negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di daerah urban WHO, 2014. Di negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat dan
Australia prevalensi orang dengan obesitas dan overweight tampaknya mempunyai kecenderungan akan semakin meningkat dan telah mengenai sekitar 50-65 persen
populasi, juga meningkat secara ekstrim di beberapa negara seperti Meksiko, Mesir dan populasi hitam di Afrika Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada
beberapa pulau-pulau daerah Pasifik, dan daerah Timur Tengah WHO, 2014. Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan
berat badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen, sedangkan negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar 1,5-2 persen
Mokdad, et al. 2001.
2.1.3 Pengaruh Obesitas terhadap Kesehatan
Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih banyak masalah terhadap kesehatannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki
berat badan normal Yanovski, 2002. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap beberapa
penyakit yang tidak menular diantaranya hipertensi, DMT2, penyakit kardiovaskular, osteoartritis, stroke, dan beberapa penyakit keganasan kolon,
rektum, esofagus, ginjal, payudara, dan prostat WHO, 2014. Meskipun secara keseluruhan telah dibuktikan mengenai beberapa pengaruh yang merugikan dari
obesitas terhadap kesehatan, obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan para klinisi karena sangat penyebab dan mekanismenya sangat luas. Beberapa
orang yang mengalami obesitas memiliki tekanan darah normal, profil lipoprotein-
lemak plasma yang normal, dan euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya dengan berat badan yang normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor
resiko metabolik Depres et al., 2006. Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah membuktikan bahwa
sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan timbunan lemak berlebih di daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk menderita DMT2, dislipidemia,
hipertensi dan penyakit kardiovaskuler Despress dan Marette, 2008. Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh dunia mungkin mendorong prevalensi
DMT2 menjadi lebih tinggi WHO, 2014. Beberapa dekade terakhir telah membuktikan adanya hubungan antara
aktivitas fisik dengan SM. Kurangnya aktivitas fisik atau sendentary life akan meningkatkan resiko terjadinya obesitas dan meningkatkan resiko terjadinya
beberapa penyebab kematian, penyakit kronik dan disabilitas Pergola et al., 2013. Dampak obesitas yang baru-baru ini diteliti yakni obesitas yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya 20 kejadian kanker di Amerika. Hubungan antara obesitas dan meningkatnya resiko kanker dikarenakan berbagai penyebab salah
satunya dari parameter antropometrik dan faktor pola hidup. Parameter antopometri termasuk BMI, peningkatan berat badan, total lemak tubuh khususnya lemak
abdominal, pola hidup termasuk sedentary lifestyle, parameter diet termasuk makanan berkalori tinggi dan diet berkualitas rendah yang diduga berperan sebagai
faktor predisposisinya. Beberapa jenis kanker yang kemungkinan berkaitan dengan kejadian obesitas yakni kanker esofagus, payudara, endometrium, ginjal, pankreas,
kandung empedu dan tiroid. Walaupun hingga kini mekanisme terjadinya kanker
pada obesitas belum jelas diketahui, diperkirakan adanya produksi hormon yang berlebihan, meningkatnya insulin, insulin growth factor, dan low grade
imflammation sebagai faktor pencetus Pergola et al,. 2013. 2.1.3.1 Obesitas dan Hipertensi
Penelitian pada tahun 1959 telah menunjukkan adanya hubungan langsung antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan. Penelitian oleh Rahmouni et
al, 2005 juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang mempunyai berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu beberapa penelitian
epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas dan hipertensi, hubungan kausalnya memang belum dapat diketahui dengan pasti,
namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas tersebut di turunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun, oleh karena itu timbul
beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya yaitu adanya mekanisme hemodinamik. Penelitiannya juga mendapatkan bahwa
adanya peningkatan stroke volume dan cardiac output pada penderita obesitas bila dibandingkan dengan yang bukan obesitas dan juga didapatkan peningkatan
tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa
peningkatan stroke vulume, cardiac output dan peningkatan tahanan perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas.
Peranan aktivitas saraf simpatis, juga dikatakan sebagai faktor yang berperan pada obesitas dengan hipertensi ditunjukkan pada penderita perempuan
obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan
darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme katekolamin, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan
katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat. Adanya peranan pada sistem endokrin yang diduga ikut berperan dalam
proses hipertensi pada obesitas terlihat pada adanya peningkatan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi
natrium di dalam glomerulus, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi pula sekresi natrium dalam glomerulus, dalam beberapa hal
keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dalam darah yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, dan nantinya menyebabkan hipertensi. Para peneliti tersebut sepakat bahwa menurunkan berat badan akan serta
merta dapat menurunkan tekanan darah Rahmouni et al., 2015. 2.1.4.2 Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik
Penelitian Krauss et al., 1998 menunjukkan meningkatnya resiko kematian mendadak yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas.
Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Hasil
penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap terjadinya arteriosklerosis koroner. Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat
obesitas ternyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibuktikan. Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita
obesitas yang dengan pemeriksaan angiografi memperlihatkan sklerosis arteria
koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat
bahwa obesitas tidak langsung menyebabkan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.
2.1.4.3 Obesitas dan Diabetes Melittus Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem metabolism glukosa dan
energi, dan yang sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan kejadian diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9
kali lebih sering bila dibandingkan orang yang tidak obesitas. Di Amerika telah dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 - 45 tahun mempunyai
kecenderungan terkena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 - 75
tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering daripada yang memiliki berat badannya normal. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas
sering mengalami hiperglikemia tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya
reseptor insulin terhadap adanya keadaan hiperglikemia. Beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa pada penderita diabetes dengan obesitas, kelainan dasarnya
adalah gangguan sekresi insulin. Sekresi insulin dikatakan terhambat sehingga kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan baik dan terdapat peningkatan
sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Disamping itu hiperglikemia dan hiperinsulinemia
dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya
peningkatan hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya jumlah reseptor insulin yang sensitif pada membran sel.
2.1.4.4 Obesitas dan Gangguan Pernafasan
Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan oleh
karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas vital paru yang akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat
dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat
badannya. 2.1.4.5 Obesitas dan Kelainan Sendi
Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung
menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi osteoartrosis OA baik primer ataupun sekunder. Conway dan Mc Carthy, 2015
dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung
lebih cepat menderita OA memerlukan operasi penggantian sendi. Beberapa mekanisme termasuk mekanikal, epigenetik, peranan sitokin-sitokin pro imflamasi
seperti VEGF, IL-6, TNF-A, penurunan adiponektin yang menurun diperkirakan sebagai penyebab terjadinya osteoarthritis pada obesitas. Sendi yang terkena adalah
sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki.
2.1.4.6 Obesitas dan Defisiensi Hormon Testosteron Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala
dan tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya diketahui pada kondisi yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis
dan kualitas hidup penderita. Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa; menurunnya libido, menurunnya aktifitas seksual, berkurangnya massa dan
kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah low energy dan depresi Jones , 2007 ; Mendonca et al., 2014. Assosiasi yang substansial signifikan yang banyak
dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan risiko penyakit kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi vaskuler,
hipertensi dan aterosklerosis Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al., 2011.
Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor yang penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang Ohisson et
al., 2011 ; Wang et al., 2011. Obesitas merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan adipose
mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFAFree Fatty Acid dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada
perkembangan SM, DM tipe-2 seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen Traish et al., 2009.
Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi active secretory tissue sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor
proinflamatori lainnya seperti IL-6, IL- 1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen,
vascular endothelial growth factor VEGF dan serum amyloid A Wang et al., 2011.
Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan disfungsi dari vaskuler sistemik maupun perifer Reilly et al., 2004. FFA
mengaktifasi nuclear factor- κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα
mengaktivasi lipolisis diikuti dengan meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage chemoattractant protein-1 MCP-1 yang akan meningkatkan mobilisasi makrofag
dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα juga meningkatkan ekspresi molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6 menstimulasi
sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron
terbukti dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat memodulasi secara langsung sensitivitas insulin Reilly et al., 2004 ; Wang et al.,
2011. Kadar testosteron pada penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan komponen Sindrom Metabolik dapat dilihat pada gambar 2.5 Wang et al., 2011
2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas