UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL.

(1)

TESIS

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN

TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI

INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR


(2)

ii

TESIS

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN

TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI

INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI NIM 1114048102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN

TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI

INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Combined Degree,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ANAK AGUNG ISTRI SRI KUMALA DEWI NIM 1114048102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 18 April 2016

Pembimbing I,

Prof.Dr.dr AAG. Budhiarta, Sp.PD- KEMD, FINASIM

NIP. 19441221 197206 1001

Pembimbing II,

Dr.dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD, FINASIM NIP. 197006272003122001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas

Udayana

Dr. dr. G. N. Indraguna Pinatih,MSc,SpGK NIP. 195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,SpS(K) NIP. 195902151985102001


(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal………..

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No :……….,Tanggal……

…………

Ketua : Prof. Dr. dr. AAG. Budiartha, Sp.PD-KEMD, FINASIM Anggota :

1. Dr. dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD,FINASIM 2. Prof. Dr. dr Alex Pangkahila, Sp.And

3. Dr. dr. G. N. Indraguna Pinatih,MSc,SpGK 4. Dr. dr. Desak Made Wihandani, M.Kes


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/ kurnianya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada Prof. Dr. dr. AAG. Budhiarta SpPD-KEMD, FINASIM pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. Made Ratna Saraswati SpPD-KEMD, FINASIM pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika SpPD-KEMD, FINASIM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program S2 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT, M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Kepala Program Studi


(7)

vii

Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. IDN. Wibawa SpPD KGEH dan Dr. dr. I Ketut Suega SpPD KHOM selaku Kepala Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji, yaitu, Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, Sp.And, Dr. dr. Desak Mde Wihandani, M. Kes, Dr. dr G.N. Indraguna Pinatih, MSc. yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

Pada kesempatan ini ijinkan juga penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan yang tulus kepada Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah dan Prof. Dr. dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH sebagai mantan Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada masanya telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. Penulis juga memberikan ucapan yang sama kepada Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI sebagai pembimbing akademik penulis atas arahan dan bimbingan selama mengikuti pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Papa Anak Agung Gde Oka S.H, M.H. (alm) dan Mama Ketut Ayu Budiasih Sudira, S.H, yang senantiasa memberikan dorongan moril dan matriil. Kepada mertua saya Prof. Dr. dr A.A. Gede Agung Budhiarta, Sp.PD-KEMD, FINASIM dan Cokorda Istri Laksmi yang tak pernah lepas memberi motivasi, dan pengertian yang sebesar-besarnya saat menjalani


(8)

viii

pendidikan. Suami saya tercinta dr. Anak Agung Gede Agung Budhi Kusuma yang selalu ada dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, berat dan ringan menjalani bahtera rumah tangga dan pendidikan spesialis ini. Kedua buah hati saya tersayang Anak Agung Istri Agung tyarina Nadeswari dan Anak agung Gede Agung Raditya Kusuma yang telah limpahan kebahagiaan dan pengertian selama menjalani masa pendidikan, Adik saya Anak Agung Gede Putra Giarta, SE dan Anak Agung Istri Kartika Sari, SS yang selalu mendukung dan memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada rekan residen seperjuangan terimakasih atas motivasi dan persahabatan yang kalian berikan selama ini. Juga kepada paramedis, staf tata usaha Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah atas segala bantuan serta kerjasama yang baik selama menjalani pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, April 2016 Penulis


(9)

ix

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN

TIDAK BERKORELASI DENGAN RESISTENSI INSULIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

ABSTRAK

Angka obesitas semakin meningkat dan saat ini telah mencapai tingkatan epidemi diseluruh dunia. Sindroma metabolik merupakan kumpulan dari obesitas abdominal, gangguan toleransi glukosa, hipertensi dan dislipidemia. Obesitas abdominal dan resistensi insulin merupakan patofisiologi utama terjadinya sindroma metabolik dan komponen lainnya. Dahulu obesitas abdominal dikatakan berhubungan dengan tingginya masa tulang dan perlindungan terhadap kerusakan tulang yang berkaitan dengan penuaan, namun sebaliknya saat ini resistensi insulin dibuktikan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan adanya imflamasi lowgrade yang berkaitan dengan resorbsi tulang.

Beberapa penelitian yang pada studi binatang melaporkan bahwa osteocalcin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh osteoblast pada tulang yang memiliki peran dalam mengatur homeostasis glukosa. Pada manusia peran osteocalcin sendiri memang masih diperdebatkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi tersebut pada manusia dan membuktikan ucOC yang merupakan bentuk aktif osteocalcin memiliki peran dalam mengatur sekresi dan sensitivitas insulin, yang nantinya akan terdapat hubungan terbalik antara ucOC dan resistensi insulin (HOMA-IR).

Penelitian ini merupakan studi observasional analitik potong lintang. Perekrutan sampel dilakukan secara acak konsekutif yang menjalani General Check Up di Laboratorium Klinik Prodia Denpasar. Subyek merupakan pasien obesitas abdominal yang dipilih dengan consecutive sampling. Subjek diambil darah setelah puasa 8 jam untuk mengetahui kadar ucOC dan HOMA-IR.

Sebanyak 70 subyek (26 orang laki-laki dan 44 orang perempuan) yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dari 70 orang sampel, 3 orang dikeluarkan karena memiliki nilai outlier. Enam puluh tujuh subyek penelitian yang dianalisa memiliki rerata kadar HOMA-IR serum adalah 2,27±1,59. Kadar rerata ucOC adalah 4,18±2,25 ng/ml. Dilakukan uji korelasi Pearson antara ucOC dengan HOMA-IR didapatkan nilai koefisien korelasi adalah r = 0,22 p = 0,074, yang berarti tidak terdapat korelasi secara statistik.

Tidak terdapat korelasi antara ucOC dengan iesistensi Insulin (HOMA IR) pada Obesitas Abdominal.

Kata kunci: ucOC, HOMA IR, Obesitas Abdominal


(10)

x

UNDERCARBOXYLATED OSTEOCALCIN DOES NOT CORRELATE WITH INSULIN RESISTANCE IN ABDOMINAL OBESITY

ABSTRACT

Obesity has reached epidemic proportions globally, and all this evidence suggests that the situations are likely to get worse. Metabolic syndrome is characterized by abdominal obesity, impaired glucose tolerance, hypertension and dyslipidemia. Abdominal obesity and insulin resistance appear to be at the core of the pathophysiology of metabolic syndrome and its components. Abdominal obesity are associated with high bone mass and protect against excessive aging related bone loss. Conversely, insulin resistance is strongly associated with lowgrade inflammation that results increase bone resorption.

In animal studies showed there were relationship specific hormone osteocalcin produce by osteoblast with insulin resistance, but the result is still debated in human studies. This study was conducted to determine the relationship of active form osteocalcin which is ucOC has a role in regulating the secretion and sensitivity of insulin, which will be found an inverse relationship between ucOC with insulin resistance (HOMA-IR).

This research using crossectional analytic study samples were taken by consecutive sampling from who underwent general medical check up at Prodia Clinical Laboratory Denpasar. Samples are patients with abdominal obesity and appropriate with inclusion and exclusion criteria. A total of 70 patients conducted and 3 of them out from this research because had outlier value. Mean levels of HOMA-IR serum was 2.27 ± 1.59 pm / ml. Mean levels of ucOC is 4.18 ± 2.25 ng /ml. Pearson correlation test between ucOC with HOMA IR obtained a correlation coefficient was r = 0.22 p = 0.074, which means there is no statistically significant correlation.

There is no correlation between ucOC with insulin resistance (HOMA IR) on Abdominal Obesity.

Keywords: ucOC, HOMA IR, Abdominal Obesity


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMANJUDUL ... i

LEMBARPENGESAHAN ... ii

DAFTARISI ... iii

DAFTARGAMBAR ... iv

DAFTARTABEL ... vi

DAFTARLAMPIRAN ... vii

DAFTARSINGKATAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Rumusan Masalah ...6

1.3 Tujuan Penelitian ...7

1.4 Manfaat Penelitian ...7

1.4.1 Manfaat Akademik ...7

1.4.2. Manfaat Praktis ...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 OBESITAS ... 8

2.1.1 Etiologi Obesitas ... 8

2.1.2 Epidemiologi obesitas ... 9

2.1.3 Pengaruh Obesitas Terhadap Kesehatan ... 10

2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas ... 17

2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak ... 19

2.2 Fungsi jaringan Adiposa ... 22

2.3 Hubungan Lemak Visceral dengan Sindroma Metabolik ... 23

2.4 Mekanisme Resistensi Insulin pada Obesitas Abdominal ... 25

2.5 Pengukuran Resistensi Insulin ... 30

2.6 Peranan Klasik Tulang dan Organ Endokrin ... 31

2.6.1 Tulang dan Insulin ... 33

2.6.2 Osteocalcin sebagai Hormon pada Tulang yang berpengaruh pada Metabolisme Energi ... 36


(12)

xii

2.6.3 Bioaktivitas Osteocalsin ... 41

2.6.4 Sintesis dari Osteocalsin dan undercarboxylated Osteocalsin ... 42

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 44

3.1 Kerangka Berpikir ... 44

3.2 Konsep Penelitian ... 45

3.3. Hipotesis Penelitian ... 45

BAB IV METODE PENELITIAN ... 46

4.1 Rancangan Penelitian ... 46

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 46

4.2.1 Populasi untuk rancangan analytical cross-sectional study ... 46

4.2.2 Sampel ... 47

4.2.2.1 Kriteria Inklusi ... 48

4.2.2.2 Kriteria Ekslusi ... 48

4.2.3 Besar Sampel untuk penelitian analytical cross-sectional study ... 48

4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 48

4.3 Variabel Penelitian ... 49

4.3.1 Definisi Variabel Operasional ... 49

4.4 Bahan Penelitian ... 53

4.5 Prosedur Pemeriksaan ... 54

4.5.1 Pengukuran Lingkar Pinggang ... 54

4.5.2 Pemeriksaan Kadar Insulin ... 54

4.5.3 Pemeriksaan Glukosa Darah ... 55

4.5.4 Pemeriksaam kolesterol-HDL ... 55

4.5.5 Pemeriksaan trigliserida...55

4.5.6 Pemeriksaan kadar undercarboxylated Osteocalcin (ucOC ... 55

4.5.7 Pengukuran tekanan darah ... 56

4.5.8 Pengukuran serum kreatinin... 56

4.5.9 Pemeriksaan SGOT dan SGPT ... 57

4.5.10 Pemeriksaan tinggi badan ... 57


(13)

xiii

4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian ... .57

4.7 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data ... .57

4.8 Alur Penelitian ... .59

4.9 Analisis Data Statistik... 60

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

5.1 Hasil Penelitian ... 60

5.2 Hubungan antara ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA IR) pada Obesitas Abdominal ... 63

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 71

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...73

6.1 Simpulan...73

6.2 Saran...73


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Peranan osteoblast pada tulang menghasilkan undercarboxylated osteocalcin (ucOC) dan fibroblat growth factor 23 (FGF23)

sebagai hormon pada tulang ... 32

Gambar 2.2 Hubungan remodeling tulang, homeostasis glukosa, lipid dan metabolisme energi ... 33

Gambar 2.3 Mekanisme kerja dari insulin dan OC ... 36

Gambar 2.4 Pengaruh OC pada metabolisme energi ... 42

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 46

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 47

Gambar 4.2 Alur Penelitian ... 59

Gambar 5.1 Grafik Scatter Plot Korelasi antara kadar ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA-IR) pada Obesitas Abdominal ... 66

Gambar 5.2 Grafik yang menunjukkan perbedaan kadar ucOC pada kelompok perlakuan dan kontrol terhadap pemberiaan suplementasi vitamin K ... 69

Gambar 5.3 Perbedaan hubungan kadar cOC dan ucOC% dengan serum total osteocalcin ... .71


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia dewasa berdasarkan IMT ... 19 Tabel 2. Definisi Sindroma Metabolik menurut WHO, EGIR dan NCEP .. 22

Tabel 4.1 Index Wayne, diagnosis Hipertiroidisme berdasarkan

gejala dan tanda ... .52 Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian………... 61 Tabel 5.2 Hasil Analisis Korelasi antara ucOC dengan Resistensi Insulin


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 84

Lampiran 2. Formulir Persetujuan Tertulis……… 87

Lampiran 3. Kuisioner Penelitian……… .. 88

Lampiran 4. Surat Kelaikan Etik………. 93

Lampiran 5. Lampiran Hasil Analisis Statistik……… .. 94

Lampiran 6. Rencana dan Jadwal Penelitian ... 95

\Lampiran 7. Anggaran Penelitian ... 96


(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

ALB = Asam lemak bebas BB = Berat badan

cOC = carboxylated Osteocalsin CT-Scan = Computed tomography DEXA = Dual-energy X-ray scanning DMT2 = Diabetes Mellitus Tipe 2 EIA Kit = Enzyme immunoassay kit

Esp = Embryonic stem cell phosphatase FGF23 = Fibroblast growth factor

HA = Hydroxyapatite

HbA1c = Glycosylated hemoglobin HDL = High Density Lipoprotein HOMA = Homeostasis model assesment

HOMA-IR = Homeostasis model assesment-insulin resistance hsCRP = High sensitivity C-reactive protein

IL-1 = Interleukin-1 IL-6 = Interleukin-6 IL-8 = Interleukin-8 IMT = Indek masa tubuh KKr = Kliren kreatinin

Kr = Kreatinin

KTP = Kartu tanda penduduk LDL = Low Density Lipoprotein LP = Lingkar pinggang

MRI = magnetic resonance imaging Ob-Ab = Obesitas Abdominal

OC = Osteocalsin

OC knockout = Osteocalcin knockout

OST-PTP = Osteocalcin protein tyrosine phosphatase PAI-1 = Plasminogen activator inhibitor-1


(18)

xviii RI = Resistensi Insulin RPP = rasio pinggang pinggul SM = Sindrom Metabolik TG = Trigliserida

TGF-1 = Transforming growth factor-1 TNF- = Tumor necrosis factor-

ucOC = undercarboxylated Osteocalsin

ucOC% = Presentase undercarboxylated Osteocalsin VLDL = very low density lipoprotein

WHO = World Health Organization WHR = Waist to hip ratio


(19)

B A B I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kejadian obesitas meningkat dan telah mencapai tingkatan epidemi di seluruh dunia. Sejalan dengan itu angka kejadian sindroma metabolik (SM) juga meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM ditandai dengan obesitas abdominal, gangguan toleransi glukosa, hipertensi dan dislipidemia. Patofisiologi dari SM belum sepenuhnya diketahui tetapi obesitas abdominal dan resistensi insulin berperan untuk terjadinya SM (Magalhaes et al., 2013).

Obesitas sering berhubungan dengan meningkatnya masa tulang dan memberi perlindungan terhadap kehilangan masa tulang yang progresif pada usia tua. Sebaliknya resistensi insulin berhubungan dengan low-grade inflammation yang menimbulkan peningkatan resorbsi tulang (Muhlen et al., 2007; Zhao et al., 2013). Keadaan ini mengakibatkan berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan yang saling bertentangan mengenai hubungan antara SM dengan osteoporosis disamping perbedaan kriteria SM yang dipergunakan dan perbedaan cara pengukuran bone mineral density (Muhlen et al., 2007; Zhao et al., 2013). Dari berbagai hasil penelitian klinis maupun binatang dapat disimpulkan bahwa remodeling tulang dan metabolisme energi diatur oleh hormon yang sama (Lee et al., 2007; Yeap et al., 2012; Magalhaes et al., 2013).


(20)

Sejak lama dikenal peran klasik dari tulang sebagai organ yang penting untuk proteksi, stabilisasi, penunjang mobilisasi tubuh, berperan sebagai tempat untuk hemopoesis, mengatur keseimbangan kadar kalsium dan fosfat (Schwetz et al., 2012). Tulang merupakan sebuah organ besar dan memerlukan banyak energi karena secara berkesinambungan mengalami proses remodeling. Untuk memfasilitasi proses ini tulang mengandung dua jenis sel yaitu osteoklast dan osteoblast yang bekerja secara berlawanan (Ducy, 2011; Veldhuis-Vlug et al., 2013). Keduanya ditentukan berdasarkan molekul yang dihasilkan berupa sitokin yang bekerja lokal atau hormon yang bekerja secara sistemik (Lee et al., 2007).

Berbagai penelitian terakhir membuktikan bahwa tulang memiliki peran yang penting untuk mengatur metabolisme glukosa dan lemak melalui protein yang dihasilkan oleh osteoblast selama pembentukan tulang (Magalhaes et al., 2013). Tulang, jaringan adiposa, pankreas dan sistim saraf pusat melakukan interaksi satu dengan lainnya untuk mengatur berat badan dan mengatur pemakaian energi dan metabolisme glukosa melalui kerja dari hormon yang dihasilkan secara spesifik oleh osteoblast (Wah Ng, 2011; Alfadda et al., 2012).

Peranan endokrin dari tulang pertama kalinya diungkap pada mencit yang mengalami defisiensi embryonic stem cell phosphatase (Esp) yaitu gen yang menyandi protein tyrosine phosphatase (OST-PTP). Gen Esp diekpresikan pada osteoblast dan penelitian pada mencit dengan global (Esp-/-) atau gen Esp diinaktifasi seluruhnya, atau osteoblast-specific (Esposb-/-) knockout Esp akan mati

segera setelah lahir karena mengalami hipoglikemia yang berat. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa mencit mengalami peningkatan proliferasi sel-β


(21)

pankreas, sekresi insulin dan peningkatan kadar adiponektin. Disamping itu mencit Esp-/- disertai peningkatan sensitifitas insulin pada jaringan otot dan jaringan lemak. Mencit ini juga disertai kandungan lemak viseral lebih sedikit, peningkatan area mitokondria jaringan otot, peningkatan kadar protein yang berhubungan dengan biogenesis mitokondria yang memperlihatkan peningkatan pemakaian energi (Ferron et al., 2010). Penelitian pada mencit ini membuktikan bahwa osteoblast adalah sel endokrin yang dapat mengatur metabolisme energi karena mempengaruhi sekresi dan kepekaan jaringan terhadap insulin. Protein yang dikode oleh gen Esp adalah tyrosine phosphatase intraseluler dan memiliki fungsi metabolik dengan menghambat kerja dari osteocalcin (Ferron et al., 2010). Sebaliknya mencit dengan osteocalcin knockout (OC-/-) memiliki fenotipe metabolik yang berlawanan dengan mencit dengan Esp-/- tidak dapat mensekresikan osteocalcin (OC) suatu protein spesifik dihasilkan oleh osteoblast akan mengalami penurunan sel-β, peningkatan kadar glukosa, dan penurunan kadar insulin bila dibandingkan dengan mencit wild-type. Dengan menghilangkan allele OC dari mencit yang mengalami Esp-/- akan disertai dengan perbaikan dari fenotipe metaboliknya (Lee et al., 2007; Wah Ng., 2011).

Osteoblast mensekresi molekul OC ke dalam sirkulasi sebagai petanda dari pergantian tulang dan dapat mempengaruhi homeostasis glukosa (Confavreux et al., 2009; Schwetz et al., 2012). Sekresi OC oleh osteoblast melalui beberapa tahapan modifikasi post-translational melalui vitamin-K dependent dimana 3 glutamic acid residue mengalami carboxylated sehingga memungkinkan protein ini berikatan dengan kalsium. Kadar OC dalam sirkulasi terdiri dari carboxylated OC


(22)

(cOC) dan undercarboxylated OC (ucOC) dan dipergunakan sebagai biomarker pembentukan tulang (Shea et al., 2009; Ducy, 2011). Penelitian in vitro membuktikan bahwa cOC adalah bentuk yang tidak aktif dari osteocalcin sedangkan bentuk yang aktif adalah ucOC (Ducy, 2011; Schwetz et al., 2012). Dari hasil penelitian pada mencit dapat disimpulkan bahwa inaktifasi Esp pada osteoblast akan meningkatkan sekresi ucOC dari tulang dan mengakibatkan terjadinya hipoglikemi disertai menurunnya adipositas sebagai akibat dari peningkatan proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin dan memperbaiki sensitifitas insulin. Diperkirakan ucOC berperan penting pada metabolisme energi seperti proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin, sensitifitas insulin dan konsumsi energi sehingga jaringan tulang berpengaruh langsung terhadap metabolisme energi (Schwetz et al., 2012).

Penelitian pada mencit yang mengalami defisiensi OC total akan disertai peningkatan masa lemak viseral, penurunan sekresi insulin, resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa. Sebaliknya mencit dengan peningkatan kadar ucOC karena delesi gen Esp, yang mengkode protein yang bertanggung jawab terbentuknya cOC, memperlihatkan peningkatan sekresi insulin, proliferasi sel-β pankreas, meningkatkan sensitifitas insulin dan menurunkan masa lemak (Ferron et al., 2010; Magalhaes et al., 2013).

Penelitian pada binatang juga membuktikan bahwa dibandingkan dengan mencit wild-type, mencit dengan OC-/- knockout mengalami peningkatan masa lemak viseral, kadar trigliserida, resistensi insulin, penurunan sekresi insulin dan toleransi glukosa, dan penurunan kadar adiponektin (Lee et al., 2007;


(23)

Garcia-Martin et al., 2013). Infus dengan rekombinant OC pada mencit wild-type memperbaiki toleransi glukosa dan meningkatkan sekresi insulin dan mencit dengan diit tinggi lemak setelah pemberian recombinant OC akan menurunkan berat badan dan resistensi insulin (Veldhuis et al., 2013).

Penemuan ini memiliki implikasi klinis yang penting sehingga menarik untuk dilakukan penelitian klinis lebih lanjut seperti pada penderita DMT2 atau SM. Jika ucOC memegang peranan yang sama untuk mengatur homeostasis glukosa pada manusia seperti yang diperlihatkan pada mencit akan terjadi hubungan yang terbalik antara kadar serum ucOC dengan kadar insulin puasa, glukosa, HbA1c, kadar adiponektin dan resistensi insulin seperti HOMA-IR pada penderita DMT2 atau SM (Wah Ng, 2011).

Beberapa penelitian sebelumnya pada manusia membuktikan bahwa adanya hubungan terbalik antara kadar OC dengan kadar gula darah puasa, insulin basal, glycosylated hemoglobin (HbA1c), indek resistensi insulin (HOMA), high sensitivity C-reactive protein (hsCRP), interleukin-6 (IL-6), IMT, persentase lemak tubuh dan kadar adiponektin (Garcia-Martin et al., 2013).

Diperkirakan bahwa OC mengatur sekresi insulin dan sensitifitas insulin dan OC sebagai faktor yang berperan untuk terjadinya MS (Magalhaes et al., 2013), namun sebenarnya hasil tersebut hingga saat ini masih diperdebatkan karena penelitian dengan skala besar dengan studi kohort menunjukkan tidak ada hubungan antara osteocalcin dengan resiko terjadinya DMT2 (Swakerberg et al., 2015). Pada penelitian skala besar lainnya yang dilakukan di Korea yang melibatkan 1229 orang tanpa diabetes juga menunjukkan hal serupa yakni tidak


(24)

ditemukan korelasi antara kadar ucOC pada insiden DMT2 pada subjek laki-laki paruh baya (Hwang et al., 2012).

Kebanyakan penelitian klinis yang membuktikan adanya hubungan antara osteocalcin dan komponen SM seperti resistensi insulin menggunakan jumlah sampel yang minimal dan lebih banyak mempergunakan pengukuran dengan kadar OC total sedangkan penelitian pada mencit lebih banyak mempergunakan kadar ucOC (Hwang et al., 2012 dan Swakerberg et al., 2015).

1.2 Rumusan Masalah

Remodeling tulang adalah suatu proses yang memerlukan energi dan berlangsung berkesinambungan untuk mempertahankan masa tulang konstan pada usia dewasa. Osteoblast menghasilkan protein OC di dalam sirkulasi terdiri dari cOC dan ucOC. Berbagai studi pada mencit membuktikan bahwa ucOC adalah bentuk yang aktif dan dapat mempengaruhi metabolisme energi, resistensi insulin, sekresi insulin dan obesitas. Berbagai penelitian klinis dengan meneliti hubungan OC terhadap sekresi insulin, kadar glukosa darah dan sensitifitas insulin menunjukkan hasil yang masih saling bertentangan. Sedangkan selama ini penelitian mengenai peran ucOC kebanyakan dikerjakan pada mencit dan hasil penelitian pada manusia hingga saat ini masih diperdebatkan.

Berdasarkan uraian ringkas pada latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut :

Apakah kadar ucOC berkorelasi dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada Ob-Ab?


(25)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui korelasi antara ucOC dengan resistensi insulin pada Ob-Ab 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita khususnya pada ilmu kedokteran tentang korelasi antara ucOC dengan Resistensi Insulin (HOMA-IR) pada obesitas abdominal. Karena pada penelitian ini tidak terbukti adanya korelasi antara ucOC dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada pasien Ob-Ab diharapkan penelitian ini dapat memberikan acuan awal pada penelitian selanjutnya dan penegasan bahwa belum terbuktinya peranan tulang sebagai organ endokrin yang dapat mengatur metabolisme glukosa pada manusia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Pada penelitian ini belum terbukti peran ucOC berkorelasi dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada obesitas abdominal maka berbagai usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kadar OC terutama ucOC yang berhubungan dengan kemungkinan perbaikan toleransi glukosa pada pasien DMT2 atau menurunkan resistensi insulin pada ob-ab belum sepenuhnya diperlukan.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas

Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang meningkat (WHO, 2006).

Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan perhitungan indeks masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas dapat berdasarkan atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau (2) berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan peningkatan dari lemak tubuh (WHO, 2006).

Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular (Bigaard et al., 2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008).

2.1.1 Etiologi Obesitas

Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya ketidakseimbangan energi, terlepas dari adanya faktor lainnya seperti faktor


(27)

genetik, sosial dan kebudayaan. Ketidakseimbangan energi tersebut timbul bilamana asupan energi (makanan) melebihi dari penggunaan energi total (WHO, 2006).

Perbedaan antara asupan dan penggunaan energi terutama dikatakan oleh perubahan banyaknya simpanan lemak (triasilgliserol) pada organ penyimpan utama yaitu jaringan lemak putih (Trayhurn, 2008). Akumulasi lemak akan terjadi pada bagian tubuh yang tidak diinginkan seperti jantung, hati, pankreas dan otot skeletal jika suatu individu tidak dapat menyimpan kelebihan energi yang dihasilkan pada jaringan adiposa subkutannya (Despres et al., 2006 dan Despres et al., 2008).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas biasanya bekerja secara kombinasi diantaranya diet, merokok, kehamilan, kurangnya aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan tertentu dan juga memiliki masalah kesehatan tertentu (Trayhurn, 2008). Adanya penurunan dari berbagai hormon akibat penuaan seperti hormon pertumbuhan dan produksi testosteron dapat juga dikatakan meningkatkan akumulasi dari lemak, penurunan masa otot, dan keseimbangan energi (Villareal, et al., 2005).

2.1.2 Epidemiologi Obesitas

Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 juta orang akan mengalami obesitas (WHO, 2014). Obesitas semula hanya menjadi perhatian pada Negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi, namun belakangan secara dramatis obesitas juga mengalami peningkatan pada


(28)

negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di daerah urban (WHO, 2014). Di negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat dan Australia prevalensi orang dengan obesitas dan overweight tampaknya mempunyai kecenderungan akan semakin meningkat dan telah mengenai sekitar 50-65 persen populasi, juga meningkat secara ekstrim di beberapa negara seperti Meksiko, Mesir dan populasi hitam di Afrika Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada beberapa pulau-pulau daerah Pasifik, dan daerah Timur Tengah (WHO, 2014). Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan berat badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen, sedangkan negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar 1,5-2 persen (Mokdad, et al. 2001).

2.1.3 Pengaruh Obesitas terhadap Kesehatan

Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih banyak masalah terhadap kesehatannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki berat badan normal (Yanovski, 2002). Dari berbagai penelitian terbukti bahwa obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap beberapa penyakit yang tidak menular diantaranya hipertensi, DMT2, penyakit kardiovaskular, osteoartritis, stroke, dan beberapa penyakit keganasan (kolon, rektum, esofagus, ginjal, payudara, dan prostat) (WHO, 2014). Meskipun secara keseluruhan telah dibuktikan mengenai beberapa pengaruh yang merugikan dari obesitas terhadap kesehatan, obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan para klinisi karena sangat penyebab dan mekanismenya sangat luas. Beberapa orang yang mengalami obesitas memiliki tekanan darah normal, profil


(29)

lipoprotein-lemak plasma yang normal, dan euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya dengan berat badan yang normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor resiko metabolik (Depres et al., 2006).

Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah membuktikan bahwa sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan timbunan lemak berlebih di daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk menderita DMT2, dislipidemia, hipertensi dan penyakit kardiovaskuler (Despress dan Marette, 2008). Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh dunia mungkin mendorong prevalensi DMT2 menjadi lebih tinggi (WHO, 2014).

Beberapa dekade terakhir telah membuktikan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan SM. Kurangnya aktivitas fisik atau sendentary life akan meningkatkan resiko terjadinya obesitas dan meningkatkan resiko terjadinya beberapa penyebab kematian, penyakit kronik dan disabilitas (Pergola et al., 2013).

Dampak obesitas yang baru-baru ini diteliti yakni obesitas yang dapat meningkatkan resiko terjadinya 20% kejadian kanker di Amerika. Hubungan antara obesitas dan meningkatnya resiko kanker dikarenakan berbagai penyebab salah satunya dari parameter antropometrik dan faktor pola hidup. Parameter antopometri termasuk BMI, peningkatan berat badan, total lemak tubuh khususnya lemak abdominal, pola hidup termasuk sedentary lifestyle, parameter diet termasuk makanan berkalori tinggi dan diet berkualitas rendah yang diduga berperan sebagai faktor predisposisinya. Beberapa jenis kanker yang kemungkinan berkaitan dengan kejadian obesitas yakni kanker esofagus, payudara, endometrium, ginjal, pankreas, kandung empedu dan tiroid. Walaupun hingga kini mekanisme terjadinya kanker


(30)

pada obesitas belum jelas diketahui, diperkirakan adanya produksi hormon yang berlebihan, meningkatnya insulin, insulin growth factor, dan low grade imflammation sebagai faktor pencetus (Pergola et al,. 2013).

2.1.3.1 Obesitas dan Hipertensi

Penelitian pada tahun 1959 telah menunjukkan adanya hubungan langsung antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan. Penelitian oleh Rahmouni et al, 2005 juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang mempunyai berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu beberapa penelitian epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas dan hipertensi, hubungan kausalnya memang belum dapat diketahui dengan pasti, namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas tersebut di turunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun, oleh karena itu timbul beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya yaitu adanya mekanisme hemodinamik. Penelitiannya juga mendapatkan bahwa adanya peningkatan stroke volume dan cardiac output pada penderita obesitas bila dibandingkan dengan yang bukan obesitas dan juga didapatkan peningkatan tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan stroke vulume, cardiac output dan peningkatan tahanan perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas.

Peranan aktivitas saraf simpatis, juga dikatakan sebagai faktor yang berperan pada obesitas dengan hipertensi ditunjukkan pada penderita perempuan obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan


(31)

darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme katekolamin, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat. Adanya peranan pada sistem endokrin yang diduga ikut berperan dalam proses hipertensi pada obesitas terlihat pada adanya peningkatan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi natrium di dalam glomerulus, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi pula sekresi natrium dalam glomerulus, dalam beberapa hal keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dalam darah yang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, dan nantinya menyebabkan hipertensi. Para peneliti tersebut sepakat bahwa menurunkan berat badan akan serta merta dapat menurunkan tekanan darah (Rahmouni et al., 2015).

2.1.4.2 Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik

Penelitian Krauss et al., 1998 menunjukkan meningkatnya resiko kematian mendadak yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas. Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Hasil penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap terjadinya arteriosklerosis koroner. Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat obesitas ternyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibuktikan. Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita obesitas yang dengan pemeriksaan angiografi memperlihatkan sklerosis arteria


(32)

koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat bahwa obesitas tidak langsung menyebabkan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.

2.1.4.3 Obesitas dan Diabetes Melittus

Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem metabolism glukosa dan energi, dan yang sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan kejadian diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9 kali lebih sering bila dibandingkan orang yang tidak obesitas. Di Amerika telah dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 - 45 tahun mempunyai kecenderungan terkena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 - 75 tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering daripada yang memiliki berat badannya normal. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas sering mengalami hiperglikemia tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya reseptor insulin terhadap adanya keadaan hiperglikemia. Beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa pada penderita diabetes dengan obesitas, kelainan dasarnya adalah gangguan sekresi insulin. Sekresi insulin dikatakan terhambat sehingga kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan baik dan terdapat peningkatan sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Disamping itu hiperglikemia dan hiperinsulinemia dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya


(33)

peningkatan hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya jumlah reseptor insulin yang sensitif pada membran sel.

2.1.4.4 Obesitas dan Gangguan Pernafasan

Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan oleh karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas vital paru yang akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat badannya.

2.1.4.5 Obesitas dan Kelainan Sendi

Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi osteoartrosis (OA) baik primer ataupun sekunder. Conway dan Mc Carthy, 2015 dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung lebih cepat menderita OA memerlukan operasi penggantian sendi. Beberapa mekanisme termasuk mekanikal, epigenetik, peranan sitokin-sitokin pro imflamasi seperti VEGF, IL-6, TNF-A, penurunan adiponektin yang menurun diperkirakan sebagai penyebab terjadinya osteoarthritis pada obesitas. Sendi yang terkena adalah sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki.


(34)

2.1.4.6 Obesitas dan Defisiensi Hormon Testosteron

Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala dan tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya diketahui pada kondisi yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis dan kualitas hidup penderita. Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa; menurunnya libido, menurunnya aktifitas seksual, berkurangnya massa dan kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah / low energy dan depresi (Jones , 2007 ; Mendonca et al., 2014). Assosiasi yang substansial / signifikan yang banyak dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan risiko penyakit kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi vaskuler, hipertensi dan aterosklerosis (Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al., 2011).

Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor yang penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang (Ohisson et al., 2011 ; Wang et al., 2011).

Obesitas merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan adipose mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFA(Free Fatty Acid) dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada perkembangan SM, DM tipe-2 seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen (Traish et al., 2009).


(35)

Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi (active secretory tissue) sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor proinflamatori lainnya seperti IL-6, IL-1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen, vascular endothelial growth factor (VEGF) dan serum amyloid A (Wang et al., 2011).

Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan disfungsi dari vaskuler sistemik maupun perifer (Reilly et al., 2004). FFA mengaktifasi nuclear factor-κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα mengaktivasi lipolisis diikuti dengan meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang akan meningkatkan mobilisasi makrofag

dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα juga meningkatkan ekspresi

molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6 menstimulasi sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron terbukti dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat memodulasi secara langsung sensitivitas insulin (Reilly et al., 2004 ; Wang et al., 2011). Kadar testosteron pada penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan komponen Sindrom Metabolik dapat dilihat pada gambar 2.5 (Wang et al., 2011)

2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas

Standar pengukuran dan cara paling sederhana untuk menentukan obesitas adalah dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT) yang ditetapkan berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter [berat/tinggi


(36)

badan (kg/m2)] (WHO, 2006). Pada umumnya IMT berkorelasi dengan adipositas di dalam tubuh, meskipun kadangkala dapat memberikan informasi yang kurang tepat tentang klasifikasi variasi kandungan lemak tubuh dan masa lemak intra abdominal (Frayn et al., 2005). Dewasa ini masa jaringan adiposa dapat diukur dengan berbagai cara, akan tetapi kebanyakan memerlukan peralatan dan teknik yang canggih, sehingga jauh dari jangkauan untuk diterapkan secara klinis (Villareal et al., 2005). Dibandingkan pemeriksaan lainnya, untuk memperkirakan kandungan total lemak tubuh mempergunakan IMT mempunyai spesifisitas yang tinggi yaitu 98-99 persen, dengan nilai prediksi positif sebesar 97 persen. Selain itu IMT mudah dihitung dan telah direkomendasikan sebagai cara pengukuran obesitas untuk orang dewasa (WHO, 2006).

Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa IMT berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas dari berbagai penyakit. Untuk penduduk di wilayah Asia-Pasifik, WHO menganjurkan pemakaian kriteria yang berbeda berdasarkan faktor risiko dan morbiditas. Pada orang Asia, cut-off untuk overweight ( 23.0 kg/m2) dan obesitas ( 25.0 kg/m2) lebih rendah dibandingkan dengan kriteria WHO (WHO, 2014). Usulan sementara ini berdasarkan dari hasil penelitian pada penduduk Cina di Hongkong dan Singapura, dan keturunan India di Mauritius. Tetapi pada penduduk asli kepulauan Pasifik diperlukan cut-off yang lebih tinggi yaitu untuk overweight IMT 26 kg/m2 dan untuk obesitas IMT  32 kg/m2 (WHO, 2014).


(37)

Tabel 2.1

Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia dewasa berdasar IMT (WHO, 2014)

2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak Tubuh

Distribusi lemak di dalam tubuh sangat menentukan resiko dari obesitas yang dapat ditimbulkannya yakni morbiditas dan mortalitas (Depres et al., 2006). Terdapat berbagai cara untuk menentukan secara tepat distribusi lemak tubuh manusia.

a. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)

Beberapa tahun belakangan alat ini telah dapat digunakan sebagai alat untuk menjelaskan tempat berkumpulnya jaringan lemak yang kemungkinan suatu lemak intra abdominal dan nantinya dapat memberikan informasi tentang dampak yang dapat ditimbulkannya (Frayn, 2005). CT Scan atau MRI jaringan adiposa intra abdominal dan subkutan dikerjakan setinggi L3/L4 dengan potongan multipel (slices) merupakan gold standard untuk pengukuran jaringan lemak viseral (Wajchenberg, 2000). Pada ras Kaukasus luas lemak viseral >130 cm2 berhubungan dengan sindroma metabolik sedangkan apabila <110 cm2 merupakan risiko rendah. Kedua cara ini memiliki ketepatan yang tinggi yang juga dapat


(38)

membedakan antara lemak viseral dengan lemak subkutan (WHO, 2006; Despres et al., 2006).

b. Dual-energy X-ray scanning

Penginderaan secara longitudinal dapat diperoleh dengan cara dual-energy X-ray scanning (DEXA). Cara ini tidak akan menghasilkan data yang tepat mengenai distribusi lemak tubuh seperti daerah intraabdominal, dan hanya memberikan informasi tentang distribusi dan perubahan yang terjadi pada lemak tubuh (Hao Wang et al., 2012). Metode ini memerlukan peralatan yang mahal dan banyak menghabiskan waktu, cara penggunaan tidak praktis sehingga masih diperlukan metode yang sederhana terutama untuk penelitian di lapangan dengan jumlah sampel yang banyak (Heymsfield et al., 2001).

c. Pengukuran subcutan fat

Mengukur subcutan fat atau lapisan lemak di bawah kulit memberikan estimasi yang baik tentang total lemak tubuh pada orang dewasa dan anak-anak dengan berat badan normal, namun ini hanya merupakan cara tambahan untuk mengukur total lemak tubuh. Jangka lengkung lipatan kulit memuat ukuran lemak yang berada persis dibawah kulit yang berasal dari beberapa bagian tubuh (WHO, 2006). Pengukuran dilakukan pada 4 lokasi (bisep, trisep, subskapula dan supra-iliaka). Seseorang dikatakan obesitas jika pada laki-laki yang memiliki total lemak tubuh lebih dari 25% dan perempuan jika memiliki total lemak tubuh lebih dari 30% (WHO, 2006). Cara pengukuran ini tidak cocok dilakukan pada subjek yang sangat gemuk karena tidak dapat mengukur komponen lemak intra abdominal yang sangat penting (Baum, 2004).


(39)

d. Pengukuran lingkar pinggang (Lp) dan rasio pinggang pinggul (RPP)

Kedua cara ini sangat praktis, sederhana dan murah untuk menentukan adanya timbunan lemak berlebih di daerah abdominal. Pengukuran obesitas ini ditujukan untuk dapat mengidentifikasi adanya berbagai faktor risiko yang berhubungan dengan obesitas tersebut. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa Lp dapat dipergunakan untuk menentukan lemak intra abdominal (Despress et al., 2006). Rasio pinggang pinggul (RPP) atau waist to hip ratio (WHR) juga dapat dipergunakan untuk mengukur obesitas abdominal, dimana PP > 0,9 pada pria dan > 0,80 untuk wanita dipergunakan untuk menentukan adanya obesitas abdominal (WHO, 2006). Pengukuran Lp saja ternyata terbukti merupakan cara yang baik untuk mengukur lemak intra abdominal. Pengukuran Lp sangat kecil dipengaruhi oleh tinggi badan atau umur dan menurunnya Lp berhubungan dengan perbaikan faktor risiko kardiovaskuler (Hwang et al., 2012). Penelitian longitudinal selama kurun waktu 7 tahun menunjukkan bahwa perubahan Lp lebih berkorelasi dengan perubahan pada jaringan lemak viseral bila dibandingkan dengan perubahan pada RPP (Despres et al., 2008). Pengukuran Lp dapat mengidentifikasi individu yang memiliki distribusi lemak abdominal dan memiliki berbagai risiko untuk penyakit kardiovaskuler. Pengukuran Lp sangat berkorelasi dengan pengukuran IMT dan RPP (Lean et al., 1995). Individu dengan Lp 94-101 cm pada pria dan 80-87 cm pada wanita 1½-2 kali memiliki satu atau lebih faktor risiko penyakit kardiovaskular dan individu dengan Lp 102 pada pria dan 88 cm untuk wanita memiliki 2½-4½ kali faktor risiko. Dianjurkan apabila Lp > 94 cm pada pria atau Lp > 80 cm pada wanita tidak lagi boleh mengalami peningkatan berat badan.


(40)

Penurunan berat badan diperlukan apabila Lp > 102 cm untuk pria dan > 88 cm untuk wanita (Lean et al., 1995).

2.2 Fungsi Jaringan Adiposa

Timbunan lemak atau adiposa pada manusia sebagian besar terdiri dari jaringan lemak atau adiposa putih dan diperkirakan menjadi tempat utama penyimpanan energi (Tilg dan Moshen, 2008). Penyimpanan energi oleh jaringan adiposa putih terjadi dalam bentuk trigliserida dan bila diperlukan akan melepaskan energi berupa asam lemak bebas. Sel adiposa putih pada tingkat seluler terdiri dari sel adiposit yang mengandung lemak dan dikelilingi oleh matrik serat kolagen, sel imun, fibroblast dan pembuluh darah (Trayhurn, 2008). Masa jaringan lemak ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi, keseimbangan kalori positif pada orang gemuk akan mengakibatkan terjadinya peningkatan lipid intraselular dan membesarnya ukuran adiposit (hipertrofi) dan meningkatnya jumlah adiposit (hiperplasia) (Bays, et al. 2008). Beberapa penelitian menjelaskan bahwa adiposit dari jaringan adiposa tersebut dapat mengeluarkan protein yang bekerja secara endokrin, parakrin dan autokrin untuk mengatur diferensiasi dari sel lemak dan juga pengaturan keseimbangan energi. Beberapa tahun belakangan sejak leptin ditemukan, terjadi pergeseran paradigma dalam pengertian tentang peranan fisiologis jaringan adiposa putih. Penemuan 120 bahan yang terdiri dari berbagai hormon dan sejumlah faktor autokrin dan parakrin dihasilkan atau diproses didalam jaringan adiposa (Kirkland et al., 2003). Sebagian dari faktor-faktor yang disebut adipokin ini adalah tissue factor, leptin, tumor


(41)

necrosis factor- (TNF-), 6 (IL-6), 8 (IL-8), interleukin-1 (IL-1), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), transforming growth

factor-1 (TGF-1), adipsin, adiponektin, angiotensinogen, resistin, serum amiloid A3 (Mutch et al., 2001; Kirkland et al., 2003). Adipokin-adipokin tersebut berkorelasi denngan imunitas dan respon inflamasi, dan produksinya secara umum meningkat pada obesitas (Hotamisligil, 2006). Salah satu perkecualian adalah adiponektin, yang bekerja sebagai anti-inflamasi dan perangsang pengeluaran insulin, ekspresi dan sekresinya menurun pada obesitas (Ronti, et al. 2006). Mekanisme yang terjadi pada obesitas sangat kompleks dan banyak melibatkan sitokin, hormon dan growth factor. Kenyataan bahwa TNF a, Leptin, IL-6, insulin, PAI-1, TGF-B dan lainnya meningkat pada obesitas dan peranan ini berhubungan dengan berbagai penyakit yang sering dijumpai pada obesitas (Fruhbeck et al, 2001).

2.3 Hubungan Lemak Viseral dengan Sindroma Metabolik

Dibandingkan dengan lemak subkutan, lemak viseral lebih berhubungan dengan hipertensi, hiperinsulinemia dan resistensi insulin, diabetes mellitus, dislipidemia dan penurunan fungsi fibrinolisis membuktikan bahwa lemak viseral lebih kuat hubungannya dengan tekanan darah sistolik dan diastolik, trigliserida, kolesterol total, kolesterol-HDL, kolesterol-LDL dan resistensi insulin (Yamashita et al., 1996; Kopelman, 2000; Wajchenberg et al., 2000; Despres et al., 2006). Timbunan lemak viseral yang berlebihan juga berhubungan dengan variabel hemostatik yang berperan terhadap meningkatnya risiko aterotrombosis (Alessi et al., 1997).


(42)

Penelitian secara morfologi dari adiposit yang diambil dari berbagai bagian tubuh menunjukkan bahwa metabolisme adiposit dari daerah abdominal berbeda dengan metabolisme adiposit dari femuro-gluteal. Adiposit abdominal menunjukkan bentuk hipertrofi, sedangkan adiposit femuro-gluteal adalah hiperplastik (Van Gaal, 2006). Lemak abdominal memiliki respon lipolisis yang lebih besar terhadap noradrenalin dan kurang sensitif terhadap antilipolisis dari insulin sehingga mengakibatkan peningkatan masuknya asam lemak bebas (ALB) ke dalam sirkulasi portal (Kopelman, 2000). Diperkirakan ALB yang berasal dari lemak viseral melalui aliran portal mempengaruhi metabolisme hepar dan menyebabkan peningkatan sintesa very low density lipoprotein (VLDL), dan selanjutnya low density lipoprotein (LDL). Disamping itu ALB dapat merangsang glukoneogenesis dan meningkatkan kadar glukosa darah. Penelitian dengan cara mengukur perfusi pada hepar tikus membuktikan bahwa ALB dapat menurunkan kliren dari insulin dan menimbulkan hiperinsulinemia (Kopelman, 2000; Björntorp, 2003; British Nutrition Foundation, 2003). Data di atas hanya terbatas berdasar hasil penelitian secara invitro.

Penelitian pada manusia masih menjumpai banyak kendala karena pengukuran vena porta hampir tidak pernah dapat dikerjakan karena kesulitan teknis. Secara tidak langsung pengukuran konsentrasi ALB pada vena hepatika dapat menggambarkan produksi ALB dari depot lemak viseral, tetapi masih dijumpai kendala karena terdapat juga aliran darah ke hepar melalui arteri hepatika dari sirkulasi sistemik. Sehingga ALB yang diukur pada vena hepatika tidak hanya


(43)

berasal dari lipolisis jaringan lemak viseral, tetapi juga berasal dari lipolisis jaringan lemak ditempat lainnya (Björntorp, 2003).

Disamping teori ALB dari lemak viseral, yang mendasari terjadinya berbagai faktor risiko, penelitian pada tikus membuktikan terjadinya ekspresi berlebihan dari

-hydroxy steroid dehydrogenase1 pada jaringan adiposa. Enzim ini merubah glukokortikoid inaktif menjadi kortikosteron aktif. Sebagai akibatnya terjadi resistensi insulin dengan segala akibatnya. Pada manusia keadaan ini menyebabkan terjadinya kelebihan kortisol, sehingga peran spesifik dari lemak viseral menjadi tidak jelas (Björntorp, 2003).

2.4 Mekanisme Resistensi Insulin pada Obesitas Abdominal

Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek metabolik insulin yang berakibat pada insensitivitas jaringan terhadap insulin (Hawkins & Rossetti, 2005). Efek metabolik insulin mencakup efek penghambatan terhadap produksi glukosa endogen, efek stimulasi pada pengambilan glukosa dan sintesis glikogen pada jaringan, serta menghambat penguraian lemak pada jaringan adiposa. Tanpa adanya defek pada fungsi sel beta pankreas, individu mengkompensasi resistensi insulin dengan peningkatan jumlah sekresi insulin (hiperinsulinemia) (Masharani et al., 2004).

RI tidak hanya menyangkut hubungan antara glukosa dengan insulin tetapi juga kerja biologis lainnya dari insulin seperti pengaruhnya terhadap metabolisme lemak dan protein, fungsi endotel, dan ekspresi gen (Cefalu, 2001). Berbagai faktor genetik, lingkungan dan metabolik yang berperan terjadinya RI saat ini belum sepenuhnya diketahui (Lewis et al., 2002). Ambilan dan metabolisme glukosa


(44)

melalui kerja insulin merupakan hasil akhir dari aktivasi tahapan signaling insulin. Perubahan satu atau lebih dari proses ini akan menimbulkan gangguan terhadap kerja insulin dan menimbulkan resistensi insulin (Tjokroprawiro, 2003). Resistensi insulin juga sangat berkaitan dengan suatu kluster (kumpulan) kondisi yang disebut sindroma metabolik (SM) (obesitas sentral, hipertensi, resistensi insulin, dan dislipidemia) (Carr & Brunzell, 2004). Sindroma metabolik juga sangat berhubungan dengan inflamasi sistemik akibat peningkatan sitokin proinflamasi serta status protrombotik seiring dengan peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) serta stres oksidatif (Kahn et al., 2005).

Secara garis besar terdapat 3 tahapan utama yang berperan terjadinya RI: 1) ikatan insulin dengan reseptor, 2) fosforilasi dari reseptor insulin, dan 3) signaling insulin intra seluler (Giannarelli et al., 2003; Tjokroprawiro, 2003). Reseptor insulin merupakan protein heterotetrameric terdiri dari dua subunit- pada domain ekstraseluler dan dua subunit- β pada domain intra seluler. Pada saat terjadi ikatan antara insulin dengan subunit-, terjadi fosforilasi subunit- dari reseptor insulin. Autofosforilasi dari subunit- akan mengakibatkan aktivasi insulin receptor substrate (IRS-1;-2;-3;-4). Protein ini mengatur mediator lainnya seperti phospho-inositol-3-kinase (PI3-kinase). Peran dari IRS-1 dan IRS-2 terhadap RI telah dibuktikan secara eksperimental dengan tikus knock-out yang dibuat secara genetik. Aktivasi PI3-kinase mengkatalisasi terbentuknya PI-3,4,5 –fosfat yang akan menimbulkan aktivasi PKB/AKT dan phosphatidilinositol-3,4,5-phosphate kinase-1 (PDK-1). Fosforilasi PKB/AKT akan mengatur tahapan kinase yang berperan terhadap transduksi signal insulin yang berperan terhadap translokasi GLUT-4 dari kompartemen membran intra seluler ke membran sel sehingga terjadi


(45)

transport glukosa transmembran secara aktif dan fosforilasi, anti lipolisis, sintesis glikogen dan protein, dan ekspresi gen (Youngren et al., 1999; Cefalu, 2001).

Tabel 2.

Definisi Sindroma Metabolik menurut WHO, EGIR dan NCEP (Eschwege, 2003)

WHO EGIR NCEP

Resistensi Insulin

(ambilan glukosa dibawah quartile terendah untuk kelompok populasi yang diteliti

Dan/atau

Gangguan glukosa darah

(GDP 110 dan/atau 2jam pp 140 mg/dl)

Disertai 2 atau lebih

Hipertensi (sistolik

140 mmHg dan/atau distolik 90 mmHg

Peningkatan

trigliserida, kol –HDL

rendah.Trigliserida

>150 mg/dl dan atau kol-HDL <35 mg/dl untuk pria atau < 39 mg/dl untuk wanita

Obesitas viseral (RPP

>0,90 untuk pria dan >0,85 untuk wanita

Mikroalbuminuria

(UAE 20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin >30mg/kg)

Hiperinsulinemia

(insulin puasa diatas upper quartile dari populasi non diabetes.

Disertai dengan 2 atau lebih:

Hiperglikemi (BSN

 110 mg/dl.

Hipertensi (tekanan

darah sistolik 140

mmHg, dan/atau

diastolik 90

mmHg,dan/atau mendapat pengobatan hipertensi.

Dislipidemia

(trigliserida >180 mg/dl) dan/atau kol-HDL <40 mg/dl dan

atau mendapat

pengobatan dislipidemia.

Obesitas viseral

(Lp 94 cm untuk pria dan 80 cm untuk wanita

Apabila ditemukan paling

sedikit 3 dari 5 faktor risiko dibawah ini:

Gula darah puasa 110

mg

Tekanan darah 130/85

mmHg

Trigliserida150 mg/dl

Kol-HDL untuk pria <40

mg/dl, <50 mg/dl untuk wanita

Obesitas viseral (Lp >102

cm untuk pria dan >88 cm untuk wanita; beberapa pria dengan Lp >94 cm akan mengidap berbagai faktor risiko metabolik melalui predisposisi genetik untuk resistensi insulin,dan akan bermanfaat untuk merubah pola hidup seperti pada pria dengan Lp >102 cm.

Berbagai faktor diperkirakan berperan terhadap timbulnya RI pada obesitas dan diantaranya adalah TNF-α, leptin dan ALB (Despres dan Marette, 1999;

Frűhbeck et al., 2001). Banyak penelitian secara in vivo maupun in vitro


(46)

peningkatan ekspresi dari TNF-α pada jaringan adiposa yang mengalami pembesaran pada obesitas dan lebih jauh TNF-α dapat menurunkan ambilan glukosa karena pengaruh insulin. Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa disamping TNF-α juga dijumpai faktor lainnya ikut berperan terjadinya RI pada obesitas (Despres and Marette, 1999). Leptin yang dihasilkan oleh jaringan adiposa ekspresi dan sekresinya mengalami peningkatan pada obesitas. Diperkirakan hiperleptinemia berperan untuk terjadinya RI pada obesitas. Pemaparan sel adiposit dengan leptin dalam jangka lama akan menimbulkan gangguan terhadap transport glukosa karena pengaruh insulin, glycogen synthase, lipogenesis, antilipolisis dan sintesis protein. Dilain pihak peranan leptin pada RI yang berhubungan dengan obesitas sangat komplek mengingat leptin tidak dapat bekerja langsung pada otot skeletal yang merupakan lokasi terpenting terjadinya RI pada obesitas (Despres and Marette, 1999).

Pada obesitas terjadi pelepasan ALB berlebihan dari jaringan adiposa kedalam sirkulasi. Lemak viseral lebih sensitif dibandingkan dengan lemak subkutan terhadap pengaruh lipolisis dari katekolamin dan kurang sensitif terhadap pengaruh antilipolisis dan re-esterifikasi asam lemak dari insulin (Lewis et al., 2002; Mittelman et al., 2002). Pada lemak viseral terjadi peningkatan komponen β -adrenoceptor (terutama β3-AR) sebagai komponen lipolisis dan menurunnya komponen α2-adrenoceptor (α2-AR) sebagai komponen antilipolisis (Despres dan Marette, 1999). Masuknya ALB melalui aliran vena porta mengakibatkan peningkatan ALB mencapai hepar. Meskipun cadangan lemak viseral hanya 20% dari total masa lemak tubuh pada pria dan 6 % pada wanita, tetapi hampir 80% dari


(47)

aliran darah hepatik berasal dari vena porta (Lewis et al., 2002). Pada obesitas peningkatan masa lemak akan disertai peningkatan kadar ALB didalam sirkulasi. Randle tahun 1963, pertama kali membuktikan bahwa ALB berkompetisi dengan glukosa untuk oksidasi substrat pada jaringan otot. Peningkatan oksidasi ALB akan menimbulkan peningkatan rasio acetyl-CoA/CoA dan NADH/NAD+ dan menimbulkan inaktivasi piruvat dehydrogenase. Keadaan ini akan meningkatkan konsentrasi sitrat yang selanjutnya akan menghambat phosphofructokinase dan akumulasi glucose-6-phosphate. Peningkatan kadar glucose-6-phosphate akan menghambat hexokinase II dan berakibat menurunnya ambilan glukosa (Roden et al., 1996). ALB juga dapat merangsang peningkatan glukoneogenesis dan menurunkan ambilan insulin oleh hepar (Boden et al., 2001). Hipotesis dari Randle ini masih banyak dipertentangkan dan belum diterima sepenuhnya. Peneliti lainnya membuat suatu unifying hypothesis, dimana peningkatan ALB akan meningkatkan metabolit dari asam lemak intraseluler seperti diacylglycerol, fatty acyl CoA atau ceramide yang akan mengaktifasi serine/threonine kinase cascade (mungkin dimulai oleh protein kinase C), akan mengakibatkan fosforilasi dari serine/threonine pada substrat reseptor insulin. Bentuk fosforilasi serin dari protein ini tidak dapat mengaktifasi PI-3 kinase sehingga menurunkan aktifasi transport glukosa dan aktifitas lain di bawahnya (Shulman, 2000; Boden and Laakso, 2004).

Bagaimanapun juga berbagai hipotesis yang ada masih perlu pembuktian lebih lanjut mengenai peran ALB untuk menimbulkan resistensi insulin. ALB juga dapat meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa (Shulman, 2000; Frayn, 2001; Lewis, 2002).


(48)

2.5 Pengukuran Resistensi Insulin

Homeostasis Assessment Model (HOMA) merupakan model matematik yang memungkinkan untuk mengetahui sensitifitas insulin dan fungsi sel- (dinyatakan sebagai persentase dari normal) apabila pada saat bersamaan diketahui kadar glukosa puasa dan kadar insulin puasa. Karena sekresi insulin bersifat pulsatil, sampel yang optimal sebaiknya berupa harga rerata dari 3 pengukuran dalam interval 0; 5 dan 10 menit (Matthews et al., 1985)

Pengukuran RI dengan cara HOMA dihitung berdasar formula: [kadar insulin puasa (µU/ml) x glukosa plasma puasa (mM)] 22,5. Untuk penelitian epidemiologi sering dipergunakan sampel tunggal (Wallace dan Matthews, 2002). Sedangkan untuk fungsi sekresi insulin dipergunakan Homeostasis Model Assessment -Cell (HOMA-B). Pengukuran RI dengan HOMA berkorelasi kuat dengan metoda euglycaemic hyperinsulinemic clamp (Matthews et al.,1985; Bonora et al., 2000).

Berbeda dengan metoda lainnya, HOMA mengukur resistensi insulin basal sedangkan metoda lainnya mengukur resistensi insulin terstimulasi. Continuous Infusion of Glucose with Model Assessment (CIGMA) merupakan model matematik dengan menilai respon glukosa dan insulin terhadap infus glukosa dalam dosis rendah. Infus glukosa dengan kecepatan 5 mg/kg berat badan ideal selama 60 menit dan kadar glukosa dan insulin (atau C-peptida) diperiksa pada 50; 55 dan 60 menit (Wallace and Matthews, 2002).

Euglycaemic hyperinsulinemic clamp merupakan baku emas untuk mengukur RI. Kadar glukosa sebelumnya dipatok dalam kadar tertentu (misalnya 5 mmol/l) dengan melakukan titrasi infus glukosa terhadap infus insulin dalam kecepatan tetap. Kecepatan infus insulin harus diperhitungkan berdasar dosis per


(49)

unit dari luas tubuh daripada berdasarkan berat badan, untuk mencegah pemberian insulin berlebihan pada individu dengan overweight. Kecepatan infus glukosa dihitung berdasarkan kadar glukosa darah yang diukur setiap 3 sampai 5 menit selama clamp. Apabila telah dicapai steady state, derajat RI berhubungan terbalik dengan jumlah glukosa yang diperlukan untuk mempertahankan kadar glukosa darah tertentu (Wallace and Matthews, 2002). Metode HOMA ternyata mempunyai korelasi yang kuat dengan metode euglycaemic hyperinsulinemic clamp yang lebih rumit dan mahal (Cefalu, 2001).

Timbunan lemak berlebih pada obesitas berhubungan dengan RI, demikian juga sebaliknya pada lipodistrofi di mana terjadi difisiensi jaringan lemak, ternyata juga diikuti dengan RI dan tingginya angka kejadian DM tipe-2. Tampaknya pada kedua keadaan ini terdapat mekanisme sama yang mendasari terjadinya RI (Frayn, 2000).

2.6 Peranan Klasik Tulang dan Organ Endokrin

Telah lama diketahui bahwa peranan klasik tulang kerangka untuk perlindungan organ vital seperti otak dan medula spinalis, stabilisasi tubuh dan dukungan dalam bergerak, selain itu tulang juga dianggap sebagai tempat untuk terjadinya hematopoesis dan sebagai organ penting dalam hemostasis kalsium dan phosfor (Fukumoto and Martin, 2010). Pada beberapa penelitian dijelaskan selain beberapa fungsi diatas, tulang juga memiliki fungsi lainnya yaitu sebagai organ endokrin. Bukti terbaru menjelaskan bahwa tulang setidaknya dapat menghasilkan dua hormon yaitu faktor pertumbuhan Fibroblast growth factor 23 (FGF23) dan OC. FGF23 merupakan hormon yang diproduksi oleh osteosit di dalam tulang,


(50)

hormon tersebut berperan dalam menghambat 1α-hidroksilase vitamin D dan juga berfungsi untuk meningkatkan ekskresi phosphor oleh ginjal (Ferron et al., 2008; Fukumoto dan Martin 2010). Studi genetika yang dilakukan pada tikus mengungkapkan bahwa OC yang merupakan protein yang dihasilkan oleh osteoblast dan memiliki peran pada sel-β pankreas dalam meningkatkan produksi insulin dan metabolisme glukosa pada jaringan perifer sebagai hasil dari peningkatan sensitivitas insulin dan berkurangnya lemak viseral. Penelitian tersebut menyoroti bahwa hasil studi terbaru yang menunjukkan peran tulang sebagai organ endokrin (Confavreux et al., 2011).

Gambar 2.1

Mekanisme undercarboxylated osteocalcin (ucOC) dan fibroblat growth factor 23 (FGF23) sebagai hormon pada tulang (Fukumoto and Martin, 2010) 2.6.1 Tulang dan Insulin

Hipotesis yang dijelaskan oleh Karsenty dkk yang pertama kali menerangkan bahwa tulang memiliki hubungan timbal balik dalam metabolisme insulin. Beberapa studi yang telah dilakukan tersebut menjelaskan juga bahwa tulang merupakan organ yang sangat besar dan dalam memeliharanya diperlukan


(51)

pasokan energi yang juga besar, hal tersebut menegaskan tulang dan metabolisme energi memiliki hubungan yang sangat erat (Veldhuis-Vlug et al., 2013). Banyak studi dilakukan untuk meneliti gen spesifik pada tulang, telah dilakukan juga penelitian terhadap gen yang dihasilkan oleh tikus knockout untuk mempelajari fenotipe metaboliknya, OC dan stem sel embrionik phosphatase (Esp) yang merupakan kandidat gen yang berhubungan dengan metabolisme energi (Confavreux et al., 2009; Wah Ng, 2011; Veldhuis-Vlug et al., 2013).

Gambar 2.2

Hubungan remodeling tulang, homeostasis glukosa, lipid dan metabolisme energi (Wah Ng, 2011)

Beberapa penelitian menjelaskan gen spesifik yang dihasilkan oleh osteoblast yakni Esp merupakan suatu gen yang mengkoding tyrosine phosphatase intraseluler yang disebut OST-PTP, dimana Esp sendiri memiliki peran yang berlawanan dengan kerja OC (Lee et al., 2007). Beberapa bukti genetik dan biokimia menunjukkan bahwa kerja Esp tempatnya lebih diatas dari OC dalam menghambat fungsi metabolik. Osteoblast mensekresi molekul OC ke dalam


(52)

sirkulasi sebagai petanda dari pergantian tulang dan dapat mempengaruhi homeostasis glukosa (Confavreux et al., 2009; Schwetz et al., 2012). Sekresi OC oleh osteoblast melalui beberapa tahapan modifikasi post-translational melalui vitamin-K dependent dimana 3 glutamic acid residue mengalami carboxylated sehingga memungkinkan protein ini berikatan dengan kalsium. Kadar OC dalam sirkulasi terdiri dari carboxylated OC (cOC) dan undercarboxylated OC (ucOC) dan dipergunakan sebagai biomarker pembentukan tulang (Shea et al., 2009; Ducy, 2011). Penelitian in vitro membuktikan bahwa cOC adalah bentuk osteocalcin yang tidak aktif sedangkan bentuk yang aktif adalah ucOC (Ducy, 2011; Schwetz et al., 2012). Gen Esp diekpresikan pada osteoblast dan penelitian pada mencit dengan global (Esp-/-) atau inaktivasi gen Esp, atau osteoblast-specific (Esposb-/-) knockout

Esp akan mati segera setelah lahir karena mengalami hipoglikemia yang berat (Ferron et al., 2011). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa mencit mengalami peningkatan proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin dan peningkatan kadar adiponektin. Disamping itu mencit Esp-/- disertai peningkatan sensitifitas insulin pada jaringan otot dan jaringan lemak. Mencit ini disertai kandungan lemak viseral lebih sedikit, peningkatan area mitokondria jaringan otot, peningkatan kadar protein yang berhubungan dengan biogenesis mitokondria yang memperlihatkan peningkatan pemakaian energi. Penelitian pada mencit ini membuktikan bahwa osteoblast adalah sel endokrin yang dapat mengatur metabolisme energi karena mempengaruhi sekresi dan kepekaan jaringan terhadap insulin (Ferron et al., 2010). Sebaliknya mencit dengan osteocalcin knockout (OC-/-) memiliki fenotipe metabolik yang berlawanan dengan mencit dengan Esp-/- tidak dapat mensekresikan osteocalcin (OC) suatu protein spesifik dihasilkan oleh osteoblast


(53)

akan mengalami penurunan sel-β pankreas, peningkatan kadar glukosa, peningkatan masa lemak viseral, kadar trigliserida, resistensi insulin, penurunan sekresi insulin dan toleransi glukosa, dan penurunan kadar adiponektin dibandingkan dengan mencit wild-type (Lee et al., 2007; Garcia-Martin et al., 2013).

Infus dengan rekombinant OC pada mencit wild-type memperbaiki toleransi glukosa dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya mencit dengan diit tinggi lemak penberian OC akan menurunkan berat badan dan resistensi insulin (Lee et al., 2007; Wah Ng, 2011; Veldhuis et al., 2013). Berdasarkan hasil berbagai studi pada mencit Lee dkk membuat hipotesa bahwa OST-PTP menginaktifasi OC melalui proses - carboxylation. Ex-vivo OC dapat merangsang Cyclin D1 dan ekspresi insulin pada sel- pankreas dan adiponektin pada jaringan adiposa (Lee et al., 2007).

Dari hasil penelitian pada mencit dapat disimpulkan bahwa inaktifasi Esp pada osteoblast akan meningkatkan sekresi ucOC dari tulang dan mengakibatkan terjadinya hipoglikemi disertai menurunnya adipositas sebagai akibat dari peningkatan proliferasi sel-β pankreas dan sekresi insulin dan memperbaiki sensitifitas insulin. Metabolisme energi secara positif dikendalikan melalui peningkatan metabolisme lemak dan peningkatan pemakaian energi (Wah Ng, 2009). ucOC diperkirakan berperan penting pada metabolisme energi seperti proliferasi sel-β, sekresi insulin, sensitifitas insulin dan konsumsi energi sehingga jaringan tulang berpengaruh langsung terhadap metabolisme energi (Schwetz et al., 2012).


(1)

Beberapa penelitian juga menerangkan adanya peningkatan kompensasi OC yang terjadi pada pasien prediabetes dan penurunan OC diprediksi akan berkembang menjadi diabetes dalam kurun waktu 10 tahun follow up pada laki-laki yang memiliki resiko diabetes (Veldhuis-Vlug et al., 2013). Studi tambahan lainnya menjelaskan adanya hubungan terbalik antara OC dan sindroma metabolik, aterosklerosis koroner, masa lemak dan ketebalan intima serta non-alcoholic fatty liver disease. Pada salah satu penelitian mengenai metabolisme tulang yang pernah dilakukan yakni meneliti intervensi tentang metabolisme tulang yang berdampak pada konsentrasi OC ternyata dapat mempengaruhi metabolisme glukosa. Penelitian ini beranggapan pemakaian biphosphonate dapat menurunkan ucOC kemudian memiliki dampak efek negatif pada metabolisme glukosa (Wei et al., 2010; Veldhuis-Vlug et al., 2013).

Pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh Zwakerberg et al 2015, meneliti tentang hubungan antara total osteocalcin, ucOC dan ucOC% dengan faktor-faktor resiko DMT2. Penelitian tersebut mengikutsertakan 1.635 orang sebagai subyek penelitian yang 833 subyeknya menderita diabetes dan 802 subyek nondiabetes. Umur subyek antara 21-70 tahun yang berasal dari penelitian NL kohort. Metode case control dengan mengambil data kohort retrospektif EPIC-NL kohort selama 10 tahun digunakan sebagai rancangan penelitian tersebut untuk meneliti osteocalcin dan hubungannya dengan faktor resiko DMT2 lainnya. Penelitian ini sebenarnya ingin mengetahui hubungan antara berbagai bentuk komponen osteocalcin dengan faktor-faktor resiko penyebab DMT2, dikarenakan hasil yang berbeda dari tiga penelitian besar dengan metode kohort prospektif sebelumnya tentang peran total osteocalcin itu sendiri, dan juga penelitian tentang hubungan antara kadar ucOC dan faktor resiko DMT2 menunjukkan hasil tidak


(2)

konsisten. Kemudian penelitian ini juga ingin mengetahui peran masing-masing komponen osteocalcin tersebut secara tepat Karen pada penelitian sebelumnya tidak memakai alat pemeriksaan dengan HAP. Penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik untuk mencari odds rasio DMT2 pada kuartil tOC, ucOC dan %ucOC dan membuktikan bahwa beberapa komponen pengukuran osteocalsin baik cOC, ucOC, ucOC% tidak ada yang berhubungan dengan faktor-faktor resiko penyebab DMT2.

Namun walaupun beberapa penelitian menyebutkan adanya korelasi antara osteocalcin dengan metabolism energi, ada beberapa penelitian besar yang memberikan hasil sebaliknya. Diperlihatkan oleh penelitian terbaru yang dilakukan oleh Zwakerberg et al 2015, yang meneliti tentang hubungan antara total osteocalcin, ucOC dan ucOC% dengan faktor-faktor resiko DMT2. Penelitian tersebut mengikutsertakan 1.635 orang sebagai subyek penelitian yang 833 subyeknya menderita diabetes dan 802 subyek nondiabetes. Umur subyek antara 21-70 tahun yang berasal dari penelitian EPIC-NL kohort. Metode case control dengan mengambil data kohort retrospektif EPIC-NL kohort dalam rentang 10 tahun digunakan sebagai rancangan penelitian tersebut untuk meneliti osteocalcin dan hubungannya dengan faktor resiko DMT2 lainnya. Penelitian ini sebenarnya ingin mengetahui hubungan antara berbagai bentuk komponen osteocalcin dengan faktor-faktor resiko penyebab DMT2, dikarenakan hasil yang berbeda dari tiga penelitian besar dengan metode kohort prospektif sebelumnya tentang peran total osteocalcin itu sendiri, dan juga penelitian tentang hubungan antara kadar ucOC dan faktor resiko DMT2 menunjukkan hasil tidak konsisten. Kemudian penelitian ini juga ingin mengetahui peran masing-masing komponen osteocalcin tersebut secara tepat karena pada penelitian-penelitian sebelumnya yang tidak memakai alat


(3)

pemeriksaan dengan metode HAP yang dikatakan merupakan pemeriksaan yang paling valid untuk menentukan kadar osteocalcin dalam tubuh. Penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik untuk mencari odds rasio DMT2 pada kuartil tOC, ucOC dan %ucOC dan membuktikan bahwa beberapa komponen pengukuran osteocalsin baik cOC, ucOC, ucOC% tidak ada yang berhubungan dengan faktor-faktor resiko penyebab DMT2.

Penelitian skala besar lainnya yang dilakukan di Korea oleh Hwang et al 2012, penelitian ini ingin meneliti hubungan antara kadar serum osteocalcin dengan kemungkinan berkembang menjadi DMT2. Dengan menggunakan metode studi kohort restropektif selama kurang lebih 8 tahun pada 1229 pasien laki-laki bukan nondiabetes, dengan rentang umur 25-60 tahun. Penelitian ini ingin membuktikan teori pada binatang yang menyebutkan adanya suatu hubungan antara kadar serum osteocalcin dengan peningkatan sekresi insulin oleh sel β pankreas, regulasi total lemak tubuh dan meningkatkan ekspresi adiponektin pada mencit, juga terbukti pada manusia karena beberapa hasil sebelumnya pada manusia inconclusive dan penelitian pada manusia yang mendapatkan korelasi positif antara hubungan serum osteocalcin dengan faktor penyebab DMT2 yakni memakai jumlah sampel yang kecil dan metode penelitian longitudinal. Penelitian ini mengharapkan adanya hubungan positif jika dilakukan penelitian dengan metode prospektif dan skala besar. Jika hasil tersebut juga ditemukan pada manusia diharapkan osteocalcin sendiri akan memberikan nilai sebagai pencegahan berkembangnya DMT2 dimasa depan dan potensial sebagai obat penyakit metabolik lainnya. Analisis penelitian ini menggunakan analisis regresi proporsional cox hazard. Pada penelitian ini menemukan bahwa kadar serum


(4)

osteocalcin tidak berhubungan dengan kejadian DMT2 pada laki-laki Korea usia paruh baya di masa depan.

2.6.3 Bioaktivitas Osteocalcin

Penghapusan satu alel dari OC cukup untuk menyelamatkan tikus dengan fenotipe Esp-/- yang terbukti kuat bahwa gen Esp-/- merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi fungsi OC itu sendiri, namun belum jelas diterangkan bagaimana OST-PTP berefek pada bioaktivitas dari OC (Confavreux et al., 2010). Pada OC, 3 residu glu dapat merubah bentuk uncarboxylated menjadi penuh carboxylated. Kemampuan residu dari Gla berikatan dengan hidroxyapatite, serum diinkubasi dengan hidroxyapatite untuk mengikat carboxylated OC. Pada Esp-/- ada peningkatan serum ucOC dibandingkan dengan tikus wild-type, masing-masing 26% dan 10% (Lee et al., 2007). Dalam sebuah percobaan tambahan, ketika jenis tikus wild-type menerima warfarin akan terjadi gangguan proses karboksilasi gamma, nantinya menyebabkan fraksi ucOC meningkat dan osteoblast sendiri akan memicu ekspresi adiponektin lebih tinggi secara signifikan (Confavreux, et al., 2009; Ferron et al., 2010; Veldhuid-Vlug et al., 2013). Penemuan tersebut menyatakan bahwa setidaknya bahwa percobaan pada tikus yang dilakukan, osteoblast merupakan organ endokrin yang mempengaruhi metabolisme energi melalui suatu hormon yang baru yang dinamakan osteocalsin. Bentuk aktif OC yakni ucOC merupakan fraksi aktif pada sirkulasi pada sel adiposit dan sel-β pankreas. Penelitian baru juga telah menyebutkan produk dari Esp, OST-PTP menstimulasi karboksilasi dari OC dan menyebabkan berkurangnya bioaktivasi OC. Gagasan bahwa OC berhubungan dengan fungsi metabolik telah dikuatkan dengan adanya beberapa penelitian pada manusia (Confavreux et al., 2011).


(5)

2.6.4 Sintesis dari Osteocalcin dan Undercarboxylated Osteocalcin

Studi sebelumnya menjelaskan bahwa OC normalnya berfungsi pada tulang dalam menghambat mineralisasi, kemungkinan juga dapat menghambat osteosit tertanam didalam mineral. Dijelaskan bahwa transkripsi gen OC terjadi pada tingkat 1,25 dihydroxyvitamin D, modifikasi post-translasi dari OC akan berikatan erat dengan ion kalsium hydroxyapatite (HA) (Karsenty et al., 2006; Ferron et al., 2009; Motyl et al., 2009; Confavreux et al., 2010). Karboksilasi terjadi akibat aktivitas vitamin K dependent karboksilase, namun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami (Lee et al., 2007; Confavreux et al., 2009). uoOC memiliki kurang dari tiga residu karboksilasi dan memiliki afinitas yang rendah pada tulang. OC yang terkarboksilasi penuh atau yang tidak mengalami karboksilasi keduanya ditemukan di tulang dan serum. Meskipun ucOC lebih banyak ditemukan disirkulasi, residu OC yang terkarboksilasi penuh dijelaskan bahwa proporsinya lebih banyak ditemukan di matrik tulang (Confavreux et al., 2010; Motyl et al., 2010; Wah Ng, 201

Gambar 2.4

Pengaruh OC pada metabolime energi (Motyl et al.,2010)

Vitamin K merupakan ko faktor untuk enzim glutamat karboksilase yang diperlukan untuk karboksilasi dari protein yang mengandung gla pada kaskade koagulasi dan karboksilasi dari OC (Booth et al., 2010). Rendahnya diet vitamin K


(6)

berhubungan dengan peningkatan nilai ucOC dan suplementasi vitamin K pada dosis tertentu dan dalam jangka waktu tertentu dapat mengurangi kadar ucOC. Metode yang dapat digunakan untuk dapat mengukur ucOC dalam sirkulasi, salah satunya uji hydroxyapatite (HAP) dan uji langsung yang spesifik dengan ucOC yaitu menggunakan metode ELISA. OC memiliki ritme circardian dengan konsentrasi puncak pada sekitar pukul 4 dini hari dan memiliki konsentrasi terendah pada siang hari (Motyl et al., 2010).

Studi menyebutkan terapi sistemik ucOC memiliki efek berkebalikan dengan OC-/- pada tikus. Uji metabolik menunjukkan dilakukannya infus kronik ucOC (0,3-3,0 ng/ml/h) dapat mengurangi kadar glukosa, meningkatkan nilai insulin serum, dan peningkatan toleransi glukosa. Dasar inilah yang dipakai bawasannnya terapi dengan ucOC memiliki efek anti diabetes. Penelitian ini juga menjelaskan pemberian terapi ucOC dapat meningkatkan kadar serum adiponektin (adipokinase yang mempengaruhi sensitivitas insulin) (Feron et al., 2009; Motyl et al., 2010).