ditemukan korelasi antara kadar ucOC pada insiden DMT2 pada subjek laki-laki paruh baya Hwang et al., 2012.
Kebanyakan penelitian klinis yang membuktikan adanya hubungan antara osteocalcin dan komponen SM seperti resistensi insulin menggunakan jumlah
sampel yang minimal dan lebih banyak mempergunakan pengukuran dengan kadar OC total sedangkan penelitian pada mencit lebih banyak mempergunakan kadar
ucOC Hwang et al., 2012 dan Swakerberg et al., 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Remodeling tulang adalah suatu proses yang memerlukan energi dan berlangsung berkesinambungan untuk mempertahankan masa tulang konstan pada
usia dewasa. Osteoblast menghasilkan protein OC di dalam sirkulasi terdiri dari cOC dan ucOC. Berbagai studi pada mencit membuktikan bahwa ucOC adalah
bentuk yang aktif dan dapat mempengaruhi metabolisme energi, resistensi insulin, sekresi insulin dan obesitas. Berbagai penelitian klinis dengan meneliti hubungan
OC terhadap sekresi insulin, kadar glukosa darah dan sensitifitas insulin menunjukkan hasil yang masih saling bertentangan. Sedangkan selama ini
penelitian mengenai peran ucOC kebanyakan dikerjakan pada mencit dan hasil penelitian pada manusia hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan uraian ringkas pada latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut :
Apakah kadar ucOC berkorelasi dengan resistensi insulin HOMA-IR pada Ob-Ab?
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui korelasi antara ucOC dengan resistensi insulin pada Ob-Ab
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik
Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita khususnya pada ilmu kedokteran
tentang korelasi antara ucOC dengan Resistensi Insulin HOMA-IR pada obesitas abdominal. Karena pada penelitian ini tidak terbukti adanya korelasi antara ucOC
dengan resistensi insulin HOMA-IR pada pasien Ob-Ab diharapkan penelitian ini dapat memberikan acuan awal pada penelitian selanjutnya dan penegasan bahwa
belum terbuktinya peranan tulang sebagai organ endokrin yang dapat mengatur metabolisme glukosa pada manusia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Pada penelitian ini belum terbukti peran ucOC berkorelasi dengan resistensi insulin HOMA-IR pada obesitas abdominal maka berbagai usaha yang dilakukan
untuk meningkatkan kadar OC terutama ucOC yang berhubungan dengan kemungkinan perbaikan toleransi glukosa pada pasien DMT2 atau menurunkan
resistensi insulin pada ob-ab belum sepenuhnya diperlukan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan
dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas
disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang meningkat WHO, 2006.
Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan perhitungan indeks masa tubuh IMT yang sangat berhubungan dengan
perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas dapat berdasarkan atas 1 data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau
2 berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan peningkatan dari lemak tubuh WHO, 2006.
Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat
sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena
berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular Bigaard et al., 2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008.
2.1.1 Etiologi Obesitas
Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya ketidakseimbangan energi, terlepas dari adanya faktor lainnya seperti faktor
genetik, sosial dan kebudayaan. Ketidakseimbangan energi tersebut timbul bilamana asupan energi makanan melebihi dari penggunaan energi total WHO,
2006. Perbedaan antara asupan dan penggunaan energi terutama dikatakan oleh
perubahan banyaknya simpanan lemak triasilgliserol pada organ penyimpan utama yaitu jaringan lemak putih Trayhurn, 2008. Akumulasi lemak akan terjadi
pada bagian tubuh yang tidak diinginkan seperti jantung, hati, pankreas dan otot skeletal jika suatu individu tidak dapat menyimpan kelebihan energi yang
dihasilkan pada jaringan adiposa subkutannya Despres et al., 2006 dan Despres et al., 2008.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas biasanya bekerja secara kombinasi diantaranya diet, merokok, kehamilan, kurangnya
aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan tertentu dan juga memiliki masalah kesehatan tertentu Trayhurn, 2008. Adanya penurunan dari berbagai hormon
akibat penuaan seperti hormon pertumbuhan dan produksi testosteron dapat juga dikatakan meningkatkan akumulasi dari lemak, penurunan masa otot, dan
keseimbangan energi Villareal, et al., 2005.
2.1.2 Epidemiologi Obesitas
Pada tahun 2015, World Health Organization WHO memperkirakan lebih dari 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 juta
orang akan mengalami obesitas WHO, 2014. Obesitas semula hanya menjadi perhatian pada Negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi,
namun belakangan secara dramatis obesitas juga mengalami peningkatan pada
negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di daerah urban WHO, 2014. Di negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat dan
Australia prevalensi orang dengan obesitas dan overweight tampaknya mempunyai kecenderungan akan semakin meningkat dan telah mengenai sekitar 50-65 persen
populasi, juga meningkat secara ekstrim di beberapa negara seperti Meksiko, Mesir dan populasi hitam di Afrika Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada
beberapa pulau-pulau daerah Pasifik, dan daerah Timur Tengah WHO, 2014. Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan
berat badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen, sedangkan negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar 1,5-2 persen
Mokdad, et al. 2001.
2.1.3 Pengaruh Obesitas terhadap Kesehatan
Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih banyak masalah terhadap kesehatannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki
berat badan normal Yanovski, 2002. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap beberapa
penyakit yang tidak menular diantaranya hipertensi, DMT2, penyakit kardiovaskular, osteoartritis, stroke, dan beberapa penyakit keganasan kolon,
rektum, esofagus, ginjal, payudara, dan prostat WHO, 2014. Meskipun secara keseluruhan telah dibuktikan mengenai beberapa pengaruh yang merugikan dari
obesitas terhadap kesehatan, obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan para klinisi karena sangat penyebab dan mekanismenya sangat luas. Beberapa
orang yang mengalami obesitas memiliki tekanan darah normal, profil lipoprotein-
lemak plasma yang normal, dan euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya dengan berat badan yang normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor
resiko metabolik Depres et al., 2006. Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah membuktikan bahwa
sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan timbunan lemak berlebih di daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk menderita DMT2, dislipidemia,
hipertensi dan penyakit kardiovaskuler Despress dan Marette, 2008. Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh dunia mungkin mendorong prevalensi
DMT2 menjadi lebih tinggi WHO, 2014. Beberapa dekade terakhir telah membuktikan adanya hubungan antara
aktivitas fisik dengan SM. Kurangnya aktivitas fisik atau sendentary life akan meningkatkan resiko terjadinya obesitas dan meningkatkan resiko terjadinya
beberapa penyebab kematian, penyakit kronik dan disabilitas Pergola et al., 2013. Dampak obesitas yang baru-baru ini diteliti yakni obesitas yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya 20 kejadian kanker di Amerika. Hubungan antara obesitas dan meningkatnya resiko kanker dikarenakan berbagai penyebab salah
satunya dari parameter antropometrik dan faktor pola hidup. Parameter antopometri termasuk BMI, peningkatan berat badan, total lemak tubuh khususnya lemak
abdominal, pola hidup termasuk sedentary lifestyle, parameter diet termasuk makanan berkalori tinggi dan diet berkualitas rendah yang diduga berperan sebagai
faktor predisposisinya. Beberapa jenis kanker yang kemungkinan berkaitan dengan kejadian obesitas yakni kanker esofagus, payudara, endometrium, ginjal, pankreas,
kandung empedu dan tiroid. Walaupun hingga kini mekanisme terjadinya kanker
pada obesitas belum jelas diketahui, diperkirakan adanya produksi hormon yang berlebihan, meningkatnya insulin, insulin growth factor, dan low grade
imflammation sebagai faktor pencetus Pergola et al,. 2013. 2.1.3.1 Obesitas dan Hipertensi
Penelitian pada tahun 1959 telah menunjukkan adanya hubungan langsung antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan. Penelitian oleh Rahmouni et
al, 2005 juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang mempunyai berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu beberapa penelitian
epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas dan hipertensi, hubungan kausalnya memang belum dapat diketahui dengan pasti,
namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas tersebut di turunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun, oleh karena itu timbul
beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya yaitu adanya mekanisme hemodinamik. Penelitiannya juga mendapatkan bahwa
adanya peningkatan stroke volume dan cardiac output pada penderita obesitas bila dibandingkan dengan yang bukan obesitas dan juga didapatkan peningkatan
tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa
peningkatan stroke vulume, cardiac output dan peningkatan tahanan perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas.
Peranan aktivitas saraf simpatis, juga dikatakan sebagai faktor yang berperan pada obesitas dengan hipertensi ditunjukkan pada penderita perempuan
obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan
darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme katekolamin, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan
katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat. Adanya peranan pada sistem endokrin yang diduga ikut berperan dalam
proses hipertensi pada obesitas terlihat pada adanya peningkatan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi
natrium di dalam glomerulus, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi pula sekresi natrium dalam glomerulus, dalam beberapa hal
keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dalam darah yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, dan nantinya menyebabkan hipertensi. Para peneliti tersebut sepakat bahwa menurunkan berat badan akan serta
merta dapat menurunkan tekanan darah Rahmouni et al., 2015. 2.1.4.2 Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik
Penelitian Krauss et al., 1998 menunjukkan meningkatnya resiko kematian mendadak yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas.
Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Hasil
penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap terjadinya arteriosklerosis koroner. Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat
obesitas ternyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibuktikan. Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita
obesitas yang dengan pemeriksaan angiografi memperlihatkan sklerosis arteria
koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat
bahwa obesitas tidak langsung menyebabkan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.
2.1.4.3 Obesitas dan Diabetes Melittus Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem metabolism glukosa dan
energi, dan yang sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan kejadian diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9
kali lebih sering bila dibandingkan orang yang tidak obesitas. Di Amerika telah dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 - 45 tahun mempunyai
kecenderungan terkena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 - 75
tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering daripada yang memiliki berat badannya normal. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas
sering mengalami hiperglikemia tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya
reseptor insulin terhadap adanya keadaan hiperglikemia. Beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa pada penderita diabetes dengan obesitas, kelainan dasarnya
adalah gangguan sekresi insulin. Sekresi insulin dikatakan terhambat sehingga kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan baik dan terdapat peningkatan
sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Disamping itu hiperglikemia dan hiperinsulinemia
dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya
peningkatan hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya jumlah reseptor insulin yang sensitif pada membran sel.
2.1.4.4 Obesitas dan Gangguan Pernafasan
Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan oleh
karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas vital paru yang akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat
dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat
badannya. 2.1.4.5 Obesitas dan Kelainan Sendi
Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung
menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi osteoartrosis OA baik primer ataupun sekunder. Conway dan Mc Carthy, 2015
dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung
lebih cepat menderita OA memerlukan operasi penggantian sendi. Beberapa mekanisme termasuk mekanikal, epigenetik, peranan sitokin-sitokin pro imflamasi
seperti VEGF, IL-6, TNF-A, penurunan adiponektin yang menurun diperkirakan sebagai penyebab terjadinya osteoarthritis pada obesitas. Sendi yang terkena adalah
sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki.
2.1.4.6 Obesitas dan Defisiensi Hormon Testosteron Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala
dan tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya diketahui pada kondisi yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis
dan kualitas hidup penderita. Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa; menurunnya libido, menurunnya aktifitas seksual, berkurangnya massa dan
kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah low energy dan depresi Jones , 2007 ; Mendonca et al., 2014. Assosiasi yang substansial signifikan yang banyak
dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan risiko penyakit kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi vaskuler,
hipertensi dan aterosklerosis Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al., 2011.
Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor yang penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang Ohisson et
al., 2011 ; Wang et al., 2011. Obesitas merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan adipose
mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFAFree Fatty Acid dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada
perkembangan SM, DM tipe-2 seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen Traish et al., 2009.
Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi active secretory tissue sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor
proinflamatori lainnya seperti IL-6, IL- 1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen,
vascular endothelial growth factor VEGF dan serum amyloid A Wang et al., 2011.
Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan disfungsi dari vaskuler sistemik maupun perifer Reilly et al., 2004. FFA
mengaktifasi nuclear factor- κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα
mengaktivasi lipolisis diikuti dengan meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage chemoattractant protein-1 MCP-1 yang akan meningkatkan mobilisasi makrofag
dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα juga meningkatkan ekspresi molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6 menstimulasi
sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron
terbukti dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat memodulasi secara langsung sensitivitas insulin Reilly et al., 2004 ; Wang et al.,
2011. Kadar testosteron pada penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan komponen Sindrom Metabolik dapat dilihat pada gambar 2.5 Wang et al., 2011
2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas
Standar pengukuran dan cara paling sederhana untuk menentukan obesitas adalah dengan menghitung indeks masa tubuh IMT yang ditetapkan berdasarkan
berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter [berattinggi
badan kgm
2
] WHO, 2006. Pada umumnya IMT berkorelasi dengan adipositas di dalam tubuh, meskipun kadangkala dapat memberikan informasi yang kurang
tepat tentang klasifikasi variasi kandungan lemak tubuh dan masa lemak intra abdominal Frayn et al., 2005. Dewasa ini masa jaringan adiposa dapat diukur
dengan berbagai cara, akan tetapi kebanyakan memerlukan peralatan dan teknik yang canggih, sehingga jauh dari jangkauan untuk diterapkan secara klinis
Villareal et al., 2005. Dibandingkan pemeriksaan lainnya, untuk memperkirakan kandungan total lemak tubuh mempergunakan IMT mempunyai spesifisitas yang
tinggi yaitu 98-99 persen, dengan nilai prediksi positif sebesar 97 persen. Selain itu IMT mudah dihitung dan telah direkomendasikan sebagai cara pengukuran obesitas
untuk orang dewasa WHO, 2006. Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa IMT berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas dari berbagai penyakit. Untuk penduduk di wilayah Asia-Pasifik, WHO menganjurkan pemakaian kriteria yang berbeda
berdasarkan faktor risiko dan morbiditas. Pada orang Asia, cut-off untuk overweight
23.0 kgm2 dan obesitas 25.0 kgm2 lebih rendah dibandingkan dengan kriteria WHO WHO, 2014. Usulan sementara ini berdasarkan dari hasil
penelitian pada penduduk Cina di Hongkong dan Singapura, dan keturunan India di Mauritius. Tetapi pada penduduk asli kepulauan Pasifik diperlukan cut-off yang
lebih tinggi yaitu untuk overweight IMT 26 kgm2 dan untuk obesitas IMT 32
kgm2 WHO, 2014.
Tabel 2.1 Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia dewasa berdasar IMT
WHO, 2014
2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak Tubuh
Distribusi lemak di dalam tubuh sangat menentukan resiko dari obesitas yang dapat ditimbulkannya yakni morbiditas dan mortalitas Depres et al., 2006.
Terdapat berbagai cara untuk menentukan secara tepat distribusi lemak tubuh manusia.
a. Computed tomography CT dan magnetic resonance imaging MRI
Beberapa tahun belakangan alat ini telah dapat digunakan sebagai alat untuk menjelaskan tempat berkumpulnya jaringan lemak yang kemungkinan suatu
lemak intra abdominal dan nantinya dapat memberikan informasi tentang dampak yang dapat ditimbulkannya Frayn, 2005. CT Scan atau MRI jaringan adiposa
intra abdominal dan subkutan dikerjakan setinggi L3L4 dengan potongan multipel slices merupakan gold standard untuk pengukuran jaringan lemak viseral
Wajchenberg, 2000. Pada ras Kaukasus luas lemak viseral 130 cm
2
berhubungan dengan sindroma metabolik sedangkan apabila 110 cm
2
merupakan risiko rendah. Kedua cara ini memiliki ketepatan yang tinggi yang juga dapat
membedakan antara lemak viseral dengan lemak subkutan WHO, 2006; Despres et al., 2006.
b. Dual-energy X-ray scanning
Penginderaan secara longitudinal dapat diperoleh dengan cara dual-energy X-ray scanning DEXA. Cara ini tidak akan menghasilkan data yang tepat
mengenai distribusi lemak tubuh seperti daerah intraabdominal, dan hanya memberikan informasi tentang distribusi dan perubahan yang terjadi pada lemak
tubuh Hao Wang et al., 2012. Metode ini memerlukan peralatan yang mahal dan banyak menghabiskan waktu, cara penggunaan tidak praktis sehingga masih
diperlukan metode yang sederhana terutama untuk penelitian di lapangan dengan jumlah sampel yang banyak Heymsfield et al., 2001.
c. Pengukuran subcutan fat
Mengukur subcutan fat atau lapisan lemak di bawah kulit memberikan estimasi yang baik tentang total lemak tubuh pada orang dewasa dan anak-anak
dengan berat badan normal, namun ini hanya merupakan cara tambahan untuk mengukur total lemak tubuh. Jangka lengkung lipatan kulit memuat ukuran lemak
yang berada persis dibawah kulit yang berasal dari beberapa bagian tubuh WHO, 2006. Pengukuran dilakukan pada 4 lokasi bisep, trisep, subskapula dan supra-
iliaka. Seseorang dikatakan obesitas jika pada laki-laki yang memiliki total lemak tubuh lebih dari 25 dan perempuan jika memiliki total lemak tubuh lebih dari
30 WHO, 2006. Cara pengukuran ini tidak cocok dilakukan pada subjek yang sangat gemuk karena tidak dapat mengukur komponen lemak intra abdominal yang
sangat penting Baum, 2004.
d. Pengukuran lingkar pinggang Lp dan rasio pinggang pinggul RPP
Kedua cara ini sangat praktis, sederhana dan murah untuk menentukan adanya timbunan lemak berlebih di daerah abdominal. Pengukuran obesitas ini
ditujukan untuk dapat mengidentifikasi adanya berbagai faktor risiko yang berhubungan dengan obesitas tersebut. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa Lp
dapat dipergunakan untuk menentukan lemak intra abdominal Despress et al., 2006. Rasio pinggang pinggul RPP atau waist to hip ratio WHR juga dapat
dipergunakan untuk mengukur obesitas abdominal, dimana PP 0,9 pada pria dan 0,80 untuk wanita dipergunakan untuk menentukan adanya obesitas abdominal
WHO, 2006. Pengukuran Lp saja ternyata terbukti merupakan cara yang baik untuk mengukur lemak intra abdominal. Pengukuran Lp sangat kecil dipengaruhi
oleh tinggi badan atau umur dan menurunnya Lp berhubungan dengan perbaikan faktor risiko kardiovaskuler Hwang et al., 2012. Penelitian longitudinal selama
kurun waktu 7 tahun menunjukkan bahwa perubahan Lp lebih berkorelasi dengan perubahan pada jaringan lemak viseral bila dibandingkan dengan perubahan pada
RPP Despres et al., 2008. Pengukuran Lp dapat mengidentifikasi individu yang memiliki distribusi lemak abdominal dan memiliki berbagai risiko untuk penyakit
kardiovaskuler. Pengukuran Lp sangat berkorelasi dengan pengukuran IMT dan RPP Lean et al., 1995. Individu dengan Lp 94-101 cm pada pria dan 80-87 cm
pada wanita 1½-2 kali memiliki satu atau lebih faktor risiko penyakit kardiovaskular dan individu dengan Lp
102 pada pria dan 88 cm untuk wanita memiliki 2½-4½ kali faktor risiko. Dianjurkan apabila Lp 94 cm pada pria atau
Lp 80 cm pada wanita tidak lagi boleh mengalami peningkatan berat badan.
Penurunan berat badan diperlukan apabila Lp 102 cm untuk pria dan 88 cm untuk wanita Lean et al., 1995.
2.2 Fungsi Jaringan Adiposa
Timbunan lemak atau adiposa pada manusia sebagian besar terdiri dari jaringan lemak atau adiposa putih dan diperkirakan menjadi tempat utama
penyimpanan energi Tilg dan Moshen, 2008. Penyimpanan energi oleh jaringan adiposa putih terjadi dalam bentuk trigliserida dan bila diperlukan akan melepaskan
energi berupa asam lemak bebas. Sel adiposa putih pada tingkat seluler terdiri dari sel adiposit yang mengandung lemak dan dikelilingi oleh matrik serat kolagen, sel
imun, fibroblast dan pembuluh darah Trayhurn, 2008. Masa jaringan lemak ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi,
keseimbangan kalori positif pada orang gemuk akan mengakibatkan terjadinya peningkatan lipid intraselular dan membesarnya ukuran adiposit hipertrofi dan
meningkatnya jumlah adiposit hiperplasia Bays, et al. 2008. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa adiposit dari jaringan adiposa tersebut dapat
mengeluarkan protein yang bekerja secara endokrin, parakrin dan autokrin untuk mengatur diferensiasi dari sel lemak dan juga pengaturan keseimbangan energi.
Beberapa tahun belakangan sejak leptin ditemukan, terjadi pergeseran paradigma dalam pengertian tentang peranan fisiologis jaringan adiposa putih. Penemuan 120
bahan yang terdiri dari berbagai hormon dan sejumlah faktor autokrin dan parakrin dihasilkan atau diproses didalam jaringan adiposa Kirkland et al., 2003. Sebagian
dari faktor-faktor yang disebut adipokin ini adalah tissue factor, leptin, tumor
necrosis factor- TNF-, interleukin-6 IL-6, interleukin-8 IL-8, interleukin-
1 IL-1, plasminogen activator inhibitor-1 PAI-1, transforming growth factor-
1 TGF-1, adipsin, adiponektin, angiotensinogen, resistin, serum amiloid A3 Mutch et al., 2001; Kirkland et al., 2003. Adipokin-adipokin tersebut berkorelasi
denngan imunitas dan respon inflamasi, dan produksinya secara umum meningkat pada obesitas Hotamisligil, 2006. Salah satu perkecualian adalah adiponektin,
yang bekerja sebagai anti-inflamasi dan perangsang pengeluaran insulin, ekspresi dan sekresinya menurun pada obesitas Ronti, et al. 2006. Mekanisme yang terjadi
pada obesitas sangat kompleks dan banyak melibatkan sitokin, hormon dan growth factor. Kenyataan bahwa TNF a, Leptin, IL-6, insulin, PAI-1, TGF-B dan lainnya
meningkat pada obesitas dan peranan ini berhubungan dengan berbagai penyakit yang sering dijumpai pada obesitas Fruhbeck et al, 2001.
2.3 Hubungan Lemak Viseral dengan Sindroma Metabolik