang, Kabupaten Lampung Selatan 455 orang, Kabupaten Lampung Timur 219 orang, Kabupaten Lampung Tengah 244 orang, Kabupaten Lampung Utara 214 orang, Kabupaten Way Kanan 104 orang, Kabupaten Tulang Bawang 91 orang, Kabupaten Pringsewu 585 orang, Kabupaten Tulang Bawang Barat 209 orang, Kabupaten Mesuji 86 orang, Kota Bandar Lampung 4.570 orang dan Kota Metro 2.354 orang per Km².

Data statistik dari pemekaran Kabupaten ini belum tersedia baik kondisi eksisting maupun data time series sehingga dalma melakukan proyeksi penduduk Kabupaten pemekaran tersebut, masih mengikuti data Kabupaten induk. Jumlah penduduk Provinsi Lampung pada tahun 2011 mencapai 9.327.445 jiwa dengan jumlah penduduk terbesar berada di Kabupaten Lampung Tengah yaitu sebesar 1.444.733 jiwa. Jumlah penduduk perkabupaten selanjutnya dapat dilihat dalam tabel berikut:


(48)

Tabel 2 Jumlah Penduduk Provinsi Lampung Tahun 2011 No Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk

Laki-laki Perempuan Total 1 Lampung Barat 229.881 209.945 439.826 2 Tanggamus 327.985 303.007 630.992 3 Pringsewu 198.434 185.818 384.252 4 Lampung Selatan 553.330 526.461 1.079.791 5 Lampung Timur 539.546 569.469 1.109.015 6 Lampung Tengah 743.773 700.960 1.444.733 7 Lampung Utara 400.665 379.443 780.108 8 Way Kanan 240.634 228.209 468.843 9 Tulang Bawang 209.562 208.089 417.651 10 Tulang Bawang Barat 132.583 135.852 268.435

11 Mesuji 135.213 121.361 256.574

12 Bandar Lampung 703.508 661.251 1.364.759

13 Metro 84.608 81.844 166.452

14 Pesawaran 267.990 248.024 516.014 Jumlah 4.767.712 4.559.733 9.327.445 (Sumber data BPS)

Pada tahun 2011 kepadatan penduduk di Provinsi Lampung adalah sebesar 216 jiwa/km² dengan kepadatan penduduk terbesar terdapat di Kota Bandar Lampung, yaitu sebesar 4.570 jiwa/km². Hal ini diakibatkan karena Kota Bandar Lampung merupakan ibukota Provinsi Lampung yang memiliki kelengkapan sarana prasarana dan aksessibilitas wilayah.

Kepadatan penduduk terendah di Provinsi Lampung pada tahun 2011 terdapat di Kabupaten Lampung Barat, Mesuji dan Tulang Bawang yang memiliki kepadatan masing-masing 85,86 dan 91 jiwa/km². Hal ini dipengaruhi oleh medan wilayah yang sulit untuk dijangkau serta ketersediaan prasarana dan sarana masih terbatas, sehingga menurunkan minat penduduk untuk menetap dan mencari penghidupan disana.


(49)

Tabel 3 Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Tahun 2011 No Kabupaten/Kota Ibukota Luas

wilayah

Tahun 2011 Jumlah Kepadatan 1 Lampung Barat Liwa 4.950.40 439.826 85.05 2 Tanggamus Kota Agung 3.356.61 630.992 196.26 3 Pringsewu Pringsewu 625.00 384.252 585.00 4 Lampung Selatan Kalianda 2.007.01 1.079.791 455.89 5 Lampung Timur Sukadana 4.337.89 1.109.015 219.94 6 Lampung Tengah Gunung sugih 4.789.82 1.444.733 244.23 7 Lampung Utara Kotabumi 2.725.63 780.108 214.31 8 Way Kanan Blambangan

umpu

3.921.63 468.843 104.50 9 Tulang Bawang Menggala 7.770.84 417.651 91.64 10 Tuba Barat Panaragan 1.201,00 268.435 209.00 11 Mesuji Mesuji 2.184,00 256.574 86.00 12 Bandar Lampung Bandar

Lampung

192.96 1.364.759 4.570.82

13 Metro Metro 61.79 166.452 2.354.98

14 Pesawaran Gedung Tataan 1.173.77 516.014 356.34 Jumlah 35.288.35 9.327.445 216.342 Sumber data Lampung dalam Angka

4.6 Latar Belakang Konflik 4.6.1 Pengertian konflik

Konflik merupakan proses sosial yang pasti akan terjadi ditengah-tengah masyarakat yang dinamis. Konflik terjadi karena adanya perbedaan atau kesalahpahaman antara individu atau kelompok masyarakat yang satu dan individu atau kelompok masyarakat yang lainnya. Dalam konflik pasti ada perselisihan dan pertentangan diantara pihak-pihak yang berkonflik. Konflik bisa dialami oleh siapa saja pada berbagai lapisan sosial masyarakat Konflik bisa dimulai dari keluarga, masyarakat sekitar, nasional dan global.


(50)

Menurut beberapa peneliti pengertian dapat didefinisikan hal-hal sebagai berikut:

1) Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik. Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga

diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak

diekspresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah.

2) Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif. Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak-pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu terjadi kembali.


(51)

Konflik di Indonesia dapat diidentifikasi secara umum atas dua jenis yaitu:

1) Konflik vertikal yaitu konflik Negara versus warga, buruh versus perusahaan; 2) Konflik horizontal yaitu konflik antar suku, antar agama dan antar masyarakat. Konflik-konflik tersebut bisa berlatar belakang ekonomi, politik, agama, kekuasaan dan kepentingan lainnya.

4.6.2 Akar Konflik Masyarakat

Masyarakat adalah kumpulan manusia yang bergaul dan berinteraksi secara intensif dan tidak dapat terhindar dari konflik sosial masyarakat. Masyarakat sebenarnya sebuah proses tiada henti. Manusia tidak berada di dalam masyarakat bukan bagai burung di dalam kurungannya, melainkan ia bermasyarakat. Sebagai mahluk sosial, manusia dituntut untuk dapat bekerjasama dengan orang lain, baik untuk kepentingan pribadi atau orang lain, untuk terciptanya kehidupan yang aman dan damai.

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia perlu melakukan interaksi sosial berupa hubungan timbal balik antar individu dengan individu lainnya, antar kelompok dengan kelompok dan antar individu dengan kelompok yang terdapat dalam masyarakatnya.

Konflik merupakan sebuah peristiwa perbedaan cara pandang yang dapat mengarah pada bentrok fisik. Sudah terbukti, konflik sosial semisal perang antarsuku, perang antarkampung, perang antarsaudara bahkan tawuran antar pelajar bermula dari konflik yang absurd dan abstrak atau sesuatu yang yang sifatnya sepele diantaranya:


(52)

a. Bidang ekonomi

Salah satu penyebab terjadinya konflik dapat dilihat dari sisi bidang ekonomi pengaruh munculnya potensi konflik di masyarakat sangat dominan. Faktor ini menjadi yang paling rentan akan gesekan-gesekan sehingga memicu kesalahpahaman diantara kelompok masyarakat.

Tabel 4 Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin No. Tahun Garis Kemiskinan Jumlah

Penduduk

Pddk Miskin %

1 2 3 4 5

1 2006 144.934 1.638,00 22,77

2 2007 157.052 1.661,70 22,19

3 2008 172.332 1.591,58 20.98

4 2009 188.812 1.558,28 20,22

5 2010 202.414 1.479,93 18,94

6 2011 234.073 1.298,71 16,93

Sumber data BPS

Terlihat dalam tabel 4 bahwa selama tahun 2006 s/d 2011 jumlah penduduk miskin Provinsi Lampung mengalami penurunan, dari sekitar 1.638.000 jiwa (2006), menjadi sekitar 1.298.710 jiwa (2011).

b. Bidang kebudayaan

Kemudian pada sisi kehidupan budaya pada masyarakat, bahwa di Provinsi Lampung sudah begitu membaur dengan budaya masyarakat suku lainnya, hal tersebut mengungkapkan bahwa masyarakat Provinsi Lampung dapat menerima pembauran yang ada dan, sebahagian besar adat budaya ada di Provinsi Lampung.

Masyarakat Lampung memiliki struktur hukum adat tersendiri. Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut menyebar di berbagai


(53)

tempat di daerah Lampung. Namun secara umum dapat dibedakan dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu masyarakat adat Saibatin yang berkediaman di sepanjang pesisir pantai dan masyarakat adat Pepadun yang berkediaman di daerah pedalaman Lampung.

Keaslian budaya masyarakat Lampung memiliki prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi :

1) Pi’il Pesenggiri diartikan sebagai sesuatu yang menyangkut harga

diri, prilaku dan sikap hidup yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun secara kelompok yang senantiasa dipertahankan.

2) Sakai Sambayan merupakan pengertian yang luas termasuk didalamnya gotong royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi sesuatu yang diperlukan bagi orang lain.

3) Nemui Nyimah berarti bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak baik terhadap orang dalam kelompoknya maupun terhadap siapa saja yang berhubungan dengan mereka.

4) Negah Nyappur adalah sebagai tata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesediaan membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum dan berpengetahuan luas.

5) Bejuluk Beadek adalah prosesi/ritual adat istiadat dalam rangka memberikan gelar adat.


(54)

c. Bidang keagamaan

Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi masyarakat. Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia, diantaranya perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras pemeluk agama dan masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.

d. Bidang politik

Ketika kemerdekaan sudah dicapai dan sampailah kita untuk menata kekuasaan negara, maka kita pun segera berhadapan dengan usaha membagi-bagi kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan memmembagi-bagi kekuasaan ternyata mempunyai kaitan dengan akar-akar konflik yang berbasis pada faham kedaerahan dan keagamaan, sehingga muncullah konflik politik kekuasaan yang berbasis fanatisme ras, suku dan keagamaan. Konflik politik kekuasaan yang mencerminkan ketidak-adilan membuat persatuan bangsa terguncang-guncang, terluka, terkoyak, dan sering kali memperlemah rasa persatuan dan solidaritas kebangsaan.

Ada sejumlah pola konflik yang perlu diwaspada akhir-akhir ini antara lain: 1) Konflik internal dalam suatu masyarakat lokal;

2) Konflik antara masyarakat local dan pemerintah daerah; 3) Konflik masyarakat antar daerah;


(55)

4) Konflik antar dua atau lebih pemerintah daerah;

5) Konflik antar masyarakat lokal dan pemerintah pusat sebagai penyelenggara Negara;

6) Konflik antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat

7) Konflik antar elit di pemerintah pusat yang berimbas pada konflik masyarakat di tingkat lokal.

Konflik yang terjadi pada umumnya melalui dua tahap yang dimulai dari tahap disorganisasi atau keretakan dan terus berlanjut ke tahap disintegrasi atau perpecahan. Timbulnya gejala-gejala disorganisasi dan disintegrasi adalah akibat dari hal-hal sebagai berikut :

a. Ketidaksepahaman para anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang pada awalnya menjadi pedoman bersama.

b. Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah disepakati.

c. Kaidah-kaidah dalam kelompok yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain.

d. Sanksi menjadi lemah bahkan tidak dilaksanakan dengan konsekuen dan cenderung dilakukan pembiaran.

e. Tindakan anggota kelompok sudah bertentangan dengan norma-norma kelompok.


(56)

Dari penjelasan-penjelasan tersebut, dapat dijelaskan bahwa, terjadinya konflik disebabkan hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya perbedaan pendirian atau perasaan antara individu dan individu lain sehingga terjadi konflik di antara mereka.

b. Adanya perbedaan kepribadian diantara anggota kelompok disebabkan perbedaan latar belakang budaya.

c. Adanya perbedaan kepentingan atau tujuan diantara individu atau kelompok. d. Adanya perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat yang

diikuti oleh adanya perubahan nilai-nilai atau system yang laku dalam masyarakat.


(57)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

1. Memperhatikan hasil penelitian, analisa data, dan diskusi teoritik yang telah disajikan di atas, maka penelitian tentang resolusi konflik Pilkada ini dapat merumuskan kesimpulan sebagai berikut:

2. Pandangan, pemahaman, dan pemaknaan warga, elit politik, pemerintah dan elemen terkait tentang pengelolaan konflik pilkada tidak ada, artinya semua pihak dalam hal ini tidak memiliki pemahaman yang sistematis dan

komprehensif.

3. Pengelolaan atau resolusi konflik Pilkada di arahkan pada dua hal. Pertama, mencari ketetapan hukum atas persoalan yang menjadi pemicu konflik. Kedua, menggeser level konflik dari manifest level menjadi latent level, atau dalam bahasa lain dapat disebut tindakan menenggalamkan konflik di bawah

permukaa. Inilah yang kita sebut dengan transformasi konflik. Dalam konteks pengelolaan konflik di Kabupaten Tuban dan Lobar tidak terukur, karena tidak ada perencanaan, pengorganisasian, sistem kontrol, yang disiapkan sebelumnya sebagai tindakan preventif. Atau dapat dikatakan sifatnya alamiah (natural), mengalir apa adanya.


(58)

4. Model resolusi konflik Pilkada yang ditemukan disebut dengan fluidity resolution model yang memiliki dua bentuk yakni formal resolution dan

informal and accidental resolution. Resolusi formal dilakukan jika konflik telah memasuki wilayah pelanggaran ketentuan-ketentuan hukum legal formal. Sedangkan resolusi infor mal dilakukan jika konflik lebih bersentuhan dengan problema: sosial, politik, dan ekonomi.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Semua pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pilkada seharusnya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sistematis dan komprehensif tentang pengelolaan dan resolusi konflik.

2. Mensosialisasikan ke warga masyarakat tentang social laws, bahwa konflik merupakan keniscayaan. Sesuatu yang dalam hal-hal tertentu tidak dapat dihindari, melainkan justru harus didayagunakan menjadi hal yang positif. 3. Perlu semacam forum simulasi tentang resolusi konflik yang diharapkan dapat

berfungsi sebagai forum total institutions yang berguna untuk mencabut nilai-nilai diri yang tidak dikehendaki serta menginternalisasikan nilai-nilai-nilai-nilai baru yang dikehendaki.

4. Desk Pilkada tidak harus dipaksakan sebagai arena untuk melakukan resolusi konflik.


(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

1. Memperhatikan hasil penelitian, analisa data, dan diskusi teoritik yang telah disajikan di atas, maka penelitian tentang resolusi konflik Pilkada ini dapat merumuskan kesimpulan sebagai berikut:

2. Pandangan, pemahaman, dan pemaknaan warga, elit politik, pemerintah dan elemen terkait tentang pengelolaan konflik pilkada tidak ada, artinya semua pihak dalam hal ini tidak memiliki pemahaman yang sistematis dan

komprehensif.

3. Pengelolaan atau resolusi konflik Pilkada di arahkan pada dua hal. Pertama, mencari ketetapan hukum atas persoalan yang menjadi pemicu konflik. Kedua, menggeser level konflik dari manifest level menjadi latent level, atau dalam bahasa lain dapat disebut tindakan menenggalamkan konflik di bawah

permukaa. Inilah yang kita sebut dengan transformasi konflik. Dalam konteks pengelolaan konflik di Kabupaten Tuban dan Lobar tidak terukur, karena tidak ada perencanaan, pengorganisasian, sistem kontrol, yang disiapkan sebelumnya sebagai tindakan preventif. Atau dapat dikatakan sifatnya alamiah (natural), mengalir apa adanya.


(2)

4. Model resolusi konflik Pilkada yang ditemukan disebut dengan fluidity resolution model yang memiliki dua bentuk yakni formal resolution dan

informal and accidental resolution. Resolusi formal dilakukan jika konflik telah memasuki wilayah pelanggaran ketentuan-ketentuan hukum legal formal. Sedangkan resolusi infor mal dilakukan jika konflik lebih bersentuhan dengan problema: sosial, politik, dan ekonomi.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Semua pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pilkada seharusnya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sistematis dan komprehensif tentang pengelolaan dan resolusi konflik.

2. Mensosialisasikan ke warga masyarakat tentang social laws, bahwa konflik merupakan keniscayaan. Sesuatu yang dalam hal-hal tertentu tidak dapat dihindari, melainkan justru harus didayagunakan menjadi hal yang positif.

3. Perlu semacam forum simulasi tentang resolusi konflik yang diharapkan dapat berfungsi sebagai forum total institutions yang berguna untuk mencabut nilai-nilai diri yang tidak dikehendaki serta menginternalisasikan nilai-nilai-nilai-nilai baru yang dikehendaki.

4. Desk Pilkada tidak harus dipaksakan sebagai arena untuk melakukan resolusi konflik.


(3)

D AFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Kamal, Wajah Bopeng Demok rasi Tuban, Sabtu, 20-Mei-2006, http:// www.m im b ar-o p in i.co m/ mo d .p h p ?mo d = p ub lish er &o p

=printarticle&artid=1353, diakses tanggal 12 Agustus 2009.

Babbie, Earl, 2008, The Basic of Social Research, Thompson and Wadsworth. Siangapore.

Berger, Peter L and Thomas Luckmann. 1976. The Social Construction of Reality. Garden City, N.Y. Dubleday.

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif. Prenada Media Group: Jakarta, 2007. Coser L.A. 1956. The Functions of Social Cinflict. New York: The Pree Press. Fisher, Simon, dkk. 2000. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk

Bertindak. Jakarta: SMK Grafika Desa Putra.

Folger, Joseph P. dan Poole, Marshall Scott. 1984. Working Through Conflict: A Communication Perspective, USA: Scott, Foresman and Company, Glenview, Illinois.

Faisal, Sanapiah, 2004, Format-format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Fisher, Simon, dkk., 2001, Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council Indonesia, Jakarta.

Haris, Syamsuddin, 2005, Mengelola Potensi Konflik Pilkada, Kompas tanggal 10 Mei. Harris, Peter, dan Reilly Ben (ed), \ 2000, Demok rasi dan Konflik yang Mengak

ar: Sejumlah Pilihan untuk N egosiator, International Institute Democracy and Electoral Assistance, Jakarta.

Hariyanto, Slamet, Amuk Massa dan Sengketa Hukum Pilkada Tuban, 1 Juni 2006, http://slamethariyanto.wordpress.com/2006/06/01/amuk- massa-dan-sengketa-hukum-pilkada-tuban/ ,diakses tanggal 12 Agustus 2009. Hijri, Yana Syafriyana, 2005, Kesiapan KPUD Kabupaten Malang dalam Pilk ada


(4)

Hermansyah, 2009, Penyelesaian Konflik Atnis dan Institusionalisasi Pengadilan Lokal yang Berbasis Budaya, Yogyakarta. Jurnal Media Hukum, Volume 16 No. 3 Desember 2009.

Hidayat, Imam, 2002, Teori-teori Politik, PA. Nurul Abyadh dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hoffer, Eric , 1998, Gerak an Massa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Hocker, Joice L. and Wilmot, William W. 1985. Interpersonal Conflict, Second Edition, USA: Wm.C. Brown Publishers.

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Lampung. 2011. Analisis Konflik Antar kelompok dan Upaya Menciptakan Sistem Siaga Dini Dalam Masyarakat Majemuk di Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Liliasari, Agustina, dan Harahap, Aswin Rizal, Kala Kota Damai Berubah

Mencekam, Kompas, 06 Mei 2006,

http://64.203.71.11/kompascetak/0605/06/Fokus/2631967.htm, diakses tanggal 12 Agustus 2009.

Liliweri, Alo, 2005, Prasangka dan Konflik (Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur), LKIS, Yogyakarta.

Malik, Ichsan; Wijarjo, Boedhi, Fauzi Noer, dan Royo, Antoinette. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala.

Manheim, Jarold B, dan C. Rich, Richard, 1981, Empirical Political Analysis (Research Methods in Political Science), Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, USA. Nugraha, Pepih, Berubahnya Konstelasi Politik , Kompas, 6 Mei 2006,

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0605/06/Fokus/2631967.htm, diakses tanggal 12 Agustus 2009.

Miall, Hugh, dkk. 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Moore, Christopher W. The Mediation Process, Practical Strategies for Resolving Conflict, San Fransisco, Jossey-Bass Publishers, 1996.

Nawawi, Hadari. 1989. Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.


(5)

Neuman. W. Lawrance. 2007. Basic of Social Research: Qualtative and Quantitative A pproaches Second E dition. Pearson and A.B. Boston

Neuman. W. Lawrance. 2007. Basic of Social Research: Qualtative and Quantitative Approaches Second E dition. Pearson and A.B. Boston. Pelly, Usman. 1993. Pengukuran Intensitas Potensi konflik Dalam Masyarakat

Majemuk. Jakarta: Analisa CSIS, Tahun XXII, No.3, Mei-Juni 1993. Plano, Jack C, dkk, 1994, Kamus A nalisa Politik , PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Pruitt, Dean G. and Rubin, Jeffry Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rauf, Maswadi, 2001, Konsensus dan Konflik Politik , DIKTI, Jakarta

Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Samhadi, Sri H., dan Khairina, Sabtu Membara di Bumi Ronggolawe, Kompas, 6 Mei 2006, http://64.203.71.11/kompas-cetak/0605/06/ Fokus/2631967.htm, diakses tanggal 12 Agustus 2009.

SENDI, 2001, Jurnal Media Watch dan Civic Education, Edisi 4-5.

Siska, Timothy D. D kk, 2002, Demokrasi Di Tingk at Lok al (Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan), International Institute Democracy and Electoral Assistance, Jakarta.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung, Alfabeta.

Susan, Novri. 2008. Democratic Conflict Governance: The Case of Aceh Indonesia (Graduating Paper). Costa Rica: Unites Nations-University for Peace.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, http/ /www.ri.go.id/ produk_hukum/

Strauss, A., dan Corbin, J., (1998) Basic of Qualitative Research: Techniques and Procedures for Developing Grounded Theory: E disi ke-2. Thousand Oaks, California: SAGE Publications.

Sulistyaningsih, Tri, dan Hijri, Yana Syafriyana, 2006, Pemahaman Masyarak at Multikulturalisme dalam Pengelolaan Konflik Sosial dan Politik (Studi pada Masyarakat Multi Etnik di Kota Malang), Jurnal Publica FISIP UMM, Edisi VII.


(6)

Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Grasindo, Jakarta.

Trijono, Lambang (ed.). 2004. The Making of Ethnic and Religious Conflicts in Southeast Asia: Case and Resolutions. Yogyakarta: CSPS Books. Urbaningrum, Anas, Ranjau-Ranjau Reformasi :Potret Konflik Politik Pasca Kejatuhan Soeharto, 1998, Rajawali Press, Jakarta.

Yuliyanto, Muchamad, 2005, Urgensi Manajemen Konflik di Tengah Perubahan, Jurnal Publica FISIP UMM, Edisi V.

Zein, M. Harry Mulya, 2004, Pil ada Langsung dan Arus Balik Demokrasi, Media Indonesia, Tanggal 31 Desember.


Dokumen yang terkait

A Descriptive Study on the Grade VIII Students’ Ability in Using Punctuation and Capitalization in Descriptive Paragraph Writing at SMPN 13 Jember.

0 5 6

The Effectiveness of Collaborative Learning in Improving Students’ Abililty in Reading Descriptive Text (A Pre-Experimental Study of the Seventh Grade Students of SMP Pelita Harapan, South Jakarta).

0 6 103

THE EFFECTIVENESS OF USING NEAR-PEER ROLE MODELING (NPRM) ON STUDENTS’ SPEAKING ABILITY (A Quasi-Experimental Study at the First Grade of SMPN 3 South Tangerang)

0 32 113

PEMODELAN PENGELOLAAN DAN RESOLUSI KONFLIK ( Suatu Kajian Deskripsi Penyelesaian Sengketa Pilkada Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pringsewu

0 15 65

A Qualitative Study on Handy Talky Use as the Assistant Device in a Government Institution (A Study in Public Relation and Protocol Office in Tanggamus District) Studi Kualitatif Penggunaan Handy Talky ( HT ) Sebagai Media Bantu Pada Sebuah Instansi Pemer

0 12 86

RELATIONSHIP BETWEEN APPLICATION PRINCIPLE OF TRANSPARENCY AND ACCOUNTABILITY WITH MANAGEMENT VILLAGE’S ALLOCATION DONATION (Case Study at Candimas Village, District of Abung Selatan, Lampung Utara Regency Toward Improvement) HUBUNGAN PENERAPAN PRINSIP TR

3 59 85

PEMODELAN PENGELOLAAN DAN RESOLUSI KONFLIK ( Suatu Kajian Deskripsi Penyelesaian Sengketa Pilkada Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pringsewu )

0 12 57

A MODELING OF MANAGEMENT AND SOLVING ELECTION CONFLICT (A Descriptive Study of Reconciling Election Conflict in South Lampung District and Pringsewu District) PEMODELAN PENGELOLAAN DAN RESOLUSI KONFLIK ( Suatu Kajian Deskripsi Penyelesaian Sengketa Pilkad

0 6 62

VILLAGE FUND ALLOCATION MANAGEMENT IN VILLAGE BUILDING 2013 ( A Study in Gayau Sakti Village Subdistrict Seputih Agung District Lampung Tengah) PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA (ADD) DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN TAHUN 2013 (Studi pada Desa Gayau Sakti Kecamat

3 30 82

A Game of Women Representation Policy Implementation In District of Jember in 2014 Election

0 0 27