Penentuan Formula Antioksidan Untuk Menghambat Ketengikan Pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan Selama Satu Bulan

(1)

SKRIPSI

PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK

MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM

GORENG KALASAN SELAMA SATU BULAN

MAYA KURNIAWATI

F24102058

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SKRIPSI

PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK

MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM

GORENG KALASAN SELAMA SATU BULAN

Oleh :

MAYA KURNIAWATI

F24102058

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Maya Kurniawati. F24102058. Penentuan Formula Antioksidan untuk Menghambat Ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama Satu Bulan. Dibawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr (2007)

RINGKASAN

Beberapa makanan tradisional khas Indonesia cukup banyak yang menggunakan bumbu sebagai bahan penambah citarasa. Masalah yang sering dihadapi dalam pembuatan bumbu adalah masalah kerusakan yang disebabkan oleh proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan dan mempengaruhi daya simpan dari produk tersebut (Winarno, 1992).

Salah satu contoh adalah adanya ketengikan karena reaksi oksidasi yang terjadi pada industri kecil Ayam Goreng Kalasan. Bumbu ayam yang dipergunakan diolah dengan metode penumisan dan disimpan dengan metode sederhana yaitu memakai plastik transparan pada suhu ruang. Menurut pengalaman bumbu tersebut mulai mengalami ketengikan selama tujuh hari. Oleh karena itu penelitian dilakukan dengan tujuan untuk untuk memperoleh jenis dan konsentrasi antioksidan yang mampu menghambat ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama penyimpanan satu bulan.

Proses awal dari penelitian adalah penentuan kombinasi antioksidan yang akan digunakan pada bumbu. Setelah itu, kombinasi antioksidan dengan beberapa variasi konsentrasi antioksidan dicobakan dalam bumbu dan dipilih jenis dan konsentrasi antioksidan terbaik berdasarkan uji TBA, diena terkonjugasi, uji total mikroba, dan uji sensori berupa uji skalar serta uji hedonik. Rancangan percobaan yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap sebanyak 10 perlakuan dan dua kali ulangan. Perlakuan tersebut yaitu Formula 1(BHA 25 ppm+BHT 25 ppm), Formula 2 (BHA 50 ppm+BHT50 ppm), Formula 3 (BHA 100 ppm+BHT 100 ppm), Formula 4 (BHA 25 ppm+ askorbil palmitat25 ppm), Formula 5 (BHA 50 ppm+ askorbil palmitat 50 ppm), Formula 6 (BHA 100 ppm+ askorbil palmitat 100 ppm), Formula 7 (BHT 25 ppm+ askorbil palmitat25 ppm), Formula 8 (BHT 50 ppm+ askorbil palmitat 50 ppm), Formula 9 (BHT 100 ppm+ askorbil palmitat 100 ppm), serta Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan.

Berdasarkan analisis proksimat didapatkan kadar air bahan 27.05% dan kadar lemak bahan sekitar 37.53%. Kandungan logam Fe cukup rendah yaitu 3.0x 10-3 mg/L dan logam Cu sekitar 8.45 x 10-4 mg/L.

Penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm memiliki nilai TBA < 3.0 mg malinaldehid/kg bahan dan nilai diena terkonjugasi 0.901 vol/vol. Hasil kedua uji tersebut menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama satu bulan. Hasil tersebut juga didukung uji sensori (uji skalar dan uji hedonik) yang menunjukkan bahwa panelis belum mencium bau tengik pada sampel dan masih menyukai sampel tersebut setelah satu bulan penyimpanan.


(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK

MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM GORENG

KALASAN SELAMA SATU BULAN

Oleh :

MAYA KURNIAWATI

F24102058

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1984 di Bogor

Tanggal lulus : 7 Februari 2007

Menyetujui, Bogor, 5 Februari 2007

Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 25 Mei 1984 sebagai anak tunggal dari pasangan bapak Dwi Waluyo dan ibu Kasinem. Penulis menjalani pendidikan formal di SD Sukamaju II Depok pada tahun 1989, pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 7 Depok pada tahun 1996, dan pendidikan tingkat atas di SMU Negeri 3 Bogor pada tahun 1999 . Penulis dinyatakan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota dari Food Processing Club tahun 2002. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Tekonologi Pengolahan Pangan dan Teknologi Hasil Hortikultura tahun 2005, serta Asisten Praktikum Kimia Dasar untuk Tingkat Persiapan Bersama tahun 2006. Pada tahun 2004, penulis mendapatkan Penghargaan Bogasari Nugraha VII dalam Kategori Rekayasa Proses. Penulis pernah melakukan praktek kerja lapangan tahun 2005 di Hygiene and Quality Department di PT. Angkasa Cipta Sarana (ACS) Unit Jakarta.

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis membuat tugas akhir dengan judul

Penentuan

Formula Antioksidan untuk Menghambat Ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama Satu Bulan”, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hanny Wijaya, MAgr.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak selama penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih, diantaranya kepada :

1. Bapak, Ibu, dan Mbah Putri atas ketulusan kasih sayang dan doa yang tak putus-putusnya yang menemani perjalanan hidup penulis.

2. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, waktu, dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini agar menjadi lebih baik. Selain itu terima kasih yang tulus untuk pemberian nasehat, ilmu hidup, dan pengertian kepada penulis disela-sela kesibukannya yang luar biasa

3. Ir. Budi Nurtama, MAgr atas bantuan dan saran-saran yang diberikan pada penulis dalam pengolahan data serta kesediaannya menjadi penguji. 4. Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya sebagai penguji dan

saran-sarannya untuk perbaikan skripsi ini

5. Sahabat tercinta (Dinda, Intan, Yayah, Fafa, Astri, Yelita, Vivi, dan Aponk) atas dukungannya selama ini serta suka duka yang tak pernah terlupakan.

6. Teman-teman sebimbingan terutama Vivi, Arti, dan Herold yang menemani perjuangan penulis hingga sampai saat ini.


(7)

7. Teman-teman TPG 39 (Hanni, Nea, Evrin, Tina, Ari, Dedi, Ulik, Izal, Dadik, Didin, Woro, dll) atas kebersamaan yang menyenangkan selama empat tahun ini khususnya

8. Para laboran Lab. Ilmu dan Teknologi Pangan : Bpk. Wahid, Bpk. Koko, Bpk. Rozak, Bpk. Gatot, Bpk. Yahya, Bpk. Sidiq, Bpk. Taufik, Bpk. Nuh, Mas Edi, Teh Ida, Mba Darsih dan Bu Rubiah atas kebaikannya membantu penulis selama penelitian

9. Keluarga Om Yazeed dan keluarga Om Tarno atas bantuan moril dan materil selama penyusunan skripsi ini

10.Sepupu-sepupuku tercinta (Ayu, Imam, Agung, Angga, Mas Iwan, Indri, Mas Budi, Mas Iyus, Mba Yuli, Mba Rin, dan Mas Koko) atas dukungan dan keceriaan pada penulis di saat sulit sehingga penulis tidak merasa sendiri

11.Mba Lia dan Mba Ina atas bantuannya selama ini

12.Dokter-dokter RS. Ciprto Mangunkusumo bagian ginekolog (dr. Malvin, dr. Saipul, dan dr. Sarah) dan suster-suster baik hati (spesial untuk Tante Sumi) yang telah mengembalikan keceriaan penulis

13.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dari awal hingga akhir penyusunan penulisan skripsi ini

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun atas karya ini. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang memerlukannyanya

Bogor, Februari 2007


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 2

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI ... 3

B. KERUSAKAN BUMBU SIAP PAKAI ... 4

C. ANTIOKSIDAN ... 8

1. BHA (Butylated hydroxyanisole) ... 14

2. BHT (Butylated hidroxytoluene) ... 15

3. Askorbil Palmitat ... 17


(9)

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

A. BAHAN DAN ALAT ... 21

B. METODE PENELITIAN ... 21

C. METODE ANALISIS ... 23

1. Kadar air (AOAC, 1995) ... 23

2. Kadar Lemak (AOAC, 1995) ... 23

3. Analisis Logam Fe dan Cu (AOAC, 1999) ... 23

4. Analisis Bilangan TBA (Woods dan , 1972) ... 25

5. Analisis Diena Terkonjugasi (Chiaou, 1996) ... 26

6. Analisis Total Mikroba (AOAC, 1995) ... 26

7. Uji Skalar (Meilgaard, 1990) ... 26

8. Uji Hedonik ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. PERLAKUAN BUMBU ... 31

B. ANALISIS PROKSIMAT BUMBU ... 32

C. ANALISIS TOTAL MIKROBA ... 29

D. PEMILIHAN ANTIOKSIDAN ... 34

1. Nilai Thiobarbituric Acid (TBA) ... 37

2. Nilai Diena Terkonjugasi ... 42

3. Uji Skalar ... 44

4. Uji Hedonik ... 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. KESIMPULAN ... 53

B. SARAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

LAMPIRAN ... 58


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Penggunaan Antioksidan menurut Peraturan Mentri Kesehatan

dan FDA ... 13

Tabel 2. Tingkat Penggunaan BHA pada Produk Pangan ... 15

Tabel 3. Tingkat Penggunaan BHT pada Produk Pangan ... 16

Tabel 4. Sifat Fisik dari Askorbil Palmitat ... 18

Tabel 5. Tingkat Penggunaan Askorbil Palmitat pada Produk Pangan ... 18

Tabel 6. Formulasi Standar Bumbu untuk 1 kg Ayam Mentah ... 21


(11)

SKRIPSI

PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK

MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM

GORENG KALASAN SELAMA SATU BULAN

MAYA KURNIAWATI

F24102058

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

SKRIPSI

PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK

MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM

GORENG KALASAN SELAMA SATU BULAN

Oleh :

MAYA KURNIAWATI

F24102058

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

Maya Kurniawati. F24102058. Penentuan Formula Antioksidan untuk Menghambat Ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama Satu Bulan. Dibawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr (2007)

RINGKASAN

Beberapa makanan tradisional khas Indonesia cukup banyak yang menggunakan bumbu sebagai bahan penambah citarasa. Masalah yang sering dihadapi dalam pembuatan bumbu adalah masalah kerusakan yang disebabkan oleh proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan dan mempengaruhi daya simpan dari produk tersebut (Winarno, 1992).

Salah satu contoh adalah adanya ketengikan karena reaksi oksidasi yang terjadi pada industri kecil Ayam Goreng Kalasan. Bumbu ayam yang dipergunakan diolah dengan metode penumisan dan disimpan dengan metode sederhana yaitu memakai plastik transparan pada suhu ruang. Menurut pengalaman bumbu tersebut mulai mengalami ketengikan selama tujuh hari. Oleh karena itu penelitian dilakukan dengan tujuan untuk untuk memperoleh jenis dan konsentrasi antioksidan yang mampu menghambat ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama penyimpanan satu bulan.

Proses awal dari penelitian adalah penentuan kombinasi antioksidan yang akan digunakan pada bumbu. Setelah itu, kombinasi antioksidan dengan beberapa variasi konsentrasi antioksidan dicobakan dalam bumbu dan dipilih jenis dan konsentrasi antioksidan terbaik berdasarkan uji TBA, diena terkonjugasi, uji total mikroba, dan uji sensori berupa uji skalar serta uji hedonik. Rancangan percobaan yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap sebanyak 10 perlakuan dan dua kali ulangan. Perlakuan tersebut yaitu Formula 1(BHA 25 ppm+BHT 25 ppm), Formula 2 (BHA 50 ppm+BHT50 ppm), Formula 3 (BHA 100 ppm+BHT 100 ppm), Formula 4 (BHA 25 ppm+ askorbil palmitat25 ppm), Formula 5 (BHA 50 ppm+ askorbil palmitat 50 ppm), Formula 6 (BHA 100 ppm+ askorbil palmitat 100 ppm), Formula 7 (BHT 25 ppm+ askorbil palmitat25 ppm), Formula 8 (BHT 50 ppm+ askorbil palmitat 50 ppm), Formula 9 (BHT 100 ppm+ askorbil palmitat 100 ppm), serta Formula 10 (tanpa penambahan antioksidan.

Berdasarkan analisis proksimat didapatkan kadar air bahan 27.05% dan kadar lemak bahan sekitar 37.53%. Kandungan logam Fe cukup rendah yaitu 3.0x 10-3 mg/L dan logam Cu sekitar 8.45 x 10-4 mg/L.

Penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm memiliki nilai TBA < 3.0 mg malinaldehid/kg bahan dan nilai diena terkonjugasi 0.901 vol/vol. Hasil kedua uji tersebut menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama satu bulan. Hasil tersebut juga didukung uji sensori (uji skalar dan uji hedonik) yang menunjukkan bahwa panelis belum mencium bau tengik pada sampel dan masih menyukai sampel tersebut setelah satu bulan penyimpanan.


(14)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENENTUAN FORMULA ANTIOKSIDAN UNTUK

MENGHAMBAT KETENGIKAN PADA BUMBU AYAM GORENG

KALASAN SELAMA SATU BULAN

Oleh :

MAYA KURNIAWATI

F24102058

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1984 di Bogor

Tanggal lulus : 7 Februari 2007

Menyetujui, Bogor, 5 Februari 2007

Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 25 Mei 1984 sebagai anak tunggal dari pasangan bapak Dwi Waluyo dan ibu Kasinem. Penulis menjalani pendidikan formal di SD Sukamaju II Depok pada tahun 1989, pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 7 Depok pada tahun 1996, dan pendidikan tingkat atas di SMU Negeri 3 Bogor pada tahun 1999 . Penulis dinyatakan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota dari Food Processing Club tahun 2002. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Tekonologi Pengolahan Pangan dan Teknologi Hasil Hortikultura tahun 2005, serta Asisten Praktikum Kimia Dasar untuk Tingkat Persiapan Bersama tahun 2006. Pada tahun 2004, penulis mendapatkan Penghargaan Bogasari Nugraha VII dalam Kategori Rekayasa Proses. Penulis pernah melakukan praktek kerja lapangan tahun 2005 di Hygiene and Quality Department di PT. Angkasa Cipta Sarana (ACS) Unit Jakarta.

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis membuat tugas akhir dengan judul

Penentuan

Formula Antioksidan untuk Menghambat Ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama Satu Bulan”, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hanny Wijaya, MAgr.


(16)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak selama penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih, diantaranya kepada :

1. Bapak, Ibu, dan Mbah Putri atas ketulusan kasih sayang dan doa yang tak putus-putusnya yang menemani perjalanan hidup penulis.

2. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, waktu, dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini agar menjadi lebih baik. Selain itu terima kasih yang tulus untuk pemberian nasehat, ilmu hidup, dan pengertian kepada penulis disela-sela kesibukannya yang luar biasa

3. Ir. Budi Nurtama, MAgr atas bantuan dan saran-saran yang diberikan pada penulis dalam pengolahan data serta kesediaannya menjadi penguji. 4. Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya sebagai penguji dan

saran-sarannya untuk perbaikan skripsi ini

5. Sahabat tercinta (Dinda, Intan, Yayah, Fafa, Astri, Yelita, Vivi, dan Aponk) atas dukungannya selama ini serta suka duka yang tak pernah terlupakan.

6. Teman-teman sebimbingan terutama Vivi, Arti, dan Herold yang menemani perjuangan penulis hingga sampai saat ini.


(17)

7. Teman-teman TPG 39 (Hanni, Nea, Evrin, Tina, Ari, Dedi, Ulik, Izal, Dadik, Didin, Woro, dll) atas kebersamaan yang menyenangkan selama empat tahun ini khususnya

8. Para laboran Lab. Ilmu dan Teknologi Pangan : Bpk. Wahid, Bpk. Koko, Bpk. Rozak, Bpk. Gatot, Bpk. Yahya, Bpk. Sidiq, Bpk. Taufik, Bpk. Nuh, Mas Edi, Teh Ida, Mba Darsih dan Bu Rubiah atas kebaikannya membantu penulis selama penelitian

9. Keluarga Om Yazeed dan keluarga Om Tarno atas bantuan moril dan materil selama penyusunan skripsi ini

10.Sepupu-sepupuku tercinta (Ayu, Imam, Agung, Angga, Mas Iwan, Indri, Mas Budi, Mas Iyus, Mba Yuli, Mba Rin, dan Mas Koko) atas dukungan dan keceriaan pada penulis di saat sulit sehingga penulis tidak merasa sendiri

11.Mba Lia dan Mba Ina atas bantuannya selama ini

12.Dokter-dokter RS. Ciprto Mangunkusumo bagian ginekolog (dr. Malvin, dr. Saipul, dan dr. Sarah) dan suster-suster baik hati (spesial untuk Tante Sumi) yang telah mengembalikan keceriaan penulis

13.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dari awal hingga akhir penyusunan penulisan skripsi ini

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun atas karya ini. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang memerlukannyanya

Bogor, Februari 2007


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 2

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI ... 3

B. KERUSAKAN BUMBU SIAP PAKAI ... 4

C. ANTIOKSIDAN ... 8

1. BHA (Butylated hydroxyanisole) ... 14

2. BHT (Butylated hidroxytoluene) ... 15

3. Askorbil Palmitat ... 17


(19)

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

A. BAHAN DAN ALAT ... 21

B. METODE PENELITIAN ... 21

C. METODE ANALISIS ... 23

1. Kadar air (AOAC, 1995) ... 23

2. Kadar Lemak (AOAC, 1995) ... 23

3. Analisis Logam Fe dan Cu (AOAC, 1999) ... 23

4. Analisis Bilangan TBA (Woods dan , 1972) ... 25

5. Analisis Diena Terkonjugasi (Chiaou, 1996) ... 26

6. Analisis Total Mikroba (AOAC, 1995) ... 26

7. Uji Skalar (Meilgaard, 1990) ... 26

8. Uji Hedonik ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. PERLAKUAN BUMBU ... 31

B. ANALISIS PROKSIMAT BUMBU ... 32

C. ANALISIS TOTAL MIKROBA ... 29

D. PEMILIHAN ANTIOKSIDAN ... 34

1. Nilai Thiobarbituric Acid (TBA) ... 37

2. Nilai Diena Terkonjugasi ... 42

3. Uji Skalar ... 44

4. Uji Hedonik ... 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. KESIMPULAN ... 53

B. SARAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

LAMPIRAN ... 58


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Penggunaan Antioksidan menurut Peraturan Mentri Kesehatan

dan FDA ... 13

Tabel 2. Tingkat Penggunaan BHA pada Produk Pangan ... 15

Tabel 3. Tingkat Penggunaan BHT pada Produk Pangan ... 16

Tabel 4. Sifat Fisik dari Askorbil Palmitat ... 18

Tabel 5. Tingkat Penggunaan Askorbil Palmitat pada Produk Pangan ... 18

Tabel 6. Formulasi Standar Bumbu untuk 1 kg Ayam Mentah ... 21


(21)

Tabel 8. Hasil Analisis Proksimat Bumbu Ayam Goreng Kalasan ... 33

Tabel 9. Hasil Analisis Total Mikroba ... 35

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Skema Umum Oksidasi Lemak ... 6

Gambar 2. Penghambatan Antioksidan Primer pada Tahap Propagasi ... 10

Gambar 3. Struktur Kimia dari Butylated hydroxyanisole (BHA) ... 14

Gambar 4. Struktur Kimia dari Butylated hidroxytoluene ... 16

Gambar 5. Struktur Kimia Askorbil palmitat ... 17


(22)

Gambar 7. Skema Penelitian ... 22 Gambar 8. Diagram Proses Pembuatan Bumbu ... 23 Gambar 9. Hasil Analisis Bilangan TBA selama Penyimpanan Satu

Minggu ... 31 Gambar 10.Hubungan Antara Bilangan TBA dengan Lama Penyimpanan 38 Gambar 11. Sinergisme antara BHA dan BHT ... 41 Gambar 12. Hubungan Antara Nilai Diena terkonjugasi dengan

Lama Penyimpanan ... 43 Gambar 13. Hasil Uji Skalar Hubungan Antara lama Penyimpanan

dan Penilaian Panelis Terhadap Ketengikan ... 45 Gambar 14. Diagram Rata-rata Uji Hedonik Terhadap Aroma Bumbu

Ayam Goreng Kalasan Pada Akhir Penyimpanan ... 47 Gambar 15. Diagram Rata-rata Uji Hedonik Terhadap Aroma Ayam Goreng Kalasan Pada Akhir Penyimpanan ... 48 Gambar 16. Diagram Rata-rata Uji Hedonik Terhadap Rasa Ayam

Goreng Kalasan Pada Akhir Penyimpanan ... 50 Gambar 17. Diagram Rata-rata Uji Hedonik Terhadap Keseluruhan

Ayam Goreng Kalasan Pada Akhir Penyimpanan ... 51

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Pelatihan Penggunaan Skala Garis ... 58 Lampiran 2. Lembar Organoleptik Uji Rating Aroma Tengik ... 59 Lampiran 3. Lembar Organoleptik Uji Hedonik ... 60 Lampiran 4. Hasil Pengukuran Total Mikroba (x103 koloni/gr sampel) ... 61


(23)

Lampiran 5. Hasil Pengukuran Bilangan TBA selama Penyimpanan ... 62 Lampiran 6. Nilai Diena Terkonjugasi Bumbu Ayam Goreng Kalasan Selama Penyimpanan ... 63 Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Bilangan TBA ... 64 Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Nilai Diena Terkonjugasi ... 65 Lampiran 9. Hasil Uji Skalar Garis Selama Penyimpanan ... 66 Lampiran10.Data Hasil Hedonik Aroma Bumbu danAyam Goreng

Kalasan ... 67 Lampiran11.Data Hasil Hedonik Rasa Bumbu dan Penampakan

Keseluruhan Ayam Goreng Kalasan ... 68 Lampiran12.Hasil Anova Uji Hedonik Aroma Bumbu Ayam Goreng

Kalasan pada Akhir Penyimpan ... 69 Lampiran13.Analisis ANOVA Uji Hedonik terhadap Aroma Ayam Goreng

Kalasan ... 70 Lampiran14.Hasil ANOVA Uji Hedonik terhadap Rasa Bumbu Ayam Goreng Kalasan ... 71 Lampiran15.Hasil Analisis ANOVA Uji Hedonik terhadap Penilaian

Keseluruhan Ayam Goreng Kalasan ... 72 Lampiran16.Hasil Analisis Regresi Hubungan Bilangan TBA dan Lama Penyimpanan ... 73 Lampiran17.Hasil Analisis Regresi Hubungan Bilangan Diena Terkonjugasi dan Lama Penyimpanan ... 74

I.

PENDAHULUAN


(24)

Beberapa makanan tradisional khas Indonesia cukup banyak yang menggunakan rempah-rempah sebagai bahan penambah citarasa sehingga memiliki citarasa yang dapat diterima dan selera yang lebih nikmat. Penambahannya dapat memperkuat flavor alami dalam bahan pangan sehingga menimbulkan taraf penerimaan oleh konsumen. Keseimbangan penambahan bumbu dari rempah-rempah dan aroma yang khas dari bahan makanan tersebut dapat menghasilkan makanan yang nikmat dan memberikan kepuasan bagi yang mengkonsumsinya.

Masalah yang sering dihadapi dalam pembuatan bumbu adalah masalah kerusakan yang disebabkan oleh proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan dan mempengaruhi daya simpan dari produk tersebut (Winarno, 1992). Kerusakan bahan pangan yang sering terjadi selama penyimpanan ialah terjadinya oksidasi lemak yang terdapat dalam bahan pangan sehingga menyebabkan ketengikan. Menurut Cuvelier (1994), oksidasi lemak tidak hanya menyebabkan penurunan nilai gizi dan kualitas makan tetapi juga menghasilkan produk teroksidasi seperti radikal bebas yang menyebabkan beberapa reaksi kimia yang tidak diinginkan. Salah satu contoh adalah adanya ketengikan karena reaksi oksidasi yang terjadi pada industri kecil Ayam Goreng Kalasan. Bumbu ayam yang dipergunakan diolah dengan metode penumisan dan disimpan dengan metode sederhana yaitu memakai plastik transparan pada suhu ruang. Menurut pengalaman bumbu tersebut mulai mengalami ketengikan selama tujuh hari. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang efektif dan praktis untuk memperlama umur simpan bumbu tersebut dengan memperhatikan segi keamanan untuk dikonsumsi.

Salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan menambahkan zat aditif antioksidan untuk menghambat timbulnya ketengikan yang disebabkan reaksi oksidasi. Antioksidan telah banyak digunakan untuk mengurangi ketengikan yang ditimbulkan oleh minyak dan lemak dalam bahan pangan selama lebih dari 50 tahun. Menurut Buck (1991) antioksidan dinyatakan sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.


(25)

Antioksidan alami memang lebih banyak diterima konsumen karena bukan merupakan produk hasil reaksi kimia, tidak diperlukan tes keamanan, dan umumnya dinyatakan bersifat aman. Antioksidan alami memiliki beberapa kekurangan yaitu lebih mahal karena memerlukan pemurnian dan kurang efisien jika tidak dimurnikan, sifatnya tidak seragam jika tidak dimurnikan, kemamanan sering tidak diketahui, serta dapat memberi warna, over taste, serta off flavor pada produk (Rajalaksmi dan Narasimhan, 1996). Sedangkan antioksidan sintetik sangat efektif digunakan untuk mengurangi reaksi oksidasi disamping sifat penggunaannya yang praktis dan biaya yang relatif murah. Antioksidan yang cukup meluas penggunaannya diseluruh dunia antara lain BHA, BHT, TBHQ, tokoferol, dan propil galat (Gordon, 1990).

Pemakaian antioksidan sintetik masih diperbolehkan sepanjang pemakaiannya sesuai dengan dosis yang diperbolehkan meskipun antioksidan sintetik memiliki efek toksik (Branen, 1983) serta penggunaan dalam waktu lama dan dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan karsinogenik maupun kanker pada hewan percobaan tikus tetapi tidak pada marmut (Madhavi et. al, 1996). Berdasarkan percobaan tersebut, efek penggunaan antioksidan sintetik terhadap tubuh manusia masih belum jelas sehingga belum dapat diambil kesimpulan antioksidan sintetik dapat berbahaya bagi manusia.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia : 722/ MENKES/ PER/ IX/ 88 tentang Bahan Tambahan Makanan, jumlah BHT dan BHA yang diperbolehkan untuk lemak dan minyak makan maksimum 200 mg/kg. Namun tentu saja batas maksimum pemakaian Bahan Tambahan Makanan di tiap negara bervariasi penggunaannya (Gordon, 1990).

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jenis dan konsentrasi antioksidan yang mampu menghambat ketengikan pada Bumbu Ayam Goreng Kalasan selama penyimpanan satu bulan


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BUMBU MASAK SIAP PAKAI

Farrel (1990) mendefinisikan bumbu sebagai campuran dari dua atau lebih bahan rempah-rempah atau ekstrak bahan rempah yang digunakan pada makanan sebelum diolah sehingga memperkuat timbulnya flavor alami pada bahan pangan. Sedangkan menurut Hanas (1994), bumbu adalah sesuatu yang ditambahkan sebelum disajikan yaitu pada saat persiapan ataupun pengolahan.

Fungsi bumbu menurut Farrel (1990) adalah untuk meningkatkan flavor alami dari bahan pangan sehingga dapat meningkatkan tingkat penerimaan konsumen. Ide umum pemberian bumbu adalah untuk memodifikasi suatu bahan pangan dengan cara menambahkan ramuan yang dapat memperkaya dan memberikan karakteristik rasa dan bau terhadap bahan pangan tersebut (Underriner dan Hume, 1994).

Pangan tradisional Indonesia menurut Sampoerna dan Dedi Fardiaz (2001) mengacu pada tolak ukur yang sama yaitu terkait pada cara pengolahan, resep, dan cita rasa yang khas yang dikembangkan oleh etnik tertentu. Pangan tradisional seperti ayam goreng kalasan memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan tetapi pangan tersebut memiliki mutu dan kualitas yang rendah (penampilan, kebersihan, daya simpan, dan kesehatan). Peningkatan mutu dapat dilakukan dengan pemilihan bahan mentah yang baik, Bahan Tambahan Pangan yang baik, higienitas, dan penyajian yang menarik. Namun kesemuanya itu tetap tidak meninggalkan atribut ciri pangan tradisional dan memiliki kesamaan dengan unsur yang telah ada sehingga tetap diterima masyarakat yang telah memiliki kebiasaan pangan (food way).

Secara tradisional bumbu yang dipergunakan pada pangan tradisional dapat dibuat dengan cara mengiris tipis, menumbuk kasar atau menghaluskan komponen-komponen penyusunnya kemudian menumisnya dengan minyak goreng. Komponen-komponen yang digunakan dalam pembuatan bumbu siap


(27)

pakai olahan industri antara lain senyawa yang dapat menghasilkan flavor misalnya rempah-rempah, senyawa yang dapat memperkaya flavor misalnya garam dan monosodium glutamat, dan senyawa yang dapat memberikan warna (Hanas, 1994). Konsistensi spesifikasi bumbu dapat diuji dengan menggunakan uji sensori terhadap bumbu atau aplikasinya pada produk (Ivory, 1994).

C. KERUSAKAN BUMBU SIAP PAKAI

Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan terbuka terhadap kondisi lingkungan di sekelilingnya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, oksigen, dan cahaya dapat memicu reaksi yang dapat menimbulkan kerusakan pada bahan pangan. Kerusakan tersebut mengakibatkan bahan pangan dapat mencapai suatu titik saat konsumen menolak bahan pangan tersebut atau saat bahan pangan tersebut akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Begitu pula pada bumbu masak siap pakai yang berpengaruh terhadap kualitas bumbu adalah kelembaban, komposisi kimia, suhu penyimpanan, pengaruh cahaya, dan oksigen (Underriner dan Hume, 1994).

Kerusakan terhadap bumbu masak siap pakai dapat terjadi karena adanya perubahan kimia, fisik, dan mikrobiologi. Perubahan fisik dapat disebabkan oleh adanya kesalahan penanganan dari bahan pangan selama pemanenan, produksi, dan distribusi. Perubahan mikrobiologis dapat disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pada bahan pangan yang menimbulkan kebusukan dan karakteristik sensori yang tidak diinginkan. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Pembusukan oleh mikroba timbul akibat adanya absorbsi dan kontaminasi. Absorbsi tersebut dapat diminimalisir dengan penyimpanan dingin, transportasi yang baik, pengemasan hati-hati, dan sterilisasi (Hamilton, 1983).

Rempah-rempah pada dasarnya memiliki zat antimikroba alami yang sebagian besar berasal dari senyawa fenol dan turunannya seperti gugus vanilamid pada capsaisin cabe merah (Dewanti, 1984). Namun zat


(28)

antimikroba tersebut pada konsentrasi yang biasa digunakan sehari-hari, tidak dapat mengawetkan makanan. Beberapa jenis rempah-rempah yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat adalah bawang merah, bawang putih (Thomas, 1984), lengkuas (Rahayu, 1999), cabe merah (Dewanti, 1984), dan jahe (Jenie et al, 1992). Bumbu tradisional Indonesia seperti rawon, opor, ayam goreng, rendang, gulai, dan kare mempunyai kadar air yang cukup rendah yaitu sekitar 30-40% yang menyebabkan rendahnya jumlah mikroba awal yaitu berkisar 5-26 koloni per gram (Rahayu, 2000). Rendahnya mikroba juga dapat disebabkan oleh pemasakan terlebih dahulu pada bumbu tersebut. Kadar garam pada bumbu masakan tradisional pada umumnya rendah yaitu berkisar antara 1-2.6 % dan pH sekitar 4.0-5.5 yang berasal dari komponen rempah-rempah, sehingga bakteri pada umumnya tidak dapat berkembang biak dengan baik pada bumbu tersebut.

Perubahan lain yang menyebabkan kerusakan bahan pangan adalah perubahan kimia. Perubahan tersebut disebabkan karena adanya perubahan enzim, reaksi oksidasi, dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan pada penampakan (Singh, 1994).

Reaksi oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan pangan berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavor, aroma, warna, dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk. Selain itu oksidasi dapat menurunkan nilai gizi pangan dan kadang-kadang produk oksidasi dapat beracun. Sebaliknya oksidasi lemak pada batas-batas tertentu diperlukan, seperti pada keju atau aroma makanan yang digoreng (Nawar, 1985).

Menurut Winarno (1992), kerusakan lemak yang utama adalah tibulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Oksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempercepat oksidasi bahan pangan meliputi suhu, cahaya, oksigen, pigmen, dan derajat ketidakjenuhan komponen lemak, dan logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, (Buck, 1991, Hanas, 1994). Skema umum oksidasi lemak dapat dilihat pada Gambar 1.


(29)

(30)

Menurut Kochhar (1993), mekanisme tahap inisiasi meliputi reaksi pembentukan radikal lemak (R*). Radikal tersebut dapat terjadi melalui beberapa cara seperti karena adanya panas, pemecahan homolitik ikatan RH secara fotokimia atau oleh inisiator radikal bebas. Gordon (1990) mengemukakan reaksi inisiasi dimulai dengan pembentukan radikal bebas oleh suatu energi kuantum akibat terlepasnya hidrogen dari karbon alfa metilen dekat ikatan rangkap gugus asam lemak tidak jenuh dari molekul lemak.

Menurut Gordon (1990), terdapat dua proses yang memungkinkan untuk menjelaskan pembentukan radikal bebas. Inisiasi rantai dapat terjadi dengan reaksi langsung antara katalis logam dan molekul lemak. Proses ini berlangsung secara eksotermal untuk metil linoleat

M(n+1)+ + RH Mn+ + H+ + R*

Tahap propagasi radikal lipid (R*) yang dihasilkan dari tahap inisiasi akan bereaksi dengan oksigen menghasilkan hidroperoksida (ROO*) yang bersifat tidak stabil. Hidroperoksida selanjutnya akan bereaksi dengan molekul lipid menghasilkan hidroperoksida dan radikal lipid yang selanjutnya akan bereaksi kembali dengan oksigen (Koschhar, 1993).

Menurut Gordon (1990), hidroperoksida selain terbentuk dari tahap propagasi juga dapat terbentuk dari rekasi molekul lemak dengan molekul oksigen singlet atau reaksi yang dikatalis dengan enzim. Konversi oksigen menjadi oksigen singlet terjadi jika terdapat fotosenssitaiser (Sens) seperti klorofil, hematoporifirin, atau flavin. Fotosensitaiser menyerap sinar pada daerah visibel atau di dekat sinar ultra violet menjadi tereksitasi secara elektronika sehingga dapat memindahkan energinya kepada oksigen.

Ikatan O-O yang terdapat di hidroperoksida bersifat relatif lemah, sehingga hidroperoksida mudah terurai kembali. Dekomposisi hidroperoksida terutama terjadi dengan katalis logam seperti besi dan tembaga baik pada tingkat oksidasi tinggi maupun rendah. Reaksi yang terjadi merupakan siklus sehingga dalam jumlah yang sangat kecil ion logam secara efektif dapat menghasilkan radikal-radikal. Tahap propagasi berlangsung sangat cepat,


(31)

dimana reaksi oksigenisasi memiliki energi aktivitasi hampir sama dengan nol, sehingga konsentrasi ROO* jauh lebih tinggi dari R* dalam sistem pangan yang mengandung oksigen (Gordon, 1990).

Tahap terminasi meliputi pembentukan produk non radikal yang stabil, hasil interaksi antara radikal R* dan radikal ROO*. Pada pembentukan hidroperoksida linoleat, metil linoleat menghasilkan empat macam produk hidroperoksida yang utama. Hidroperoksida diena terkonjugasi dihasilkan dari penambahan oksigen pada posisi 9 dan 13. Produk tersebut memiliki geometris cis dan trans.

Koschhar (1993) mengemukakan bahwa hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak berbau tetapi bersifat labil sehingga dapat terpecah menjadi senyawa yang lebih kecil yang menyebabkan timbulnya bau tengik. Senyawa dekomposisi hidroperoksida antara lain aldehid, alkohol, dan hidrokarbon. Menurut Ketaren (1986), ketengikan terbentuk oleh aldehid bukan oleh peroksida dan bahan pangan akan mengalami ketengikan saat jumlah malonaldehid lebih dari 3 mg /kg sampel.

Asam lemak pada umumnya bersifat reaktif terhadap oksigen. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul asam lemak, maka akan semakin mudah asam lemak tersebut teroksidasi (Ketaren, 1986). Reaksi oksidasi merupakan rantai reaksi radikal bebas. Mekanisme dari reaksi tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Inisiasi merupakan reaksi pembentukan radikal bebas. Propagasi merupakan reaksi perubahan radikal bebas menjadi radikal lain. Terminasi merupakan rekasi yang melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk produk yang lebih stabil. Reaksi fenolik sebagai antioksidan dapat dilihat pada Gambar 1.

D. ANTIOKSIDAN

Antioksidan menurut Madhavi et al (1996), adalah senyawa yang mampu mencegah ketengikan oksidatif dari lemak. Antioksidan dalam industri pangan mempunyai berbagai macam kegunaan diantaranya dapat memperpanjang umur simpan dari bahan pangan, mengurangi kehilangan nutrisi seperti vitamin yang larut dalam minyak. Menurut Winarno (1992),


(32)

adanya antioksidan dalam lemak dapat menghambat dan mengurangi terjadinya reaksi oksidasi. Namun menurut Coppen (1983), antioksidan tidak dapat memperbaiki minyak yang telah mengalami ketengikan karena antioksidan bekerja saat sebelum terjadinya ketengikan. Menurut Nawar (1985), efektivitas antioksidan adalah relatif, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu energi aktivasi, konstanta kecepatan reaksi, potensial reduksi oksidasi, kerusakan antioksidan, dan sifat-sifat kelarutannya.

Menurut Koschhar (1993), antioksidan diklasifikasikan menjadi 5 tipe yaitu :

1. Antioksidan primer, utamanya senyawa fenolik yang dapat menghentikan rantai radikal bebas oksidasi lemak, contohnya antara lain tokoferol, alkil galat, BHA, BHT, dan tersier butil hidrokuinon (TBHQ)

2. Perangkap oksigen, seperti asam askorbat (vitamin C), askorbil palmitat, asam eritorbit, dan garam natriumnya. Antioksidan ini bereaksi dengan oksigen dan dapat menghilangkan oksigen dalam sistem tertutup.

3. Antioksidan sekunder, berfungsi memecah hidroperoksida lemak menjadi produk akhir yang stabil.

4. Antioksidan enzimatik, seperti glukosa oksidase, superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan ini bekerja dengan melenyapkan pelarut oksigen.

5. Chelating agent (sekuestran), seperti asam sitrat, asam amino, dan EDTA yang mengkelat ion logam seperti tembaga dan besi yang mengkatalis oksidasi lemak.

Gordon (1990) mengklasifikasikan antioksidan berdasarkan mekanisme menjadi dua jenis yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer atau disebut juga antioksidan pemutus rantai merupakan antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan sekunder atau antioksidan pencegah merupakan antioksidan yang dapat mengurangi kecepatan rangkaian reaksi pada tahap inisiasi dari reaksi oksidasi.

Menurut Gordon (1990), suatu molekul dapat dijadikan antioksidan primer jika molekul tersebut dapat memberikan sumbangan atom hidrogen


(33)

secara cepat pada radikal lipid sehingga radikal yang diturunkan dari antioksidan (A*) lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid atau dapat diubah menjadi produk lain yang lebih stabil. Hamilton (1983) menjelaskan oksidasi pada tahap propagasi dapat dihambat dengan menambahkan antioksidan pemutus rantai pada konsentrasi yang rendah. Radikal yang paling banyak terakumulasi adalah radikal alkil peroksida (ROO*). Radikal ini merupakan senyawa pengoksidasi sehingga dengan cepat dapat bereaksi dengan donor elektron menghasilkan hidroperoksida (ROOH). Antioksidan primer pada umumnya menghambat oksidasi lemak dengan menyumbangkan satu atom hidrogennya kepada radikal lemak. Hamilton (1983), menjelaskan reaksi penghambatan antioksidan primer (AH) pada tahap propagasi dari reaksi oksidasi sebagai berikut:

ROO*+AH ROOH+A* A*+ROO* produk non radikal A*+A* produk non radikal

Gambar 2. Penghambatan Antioksidan Primer pada Tahap Propagasi (Hamilton, 1983).

Antioksidan primer yang biasa digunakan pada industri pangan adalah senyawa fenol seperti BHA, BHT, propil galat, dan TBHQ. Komponen-komponen tersebut merupakan antioksidan yang dapat kehilangan kemampuannya pada temperatur tinggi.

Salah satu senyawa antioksidan primer yang terbaik adalah senyawa fenolik. Fenol sendiri tidak aktif sebagai antioksidan, tetapi jika disubsitusi dengan gugus alkil pada posisi orto atau para akan meningkatkan kerapatan elektron pada gugus hidroksilnya sehingga rektivitasnya terhadap radikal lemak meningkat. Subsitusi posisi para dengan gugus n-butil atau etil (dibandingkan gugus metil) akan memperbaiki aktivitasnya sebagai antioksidan. Radikal yang dibentuk antioksidan fenol relatif stabil untuk terjadi delokalisasi resonansi dan tidak ada posisi yang cocok untuk serangan oksigen molekular. Rantai yang panjang atau gugus alkil bercabang akan menurunkan aktivitas antioksidan fenolik (Gordon, 1990).


(34)

Menurut Koschhar (1993), pengaruh antioksidan terhadap laju oksidasi dipngaruhi oleh beberapa faktor, yaitu struktur antioksidan, kondisi oksidasi, dan bahan yang dioksidasi. Seringkali aktivitas antioksidan fenolik menjadi hilang pada konsentrasi tinggi dan menjadi prooksidan.

Gordon (1990) menjelaskan bahwa bebrapa mekanisme dapat digunakan untuk menjelaskan aktivitas prooksidan dari senyawa fenolik. Jika energi resonansi dari radikal fenolik (A*) tidak cukup tinggi dibanding fenol asalnya (AH), reaksi transfer hidrogen dengan substrat lemak (RH) dapat terjadi untuk mereinisiasi rantai. Reaksi dapat balik agar tidak menggangu transfer hidrogen fenol dari fenol ke radikal peroksi (ROO*) sehingga aktivitas antioksidan fenolik dapat berbalik menjadi pengaruh prooksidan jika konsentrasinya meningkat.

Selain antioksidan pemutus rantai (antioksidan primer) juga terdapat antioksidan pencegah yang berfungsi mengurangi kecepatan rantai inisiasi. Menurut Hamilton (1983), antioksidan sekunder bekerja dengan cara menginaktifasi ion logam yang dapat mengkatalis rantai inisiasi. Asam sitrat dan askorbil palmitat termasuk tipe jenis sekunder. Menurut Gordon (1990) efektivitas antioksidan tergantung pada beberapa faktor termasuk struktur, kondisi oksidasi, dan bahan yang dioksidasi.

Antioksidan lainnya yaitu antioksidan alami yang pada umumnya merupakan kelompok fenolik atau poli fenolik dari sumber tanaman. Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid, tokoferol, dan asam organik polifungsional. Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari senyawa endogenous dari satu atau lebih komponen bahan pangan, subtansi yang terbentuk selama reaksi pengolahan, dan bahan tambahan yang diisolasi dari bahan alami. Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara yaitu sebagai senyawa pereduksi, penghambat radikal bebas, dan sebagai penekan oksigen singlet (Pratt dan Hudson, 1990).

Menurut Pratt dan Hudson (1990), antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari 1) senyawa endogenes dari satu atau lebih komponen makanan, 2) substansi yang terbentuk dari reaksi selama pengolahan, dan 3) tambahan makanan yang diisolasi dai sumber alami.


(35)

Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara seperti sebagai senyawa pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkomplek logam prooksidan, dan penekan oksigen singlet. Senyawa ini umumnya adalah senyawa flavonoid, derivat asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organikpolifungsional (Pratt dan Hudson, 1990). Antioksidan alami yang umum digunakan dalam bahan pangan adalah askorbil palmitat dan lesitin.

Tidak semua antioksidan dapat digunakan dalam bahan pangan. Antioksidan yang digunakan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu: 1) tidak beracun dan tidak mempunyai efek fisiologis, 2) tidak menimbulkan flavor yang tidak enak, 3)larut sempurna dalam minyak atau lemak, 4) efektif dalam jumlah relatif kecil (menurut FDA dosis yang diizinkan dalam bahan adalah 0.01-0.1 %), dan 5) tidak mahal serta selalu tersedia (Ketaren, 1986). Sedangkan menurut Buck (1991), seleksi antioksidan dapat dilakukan dengan memperhatikan tipe antioksidan, efektivitas carry through, kelarutan antioksidan, tendensi diskolorisasi, tipe proses, flavor dan odour, serta status peraturan dan legalitas penggunaan antioksidan.

Antioksidan buatan juga cukup sering digunakan dalam bahan pangan. Hal tersebut terjadi karena sifat penggunaannya yang praktis, murah, bersifat stabil, dan mudah digunakan walaupun penggunaannya harus hati-hati karena banyak di antaranya dapat menyebabkan keracunan pada dosis tertentu. Penelitian tentang penggunaan antioksidan buatan yang berhubungan dengan keefektifan pencegahan reaksi oksidasi pada bahan pangan telah banyak dilakukan. Biasanya penggunaan antioksidan pada produk pangan diatur oleh pemerintah. Pengaturan dosis penambahan antioksidan sintesis dapat dilihat pada Tabel 1.

Berbagai percobaan telah banyak dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan. Penggunaan BHT ,ekstrak rempah-rempah, dan α-tokoperol untuk kestabilan minyak kedelai, α-tokoperol dan TBHQ serta kombinasinya terhadap kestabilan terhadap reaksi oksidatif minyak ikan dan minyak Canola serta penggunaan BHT, BHA, TBHQ untuk menstabilkan kondisi minyak kedelai (Ruger al, 2002). Penelitian lain pun dilakukan oleh Lanari, et al. (2003) yaitu pada penggunaan BHA, BHT, dan α-tocopherol terhadap


(36)

Tabel 1. Acuan Penggunaan BHA, BHT, dan Askorbil Palmitat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI dan FDA

Nama Bahan Tambahan

Makanan

Batasan dan Toleransi Peraturan Menteri

Kesehatan RI* FDA**

BHA 200 mg/kg, tunggal atau campuran dengan BHT, senyawa galat, atau turunan askorbat,

0.02% (200 ppm), tunggal maupun kombinasi, berdasarkan berat pada bagian lemak atau minyak pada makanan termasuk minyak essensial (volatil) boleh dikombinasikan penggunaannya dengan BHT

BHT 200 mg/kg, tunggal atau campuran dengan BHT, senyawa galat, atau turunan askorbat, tetapi tidak lebih dari 100 mg/kg

0.02% (200 ppm), tunggal maupun kombinasi, berdasarkan berat pada bagian lemak atau minyak

pada makanan dikombinasikan penggunaannya dengan BHA Askorbil Palmitat

500 mg/kg, tunggal atau campuran pada minyak makan, 200 mg/kg pada margarin dan minyak nabati

500 mg/kg, tunggal atau campuran pada minyak makan, 200 mg/kg minyak nabati

* Departemen Kesehatan (1988) di dalam Buletin Teknologi Pangan ** Buck (1991)

kestabilan lemak pada daging ayam serta penggunaan antioksidan sintetik seperti asam galat, hidrokuinon, TBHQ, BHT, α-tokoperol, dan trolox untuk


(37)

menguji pengaruh kadar minyak terhadap efektivitas antioksidan.

1. BHA (Butylated hydroxyanisole)

BHA merupakan salah satu antioksidan yang cukup digunakan pada industri pangan. BHA komersial terbentuk dari dua isomer 2-tert-butyl-4-hydroxyanisole (2-BHA) dan 3-tert-butyl-4-2-tert-butyl-4-hydroxyanisole (3-BHA) dan mengandung 90% 3-isomer dengan aktivitas 3-isomer lebih hebat dari 2-isomer (Gordon, 1990). Menurut Buck (1991), antioksidan ini tidak larut air tetapi sangat larut dalam lemak (30-50%).

(a) (b)

Gambar 3. Struktur Kimia dari Butylated hydroxyanisole (BHA) (a) 3-BHA, (b)2-BHA (Madhavi et al, 1996)

BHA merupakan antioksidan dengan titik didihnya 264-2700C dan titik cair 48-630C (Buck, 1991). Bentuknya padatan lilin putih dan dijual dalam bentuk bubuk atau tablet. Aktivitas antioksidan meningkat dengan adanya peningkatan konsentrasi hingga 0.02% dan cenderung konstan saat level lebih tinggi. BHA pada konsentrasi 0.005%-0.01% cukup efektif digunakan pada bahan pangan (Mahdavi et al, 1996). BHA memiliki fungsi sinergis dengan galat, tokoferol, BHT, TBHQ, asam sitrat, dan asam posforat (Fennema, 1985).

Kelebihan dari BHA juga memiliki kestabilan yang bagus untuk produk panggang dan penggorengan (Gordon, 1990). Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Coppen (1983), penambahan BHA 0.02% pada minyak untuk menggoreng dapat memperbaiki kualitas flavor keripik kentang setelah dilakukan penyimpanan beberapa minggu pada suhu penyimpanan 300C. Penggunaan BHA menghasilkan kestabilan pada lard selama 4-16 hari dan meningkat hingga 36 hari dengan penambahan asam sitrat. Kombinasi antara 0.01% BHA dan 0.005% dodecyl gallates dalam


(38)

margarin lebih efektif daripada penggunaan BHA itu sendiri. BHA juga sering digunakan untuk menjaga kestabilan essential oil seperti d-limonene, orange oil, dan lime oil. (Mahdavi et al, 1996). Penggunaan BHA pada produk pangan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat Penggunaan BHA pada Produk Pangan

Produk Level BHA (%)

Lemak hewan Vegetable oil Produk bakery

Dehydrated mashed potatoes Minyak essensial

Chewing gum base Permen

Bahan pengemas makanan

0.001-0.01 0.002-0.02 0.01-0.04 0.01 0.01-0.1 lebih dari 0.1 lebih dari 0.1 0.02-0.1 Madhavi et al (1996)

BHA merupakan bahan tambahan pangan yang dengan cepat diekresikan melalui urin. Pada manusia, penggunaan BHA 50 atau 100 mg diekresikan melalui urin dalam bentuk glukoronit dan sulfat terkonjugasi kurang dari 24 jam. Berdasarkan penelitian dalam Coppen (1983), BHA bersifat penyebab iritasi pada kulit apabila tersentuh langsung tapi tidak menyebabkan iritasi saat BHA masuk ke dalam saluran pencernaan.

2. BHT (Butylated hidroxytoluene)

BHT merupakan salah satu antioksidan yang sering digunakan pada bahan pangan. BHT hampir sama dengan BHA tetapi kelarutannya dalam lemak dan minyak tidak sebaik BHA (25-40%). BHT sangat efektif pada lemak hewan tapi kurang pada vegetable oil serta tidak larut pada air. BHT digunakan untuk mengurangi flavor loss, pembentukan off flavor, dan perubahan warna yang disebabkan oksidasi pada produk pangan


(39)

(Madhavi, et al,1996). Struktur kimia dari BHT dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur Kimia dari Butylated hidroxytoluene (Madhavi et al, 1996)

Sifat BHT tahan dan stabil pada suhu tinggi yaitu dengan titik didihnya berkisar dari 264-2700C. Sifat tersebut memberi keuntungan untuk proses produksi yang memerlukan suhu tinggi tetapi tidak sebaik BHA (Coppen, 1983). Kemiripan sifat dengan BHA menyebabkan penggunaannya pada produk pangan pun tidak jauh berbeda walaupun terkadang BHT kurang efektif dibandingkan BHA. BHT memiliki fungsi sinergis dengan BHA, TBHQ, dan kelator logam seperti asam sitrat tetapi tidak memiliki fungsi sinergis dengan propil galat (Buck, 1991).

Menurut Madhavi et al (1996), BHT tidak memiliki konsentrasi optimum. Stabilitas akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi tetapi peningkatannya menurun saat level cukup tinggi.

Tabel 3. Tingkat Penggunaan BHT dalam Produk Pangan

Produk Level (%)

Lemak hewan Vegetable oil Produk bakery Cereal

Minyak essensial Chewing gum base Bahan pengemas makanan

0.001-001 0.002-0.02 0.01-0.04 0.005-0.02 0.001 0.01-0.1 Lebih dari 0.1 Madhavi et al (1996)


(40)

Penggunaan BHT pada lemak hewan lebih efektif daripada BHA saat konsentrasi 0.005-0.02%. Level penggunaan BHT pada produk pangan dapat dilihat pada Tabel 3. BHT menimbulkan phenolic odor pada level lebih dari 0.02% (Buck, 1991).

BHT seperti halnya BHA sangat cepat terabsorbsi dalam saluran pencernaan manusia. BHT dikeluarkan melalui feses dan pada urin tikus dan manusia. Pemberian 0.5% BHT dalam pakan tikus selama 5 minggu dan pemberian BHT secara oral sejumlah 200 mg/kg daily selama 1 minggu dilaporkan menghasilkan akumulasi tingkat rendah pada lemak dan hati tetapi di studi yang sama melaporkan tidak ada akumulasi BHT pada hati (Coppen, 1983). Pada beberapa spesies tikus dan beberapa babi, efek hemorrhage tidak terlihat. Perbedaan efek pada berbagai hewan percobaan tersebut menyebabkan efek penggunaan BHT pada manusia masih belum jelas.

3. Askorbil palmitat

Askorbil palmitat merupakan antioksidan sekunder yang memiliki berbagai fungsi seperti oxygen scavenger, pengkelat logam, dan dapat mencegah oksidasi (Fennema, 1985). Selain itu menurut Madhavi et al (1996) Fungsi lain dari askorbil palmitat untuk mendukung kerja antioksidan fenolik atau antioksidan larut lemak dan menurunkan produk

Gambar 5. Struktur Kimia Askorbil palmitat (Madhavi et al, 1996)

oksidasi. Penggunaan askorbil palmitat pada lemak hewan yang mengandung tokoferol pada suhu 75ºC sangat efektif untuk meningkatkan periode induksi.


(41)

Tabel 4 . Sifat Fisik dari Askorbil Palmitat

Sifat fisik Keterangan

Berat molekul Bentuk fisik Melting point Rasa

Kelarutan (% dalam 25 º C) Air

Eetil Alkohol Vegetable Oil

414.55 Bubuk putih 190-192 º C Soapy

0.0002% 12.5% 0.03-0.12% Madhavi et al (1996)

Sifat fisik dari askorbil palmitat secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4 dan struktur kimia askorbil palmitat dapat dilihat pada Gambar 5. Askorbil palmitat memiliki efek sinergis bila dikombinasikan dengan antioksidan primer seperti BHA, BHT, propil galat, tokoferol, serta EDTA dan asam sitrat. Tingkat Penggunaan askorbil palmitat dapat dilihat pada Tabel 5.

Kombinasi antara askorbil palmitat dan antioksidan seperti BHA dan propil galat (PG) efektif mencegah ketengikan pada minyak almond terhidrogenasi, cocoa butter, dan margarin (Madhavi et al, 1996). Askorbil palmitat pun banyak digunakan sebagai antioksidan pada daging, buah segar, hasil ikan, dairy product, dan produk beverages.

Tabel 5. Tingkat Penggunaan Askorbil Palmitat dalam Produk Pangan

Produk Level (%)

Lemak hewan Vegetable oil Butter Susu bubukl

0.01-0.2 0.01-0.1 0.001-0.02 0.01-0.05


(42)

E. METODE PENENTUAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

Efektivitas suatu antioksidan, baik sintetik maupun alami dapat diukur dengan menentukan stabilitas oksidatif lipid dalam sistem pangan (Hamilton, 1983). Rajalaksmi dan Narashiman (1996) mengelompokkan beberapa metode penentuan stabilitas oksidatif minyak atau lemak menjadi 5 golongan yakni metode kimia, metode spektofotometer, metode kromatografi, pengukuran absorbsi oksigen, serta metode sensori. Selain pengelompokkan tersebut, penentuan stabilitas oksidatif lipid dibagi menjadi dua bagian meliputi perubahan primer dan perubahan sekunder. Perubahan primer diukur dengan memonitor hilangnya asam-asam lemak tidak jenuh, oxygen uptake, bilangan peroksida, serta bilangan diena terkonjugasi. Perubahan sekunder mengukur secara kuantitatif pembentukan senyawa karbonil, malonaldehid, serta hidrokarbon ( Shahidi dan Wanasundhara, 1997).

Metode yang seragam untuk mendeteksi semua perubahan oksidatif dalam sistem pangan memang belum dapat ditemukan. Pemilihan metode stabilitas oksidatif tersebut sangat tergantung pada sejumlah faktor meliputi sifat dan asal usul minyak teroksidasi, waktu yang tersedia, serta kondisi tes dan peralatan yang ada (Shahidi dan Wanasundhara, 1997)

Shahidi dan Wanasundhara (1997) mengemukakan juga bahwa metode diena terkonjugasi dapat digunakan untuk mengukur stabilitas lipid dan efektivitas antioksidan. Diena terkonjugasi merupakan produk primer oksidasi lipid. Metode ini lebih cenderung dipilih dibandingkan bilangan peroksida adalah merupakan metode yang lebih cepat, lebih sederhana, tidak tergantung reaksi kimia atau pengembangan warna, dan membutuhkan sampel yang lebih kecil. Metode diena terkonjugasi juga lebih sensitif dan sangat berguna untuk menentukan efektivitas antioksidan. Menurut Frankel et al (1994), konsentrasi diena terkonjugasi dapat dinyatakan sebagai hidroperoksida karena diena terkonjugasi yang terbentuk merupakan hidroperoksida murni.

Perubahan sekunder dari reaksi oksidasi meliputi malonaldehid dapat diukur dengan metode bilangan Thiobarbituric Acid (TBA). Uji TBA didasarkan atas terbentuknya pigmen berwarna merah sebagai hasil dari reaksi


(43)

kondensasi antara dua molekul TBA dengan satu molekul malonaldehid. Persenyawaan malonaldehid secara teoritis dapat dihasilkan oleh pembentukan di-peroksida pada gugus pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidroperoksida (Koschhar, 1993)

Nawar (1985) menjelaskan bahwa malonaldehid terbentuk dari penguraian senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua buah ikatan rangkap (Gambar 6). Malonaldehid tersebut dapat bereaksi dengan pereaksi TBA membentuk persenyawaan warna merah.

Bilangan TBA merupakan metode pengukuran stabilitas oksidatif lemak dan minyak yang umum digunakan karena sifatnya yang sederhana (sampel tidak perlu diekstrak terlebih dahulu), tidak memerlukan waktu yang lama, dan cukup akurat. Kekurangannya metode tersebut menurut Nawar (1985), malonaldehid dapat bereaksi dengan protein sehingga malonaldehid yang bereaksi dengan TBA dapat berkurang sehingga terjadi kesalahan negatif.

Kelemahan dari uji TBA ini menurut Ketaren (1986), adalah adanya kemungkinan beberapa senyawa selain hasil oksidasi lemak berupa asam yang akan tersuling bersama dengan uap dan selanjutnya terhadap destilat dilakukan uji TBA. Asam thiobarbituric bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di bawah kondisi pengujian (yaitu dengan cara pemanasan dan asam keras), terutama karena adanya peroksida. Hasil degradasi tersebut mempunyai warna yang sama (diabsorbsi dengan panjang gelombang yang sama) dengan kompleks TBA-malonaldehid.


(44)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

F. BAHAN DAN ALAT

Rempah-rempah yang terdiri dari bawang putih, jahe, kemiri, dan ketumbar yang diperoleh dari Pasar Cibinong dalam keadaan segar. Kemasan yang digunakan adalah kemasan plastik polipropilen (PP). Bahan kimia yang diperlukan adalah bahan kimia untuk analisis TBA, analisis diena terkonjugasi, analisis logam Fe dan Cu, uji total mikroba, dan bahan analisis (kadar air dan kadar lemak.

Alat yang dipergunakan adalah grinder, blender, alat distilasi, vorteks, tabung reaksi bertutup, cawan alumunium, gelas piala, spektrometer, labu ukur, hotplate, pipet volumetrik, pipet tetes, labu Erlenmeyer, bunsen, cawan petri, inkubator, pemanas mantel, oven, neraca analitik, wajan Teflon, kompor gas, dan peralatan masak lainnya.

G. METODE PENELITIAN

Bumbu yang dipergunakan adalah bumbu standar hasil formulasi keluarga yang bahan-bahannya terdiri atas bawang putih, ketumbar, kemiri, jahe, garam, dan MSG dicampur dengan grinder. Proses pembuatan bumbu dapat dilihat pada Gambar 8. Formula bumbu dapat dilihat pada Tabel 6 dan skema penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Tabel 6. Formulasi Bumbu Ayam Kalasan untuk 1 kg ayam mentah Nama Bahan Komposisi (b.b)

Jahe a g

Kemiri b g

Ketumbar c g

Bawang putih d g

MSG e g

Garam f g

Ket : Formulasi dirahasiakan, bagi yang memerlukan informasi dapat menghubungi Prof. Hanny Wijaya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan


(45)

1. Penelitian Utama

Gambar 7. Skema Penelitian

Tidak tengik dan tidak rusak Bumbu Ayam Kalasan

Dikemas

Disimpan selama 30 hari, T ruang

Uji TBA, mikroba, uji sensori (uji skalar) , serta uji diena terkonjugasi berkala tiap hari

ke 0,4,8,14,20,25, dan 30

Ditumis 10’, 90oC

Antioksidan terpilih Penambahan

antioksidan

Analisis kadar air Analisis lemak Analisis logam Fe dan Cu

Uji hedonik pada hari ke-30

Tengik dan rusak

Tidak tengik dan tidak rusak Bumbu Ayam Kalasan

Dikemas

Disimpan selama 30 hari, T ruang

Uji TBA, mikroba, uji sensori (uji skalar) , serta uji diena terkonjugasi berkala tiap hari

ke 0,4,8,14,20,25, dan 30

Ditumis 10’, 90oC

Antioksidan terpilih Penambahan

antioksidan

Analisis kadar air Analisis lemak Analisis logam Fe dan Cu

Uji hedonik pada hari ke-30


(46)

Proses awal dari penelitian adalah penentuan kombinasi antioksidan yang akan digunakan pada bumbu. Setelah itu, kombinasi antioksidan dengan beberapa variasi konsentrasi antioksidan dicobakan dalam bumbu dan dipilih jenis dan konsentrasi antioksidan terbaik berdasarkan uji TBA, diena terkonjugasi, uji total mikroba, dan uji sensori berupa uji skalar serta uji hedonik.

Rempah-rempah

↓ Dikupas dan dicuci

↓ ← garam, air, dan MSG Digiling

Antioksidan → ↓

Ditumis dengan minyak

(15 menit 80-90oC) ↓

Diaduk hingga homogen ↓

bumbu ayam standar

Gambar 8. Diagram Proses Pembuatan Bumbu

Masing-masing sampel dikemas dengan bahan pengemas PP kemudian disealer sebanyak 8 bungkus. Kandungan malonaldehid akan diamati dengan uji TBA dan nilai diena terkonjugasi secara berkala setiap empat hari selama penyimpanan 30 hari. Uji skalar dan total mikroba dilakukan setiap tujuh hari sekali. Uji hedonik terhadap atribut aroma bumbu ayam goreng kalasan, rasa, aroma serta penampakan ayam goreng kalasan dilakukan pada akhir penyimpanan.

H. METODE ANALISIS

1. Kadar air (AOAC, 1990)

Pengukuran kadar air memakai metode distilasi azeotropik. Sebanyak 3-5 gram sampel dimasukkan ke labu distilasi yang telah dikeringkan dan telah diketahui beratnya. Pelarut toluen disiapkan dan diletakkan labu distilasi pada pemanas mantel lalu pelarut dan sampel dipanaskan dengan


(47)

suhu rendah dahulu kemudian baru suhu tinggi selama satu jam. Blanko dibuat untuk menghitung faktor kesalahan.

Kadar air = faktor kesalahan x volume air

2. Kadar Lemak (AOAC, 1995)

Labu lemak dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dalam bentuk tepung (kira-kira 60 mesh) dibungkus dengan kertas saring bebas lemak lalu diletakkan dalam alat ekstraksi soklet dan dipasang alat kondensor di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut heksan atau dietil eter dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Refluks dilakukan minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Distilasi terhadap pelarut dilakukan. Selanjutnya labu lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Sampel didinginkan dalam desikator setelah dikeringkan sampai berat tetap, kemudian labu beserta lemaknya tersebut ditimbang. Berat lemak dapat dihitung:

% lemak = ((Berat labu + lemak) - Berat labu) x 100 Berat sampel

3. Analisis Logam Fe dan Cu (AOAC, 1999)

Analisa logam Fe dan Cu dilakukan dengan menggunakan Spektofotemetri Absorpsi (AAS). Persiapan sampel dilakukan di awal pengukuran mineral untuk mendektruksi bahan dengan metode pengabuan basah karena karbon lebih cepat hancur dibandingkan pengabuan kering. Alat yang disiapkan adalah labu Kjeldhal. Sebanyak 5-10 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal, kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 dan 10 ml HNO3 serta beberapa buah labu didih. Larutan

dipanaskan perlahan-lahan sampai berwarna gelap, pembentukan buih yang berlebihan dihindari. Sebanyak 1-2 ml HNO3 ditambahkan dan dilanjutkan

sampai larutan lebih gelap lagi. Penambahan HNO3 dilanjutkan selama

5-10 menit sampai larutan tidak gelap lagi (semua zat organik sudah teroksidasi) kemudian dinginkan. Larutan aquades ditambahkan 10 ml (larutan menjadi tidak berwarna atau menjadi kuning muda bila


(1)

0 0,5 1 1,5 2 2,5

0 10 20 30 40

Lama Penyimpanan (hari)

B

il

a

n

gan

D

ien

a T

erk

onj

u

gas

i

(0

.1m

l/

0

.1 m

l v/

v)

Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5 Formula 6 Formula 7 Formula 8 Formula 9 Formula 10

dibandingkan sampel lainnya. Berdasarkan Uji Duncan (Lampiran 7) pun dapat dilihat bahwa sampel dengan perlakuan penambahan BHA dan BHT 100 ppm tidak berbeda nyata dari sampel dengan perlakuan penambahan BHA+askorbil palmitat 100 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan penambahan kombinasi BHA+BHT dan BHA+askorbil palmitat 100 ppm pada sampel memiliki kemampuan untuk menghambat reaksi oksidasi yang tidak berbeda.

BHA dan BHT merupakan kombinasi antioksidan yang dapat memberikan efek sinergis yang efektif bila digunakan dalam bahan pangan (Fennema, 1985)

Kombinasi BHA+askorbil palmitat 100 ppm(Gambar 8) yang merupakan salah satu kombinasi antioksidan yang memiliki efektifitas untuk menghambat ketengikan pada bumbu selama satu bulan. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kedua antioksidan dengan konsentrasi 100 ppm saling mendukung untuk mencegah oksidasi pada bumbu. Menurut Madhavi et al (1996), askorbil palmitat dapat mengikat oksigen sehingga pembentukan radikal ROO* pada proses oksidasi dapat terhambat. Sedangkan BHA yang merupakan antioksidan primer, bekerja dengan mendonorkan hidrogen untuk membentuk radikal yang lebih stabil (Gordon, 1990)

Hasil pengukuran nilai bilangan TBA (Lampiran 5) menunjukkan bahwa kombinasi BHA+askorbil palmitat lebih efektif daripada kombinasi BHT+askorbil palmitat. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena sifat carry trough dan kelarutan BHA lebih baik dari BHT. Menurut Madhavi et al (1996), BHA memiliki keefektifan, sifat carry trough,dan kelarutan yang lebih baik dari BHT pada minyak nabati.

Uji bilangan TBA merupakan uji yang sensitif tetapi tidak spesifik untuk menganalisis malonaldehid sebagai produk sekunder dari rekasi oksidasi (Heras et. al, 2003). Kekurangan metode tersebut menurut Ketaren (1986), asam TBA bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di bawah kondisi pengujian (dengan adanya pemanasan dan asam keras). Hasil degradasi tersebut memiliki warna yang sama (terabsorbsi pada panjang gelombang yang sama) dengan kompleks TBA malonaldehid. Oleh sebab itu diperlukan uji lain sebagai pendukung untuk memilih kombinasi dan konsentrasi antioksidan yang akan digunakan pada bumbu ayam goreng kalasan.

2. Nilai Conjugated Diene Hydroperoxide

(CDHP)

Pengukuran nilai hidroperoksida diena terkonjugasi adalah suatu cara untuk mengetahui potensi atau peluang lemak untuk

mengalami kerusakan oksidatif berupa ketengikan selama penyimpanan. Diena terkonjugasi merupakan salah satu hasil perubahan primer oksidatif lipid yang cenderung stabil dibanding peroksida merupakan indikator yang sensitif terhadap kerusakan oksidatif pada tahap awal (Madhavi et al, 1996).

Metode tersebut dipilih karena menurut Shahidi dan Wanasundara (1997), metode diena terkonjugasi merupakan metode yang lebih cepat, lebih sederhana, dan tidak tergantung pengembangan warna serta membutuhkan jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan pengukuran bilangan peroksida yang lebih dahulu populer. Hasil pengukuran diena terkonjugasi dapat dilihat Gambar 2.

Gambar 2 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai diena terkonjugasi pada masing-masing sampel selama penyimpanan 30 hariPeningkatan nilai diena terkonjugasi terjadi karena adanya perubahan primer oksidatif lipid yang membentuk senyawa hidroperoksida. Peningkatan tersebut dipercepat dengan adanya ekspos oksigen, cahaya dan suhu lebih tinggi saat proses penyimpanan (Ketaren, 1986). Peningkatan nilai bilangan diena terkonjugasi kontrol terlihat sangat signifikan dibandingkan dengan sampel. Menurut Koschhar (1993), adanya penambahan antioksidan akan mengakibatkan pemisahan radikal bebas sehingga mampu menekan terjadinya proses oksidasi.

Gambar 2. Hubungan antara Nilai Diena

Terkonjugasi dengan Lama Penyimpanan


(2)

Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa peningkatan bilangan diena terkonjugasi terendah dimiliki oleh sampel dengan penambahan BHA+askorbil palmitat 100 ppm. Nilai bilangan diena terkonjugasi adalah 0.901. Hal tersebut menunjukkan bahwa kombinasi BHA dan askorbil palmitat 100 ppm merupakan perlakuan yang lebih efektif untuk mencegah reaksi oksidasi dibandingkan perlakuan lainnya

Dugan (1984) juga melaporkan bahwa kombinasi BHA+askorbil palmitat 100 ppm lebih efektif untuk mencegah ketengikan pada minyak nabati daripada kombinasi BHT+askorbil palmitat 100 ppm. Hasil tersebut sejalan dengan pengukuran nilai TBA sebelumnya yang menunjukkan bahwa penambahn BHA+askorbil palmitat lebih efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam kalasan selama penyimpanan satu bulan

Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa pebngaruh antar perlakuan berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa perlakuan perlakuan BHA+askorbil palmitat 100 ppm berbeda nyata dari perlakuan lainnya. Hal tersebut didukung hasil pengamatan pada Lampiran 6 yang menunjukkan bahwa rata-rata nilai diena terkonjugasi perlakuan BHA+BHT pada taraf konsentrasi yang sama lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 0.901. Menurut Sherwin (1990), BHA dan askorbil palmitat bila digunakan bersama juga bersifat lebih efektif dalam memperpanjang umur simpan lemak atau minyak dalam bahan pangan bila dibandingkan dengan kombinasi BHA dan antioksidan lain seperti asam askorbat, asam galat, atau TBHQ.

3. Uji Skalar

Uji skalar garis merupakan salah satu uji skalar yang menggunakan garis sebagai parameter penentuan suatu kesan dari suatu rangsangan (Lea dan Tormad, 1998). Menurut Meilgaard (1999), skala garis digunakan untuk mengetahui besaran kesan yang diperoleh suatu komoditi hingga dapat diketahui mutu dari komoditi tersebut.

Skala yang digunakan pada uji skalar adalah 0-100. Berdasarkan Lea dan Tormad (1998), skala yng biasa digunakan pada uji sensori adalah 1-7, 1-9, dan 0-100. Hasil penilaian panelis dengan uji skalar dapat dilihat pada Gambar 3. Penilaian dikonversi pada skala 0-100 berdasarkan standar Balai Pasca Panen (2000) pada Tabel 1.

Selama penyimpanan skor penilaian panelis terhadap sampel mengalami peningkatan. Skor penilaian panelis yang makin meningkat mengindikasikan penerimaan panelis terhadap sampel makin berkurang.

Serdasarkan peningkatan skor panelis yang cukup tajam terjadi pada sampel dengan perlakuan tanpa penambahan antioksidan dan sampel dengan penambahan konsentrasi antioksidan paling rendah yaitu 25 ppm. Penilaian panelis terhadap sampel dengan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm disebabkan meningkatnya aroma ketengikan pada sampel tersebut. Menurut komentar panelis, berkurangnya aroma rempah dalam bumbu selama penyimpanan makin menyebabkan panelis dapat mencium ketengikan yang terjadi selama penyimpanan

Hasil tersebut sesuai dengan pengukuran objektif (bilangan TBA dan nilai bilangan diena konjugasi) yang juga menunjukkan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm belum mampu menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama 1 bulan penyimpanan.

Sampel yang belum mengalami ketengikan adalah sampel dengan penambahan BHA dan BHT dengan konsentrasi 50 dan 100 ppm serta sampel dengan penambahan BHA dan askorbil palmitat 100 ppm. Hasil tersebut sejalan dengan uji TBA dan uji diena terkonjugasi yang telah dilakukan sebelumnya.

4. Uji Hedonik

Uji hedonik pada penelitian ini juga dilakukan. Uji hedonik merupakan salah satu uji penerimaan (Maynard et al, 1965). Menurut Meilgaard (1999), uji hedonik merupakan uji panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan yang bertujuan untuk mengetahui penilaian panelis terhadap sifat mutu yang umum seperti penampakan, aroma, rasa, warna, dan tekstur. Tingkat kesukaan tersebut disebut sebagai skala hedonik.

Aroma Bumbu

Hasil uji hedonik terhadap aroma bumbu ayam goreng kalasan saat akhir penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa pada sampel dengan penambahan BHA+BHT, BHA+askorbil palmitat, dan BHT+askorbil palmitat 25 ppm berada pada kisaran 2-3 (antara tidak suka dan agak tidak suka). Hasil Uji Lanjut Duncan pada Lampiran 10 menunjukkan perlakuan penambahan BHT+askorbil palmitat merupakan perlakuan yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya. Bumbu dengan penambahan BHT dan askorbil palmitat konsentrasi 25 ppm dengan nilai 2.05 menunjukkan penilaian tidak suka. Nilai kesukaan yang rendah disebabkan karena adanya aroma tengik yang tidak disukai oleh panelis.


(3)

0 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Formula

P

e

nil

a

ia

n P

a

ne

li

s

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Formula

P

e

n

ila

ia

n

P

a

n

e

lis

0 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Formula

P

e

ni

la

ia

n P

a

ne

li

s

Gambar 3. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap

Aroma Bumbu Ayam Goreng Kalasan pada Akhir Penyimpanan

Berdasarkan uji Duncan (Lampiran 10), dihasilkan sampel dengan penambahan BHA+BHT 50 ppm dan 100 ppm serta sampel dengan penambahan BHA+askorbil palmitat dan BHT+askorbil palmitat 100 ppm tidak berbeda nyata. Sampel tersebut memiliki skor antara 4 dan 5 (agak suka sampai suka)

Hasil penilaian uji hedonik oleh para panelis sejalan dengan pengukuran objektif dengan menggunakan bilangan TBA dan nilai diena terkonjugasi yang telah dilakukan saat penyimpanan bumbu ayam goreng Kalasan selama 30 hari yang menunjukkan bahwa sampel dengan perlakuan penambahan BHA+BHT dan BHA+askorbil palmitat 100 ppm cukup efektif untuk menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan. Aroma Ayam Goreng Kalasan

Nilai skor rata-rata aroma ayam goreng kalasan denagn berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antar sampel Uji kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan yang pada lampiran 13 menunjukkan bahwa sampel dengan penambahan BHT+askorbil palmitat berbeda nyata dari sampel lainnya.

Hasil penilaian panelis terhadap sampel dengan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm berada pada titik agak tidak suka hingga agak suka. Panelis mencium adanya bau tengik pada sampel ayam goreng kalasan selain aroma ayam goreng yang khas.

Berdasarkan Gambar 4, panelis masih menyukai sampel dengan penambahan BHT+BHT, BHA+askorbil palmitat, 100 ppm dan BHT+BHT 50 ppm. Panelis mengemukakan masih menyukai sampel-sampel tersebut karena bau tengik pada ketiga sampel tersebut belum tercium. Selain itu juga menurut panelis karena adanya aroma ayam goreng yang khas. Menurut Ketaren (1986), penggunaan minyak dalam menggoreng dapat menghasilkan aroma yang menyenangkan. Mottram (1991) pun mengungkapkan bahwa selama pemanasan daging terjadi reaksi-reaksi kompleks yang melibatkan senyawa amino, karbonil, dan lipid (PUFA) yang berkontribusi terhadap aroma daging ayam

.

Rasa Ayam Goreng Kalasan

Pengujian hedonik terhadap rasa ayam goreng kalasan juga dilakukan. Rasa dapat dinilai dengan indera pencicip dalam rongga mulut terutama lidah dan sebagian langit-langit lunak (Meilgaard, 1999).

Nilai skor rata-rata aroma ayam goreng kalasan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 14) penilaian panelis terhadap aroma ayam goreng kalasan memberikan pengaruh yang berbeda nyata antar sampel. Uji kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan Skor kesukaan panelis terendah adalah sampel penambahan BHA+askorbil palmitat 25 ppm dengan nilai rata-rata 3.25 (agak tidak suka). Sampel penambahan BHT+askorbil palmitat berdasarkan uji Duncan (lampiran 14) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan sampel penambahan BHA+askorbil palmitat 25 ppm.

Gambar 5. Diagram Rata-rata Uji Hedonik

terhadap Rasa Ayam Goreng Kalasan pada Akhir Penyimpanan Hasil penilaian panelis terhadap sampel dengan perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm pun rendah pada agak tidak suka hingga agak suka. Ketengikan karena proses oksidasi lanjut turut mempengaruhi kesukaan panelis terhadap rasa ayam goreng. Hasil tersebut didukung oleh


(4)

0 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Formula

P

e

nil

a

ia

n P

a

ne

li

s

pengukuran dengan uji TBA dan diena terkonjugasi yang menunjukkan bahwa perlakuan penambahan antioksidan 25 ppm belum cukup efektif untuk mencegah ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan.

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa ayam dengan penambahan sampel yang diberi BHA+BHT, BHA+askorbil palmitat 100 ppm, serta BHT+askorbil palmitat dengan konsentrasi 50 ppm tidak berbeda nyata satu sama lain. Sampel-sampel tersebut berada pada kisaran agak suka hingga suka. Kesukaan panelis terhadap ayam goreng kalasan dipengaruhi oleh rasa tengik dan rasa gurih akibat proses penggorengan. Menurut Ketaren (1986), proses penggorengan memang dapat menambah rasa gurih pada produk.

Penampakan Keseluruhan

Perlakuan tanpa penambahan antioksidan menurut uji Duncan (Lampiran 15) berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya. Nilai kesukaan panelis pada kisaran 1-2 (sangat tidak suku hingga tidak suka). Panelis tidak menyukai sampel tersebut karena aroma dan rasa tengik yang terasa jelas.

Gambar 6. Diagram Rata-rata Uji Hedonik terhadap

Penilaian Keseluruhan padaAyam Goreng Kalasan

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan ayam goreng dengan penambahan sampel yang menggunakan antioksidan 25 ppm agak disukai panelis. Hal tersebut karena rasa dan aroma dari ketiga ayam goreng tersebut agak tidak disukai panelis. Menurut Maynard (1965), atribut rasa dan aroma bahan pangan memang berperan penting dalam mempengaruhi konsumen. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fianto (2001), atribut penting yang mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap ayam goreng sebagian besar adalah rasa (47,4%) dan aroma (27,1%).

Berdasarkan uji lanjut Duncan ayam goreng yang dibumbui sampel dengan penambahan BHA+ BHT 50 ppm, BHA+BHT 100 ppm, dan BHA+askorbil palmitat 100 ppm tidak berbeda nyata. Ketiga sampel

tersebut memiliki skor penerimaan panelis yang tinggi antara 5 dan 6 dengan kisaran suka hingga sangat suka. Menurut panelis kesukaan terhadap ketiga sampel tersebut karena tidak adanya bau atau rasa tengik pada ayam goreng tersebut.

Berdasarkan pengukuran objektif dengan menggunakan dua hasil uji yaitu bilangan TBA dan nilai diena terkonjugasi didapatkan sampel yang efektif menghambat ketengikan pada bumbu ayam goreng kalasan selama satu bulan adalah sampel dengan penambahan BHA+askorbil palmitat dengan konsentrasi 100 ppm. Hasil penilaian didukung dengan uji skalar dan uji hedonik pada bumbu ayam goreng kalasan menunjukkan bahwa sampel tersebut belum memiliki aroma tengik dan masih disukai oleh panelis.

.

DAFTAR PUSTAKA

Ananta, I. 1998. Pengaruh Lama Penggorengan dan Penggunaan Absorben Terhadap Mutu MiNew Yorkak Goreng Bekas Penggorengan Ayam. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Association of Official Analytical Chemists. 1999. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. AOAC,Inc.Arlington.Virginia. ______________________________________.

1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists, AOAC,Inc.Arlington.Virginia Branen. 1983. Food Additive Hand Book. 1990.

Marcell Dekker. New York.

Buck. 1991. Antioxidant. Di Dalam Food Additive User’s Hand Book. Jim Smith (eds). Blackie & Sons Ltd. London. pp 149-183

Chiou, R. Y, K-L, Ku, Y. S. Lai, dan L. G. Chang. 2001. Antioxidant Charateristic of Oil in Ground Pork-Fat Patties Cooked with Soy Sauce. Paper. JAOCS Vol. 78. pp 1154-1157

Coppen. P. P. 1983. Use of Antioxidant. Di Dalam Rancidity in Food. Allen, J. C dan R. J. Hamilton (eds). Applied Science Publisher. London. pp 65-86

Cuvelier, M. E. C. Berset, dan H. Richard. 1994. Antioxidant Constituent in Sage (Salvia officinalis). Journal of Agriculture and Food Chemistry Vol 42. pp 1255-1261


(5)

Darmini, N.W. 1998. Aktivitas Antioksidan Bumbu Segar Masakan Tradisional Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 722/MENKES/PER/IX/88. Di Dalam Bahan Tambahan Makanan. Buletin Teknologi dan Industri pangan Vol. 5 no. 2.

Dewanti, R. 1984. Pengaruh Bubuk Cabe Merah (Capsicum Annum L.) terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri PeNew Yorkebab Kerusakan Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Dugan, P. 1984. Effect of BHA and BHT in Sunflower Oil, Alone and with The Combination. Di Dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp 145

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka. Jakarta.

Farrell, K. T. 1990. Spices, Condiment, and Seasoning. AVI Book Van Nostrand Reinhold. New York

Fennema, O. R. 1985. Principle of Food Science. Marcel Dekker. New York.

Frankel, E. N., S.W Huang, J. Kanner, J.B Bruce German. 1994. Interfacial Phenomena in The Evaluation of Antioxidant: Bulk oil vs Emulsion. Journal Agriculture and Food Chemistry Vol. 42. pp 1054-1059. Gordon. 1990. The Mechanism of Antioxidant

Action in Vitro. Di Dalam Food Antioxidant. Hudson, B. J. F (eds). Elsiever Applied Science Publisher. London. pp 270-291

Hamilton. R. J. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di Dalam. Rancidity in Food. Allen, J. C dan R. J. Hamilton (eds). Applied Science Publisher. London. pp 65-86

Hanas, O. P. 1994. Seasoning Ingridients. Di Dalam Handbook of Industrial Seasoning. E. E Underriner dan I.R Hume. Blackie Academic Press. London. pp 21-61. Harijadi, A. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar.

Gramedia Pustaka. Jakarta.

Heras, A., A. Schoch, dan M. Gibis. 2003. Comparison of Methods for Determining Malonaldehyde in Dry Sausage by HPLC and The Classic TBA Test. Paper. Eur Food Res. Technol 217. pp 180-184.

Ivory, T. 1994. Typical Seasoning Formulation. Di Dalam Handbook of Industrial Seasoning. E. E Underriner dan I.R Hume (eds). Blackie Academic Press. London

Jenie, B. S. L., Undriyani, K. dan Dewanti, R. 1992. Pengaruh Konsentrasi Jahe dan Waktu Kontak terhadap Aktivitas Beberapa Mikroba PeNew Yorkebab Kerusakan Pangan. Buletin Teknologi Pangan. Vol. 2. pp 25-31.

Koschhar, S. P. 1993. Oxidative Pathways to The Formation of Off-flavors. Blackie Academic and Profesional. London. Ketaren. 1986. MiNew Yorkak dan Lemak

Pangan. UI Press. Jakarta

Lanari, M.C., A. K. Hewavitharana, C. Becu, dan S.De Jong. 2003. Effect of Dietary Tocopherol and Tocotrienol on Antioxidant Status and Lipid Stability of Chicken. Elsevier Ltd. UK

Lea, P dan Tormad, N. 1998. Análisis of Variante for Sensory Data. John Willey and Sons. New York.

Lee, J. 1994. Specifying a Seasoning. Di Dalam Underriner, E.W dan I. R. Hume (eds). Handbook of Industrial Seasonings. Blackie Academic and Profesional. London. pp 113-145.

Madhavi, D. L. dan D. K. Salunkhe. 1996. Toxilogical Aspects of food Antioxidant. Di Dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Marcel Dekker Inc. New York.

Madhavi, Singhai, Kulkarni. 1996. Technological Aspect of Food Antioxidant. Di dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp. 159-267

Maynard, A, Amerin, R. M. Pangborn, Edward, B. Roester. 1965. Principles of Sensory Evaluation of Food. Academic Press. New York

Meilgaard. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd ed. CRC Press. London. New York. Mottram. 1991. Meat Science. Di Dalam Ananta.

I. 1998. Pengaruh Lama Penggorengan dan Penggunaan Absorben Terhadap Mutu MiNew Yorkak Goreng Bekas Penggorengan Ayam. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Nawar, W. W. 1985. Lipids. Di Dalam Principle of Food Science. Fennema, O. R.(eds).


(6)

Marcel Dekker Inc. New York. pp 275-288

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta

Pratt, D. E dan J. F. Hudson. 1990. Natural Antioxidant Not Exploited Commercially. Di Dalam Food Antioxidant. Hudson, B. J. F. (ed). Elsevier Applied Science. London. 315-362

Prianto, A. 2001. Analisis Posisi Persaingan dalam Upaya Penetrasi Pasar Produk Ayam Goreng ( Studi Kasus PT. Ayam Goreng Fatmawati Indonesia). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Rahayu, W.P. 1999. Aktivitas Antimikroba Lengkuas (Alpina galanga L. SWARTZ). Prosiding Seminar Nasional Makanan Tradisional Yogyakarta 16 Maret 1999. ISBN 979-95554-18

Rahayu, W. P. 2000. Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan Industri terhadap Bakteri Patogen dan Perusak. Buletin Teknologi dan Industri Pangan Vol. 1, no.2. pp. 39-48 Rajalaksmi, D. S, Narasimhan. 1996. Food Sources

and Methods of Evaluation. Di dalam Food Antioxidant Technological, Toxilogical, and Health Perspectives. Madhavi, S.,D.L., S.S Depandhe, dan D.K. Salunkhe (eds). Marcel Dekker Inc. NEW YORK. pp 65-156

Rugger, C. W., Eric, J.K., Earl G. Hammond. Abilities of Some Antioxidant ti Stabilize Soybean Oil in Industrial Use Condition. Journal Paper. JAOCS vol. 79. pp 733-735

Sampoerna dan Dedi Fardiaz. 2001. Kebijakan dan Pengembangan Pangan Fungsional dan Suplemen di Indonesia. Di Dalam Pangan Tradisional Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Ratih Haryadi dan Lilis Nuraida (eds). Prosiding Seminar 14 Agustus 2001. Jakarta. Teknologi Pangan dan Gizi, PSPG, PKMT, IPB.

Shahidi, F., Wanasundhara. 1997. Methods of Measuring Oxidative Rancidity in Fats and Oils. Di Dalam Food Lipids, Chemistry, and Nutrition.C. C. Akoh dan D. B Min (eds). Marcel Dekker Inc. New York. pp 377-396

Sherwin, E.R. 1990. Antioxidant. Di Dalam Food Aditive Hand Books. Branen, L. P. M. Davidson, S. Salminen (eds). Marcell Dekker. New York.

Singh, R. P. 1994. Scientific Principle of Self Life Evaluation. Di Dalam. Self Life

Evaluation of Foods. Man, C. M. D dan A. A Jones (eds) Blackie Academic and Profesional, London. pp 105-140

Soekarto. S. T. 1985. Penilaian Organoleptik Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bharata Karya Aksara. Jakarta.

Thomas, P. R. 1984. Mempelajari pengaruh bubuk rempah-rempah terhadap pertumbuhan kapang Aspergillus flavus Link. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.

Underriner dan I. R. Hume. 1994. Handbook of Industrial Seasonings. Blackie Academic and Professional. London

Underwood, A. L dan R. A. Day Jr. 1993. Quantitative Analytic of Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.

Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

Woods, W dan Aurand. 1977. Laboratory Manual in Food Chemistry. Di Dalam Analisis Pangan. A. Priyantono, D. Fardiaz, N. L. Puspita, S. Budiyanto, dan Sedarnawati. Y. IPB Press. Bogor.