Pengaruh Salinitas Dalam Proses Osmoregulasi

Ikan nila bisa hidup pada kadar garam sampai 35, namun ikan sudah tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada kadar garam yang tinggi ikan membutuhkan energi yang minim untuk osmoregulasi sehingga energi yang digunakan untuk pertumbuhan berkurangTim Karya Tani Mandiri, 2009. Ikan nila yang masih kecil lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dibanding dengan ikan yang sudah besar. Nila dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan perairan dengan alkalinitas rendah atau netral. Nilai pH air tempat hidup ikan nila berkisar antara 6 – 8,5. Namun pertumbuhan optimalnya terjadi pada pH 7 – 8. Batas pH yang mematikan adalah 11Carman Odang, dkk.,2010. Suhu atau temperatur air sangat berpengaruh terhadap metabolisme dan pertumbuhan organisme serta mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi organisme perairan. Suhu kolam atau perairan yang masih bisa ditolirir ikan nila adalah 15–37 o C. Suhu optimum untuk pertumbuhan nila adalah 25-30 o C. Oleh karena itu, ikan nila cocok dipelihara di dataran rendah sampai agak tinggi hingga ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sedangkan untuk pemijahan, suhu ideal untuk bisa menghasilkan telur dan larva adalah 22–37 o CWiryanta, B.T.W., dkk.,2010

2.4 Pengaruh Salinitas Dalam Proses Osmoregulasi

Yang dimaksud dengan osmoregulasi adalah proses pengatur konsentrasi cairan dan menyeimbangkan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup. Sedangkan pengertian osmoregulasi bagi ikan adalah merupakan upaya ikan untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungan melalui mekanisme pengaturan tekanan osmotik. Ginjal akan memompakan keluar kelebihan air tersebut sebagai air seni. Ginjal mempunyai glomeruli dalam jumlah yang banyak dengan diameter yang besar. Hal Universitas Sumatera Utara ini bertujuan untuk menahan garam-garam tubuh agar tidak keluar dan sekaligus memompa air seni sebanyak-banyaknya. Air seni yang keluar dari tubuh ikan sangat encer dan mengandung sejumlah kecil senyawa nitrogen, seperti: asam urat, creatine, creatinine, dan amonia. http:anaklautundip.blogspot.com201004osmoregulasi-ikan.html. Ikan laut hidup pada lingkungan yang hipertonik terhadap jaringan dan cairan tubuhnya, sehingga cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang dan kemasukan garam-garam. Untuk mengatasi kehilangan air, ikan “minum air laut sebanyak- banyaknya”. Sehingga kandungan garam akan meningkat dalam cairan tubuh. Padahal dehidrasi dapat dicegah dengan jalan proses ini dan kelebihan garam ini harus dihilangkan. Karena ikan laut dipaksa oleh kondisi osmotik untuk mempertahankan air, volume air seni lebih sedikit dibandingkan dengan ikan air tawar. Tubuli ginjal mampu berfungsi sebagai penahan air. Jumlah glomeruli ikan laut cenderung lebih sedikit dan bentuknya lebih kecil dari pada ikan air tawar. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmose antara substansi dalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya. http:rudy-dblues.blogspot.com201001tingkatan-salinitas-pada-air.... Regulasi ion dan air pada ikan terjadi hipertonik, hipotonik atau isotonik tergantung pada perbedaan lebih tinggi, lebih rendah atau sama konsentrasi cairan tubuh dengan konsentrasi media. Perbedaan ini dapat dijadikan sebagai strategi dalam menangani komposisi cairan ekstrasellular dalam tubuh ikan. Universitas Sumatera Utara Untuk ikan-ikan potadrom yang bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak ke dalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungannya dengan cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya dapat terjadi dengan cara meminum sedikit air atau bahkan tidak minum sama sekali. Kelebihan air dalam tubuhnya dapat dikurangi dengan cara membuangnya dalam bentuk urin. Untuk ikan-ikan oseanodrom yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmose dari dalam tubuhnya melalui ginjal, insang, dan kulit ke lingkungannya, sedangkan ion-ion masuk ke dalam tubuhnya secara difusi. Sedangkan untuk ikan-ikan eurihalin, memiliki kemampuan yang cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuhnya dengan media isoosmotik, namun karena kondisi lingkungan perairan tidak selalu tetap, maka proses osmoregulasi seperti halnya pada kedua jenis ikan di atas tetap terjadiFujaya, Y.,2004 dan Marshall, W.S., et al.,2006. Perubahan kadar salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan, sehingga ikan melakukan penyesuaian atau pengaturan kerja osmotik internalnya agar proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali. Apabila salinitas semakin tinggi ikan berupaya terus agar kondisi homeostasis dalam tubuhnya tercapai hingga pada batas toleransi yang dimilikinya. Kerja osmotik memerlukan energi yang lebih tinggi pula. Hal tersebut juga berpengaruh kepada waktu kenyang satiation time dari ikan tersebut Conides, A.J., et al.,2004. Proses osmoregulasi juga menghasilkan produk buangan seperti feses dan amoniak, sehingga media pemeliharaan akan berwarna keruh sebagai akibat banyaknya feses yang dikeluarkan ikan. Dampak dari ekskresi nitrogen tersebut akan mempengaruhi kehidupan ikan di dalamnya yaitu terhadap kondisi ambient, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pertahanan tubuhnya. Setelah melewati batas Universitas Sumatera Utara toleransi, maka ikan tersebut mengalami kematian. Mengingat tidak semua ikan mengalami kematian, maka dapat dipastikan bahwa daya toleransi pada populasi ikan dalam akuarium berbeda-beda. Hal ini diduga karena perbedaan kondisi tubuh saat sebelum dimasukkan dalam media praktik termasuk intensitas parasit, tingkat stress dan lain-lain. Tingkat stress juga berbeda-beda yang dialami oleh benih dalam akuarium, sebagai akibat dari perlakuan. Kajian yang lebih mendalam, dapat ditelusuri dengan kandungan kortisol. Banyak hal berkenaan dengan kortisol selama proses metabolisme, misalnya saat starvasi puasa, osmoregulasi, pengerahan simpanan energi untuk migrasi, proses pematangan gonad, pemijahan dan selama stres yang dialami oleh ikan itu sendiriVan Ginneken.V.,et al.,2006. Aktivitas osmoregulasi dapat dipengaruhi oleh stadia ikan atau krustase dalam hubungannya dengan salinitas. Penelitian pada stadia juvenile dan dewasa krustase, regulasi ion NaK-ATP menunjukkan hal-hal yang berbeda-beda jika diamati dengan aktivitas enzim NaK-ATPase. Pada Artemia salina dan A. franciscana aktivitas enzim, tersebut meningkat sejalan dengan perkembangannya sejak setelah menetas hingga tahap mulai berenang bebas. Pada udang galah, hal tersebut juga berlangsung demikian. Namun pada stadia dewasa, aktivitas NaK-ATPase pada udang galah tidak berbeda nyata setelah diperlakukan pada salinitas yang berbedaN.Wilder,M.,et al., 2001, Kordi K, M.G.H.,2007. Kemampuan adaptasi ikan, juga dapat diketahui melalui penelitian pada juvenile fugu Takifugu rubripes terhadap lingkungan bersalinitas rendah. Ikan dipindahkan dari lingkungan air laut 100 ke dalam media air tawar 25, 50, 75, dan 100 air laut dan kemudian didata mortalitasnya selama 3 hari. Tidak ada kematian ikan dalam media baru bersalinitas 25 – 100 air laut dan semua ikan mati dalam media 100 air tawar. Nampaknya, pada ikan yang dipindahkan ke media 25 – 100 osmolalitas darahnya tetap dijaga pada kisaran fisiologis yang normal. Penelitian Universitas Sumatera Utara dilanjutkan dengan memindahkan ikan dari lingkungan 100 air laut ke media air tawar, 1, 5, 10, 15, dan 25 air laut. Semua ikan hidup dalam media 5 – 25, tetapi mati dalam media air tawar dan 1 air laut. Ikan yang hidup pada media 25 air laut kemudian dipindahkan kembali ke media air tawar 1 dan 5 air laut dan menunjukkan bahwa osmolalitas darahnya menurun hingga mendekati level subletal, yakni sekitar 300 mOsmkg.H 2 O. Nampaknya preaklimatisasi dalam 25 selama 7 hari tidak terlalu berpengaruh terhadap selang kemampuan survivalnya. Meskipun kelangsungan hidup dan osmolalitas darahnya sedikit meningkat dengan cara preaklimatisasi dalam 25, osmolalitas darahnya mengalami penurunan setelah dipindahkan ke dalam media bersalinitas kurang dari 10. Penemuan ini mengindikasikan bahwa fugu dapat beradaptasi pada lingkungan hipoosmotik karena adanya kemampuan hiperosmoregulasi, namun sel-sel klorid yang dimilikinya berkurang dalam mengabsorpsi ion-ion pada lingkungan hipoosmotikLee, K.M., et al.,2005. Untuk air tawar , organ yang terlibat dalam osmoregulasi antara lain insang, usus dan ginjal. Sel-sel yang berperan dalam organ insang untuk proses tersebut adalah mitokondria-rich dan role of pavementMarshall,W.S., et al, 2006. Struktur insang memiliki hubungan dengan kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan histology dari struktur insang Caprella Amphipoda: caprellidea yang dikumpulkan dari komunitas Sargassum di timur laut Jepang dan diamati di bawah mikroskop elektron. Epitel sel insang dari ikan-ikan tersebut terdiri dari perkembangan apical infolding system AIS dan basolateral infolding system BIS yang dihubungkan dengan mitokondria. Percobaan tentang toleransi terhadap salinitas dari 4 spesies Caprella mengindikasikan bahwa konsentrasi median letalnya pada 20 o C berkisar antara 12,97- 18,84 practical salinity unit p.s.u dengan kelangsungan hidup 80 pada kondisi salinitas di atas 25,37 p.s.u bahkan selama 5 hari. Karakteristik insang dan lebarnya rentang toleransi salinitas Universitas Sumatera Utara pada Caprella spp, menunjukkan bahwa Caprella spp yang menghuni komunitas Sargassum merupakan organisme yang eurihalin Takeuchi,I.,et al.,2003.

2.5 Pakan Ikan