Evaluasi Efektivitas Bahan Perekat Dan Pelapis Untuk Pelapisan Benih Kedelai (Glycine Max Merr.) Dengan cendawan mikoriza arbuskula

(1)

UNTUK PELA

Merr.) DENGA

DEPARTEM

IN

LAPISAN BENIH KEDELAI (Glycine

GAN CENDAWAN MIKORIZA ARB

SITI KHODIJAH

A24051110

MEN AGRONOMI DAN HORTIKU

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

ine max (L.)

BUSKULA


(2)

SITI KHODIJAH. Evaluasi Efektivitas Bahan Perekat dan Pelapis untuk Pelapisan Benih Kedelai (Glycine max (L.) Merr) dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula. (Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS dan YENNI BAKHTIAR).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan perekat dan pelapis yang kompatibel dengan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) terhadap pelapisan benih kedelai. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2009 di Laboratorium Agromikrobiologi dan di rumah kaca Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT PUSPIPTEK Serpong, Tangerang.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah bahan perekat yang terdiri atas: kontrol (tanpa bahan perekat), tapioka 5 % (b/v), dan molases 90 % (v/v). Faktor kedua adalah bahan pelapis gambut dan gipsum yang terdiri atas beberapa perbandingan: 0:0; 0:100; 25:75; 50:50; 75:25; 100:0 (b/v). Inokulum CMA yang digunakan berupa spora yang diperoleh dari hasil produksi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dilapisi dengan bahan perekat dan bahan pelapis. Proses pelapisan dilakukan dalam drum granulator. Benih yang telah terlapisi kemudian ditanam pada media tanam campuran tanah, kompos dan pasir (1 : 1 : 1), dan diamati perkembangannya di rumah kaca.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh bahan perekat tapioka 5 % secara umum lebih baik daripada bahan perekat molases 90 % terhadap beberapa parameter yang diamati. Benih yang diberi bahan perekat maupun tanpa bahan perekat masih memiliki nilai daya tumbuh yang tinggi (92.6-98.1 %). Daya tumbuh tertinggi ditunjukkan oleh bahan pelapis gambut:gipsum dengan perbandingan 50:50. Kombinasi tanpa bahan perekat (kontrol) dengan bahan pelapis gambut:gipsum 0:100 menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi pada 2 MST, sedangkan tinggi tanaman terendah pada kombinasi tanpa bahan perekat dengan bahan pelapis gambut:gipsum 100:0. Hal ini diduga karena sifat gipsum selain berfungsi sebagai bahan pelapis, gipsum juga dapat berfungsi sebagai bahan perekat.


(3)

yang sangat nyata terhadap jumlah daun pada 2 MST. Kombinasi tanpa bahan perekat dan bahan pelapis gambut:gipsum (100:0) menghasilkan jumlah daun terendah. Bahan perekat tapioka 5 % mampu meningkatkan bobot kering tajuk, jumlah dan bobot kering bintil akar, persentase infeksi CMA serta jumlah spora CMA. Bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 mampu meningkatkan jumlah spora inokulum CMA. Kombinasi bahan perekat tapioka 5 % dan bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 menghasilkan tinggi tanaman 3 MST, jumlah dan bobot kering bintil akar tertinggi.


(4)

UNTUK PELAPISAN BENIH KEDELAI (Glycine max (L.)

Merr.) DENGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

SITI KHODIJAH A24051110

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(5)

PELAPIS UNTUK PELAPISAN BENIH KEDELAI (Glycine

max (L.) Merr) DENGAN CENDAWAN MIKORIZA

ARBUSKULA

Nama : SITI KHODIJAH

NIM : A24051110

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag. Sc

NIP : 19590225 198203 2 001 NIP : 19660826 199203 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Agr NIP : 19611101 198703 1 003


(6)

Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara pasangan Bapak Gopalit Gurukinayan dan Ibu Aman Kembaren yang dilahirkan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada tanggal 25 Desember 1985. Penulis menempuh jenjang pendidikan dasar di SD Negeri 048 Suka Ramai, Kabupaten Kampar Riau pada tahun 1998. Pada tahun 2002 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Budi Murni Lau Baleng Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penulis menamatkan pendidikan menengah umumnya di SMU Negeri 1 Tualang Kabupaten Siak, Riau pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) Kabupaten Siak, Riau, dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

Selama masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor penulis adalah penerima Beasiswa Utusan Daerah dari Kabupaten Siak. Tahun 2008, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Dasar-dasar Ilmu dan Teknologi Benih pada tahun 2008/2009. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan judul “Evaluasi Efektivitas Bahan Perekat dan Pelapis untuk Pelapisan Benih Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula”, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS dan Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag. Sc.


(7)

Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Evaluasi Efektivitas Bahan Perekat dan Pelapis untuk Pelapisan Benih Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS selaku pembimbing skripsi pertama yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tugas akhir penulis.

2. Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag. Sc selaku pembimbing skripsi kedua yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tugas akhir penulis.

3. Dr. Ir. Memen Surachman, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji, terima kasih atas saran dan masukan yang diberikan.

4. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro, M. Agr. sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama studi di IPB.

5. Dr. Bambang Marwoto, Apt, M.Eng sebagai kepala Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong Tangerang, yang telah memberi izin dan tempat bagi penulis untuk melaksanakan penelitian.

6. Farida RM, Ph.D dan para personil Laboratorium Agromikrobiologi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, pak Wahid, pak Firman, pak Asep, pak Mahmud, terima kasih atas fasilitas dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan penelitian.

7. Bapak, ibu, dan seluruh keluarga atas doa, cinta, motivasi dan kasih sayang yang selalu tercurah untuk penulis.


(8)

Kabupaten Siak Sri Indrapura dan jajarannya, atas pemberian beasiswa yang diberikan kapada penulis selama perkuliahan di IPB.

9. Teman-teman pringgoners (Neneng, Supatmi, Nani, Helni, Novia, Santi, Dyah, Putri, Vivi, Dede, Didin, Dibo) atas segala dukungan dan kebersamaannya.

10.Warno, Shandra, Ratih, Yunus, dan para asisten Dastekben 2008/2009 serta teman-teman AGH’42 atas kebersamaan yang tak terlupakan.

11.Teman seperjuangan Anita Nurjanah selama penelitian di Serpong, terima kasih atas semua bantuan yang diberikan.

Semoga hasil penelitian ini berguna bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Desember 2009 Penulis


(9)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Botani Tanaman Kedelai ... 4

Invigorasi Benih Kedelai... 5

Cendawan Mikoriza Arbuskula... 6

Pelapisan Benih (Seed Coating) ... 9

Tapioka ... 10

Molases ... 11

Gambut ... 12

Gipsum ... 13

BAHAN DAN METODE ... 15

Waktu dan Tempat ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian... 15

Pelaksanaan Penelitian ... 17

Pengamatan ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Hasil ... 24

Pembahasan ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40

Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(10)

Nomor Halaman

1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan

Bahan Pelapis serta Interaksinya terhadap Beberapa

Parameter Tanaman Kedelai ... 25 2. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Daya Tumbuh Kedelai

pada 1 MST ... 26 3. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Daya Tumbuh Kedelai

pada 1 MST ... 26 4. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Tinggi Tanaman pada 2 MST ... 27 5. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Tinggi Tanaman pada 3 MST ... 27 6. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Jumlah Daun per Tanaman pada 2 MST ... 29 7. Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Bobot Kering Tajuk dan Bobot Kering Akar pada 7 MST ... 31 8. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Jumlah Bintil Akar pada 7 MST ... 32 9. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Bobot Kering Bintil Akar pada 7 MST ... 32 10. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Persentase Infeksi Akar

Kedelai pada 12 MST ... 33 11. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Jumlah Spora CMA

pada 12 MST ... 35 12. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Jumlah Spora CMA

pada 12 MST ... 35 13. Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Panjang Hifa Spora CMA ... 36 14. Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap


(11)

Nomor Halaman

1. Perekat Molases ... 12

2. Bagan Alir Penelitian ... 16

3. Drum Granulator yang Dimodifikasi ... 19

4. Benih Kedelai yang Diberi Bahan Perekat Tanpa Pelapis ... 19

5. Benih Kedelai yang Telah Diberi Bahan Perekat dan Pelapis ... 19

6. Tanaman Kedelai di Rumah Kaca ... 24

7. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Jumlah Daun ... 28

8. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Jumlah Daun ... 29

9. Infeksi CMA pada Akar Kedelai 12 MST ... 34


(12)

Nomor Halaman

1. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Daya Tumbuh Kedelai... 47 2. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Tinggi Tanaman ... 47 3. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Jumlah Daun per Tanaman ... 48 4. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Bobot Kering Tajuk ... 49

5. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Bobot Kering Akar ... 49 6. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Jumlah Bintil Akar ... 49 7. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Bobot Kering Bintil Akar ... 50 8. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Persentase Infeksi CMA ... 50 9. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

Terhadap Jumlah Spora CMA ... 50 10. Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

terhadap Bobot Basah Polong Hampa... 51 11. Metode Wet Sieving Berdasarkan Sylvia (1998) ... 51


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia dan sebagai salah satu sumber protein nabati. Konsumsi kedelai masyarakat Indonesia saat ini mencapai 2 juta ton per tahunnya, tetapi berdasarkan data BPS (2007) rata-rata produksi kedelai dalam negeri hanya 608.263 ton, sehingga dibutuhkan impor kedelai sebesar 1.4 juta ton (Deptan, 2008). Tingginya kebutuhan kedelai tersebut mendorong perlunya peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Produksi kedelai dapat ditingkatkan melalui salah satu teknologi alternatif yaitu penyediaan benih bermutu dengan teknik pelapisan benih.

Benih kedelai cepat sekali menurun mutunya. Benih yang telah mengalami penurunan mutu dapat ditingkatkan vigornya melalui invigorasi. Salah satu perlakuan invigorasi yang efektif adalah matriconditioning. Penelitian pada benih kedelai menunjukkan bahwa matriconditioning menggunakan arang sekam lebih baik dalam meningkatkan viabilitas dan vigor benih kedelai dibandingkan dengan serbuk gergaji. Matriconditioning menggunakan bubuk arang sekam plus inokulan Bradyrhizobium japonicum dan Azospirillum lipoferum selama 12 jam terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil kedelai (Ilyas et al., 2003).

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) adalah suatu cendawan yang bersimbiosis secara mutualisme dengan akar tanaman yang memiliki peranan penting dalam siklus hara dan ekosistem. Cendawan mikoriza arbuskula sangat bermanfaat bagi tanaman terutama dalam meningkatkan penyerapan unsur hara fosfor (P), nitrogen (N), kalium (K) dan hara mikro seperti seng (Zn), molybdenum (Mo), dan tembaga (Cu). Di samping itu CMA juga dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan serangan patogen akar, serta memperbaiki status hara tanah (Menge, 1984).

Bakhtiar et al. (2005) menyatakan bahwa tanaman yang diinokulasi dengan CMA memiliki perbedaan respon pertumbuhan dengan tanaman yang tidak diinokulasi. Pertumbuhan tanaman memerlukan unsur hara dan air, salah satu unsur yang terpenting adalah P. Tanpa adanya penambahan unsur P dalam media tanam, tanaman terlihat lebih pucat dan lebih pendek, tetapi pada tanaman


(14)

yang diinokulasi dengan CMA pertumbuhannya lebih tinggi dan daunnya berwarna lebih hijau. Hal ini diduga karena adanya peningkatan penyerapan P akibat meningkatnya aktivitas CMA.

Setiadi (2000) merinci berbagai peran CMA sebagai berikut : 1) perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan, 2) sebagai pelindung hayati ( bio-protection), 3) meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan, 4) terlibat dalam siklus bio-geo-kimia, 5) sinergis dengan mikroorganisme lain, dan 6) mempertahankan keanekaragaman tumbuhan. Setiadi (2003) menambahkan bahwa CMA sangat berperan dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi lahan kritis, yang berupa kekeringan dan banyak terdapat logam-logam berat. Selain perbaikan nutrisi (terutama fosfat) CMA juga mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular tanah. Cendawan mikoriza arbuskula dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat seperti halnya pada lahan-lahan pasca tambang. Dengan demikian CMA selain dapat digunakan sebagai bio-protection, juga berfungsi penting sebagai bio-remediator bagi tanah-tanah yang tercemar logam berat.

Cara aplikasi CMA yang biasa diterapkan di lapangan adalah dengan memberikan inokulum spora CMA pada daerah akar tanaman yang sedang aktif tumbuh atau menambahkan inokulum CMA secara langsung pada lubang tanam. Cara aplikasi tersebut dinilai kurang efisien karena inokulum CMA hanya dapat diaplikasikan pada tanaman yang sudah tumbuh aktif. Selain itu, cara mengaplikasikannya di lapangan membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga dan biaya yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian mengenai cara aplikasi CMA yang dapat menyediakan benih bermikoriza sebelum ditanam sehingga mempermudah dalam proses transportasi.

Salah satu alternatif cara aplikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah memanfaatkan bahan perekat dan bahan pelapis benih sebagai agens pembawa inokulum spora CMA. Bahan perekat yang digunakan adalah tapioka dan molases. Bahan perekat tersebut digunakan sebagai binding agent antara benih kedelai dan spora CMA. Selain itu, tapioka dan molases mudah diperoleh dan harganya relatif murah. Bahan pelapis yang digunakan adalah gambut dan gipsum. Gambut berfungsi sebagai sumber bahan organik. Menurut Budianta


(15)

(2003), gambut mempunyai karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh jenis tanah yang lain. Sifat fisik yang dimiliki adalah mampu menyerap air yang sangat tinggi dan sebaliknya apabila dalam kondisi yang kering gambut sangat ringan dengan berat volume yang sangat rendah. Sementara itu, menurut Purwadi (1993), gipsum berfungsi sebagai sumber mineral dan sebagai lapisan pelindung.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan perekat dan bahan pelapis yang kompatibel dengan CMA terhadap pelapisan benih kedelai.

Hipotesis

1. Terdapat bahan perekat yang efektif dan kompatibel dengan CMA terhadap pelapisan benih kedelai.

2. Terdapat bahan pelapis yang efektif dan kompatibel dengan CMA terhadap pelapisan benih kedelai.

3. Terdapat interaksi antara bahan perekat dan bahan pelapis yang efektif dan kompatibel dengan CMA terhadap pelapisan benih kedelai.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kedelai

Kedelai termasuk tanaman kacang-kacangan dengan klasifikasi lengkap tanaman kedelai adalah sebagai berikut, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Rasales, famili Leguminosae, genus Glycine, spesies Glycine max (L.) Merril. Sistem perakaran kedelai terdiri atas dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu, kedelai juga seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi (Adisarwanto, 2007).

Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak di antara keping biji. Warna kulit biji bermacam-macam ada yang kuning, hitam, hijau dan cokelat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi, tergantung varietas. Di Indonesia besar biji bervariasi 6-30 g (Suprapto, 2001).

Adisarwanto (2007) menyatakan bintil akar dapat mengikat nitrogen dari udara saat berumur 10-12 hari setelah tanam, tergantung kondisi tanah dan suhu. Kelembaban tanah yang cukup dan suhu tanah sekitar 25 0C sangat mendukung pertumbuhan bintil akar. Bintil akar dapat terbentuk pada tanaman kedelai muda setelah ada akar rambut pada akar utama atau akar cabang. Bintil akar dibentuk oleh Rhizobium japonicum. Batang berasal dari poros embrio. Selama perkecambahan, hipokotil merupakan bagian batang kedelai, mulai dari pangkal akar hingga kotiledon. Hipokotil dan dua kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menembus permukaan tanah.

Menurut Sumarno (1985), tanaman kedelai termasuk tanaman hari panjang bila ditanam di Amerika Serikat. Varietas yang beradaptasi di daerah yang panjang harinya lebih dari 12 jam, umumnya akan lebih cepat berbunga bila ditanam di daerah yang panjang harinya 12 jam. Sebaliknya, kedelai dari daerah tropik akan berbunga lebih lambat bila ditanam di daerah beriklim sedang yang panjang harinya lebih dari 12 jam. Pemendekan lama penyinaran akan


(17)

mempersingkat pertumbuhan vegetatif dan mempercepat waktu berbunga serta waktu panen. Inilah yang menyebabkan varietas unggul dari Amerika Serikat akan rendah hasilnya bila ditanam di Indonesia, karena adanya pemendekan fotoperiode. Di negara-negara sub-tropik panjang hari berkisar 13-15 jam, sedangkan di negara tropik hanya 12 jam.

Toleransi kemasaman tanah bagi kedelai adalah 5.8-7.0. Pada pH kurang dari 5.5, pertumbuhan akan terhambat karena adanya keracunan aluminium, serta pertumbuhan bakteri dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik. Jenis tanah yang baik untuk kedelai antara lain alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Pada tanah podsolik merah kuning dan tanah yang mengandung pasir kwarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali jika tanah diberi pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang cukup (Purwono dan Purnamawati, 2007).

Invigorasi Benih Kedelai

Menurut Khan dalam Ilyas (2005), invigorasi adalah upaya memperlakukan benih sebelum tanam dengan cara menyeimbangkan potensial air benih untuk merangsang kegiatan metabolisme di dalam benih sehingga benih siap berkecambah tetapi struktur penting embrio yaitu radikula belum muncul. Selama proses invigorasi, terjadi peningkatan kecepatan dan keserempakan perkecambahan serta mengurangi tekanan lingkungan yang kurang menguntungkan. Salah satu perlakuan invigorasi yang telah terbukti efektif pada berbagai jenis benih adalah matriconditioning. Matriconditioning adalah perlakuan hidrasi benih terkontrol dengan media padat lembab yang didominasi oleh kekuatan matriks untuk memperbaiki pertumbuhan bibit. Perlakuan peningkatan mutu benih seperti matriconditioning dapat diintegrasikan dengan hormon untuk meningkatkan perkecambahan, atau dengan pestisida, biopestisida, dan mikroba yang menguntungkan untuk melawan penyakit benih dan bibit selama awal penanaman, atau untuk memperbaiki status hara, pertumbuhan dan hasil tanaman.

Menurut Fadhilah (2003), inkorporasi minyak cengkeh 0.05 % atau Benlate 0.15 % dalam perlakuan matriconditioning dengan arang sekam dapat mengeradikasi Fusarium semitectum, F. oxysporum, Aspergillus flavus, A. niger


(18)

dan Phoma sp. yang terbawa benih kedelai serta meningkatkan persentase kecambah non fitotoksik dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian Suhartiningsih (2003), perlakuan matriconditioning plus inokulan Bradyrhizobium japonicum dan Azospirilum lipoferum pada suhu kamar dapat meningkatkan daya berkecambah, indeks vigor, jumlah nodul, bobot kering akar dan bobot tajuk tanaman kedelai. Selanjutnya Faisal (2005) melaporkan perlakuan matriconditioning plus inokulan B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam mampu meningkatkan daya berkecambah, indeks vigor benih, laju pertumbuhan kecambah dan bobot kering kecambah normal masing-masing sebesar 2.8 %, 9.5 %, 7.9 %, 7.6 % dan 15.1 %.

Cendawan Mikoriza Arbuskula

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan struktur perakaran yang terbentuk sebagai manifestasi adanya simbiosis mutualisme antara cendawan (myces) dan perakaran (rhiza). Cendawan mikoriza arbuskula adalah simbion obligat dari filum Glomeromycota (secara formal dijelaskan sebagai ordo Glomales) yang diperkirakan ditemukan sekitar 400-500 juta tahun yang lalu. Cendawan mikoriza arbuskula dapat dilihat dari ciri-ciri utamanya, yaitu adanya arbuskula dan atau vesikel di dalam korteks akar (Kirk et al., 2005).

Hampir sebagian besar tanaman darat di dunia pada kondisi alami, bersimbiosis dengan mikoriza. Namun demikian CMA adalah tipe mikoriza yang paling umum, karena dijumpai pada sekitar 80 % spesies tanaman. Cendawan mikoriza arbuskula dalam asosiasinya dengan tanaman, membentuk organ baik di dalam maupun di luar akar tanaman. Cendawan mikoriza arbuskula memiliki beberapa struktur yaitu : 1) arbuskula adalah percabangan dikotomus yang intensif dari hifa intraseluler, berperan dalam transfer nutrisi antara cendawan dan tanaman inang, 2) vesikula adalah struktur yang berdinding tipis berisi lipid yang biasanya terbentuk dalam ruang interseluler, berfungsi sebagai cadangan makanan dan juga sebagai propagul reproduktif, 3) sel-sel auksilar yang terbentuk di dalam tanah dan dapat membentuk coiled, 4) spora aseksual yang berasal dari diferensiasi hifa vegetatif, berupa spora reproduktif yang dapat dibentuk baik di dalam akar maupun yang paling sering di dalam tanah (Sylvia, 1998).


(19)

Cendawan mikoriza arbuskula tidak dapat menghasilkan karbon sendiri tanpa tanaman. Oleh karena itu, peran CMA dalam fotosintesis dapat memberikan efek tidak langsung pada tanaman, kontaminan, dan sistem tanah. Cendawan mikoriza arbuskula diketahui dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap berbagai macam stres termasuk hara, kekeringan, logam, salinitas, dan patogen, yang semuanya dapat mempengaruhi keberhasilan hidup tanaman (Khan, 2006).

Menurut Muin (2003), kolonisasi akar dipengaruhi oleh suhu, eksudat akar dan kondisi fisiologis propagul, tetapi suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkecambahan spora, pertumbuhan hifa, kolonisasi, dan sporulasi. Sieverding (1991) menyatakan, kolonisasi CMA dipengaruhi oleh ketersediaan unsur P yang tinggi, yaitu gangguan terhadap sporulasi dan penurunan kecepatan pemanjangan akar. Cahaya terutama intensitasnya mempengaruhi CMA karena berhubungan dengan suplai karbon yang dibutuhkan oleh cendawan. Tumbuhan dengan kecepatan berfotosintesis tinggi yang dibutuhkan cenderung memperbaiki suplai karbon bagi CMA. Respon tanaman bermikoriza terhadap suhu berbeda-beda menurut spesies cendawan yang mengkoloninya. Pada suhu tinggi mengakibatkan penurunan viabilitas spora dan bahkan kematian spora.

Menurut Setiadi (2003), cendawan mikoriza arbuskula mempunyai berbagai peran penting baik dalam peningkatan produktivitas tanaman melalui peningkatan penyerapan unsur hara maupun toleransi terhadap kondisi stres air dan toksisitas logam berat. Pada tanaman yang bermikoriza, respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan cenderung lebih dapat bertahan dari kerusakan korteks dibanding tanaman tanpa mikoriza. Gangguan terhadap perakaran akibat cekaman kekeringan pengaruhnya tidak akan permanen pada akar-akar yang bemikoriza. Akar yang bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode kekeringan berlalu. Peranan langsung mikoriza adalah membantu akar dalam meningkatkan penyerapan air. Hal ini karena hifa cendawan masih mampu menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah mengalami kesulitan mengabsorbsi air. Kemampuan menyerap air dari pori-pori tanah ini dikarenakan hifa utama cendawan mikoriza di luar akar membentuk percabangan hifa yang lebih kecil dan lebih halus dari rambut akar dengan diameter kira-kira 2


(20)

m. Berdasarkan kepada banyaknya peranan CMA dalam peningkatan produktivitas tanaman, maka CMA dapat merupakan salah satu alternatif teknologi berupa pupuk hayati (biofertilizer) untuk pengembangan tanaman pertanian pada umumnya. Pemanfaatan pupuk hayati tersebut adalah berupa inokulasi cendawan mikoriza arbuskula dari isolat yang telah terbukti efektif dalam meningkatkan produktivitas tanaman.

Inokulasi berarti mengintroduksi propagul cendawan mikoriza arbuskula yang telah terpilih ke daerah rizosfer dari tanaman target. Cara yang paling umum adalah dengan menempatkan inokulum cendawan mikoriza arbuskula di bawah biji atau semai sebelum penanaman atau dengan cara lain yaitu melalui penyelimutan biji (Sylvia, 1998). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbiosis CMA dengan tanaman dapat meningkatkan serapan P tanaman dan hara lainnya, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen tanah, dan kekeringan. Cendawan mikoriza arbuskula dapat menggantikan sebagian dari kebutuhan pupuk bagi anakan tanaman yang ditanam pada kondisi tanah yang buruk. Cendawan mikoriza arbuskula dapat menggantikan kira-kira 50 % dari kebutuhan fosfor, 40 % dari kebutuhan nitrogen dan 25 % dari kebutuhan kalium untuk jenis Leucaena leucocephala (De La Cruz, 1981).

Menurut Santosa dalam Oktavia et al. (2000), pertumbuhan kedelai sangat tergantung pada mikoriza ini, karena ketersediaan P dalam jumlah optimal dapat mempercepat pematangan dan pengangkutan nutrisi dari bagian lain ke biji, sehingga pembentukan polong dan biji dapat sempurna. Secara tidak langsung CMA berpengaruh terhadap pengikatan N, yang ditunjukkan dengan sumbangan P oleh CMA untuk penambatan N pada simbiosis akar dengan rhizobium, di lain pihak bintil akar menyediakan N untuk pertumbuhan dan perkembangan CMA. Penambatan N hanya berjalan jika tersedia P dalam jumlah yang cukup diperakaran. Menurut Bakhtiar et al. (2005), inokulasi CMA meningkatkan bobot kering akar dan daun bibit tanaman kelapa sawit. Bobot kering akar tertinggi 1.22 g dicapai ketika bibit kelapa sawit ditanam pada media tanah : pasir : kompos (1: 6: 3) dan diinokulasikan dengan CMA Gigaspora sp. Sementara untuk bobot kering daun, media tanah : pasir : kompos (1: 5: 4) memberikan bobot tertinggi baik ketika diinokulasi dengan Gigaspora sp maupun oleh Glomus sp.


(21)

Pelapisan Benih (Seed Coating)

Menurut Mugnisyah dan Setiawan (2004), sebelum dikemas benih dapat diperlakukan dan atau dirawat. Perlakuan dan perawatan benih meliputi : (1) desinfeksi benih yang bertujuan memberantas hama dan penyakit terbawa benih, (2) proteksi benih yang bertujuan untuk melindungi benih terhadap hama dan penyakit yang mungkin terjangkit dari dalam tanah atau dari udara ketika bibit muncul.

McDonald dan Kwong (2005) menyatakan bahwa priming, pelleting, dan coating merupakan teknologi yang telah diaplikasikan pada benih tanaman sayuran dan tanaman hias dalam skala komersial. Copeland dan McDonald (2001) mengemukakan bahwa pelapisan benih merupakan salah satu metode seed enhancement, yaitu suatu metode untuk memperbaiki mutu benih menjadi lebih baik melalui penambahan bahan kimia pada lapisan luar benih yang dapat mengendalikan dan meningkatkan perkecambahan benih. Ada dua tipe pelapisan benih yang telah dikomersialkan, yaitu seed coating dan seed pelleting. Rushing dalam Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwa polimer untuk pelapis benih idealnya memiliki karakter sebagai berikut: (1) water-based polymer, (2) nilai viskositas yang rendah, (3) memiliki konsentrasi yang tinggi pada saat padat, (4) memiliki pengaturan keseimbangan antara hidrofilik dengan hidrofobik, (5) membentuk lapisan tipis keras selama pengeringan.

Kuswanto (2003) menyatakan bahwa pelapisan benih merupakan proses pembungkusan benih dengan zat tertentu, yang bertujuan sebagai berikut: meningkatkan kinerja benih pada waktu benih dikecambahkan, melindungi benih dari gangguan atau pengaruh kondisi lingkungan selama dalam penyimpanan atau dalam rantai pemasaran. Selain itu, pelapisan benih juga dapat mempertahankan kadar air benih, menyeragamkan ukuran benih, dalam meningkatkan efisiensi pemakaian alat penanaman benih sehingga dapat digunakan untuk menanam berbagai jenis benih dan meningkatkan ketelitian pada waktu penanaman secara langsung (direct seeding), memudahkan penyimpanan benih dan mengurangi dampak kondisi tempat penyimpanan, serta memperpanjang daya simpan benih.

Mugnisyah dan Setiawan (2004) menyatakan bahwa manfaat pelapisan benih adalah dapat mengubah permukaan benih yang berbentuk tidak teratur


(22)

menjadi teratur sehingga memungkinkannya disemai dengan jarak tanam yang tepat. Panie (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa formula coating meningkatkan keseragaman penampilan fisik benih cabai. Benih coating dengan formula 0.5 g/ml arabic gum + pewarna hijau memiliki penampilan fisik yang lebih baik, yaitu permukaan yang mengkilap.

Kuswanto (2003) menyatakan bahwa ada beberapa syarat bahan pelapis benih yaitu dapat mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan, dapat menghambat laju respirasi seminimal mungkin, tidak bersifat toksik terhadap benih, bersifat mudah pecah dan larut apabila terkena air, bersifat porus, tidak mudah mencair, bersifat higroskopis, bersifat sebagai bahan perambat dan penyimpan panas yang rendah, dan harga relatif murah sehingga dapat menekan harga benih.

Tapioka

Tapioka merupakan hasil pengolahan dari ubi kayu yang banyak digunakan dalam berbagai industri sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat. Tapioka adalah pati yang berasal dari hasil ekstraksi singkong yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Pati tapioka mempunyai sifat yang menguntungkan dalam pengolahan pangan, kemurnian larutan yang tinggi, kekuatan gel yang baik, dan daya rekat tinggi sehingga banyak digunakan sebagai bahan perekat. Komposisi pati yang tinggi memungkinkan pati yang digunakan sebagai sumber karbohidrat, kadar amilosa tepung tapioka sekitar 23 % menjadikan alasan yang kuat sebagai bahan pengikat karena amilosa berperan besar dalam gelatinisasi (Raharjo, 1997).

Prinsip pengolahan tepung tapioka melalui beberapa tahap antara lain: (1) pemecahan sel dan pengambilan granula pati dari bagian lain yang tidak larut, (2) pengambilan pati dengan penambahan air, (3) penghilangan air, (4) penepungan agar mendapatkan tepung yang dikehendaki. Komposisi kimia pati tapioka (per 100 gram bahan) adalah energi 307 kalori, kadar air 9.1 %, karbohidrat 88.2 %, protein 1.1 %, lemak 0.5 %, fosfor 125 mg, kalsium 84 mg, dan besi 1 mg (Yengkokpam et al., 2007).


(23)

Tapioka merupakan bahan yang sering digunakan sebagai perekat karena mudah didapat dan harganya yang relatif murah. Kelemahan penggunaan tapioka sebagai perekat yaitu akan sedikit berpengaruh pada penurunan nilai kalor produk dibandingkan bahan bakunya. Selain itu, produk yang dihasilkan kurang tahan terhadap kelembaban. Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat menyerap air dari udara. Penambahan optimal perekat sebaiknya tidak lebih dari 5 % (Sudrajat dan Soleh, 1994).

Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami proses pencucian secara sempurna serta dilanjutkan dengan pengeringan. Proses ekstraksi relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah. Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri dari pati. Ukuran granula pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron. Pati ubi kayu terdiri atas molekul amilosa dan amilopektin yang jumlahnya berbeda-beda tergantung jenis patinya. Tepung tapioka yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik (Makfoeld, 1982).

Fleche (1985) menyatakan bahwa granula pati tidak larut dalam air di bawah 50 0C, dan apabila suspensi pati dipanaskan di bawah suhu kritis maka granula akan menyerap air dan mengembang membentuk pasta kental. Kemampuan pati menghasilkan pasta kental ketika dipanaskan dalam air, yang disebut dengan sifat hidrokoloid, membuatnya sesuai untuk berbagai aplikasi seperti pada pembuatan makanan, kertas, tekstil, perekat, dan obat-obatan.

Molases

Molases merupakan cairan kental, rasanya agak manis dan berwarna cokelat gelap hasil buangan dari pabrik pembuatan gula tebu. Menurut Paturau (1982), molases adalah keluaran terakhir yang diperoleh dari pembuatan gula tebu setelah melalui kristalisasi berulang dan merupakan sisa sirup yang tidak dapat mengkristal lagi dengan perlakuan yang sederhana. Molases dapat digunakan secara langsung atau dapat dijadikan bahan baku pembuatan produk-produk yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk kecap, pupuk, pakan ternak, ataupun industri fermentasi seperti alkohol, turunan alkaloid, asam asetat, butanol, asam sitrat, asam laktat, gliserol dan sel khamir (Paturau, 1982). Molases tersusun dari


(24)

bahan organik, anorga berupa sukrosa, frukt 10-20 % air dan seleb

Menurut Patur sukrosa 20-30 % dan seperti glukosa, ma merupakan senyawa y metabolisme guna m sukrosa pada daun penambahan sukrosa sehingga proses peny (2000) menyatakan ha 30.62 %, protein 3.89

Menurut And berarti bahwa tanah tanah gambut dengan dengan jenis tanah la sempurna sehingga b mineralnya tinggi di yang lebih teraerasi ( terbentuk pada kond hutan, lignin dan umumnya mempunya

rganik dan air. Sekitar 52 % dari molases meru ktosa dan glukosa, 10 % atau lebih garam or ebihnya bahan organik non gula (Baikow, 1982

Gambar 1. Perekat Molases

turau (1982), molases merupakan sumber ener an gula pereduksi 10-30 %. Beberapa contoh manosa, fruktosa, laktosa, dan maltosa. a yang mudah dicerna dan dapat langsung diser memperoleh energi. Menurut Oktavia (20 un murbei dapat meningkatkan absorpsi

sa menyebabkan energi lebih siap pakai un nyerapan lebih efisien untuk proses pertumbu hasil analisis komposisi molases Indonesia ter 89 %, air 20.33 %, abu 13.09 %, dan total gula

Gambut

ndriesse (1988), gambut adalah tanah organ h organik adalah tanah gambut. Sebagian pe an istilah tanah hitam, karena warnanya hita lainnya. Tanah gambut telah mengalami per

bagian tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi disebut tanah bergambut. Perbedaan diantara i (dan karena itu lebih terdekomposisi), denga ndisi berawal dengan kondisi anaerobik yang karbohidrat nampak terdekomposisi semp yai kandungan yang rendah untuk senyawa org

rupakan total gula organik atau abu,

82).

ergi dalam bentuk oh gula pereduksi Gula pereduksi serap untuk proses 2000), pemberian i nutrien karena untuk penyerapan buhan. Rahmasari terdiri atas sukrosa

la 55.37 %.

anik, tetapi tidak petani menyebut itam dan berbeda erombakan secara gi dan kandungan ara gambut hutan gan gambut yang ng kuat. Gambut mpurna sehingga rganik tersebut.


(25)

Gambut merupakan material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebih dan mengalami dekomposisi secara lambat dalam keadaan anaerobik. Komposisi penyusun bahan organik gambut lebih didominasi oleh lignin, sedangkan kandungan selulosa dan hemiselulosa terdapat dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak terukur karena senyawa-senyawa tersebut mudah terdekomposisi (Dohong, 2001). Jenis gambut yang dapat digunakan untuk pelapisan benih adalah gambut berserat (fibrous/sedge peat) yaitu gambut yang terdiri atas campuran tanaman sphagnum dan rumputan. Gambut yang berasal dari serat-seratan tergolong gambut yang subur (eutropik) dan kaya akan hara mineral (Andriesse, 1988).

Gambut mempunyai karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh jenis tanah yang lain. Sifat fisik yang dimiliki adalah mampu menyerap air yang sangat tinggi. Sebaliknya apabila dalam kondisi yang kering (kering berkelanjutan), gambut sangat ringan dengan berat volume yang sangat rendah (0.1-0.2 g/cm2) dan mempunyai sifat yang hidrofobik (sulit menyerap air) dan akan mengambang apabila terkena air. Sedangkan sifat kimianya, gambut sangat tergantung pada jenis tumbuhan yang membentuk gambut, keadaan tanah dasarnya, pengaruh luar (seperti endapan sungai/banjir, endapan vulkanis) dan sebagainya (Budianta, 2003).

Wahyunto et al. (2005) menyatakan bahwa tanah gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi lahan rawa. Gambut pada kondisi rawa, dicirikan oleh kandungan lignin dan selulosa yang tinggi. Salah satu sifat gambut yang berperan dalam sistem hidrologi adalah kemampuan gambut menahan air hingga 300-800 % dari bobotnya. Selain kemampuan tersebut, gambut juga mempunyai kemampuan lepas air yang juga besar. Gambut Indonesia memiliki karbohidrat yang sangat rendah, dan sifatnya berbeda dengan gambut yang berada di daerah subtropis.

Gipsum

Gipsum adalah suatu mineral alam yang ditambang pertama kalinya pada tahun 1770 di daerah Montmart (bagian dari Paris) oleh karenanya gipsum dinamakan juga plaster of Paris. Bentuk murni gipsum adalah berupa kristal dan


(26)

berwarna putih (Soempeno, 1984). Menurut Memed et al. (1992), gipsum memiliki sifat paling umum yaitu mudah mengikat dan melepas air. Gipsum terdiri atas dua molekul hidrat dengan rumus kimia CaSO4.2H2O. Gipsum dalam

bentuk murni berupa kristal berwarna putih dan berwarna abu-abu, kuning, jingga atau hitam bila kurang murni. Selanjutnya Memed et al. (1992) menyebutkan bahwa dalam penggunaannya gipsum dapat digolongkan menjadi dua macam seperti dijelaskan berikut ini :

1. Gipsum yang belum mengalami proses kalsinasi, gipsum ini dipergunakan dalam pembuatan semen Portland dan sebagai pupuk. Jenis ini meliputi 28 % dari seluruh volume perdagangan.

2. Gipsum yang mengalami proses kalsinasi, sebagian besar gipsum ini digunakan sebagai bahan bangunan, plaster of Paris, bahan dasar untuk pembuatan kapur, badak, cetakan alat keramik, tuangan logam, gigi dan sebagainya. Jumlah tersebut meliputi 72 % dari seluruh volume perdagangan.

Gipsum yang dikenal dalam perdagangan adalah gips yang telah mengalami pemanasan yang akan menghasilkan hemyhidrat atau lebih dikenal dengan rumus CaSO4.1/2H2O (Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, 1981).

Gipsum berfungsi sebagai sumber mineral dan sebagai lapisan pelindung. Gipsum mempunyai waktu pengerasan yang relatif pendek yaitu sekitar 10 menit. Waktu pengerasan gipsum bervariasi tergantung pada kandungan bahan dan airnya (Purwadi, 1993).

Gipsum sebagai perekat mineral mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan dengan perekat organik lainnya karena tidak menimbulkan pencemaran udara, murah, tahan api, tahan deteriorasi oleh faktor biologis dan tahan terhadap zat kimia (Purwadi, 1993). Gipsum cepat mengeras, sehingga dalam pembuatan papan gipsum harus digunakan bahan kimia untuk memperlambat proses pengerasan tanpa mengubah sifat gipsum sebagai perekat atau pengikat.


(27)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2009 di Laboratorium Agromikrobiologi dan di rumah kaca Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT PUSPIPTEK Serpong, Tangerang.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Wilis yang dipanen pada bulan Maret 2009 yang diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah gambut, gipsum, molases, tapioka, spora CMA produksi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, media agar, 10 % KOH, larutan trypan blue, larutan lactogliserol, gentamycin, streptomycin, alkohol 70 %, membran sterilisasi spora, tanah, kompos, pasir steril, polibag, dan kertas label.

Alat-alat yang digunakan antara lain cawan petri, gelas beker, erlenmeyer, stirer, gelas ukur, pinset, bunsen, otoklaf, gunting, aluminium foil, laminar air flow, timbangan analitik, oven 105 0C, desikator, alat penyaring, alat pengaduk, tabung vacum, mikroskop stereo, mikroskop konfokal, inkubator, modifikasi drum granulator,alat tulis dan alat-alat penunjang lainnya.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah bahan perekat yang terdiri atas: kontrol (tanpa bahan perekat), tapioka 5 % (b/v), dan molases 90 % (v/v). Faktor kedua adalah bahan pelapis berupa campuran gambut dan gipsum yang terdiri atas beberapa perbandingan: 0:0; 0:100; 25:75; 50:50; 75:25; 100:0.

Kedua faktor perlakuan tersebut dikombinasikan sehingga dalam penelitian ini terdapat 3 x 6 x 3 = 18 kombinasi perlakuan, yang masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 54 satuan percobaan.


(28)

Penelitian ini terdiri atas percobaan pendahuluan yang meliputi penentuan konsentrasi bahan perekat, persiapan bahan perekat tapioka dan molases, persiapan bahan pelapis gambut dan gipsum, proses pelapisan benih. Percobaan dilanjutkan dengan pelaksanaan di lapangan yang meliputi persiapan media tanam tanah : kompos : pasir dengan perbandingan 1 : 1 : 1, penanaman benih yang telah terlapisi pada media tanam, pemeliharaan, dan pemanenan.

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian Percobaan Pendahuluan

Persiapan Bahan Perekat Tapioka dan Molases

Persiapan Bahan Pelapis Gambut dan Gipsum

Pelapisan Benih: Benih yang Telah Terlapisi Ditanam pada Media Tanam

(Tanah : Kompos : Pasir) Pelaksanaan di Lapangan

Persiapan Media Tanam

Penanaman

Pemeliharaan

Pemanenan

Penentuan Konsentrasi Bahan Perekat


(29)

Model linier dari rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk = + αi + βj + (αβ)ij + γk + εijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan perlakuan bahan perekat taraf ke-i, bahan pelapis ke-j

dan ulangan ke-k = rataan umum

αi = pengaruh perlakuan bahan perekat taraf ke-i

βj = pengaruh perlakuan bahan pelapis taraf ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan bahan perekat taraf ke-i dan pengaruh

perlakuan bahan pelapis taraf ke-j

γk = pengaruh ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)

εijk = pengaruh galat percobaan terhadap bahan perekat taraf ke-i, bahan pelapis taraf ke-j dan ulangan ke-k

Data yang diperoleh diuji dengan uji F dan apabila menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5 %.

Pelaksanaan Penelitian Percobaan pendahuluan

Kegiatan awal yang dilakukan sebelum pelapisan benih adalah menentukan konsentrasi bahan perekat tapioka dan molases yang optimal untuk digunakan selanjutnya sebagai bahan perekat. Bahan perekat optimal artinya, apabila penambahan tapioka lebih dari 5 % maka akan menyebabkan kekentalan, dan penggunaan molases kurang dari 90 % akan menyebabkan terlalu encer untuk pelapisan benih. Konsentrasi bahan perekat yang diuji dimulai dari konsentrasi tapioka 5 %, tapioka 10 %, molases 5 % hingga 100 % (b/v). Hasil pengujian menunjukkan, konsentrasi yang optimal yaitu konsentrasi tapioka 5 % (b/v) dan molases 90 % (v/v). Perbandingan benih : perekat : pelapis adalah 10 : 1 : 1. a. Persiapan bahan perekat

Bahan perekat yang digunakan adalah tapioka dengan konsentrasi 5 % (b/v) dan molases 90 % (v/v). Bahan perekat tersebut dimasukkan ke dalam gelas beker yang berisi air, kemudian dididihkan, dan didinginkan sebelum digunakan.


(30)

b. Persiapan bahan pelapis gambut dan gipsum

Bahan gambut yang digunakan adalah gambut dari Rawapening, karena tidak semua jenis gambut dapat digunakan sebagai bahan pelapis benih. Gambut ini mengandung hemiselulosa, selulosa, lignin, kutin, bitumens, dan asam humik. Gambut ini termasuk jenis gambut berserat yang subur dan kaya akan hara mineral dengan kisaran pH 6-7. Sebelum digunakan gambut digiling halus hingga lolos saringan 100 mesh. Bahan lain yang digunakan sebagai campuran untuk pelapis benih adalah gipsum. Gipsum yang digunakan berukuran 100 mesh yang terlebih dahulu disterilisasi dengan oven pada suhu 100 0C selama 2 jam. Gambut dan gipsum kemudian dicampur dalam ruang semi steril dengan perbandingan: 0:0; 0:100; 25:75; 50:50; 75:25; 100:0.

c. Pelapisan benih

Terlebih dahulu benih dicuci dengan air bersih, ditiriskan dan kemudian dikering-anginkan. Benih kemudian dilapisi dengan bahan perekat dalam modifikasi drum granulator karena benih yang digunakan jumlahnya sedikit. Inokulum CMA berupa spora yang diperoleh dari hasil produksi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dicampur dengan bahan perekat. Sebelum inokulum spora CMA dicampur dengan bahan perekat terlebih dahulu dilakukan perhitungan kerapatan jumlah spora CMA sehingga ditentukan 50 spora per satu butir benih.

Setelah bahan perekat terlapisi dengan baik pada benih, dengan segera benih dimasukkan ke dalam bahan pelapis gambut dan gipsum. Pencampuran ini juga dilakukan dalam modifikasi drum granulator (Gambar 3). Akhirnya, setelah benih terlapisi oleh bahan pelapis, benih segera dilapisi dengan bahan pelindung berupa gipsum sehingga terbentuk lapisan pelindung. Proses pelapisan dilakukan selama ± 5 menit dan dihentikan setelah permukaan butiran granul benih berwarna putih. Gambar 4 menunjukkan benih kedelai yang diberi perekat tetapi tanpa pelapis, sedangkan Gambar 5 benih diberi perekat dan pelapis. Kemudian butiran granul dikering-anginkan selama satu minggu. Benih yang telah terlapisi tersebut kemudian ditanam pada media tanam untuk melihat pertumbuhan tanaman.


(31)

Gambar 3. Drum Granulator yang Dimodifikasi

Gambar 4. Benih Kedelai yang Diberi Bahan Perekat Tanpa Pelapis

Gambar 5. Benih Kedelai yang Telah Diberi Bahan Perekat dan Pelapis

Keterangan :

S0G0 = benih tanpa bahan perekat dan tanpa pelapis gambut:gipsum (0:0)

S0G1 = benih tanpa bahan perekat dan dengan pelapis gambut:gipsum (0:100)

S1G0 = benih dengan bahan perekat tapioka 5 % dan tanpa pelapis gambut:gipsum (0:0)

S1G1 = benih dengan bahan perekat tapioka 5 % dan pelapis gambut:gipsum (0:100)

S2G0 = benih dengan bahan perekat molases 90 % dan tanpa pelapis gambut:gipsum (0:0)


(32)

Pelaksanaan di lapangan a. Persiapan media tanam

Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah podsolik merah kuning, kompos dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Tanah podsolik merah kuning digunakan sebagai gambaran tanah marginal yang miskin hara, namun pada penelitian ini tidak dilakukan pemupukan. Hal ini dilakukan agar pengaruh CMA lebih terlihat peranannya dalam meningkatkan penyerapan unsur hara. Sebelum media tanam digunakan terlebih dahulu diayak dengan ayakan berukuran 5 mm dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 0C selama 20 menit. Campuran media tanam tersebut kemudian dimasukkan ke dalam polibag berukuran 25 cm x 30 cm sebanyak 2.5 kg/polibag.

b. Penanaman

Sebelum media tanam digunakan terlebih dahulu disiram dengan air sampai kapasitas lapang dan diletakkan di dalam rumah kaca. Lubang tanam dibuat dengan cara tugal. Benih ditanam sebanyak dua butir benih per polibag pada kedalaman sekitar 7 cm. Setelah umur satu minggu setelah tanam, satu tanaman digunting, satu tanaman yang ditinggalkan adalah tanaman yang pertumbuhannya paling bagus sehingga memudahkan dalam pengamatan berikutnya. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali, tiap ulangan terdapat tiga polibag, masing-masing polibag ada satu tanaman sehingga terdapat sembilan tanaman tiap perlakuan. Polibag diletakkan di rumah kaca selama 2 minggu sebelum dipindahkan ke lapang. Jarak antar polibag 40 cm x 20 cm.

c. Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman pada sore hari yang dilakukan setiap hari, pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan cara mencabut langsung dan pengendalian hama belalang dilakukan dengan menangkap belalang secara manual.

d. Pemanenan

Panen pertama dilakukan pada umur 7 minggu setelah tanam (MST) untuk pengamatan bobot basah dan bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar. Panen kedua dilakukan pada umur 12 MST untuk pengamatan persentase infeksi akar dan jumlah spora.


(33)

Pengamatan

Pengamatan terhadap perkembangan tanaman dilakukan dengan mengamati parameter-parameter sebagai berikut:

1. Daya tumbuh (DT)

Pengamatan terhadap daya tumbuh benih dilakukan pada hari ke-7. Perhitungan dilakukan terhadap tanaman yang telah tumbuh normal. Jika ada satu tanaman saja yang tumbuh dalam satu polibag, maka dianggap tumbuh. Daya tumbuh dihitung dengan rumus :

DT (%) = ∑ benih yang tumbuh x 100 % ∑ benih yang ditanam

2. Tinggi tanaman

Tinggi tanaman diukur dari leher akar sampai titik tumbuh tanaman tertinggi. Pengamatan terhadap tinggi tanaman dilakukan setiap satu minggu sekali, mulai 2 MST sampai 10 MST.

3. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung dari daun yang telah membuka sampai daun terbawah, mulai 2 MST sampai 10 MST.

4. Bobot basah dan bobot kering tajuk, akar dan bintil akar

Bobot basah dan bobot kering tajuk, akar dan bintil akar ditetapkan dengan memisahkan bagian tajuk, akar, dan bintil akar. Kemudian tajuk, akar dan bintil akar dioven pada suhu 105 0C selama ± 24 jam. Bobot kering tajuk, akar dan bintil akar tersebut ditimbang secara terpisah. Bobot kering tajuk, akar dan bintil akar dihitung setelah tanaman berumur 7 MST.

5. Uji perkecambahan spora

Uji perkecambahan spora dilakukan berdasarkan modifikasi metode Azon-Aguiler. Sebagian benih yang sudah diberi perlakuan pelapisan CMA diamati viabilitas sporanya. Benih tersebut direndam dalam air untuk melepaskan spora


(34)

dari benih. Spora CMA disterilisasi dengan dua tahap yaitu (1) sterilisasi spora di dalam larutan chloramine-T 2 % dan Tween 20 selama dua menit, dan (2) sterilisasi spora di dalam larutan streptomycin (200 mg/L) dan gentamycin (100 ml/L) selama sepuluh menit. Setelah spora disterilisasi, spora ini diletakkan di atas media bacto agar dalam cawan petri. Kemudian cawan petri yang mengandung spora CMA diinkubasi dalam inkubator pada suhu 25 0C dalam keadaan gelap. Inkubasi dilakukan selama 16 hari. Pengamatan terhadap germinasi spora dilakukan selang 4 hari dan diukur panjang hifa yang tumbuh. Pengamatan untuk percobaan ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop konfokal yang dilengkapi dengan software NIS-Elements pada perbesaran 40X.

6. Persentase infeksi CMA

Perhitungan persentase infeksi CMA dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 0.1 g akar dari hasil panen dipotong kira-kira 1 cm dan dimasukkan ke dalam botol vial yang telah berisi larutan 10 % KOH untuk membersihkan inti akar yang mengandung lignin sehingga penetrasi zat warna lebih mudah. Kemudian dibiarkan selama 3 hari, dan larutan KOH dibuang. Setelah itu dibilas dengan air dan direndam dalam larutan 0.1 N HCl untuk menetralkan KOH selama 10 menit. Larutan HCl dibuang, ditambahkan larutan trypan blue yang digunakan untuk mewarnai bagian-bagian CMA (0.01 % dalam lactogliserol). Larutan trypan blue dibuang, kemudian dicuci akar dengan air dan direndam di dalam larutan lactogliserol (berfungsi untuk mengikat larutan trypan blue) untuk perhitungan infeksi di bawah mikroskop. Infeksi dihitung dengan metode Gridline intersect method (Giovannetti and Mouse, 1980).

Pada metode ini, setiap potongan akar yang mengenai gridline dihitung sebagai infeksi jika salah satu hifa atau gabungan dari struktur arbuskula dan vesikel ditemukan. Persen kolonisasi dan panjang akar dihitung sebagai berikut;

% kolonisasi ∑ infeksi

∑ interseksi x100 %

Kolonisasi (cm) = ∑ infeksi x Line Grid x 11/14. Panjang akar (cm) = ∑ total interseksi x Line Grid x 11/14, Line Grid adalah panjang satu sisi dari kotak grid.


(35)

7. Jumlah spora

Perhitungan jumlah spora dilakukan berdasarkan metode wet sieving dan teknik sentrifugase (Sylvia, 1998) yang dilakukan pada akhir penelitian dengan cara pengamatan pada sampel media tanam sebanyak 100 g untuk masing-masing perlakuan. Sampel media tanam dimasukkan ke dalam gelas beker 500 ml dan direndam dengan air selama 2 jam, kemudian diaduk, pasir dibiarkan mengendap, dan larutan tanah dituang ke dalam saringan (710-50 m). Hal tersebut dilakukan sampai air bersih. Hasil saringan terkecil dipindahkan ke dalam tabung sentrifugase 50 ml, ditambahkan air dan ditimbang. Selanjutnya, hasil saringan larutan tanah terkecil kemudian disentrifugase selama 5 menit pada kecepatan 5000 rpm untuk memisahkan tanah dari kotoran. Supernatan dibuang dan ditambahkan air kembali sampai setengah, ditambahkan larutan gula 75 % sampai penuh. Setelah itu, ditimbang dan disentrifugase kembali pada kecepatan 6000 rpm selama 20 detik. Spora dikumpulkan dengan menuangkan supernatan ke dalam saringan 50 m. Spora kemudian dicuci dengan air dan dituangkan ke dalam cawan petridan dihitung jumlah spora di bawah mikroskop (Lampiran 11). Total jumlah spora per pot dapat dihitung seperti berikut:

Total jumlah spora per pot = ∑ spora/100 g tanah x 2500 g tanah/100.

8. Komponen panen per tanaman pada 12 MST

Pengamatan jumlah polong, bobot basah dan bobot kering polong isi dan polong hampa per tanaman dilakukan pada saat panen. Panen dilakukan pada 12 MST. Panen dilakukan bila lebih dari 95 % polong kedelai sudah berwarna cokelat kekuningan dan jumlah daun tersisa pada tanaman hanya sekitar 5-10 % (Adisarwanto, 2007).


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penanaman dilakukan di rumah kaca selama 2 MST, selanjutnya tanaman kedelai dipindahkan ke luar rumah kaca karena tanaman kekurangan sinar matahari yang menyebabkan etiolasi pada kedelai. Setelah kedelai dipindahkan ke luar rumah kaca, maka tanaman kedelai ditempatkan di samping rumah kaca yang diberi penutup seperti paranet berwarna hijau agar melindungi tanaman dari serangan hama belalang. Selain itu, tanaman kedelai diberi ajir bambu agar tidak rebah. Hama penyakit yang mengganggu saat penelitian adalah hama belalang dan penyakit busuk batang, namun hanya menyerang beberapa tanaman. Tindakan pengendalian yang dilakukan adalah menangkap belalang secara manual dan mencabut tanaman yang terserang busuk batang.

Gambar 6. Tanaman Kedelai di Rumah Kaca

Berdasarkan hasil uji F menggunakan program olah data SAS 6.12 menunjukkan bahwa bahan perekat berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bintil akar, jumlah bintil akar, persentase infeksi CMA, jumlah spora CMA, dan panjang hifa hari ke-4 sampai hari ke-16. Bahan pelapis berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 2 MST, bobot kering bintil akar, jumlah spora CMA, dan panjang hifa hari ke-4. Interaksi bahan perekat dan bahan pelapis berpengaruh nyata pada peubah tinggi tanaman 2 MST dan 3 MST, jumlah


(37)

daun 2 MST, bobot kering bintil akar dan jumlah bintil akar. Secara rinci rekapitulasi sidik ragam ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis serta Interaksinya terhadap Beberapa Parameter Pengamatan Tanaman Kedelai

Peubah Bahan Perekat

(S)

Bahan Pelapis (G)

Interaksi S x G

Daya tumbuh 0.3960 tn 0.8014 tn 0.7814 tn

Tinggi tanaman

2 MST 0.4867 tn 0.0197 * 0.0055 **

3 MST 0.3517 tn 0.1013 tn 0.0441 *

4 MST 0.4644 tn 0.6523 tn 0.4613 tn

5 MST 0.5631 tn 0.9282 tn 0.3212 tn

6 MST 0.5232 tn 0.4378 tn 0.4507 tn

7 MST 0.3730 tn 0.5981 tn 0.4751 tn

8 MST 0.2908 tn 0.9854 tn 0.8121 tn

9 MST 0.9770 tn 0.9619 tn 0.9266 tn

10 MST 0.8696 tn 0.3003 tn 0.3701 tn

Jumlah daun

2 MST 0.3450 tn 0.0582 tn 0.0045 **

3 MST 0.4365 tn 0.2766 tn 0.7483 tn

4 MST 0.7328 tn 0.3661 tn 0.4691 tn

5 MST 0.9423 tn 0.4822 tn 0.2255 tn

6 MST 0.0973 tn 0.8050 tn 0.8280 tn

7 MST 0.6849 tn 0.6297 tn 0.2511 tn

8 MST 0.5001 tn 0.6366 tn 0.2222 tn

9 MST 0.1406 tn 0.0948 tn 0.1822 tn

10 MST 0.5340 tn 0.3120 tn 0.1007 tn

Bobot kering tajuk 0.0030 ** 0.0993 tn 0.1503 tn

Bobot kering akar 0.2535 tn# 0.8839 tn 0.7307 tn

Bobot kering bintil akar 0.0001 **# 0.0005 ** 0.0096 **

Jumlah bintil akar 0.0222 *# 0.0693 tn 0.0035 **

Persen infeksi CMA 0.0025 ** 0.2226 tn 0.1704 tn

Jumlah spora CMA 0.0024 ** 0.0052 ** 0.1238 tn

Uji perkecambahan spora

Panjang hifa hari ke-4 0.0260*+ 0.0245 * 0.1072 tn

Panjang hifa hari ke-8 0.0056 ** 0.3160 tn 0.3324 tn

Panjang hifa hari ke-12 0.0245 * 0.6737 tn 0.6389 tn

Panjang hifa hari ke-16 0.0155 * 0.5183 tn 0.5748 tn

Komponen hasil

Jumlah polong isi 0.2827 tn# 0.5725 tn 0.1009 tn

Jumlah polong hampa 0.0177 * 0.1620 tn 0.6574 tn

Bobot kering polong isi 0.7887 tn 0.6598 tn 0.5268 tn

Bobot kering polong hampa 0.4301 tn 0.1660 tn 0.4845 tn

Keterangan : * = berpengaruh nyata, **= berpengaruh sangat nyata, tn = tidak berpengaruh nyata, # = transformasi (x + 0.5), dan + = transformasi (x + 1)


(38)

Daya Tumbuh

Perlakuan bahan perekat dan bahan pelapis serta interaksinya terhadap daya tumbuh benih tidak berpengaruh nyata (Lampiran 1). Tabel 2 menunjukkan bahwa benih yang diberi bahan perekat maupun tanpa bahan perekat masih memiliki nilai daya tumbuh yang tinggi (92.6-98.1 %). Daya tumbuh tertinggi ditunjukkan oleh bahan pelapis gambut:gipsum dengan perbandingan 50:50 (b/v) (Tabel 3). Tingginya nilai daya tumbuh benih menunjukkan bahwa viabilitas benih belum mengalami penurunan.

Tabel 2. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Daya Tumbuh Benih Kedelai pada 1 MST

Bahan Perekat Daya Tumbuh (%)

Kontrol 92.6

Tapioka 5 % (b/v) 98.1

Molases 90 % (v/v) 96.3

Tabel 3. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Daya Tumbuh Benih Kedelai pada 1 MST

Bahan Pelapis Daya Tumbuh (%)

Gambut:gipsum (0:0) 92.6

Gambut:gipsum (0:100) 96.3

Gambut:gipsum (25:75) 96.3

Gambut:gipsum (50:50) 100.0

Gambut:gipsum (75:25) 92.6

Gambut:gipsum (100:0) 96.3

Tinggi Tanaman

Interaksi antara bahan perekat dengan bahan pelapis terhadap tinggi tanaman berpengaruh nyata pada 2 dan 3 MST (Lampiran 2). Kombinasi tanpa bahan perekat (kontrol) dengan bahan pelapis gambut:gipsum (0:100) menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi pada 2 MST dan tinggi tanaman terendah pada kombinasi tanpa bahan perekat dengan bahan pelapis gambut:gipsum (100:0) (Tabel 4). Pada 3 MST kombinasi bahan perekat tapioka 5


(39)

% dengan bahan pelapis gambut:gipsum (50:50) menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi, dan kombinasi tanpa bahan perekat dengan bahan pelapis gambut:gipsum (100:0) menghasilkan tinggi tanaman yang terendah (Tabel 5). Pengamatan tinggi tanaman pada minggu berikutnya (3-10 MST), menunjukkan bahwa perlakuan bahan pelapis tidak berpengaruh nyata.

Tabel 4. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada 2 MST

Bahan Perekat Bahan Pelapis

0:0 0:100 25:75 50:50 75:25 100:0

Kontrol 14.1 abc 15.6 a 13.8 abc 14.6 ab 11.6 bc 8.4 d

Tapioka 5 % 12.0 bc 14.1 abc 13.5 abc 14.2 abc 14.0 abc 12.7 abc

Molases 90 % 13.2 abc 13.3 abc 13.4 abc 11.6 bc 11.0 cd 13.8 abc

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Tabel 5. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada 3 MST

Bahan Perekat Bahan Pelapis

0:0 0:100 25:75 50:50 75:25 100:0

Kontrol 26.9 ab 26.4 ab 25.2 ab 26.2 ab 23.1 abc 20.7 c

Tapioka 5 % 23.0 bc 26.8 ab 25.6 ab 27.0 a 25.5 ab 25.3 ab

Molases 90 % 24.2 abc 24.9 ab 24.7 ab 24.8 ab 24.1 abc 25.4 ab

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Hal ini dapat dijelaskan karena sifat gipsum selain berfungsi sebagai bahan pelapis, gipsum juga dapat berfungsi sebagai bahan perekat. Purwadi (1993), menyatakan bahwa gipsum berfungsi sebagai lapisan pelindung dan sebagai perekat mineral yang mempunyai sifat lebih baik dibandingkan dengan perekat organik lainnya. Bahan pelapis gipsum tersebut menyebabkan spora CMA tetap dapat menempel pada benih. Keberadaan spora CMA dapat membantu tanaman dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara terutama hara fosfor. Hara fosfor berpengaruh terhadap aktivitas meristem pada ujung batang


(40)

(Darmawan dan Baharsjah, 1983). Dengan demikian apabila kadar P meningkat maka aktivitas meristem pada ujung batang pun meningkat sehingga batang bertambah tinggi. Selanjutnya Anas (1993), menambahkan bahwa CMA pada akar tanaman dapat menghasilkan sejumlah hormon pengatur tumbuh seperti giberelin dan sitokinin sehingga keberadaan CMA pada akar tanaman dapat berperan dalam proses pemanjangan batang.

Jumlah Daun

Jumlah daun pada setiap minggunya mengalami peningkatan, walaupun secara statistik tidak berpengaruh nyata, baik pada perlakuan bahan perekat tapioka 5 % maupun bahan perekat molases 90 % (Gambar 7). Begitu juga dengan perlakuan bahan pelapis, tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada semua perbandingan (0:0; 0:100; 25:75; 50:50; 75:25; 100:0 (Gambar 8).


(41)

Gambar 8. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Jumlah Daun

Interaksi antara bahan perekat dan bahan pelapis menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah daun pada 2 MST (Lampiran 3). Kombinasi tanpa bahan perekat (kontrol) dan bahan pelapis gambut:gipsum (100:0) menghasilkan jumlah daun terendah (Tabel 6). Ini menunjukkan bahwa tidak adanya bahan perekat dan bahan pelapis gipsum sebagai lapisan pelindung menyebabkan spora CMA tidak melekat pada benih kedelai. Penelitian Wicaksono et al. (2000) melaporkan bahwa jumlah daun tanaman kentang tidak meningkat pada perlakuan tanpa CMA. Peningkatan jumlah daun disebabkan karena adanya penambahan CMA sehingga dapat menyerap lebih banyak unsur hara makro (N, P, K, Ca, dan Mg), juga unsur mikro (Cu, Mn dan Zn) yang dibutuhkan tanaman sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, salah satunya ditandai dengan banyaknya jumlah daun yang dihasilkan.

Tabel 6. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap Jumlah Daun (helai) per Tanaman pada 2 MST

Bahan Perekat Bahan Pelapis

0:0 0:100 25:75 50:50 75:25 100:0

Kontrol 4.0 4.0 3.6 4.0 3.8 2.0 b

Tapioka 5 % 3.6 4.0 3.8 4.0 3.9 3.6 a

Molases 90 % 4.0 3.8 4.0 3.1 3.6 4.0 a

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %


(42)

Bobot Kering Tajuk dan Bobot Kering Akar 7 MST

Perlakuan bahan perekat menunjukkan pengaruh yang sangat nyata pada peubah bobot kering tajuk, tetapi perlakuan bahan pelapis serta interaksi antara bahan perekat dan bahan pelapis tidak terdapat pengaruh yang nyata terhadap bobot kering tajuk (Lampiran 4). Bahan perekat tapioka 5 % mampu meningkatkan bobot kering tajuk pada 7 MST (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa tapioka mempunyai kekuatan gel yang baik dan daya rekat tinggi sehingga inokulum CMA banyak yang menempel pada benih. Inokulum CMA mampu menghasilkan bobot tajuk lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diinokulasikan dengan CMA. Hal ini karena terjadinya peningkatan penyerapan unsur hara pada tanaman yang bermikoriza. Adanya bantuan hifa dari akar yang luas, akar dapat menyerap lebih banyak unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan organ vegetatifnya, terutama daun yang berfungsi dalam proses fotosintesis. Apabila proses fotosintesis berjalan dengan sempurna, maka pertumbuhan dan produksi tanaman juga akan baik. Seiring dengan itu bobot kering tajuk juga akan meningkat. Berdasarkan penelitian Vejsadova et al. (1992) infeksi CMA telah meningkatkan bobot kering tajuk tanaman kedelai 25 % lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman tanpa CMA. Bakhtiar et al. (2005) menyatakan bahwa inokulasi CMA meningkatkan bobot kering daun bibit tanaman kelapa sawit. Bobot kering daun pada media tanah : pasir : kompos (1: 5: 4) memberikan bobot kering daun tertinggi baik ketika diinokulasi dengan Gigaspora sp maupun oleh Glomus sp.

Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara bahan perekat dan bahan pelapis tidak terdapat pengaruh nyata terhadap bobot kering akar pada 7 MST (Lampiran 5). Perlakuan bahan perekat tapioka 5 % dan molases 90 % tidak berbeda nyata terhadap bobot kering akar pada 7 MST. Bobot kering akar tertinggi diperoleh pada perlakuan bahan perekat tapioka 5 % (1.02 g) (Tabel 7). Perlakuan bahan pelapis tidak berbeda nyata terhadap bobot kering akar tanaman. Ini menunjukkan bahwa perlakuan bahan pelapis pada semua perbandingan (0:0; 0:100; 25:75; 50:50; 75:25; 100:0) tidak meningkatkan bobot kering akar tanaman.


(43)

Tabel 7. Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap Bobot Kering Tajuk dan Bobot Kering Akar pada 7 MST

Perlakuan Bobot Kering Tajuk Bobot Kering Akar

---g---Bahan Perekat (b/v)

Kontrol 3.97 b 0.97 a

Tapioka 5 % 5.33 a 1.02 a

Molases 90 % 4.66 ab 0.95 a

Bahan Pelapis (b/v)

Gambut:gipsum (0:0) 4.87 1.01

Gambut:gipsum (0:100) 5.07 0.95

Gambut:gipsum (25:75) 4.84 1.00

Gambut:gipsum (50:50) 3.98 0.96

Gambut:gipsum (75:25) 4.01 0.97

Gambut:gipsum (100:0) 5.15 0.99

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Jumlah dan Bobot Kering Bintil Akar 7 MST

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara bahan perekat dan bahan pelapis berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah bintil akar (Lampiran 6)dan bobot kering bintil akar pada 7 MST (Lampiran 7). Kombinasi bahan perekat tapioka 5 % dan bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 menghasilkan jumlah bintil akar tertinggi (Tabel 8) dan bobot kering bintil akar tertinggi (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi bahan perekat tapioka 5 % dan bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 kompatibel terhadap inokulan CMA.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Bertham (2006), bahwa inokulan CMA spesies Acaulospora menghasilkan jumlah dan bobot kering bintil akar tertinggi. Varietas Pangrango dan Ceneng memiliki bobot kering bintil akar tertinggi. Glomus sp yang diinokulasikan pada varietas Ceneng menghasilkan bintil akar dengan bobot kering tertinggi. Menurut Setiawati et al. (2000), CMA pada tanaman legum memiliki peran yang khas. Tanaman legum membentuk bintil pada perakaran yang berperan sebagai mediator penambat


(44)

nitrogen dari udara. Penambatan nitrogen hanya berjalan jika terdapat fosfor dalam jumlah yang cukup pada perakaran tanaman polong. Hubungan saling menguntungkan antara bintil akar dan CMA dapat terjadi karena CMA menyumbang P untuk penambatan N, sedangkan bintil akar menyediakan N tersedia untuk pertumbuhan dan perkembangan CMA. Jika salah satu tidak ada maka proses penambatan N dan sekaligus penyerapan P akan terganggu.

Tabel 8. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap Jumlah Bintil Akar pada 7 MST

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Tabel 9. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap Bobot Kering Bintil Akar (g) pada 7 MST

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah bintil akar yang dihasilkan pada semua perlakuan jumlahnya sangat rendah (2.03-3.76). Hal ini disebabkan karena pengamatan bintil akar dilakukan pada 7 MST. Menurut Hidajat (1985), jumlah bintil akar mencapai maksimum pada akhir minggu keempat, dan pada minggu keenam atau ketujuh bintil akar mulai melapuk, kemudian setelah itu terjadi penurunan. Suhartiningsih (2003) melaporkan bahwa jumlah bintil akar yang diamati pada 6 MST menghasilkan 45 buah bintil akar

Bahan Perekat Bahan Pelapis

0:0 0:100 25:75 50:50 75:25 100:0

Kontrol 2.19 b 2.24 b 2.54 b 2.11 b 2.44 b 2.10 b

Tapioka 5 % 2.20 b 2.19 b 2.44 b 3.76 a 2.09 b 2.55 b

Molases 90 % 2.26 b 2.16 b 2.03 b 2.24 b 2.25 b 2.19 b

Bahan Perekat Bahan Pelapis

0:0 0:100 25:75 50:50 75:25 100:0

Kontrol 0.75 cd 0.75 cd 0.85cd 0.77 cd 0.74 d 0.74 d

Tapioka 5 % 0.98 bcd 0.78 cd 1.20 b 1.70 a 1.09 bcd 0.84 cd


(45)

pada benih yang diberi perlakuan matriconditioning dengan arang sekam plus inokulan Bradyrhizobium japonicum dan Azospirilum lipoferum pada suhu kamar, sedangkan benih yang dimatriconditioning dengan serbuk gergaji plus inokulan B. japonicum dan A. lipoferum pada suhu kamar menghasilkan 30 buah bintil akar.

Persentase Infeksi CMA

Perlakuan bahan perekat berpengaruh sangat nyata terhadap persentase infeksi mikoriza, sedangkan bahan pelapis tidak memberikan pengaruh nyata (Lampiran 8). Persentase infeksi mikoriza terbaik ditunjukkan oleh bahan perekat tapioka 5 % (Tabel 10). Interaksi antara bahan perekat dan bahan pelapis tidak berpengaruh nyata terhadap persentase infeksi mikoriza.

Tabel 10. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Persentase Infeksi Akar Kedelai 12 MST

Perlakuan Infeksi CMA (%)

Kontrol 52.6 b

Tapioka 5 % (b/v) 63.9 a

Molases 90 % (v/v) 62.8 a

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Dari hasil penelitian ini banyak ditemukan struktur CMA pada infeksi mikoriza yang terdiri atas hifa internal dan vesikula, sedangkan arbuskula tidak ditemukan (Gambar 9). Menurut Smith dan Read (1997), hifa internal berfungsi sebagai alat translokasi unsur hara, vesikula berfungsi sebagai tempat cadangan makanan terutama lipid, sedangkan arbuskula merupakan struktur infeksi yang sangat penting dalam simbiosis CMA, karena arbuskula berfungsi dalam proses transfer unsur hara antara kedua simbion.

Terjadinya asosiasi CMA pada kedelai yang mendapat perlakuan bahan perekat dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa kandungan bahan perekat tapioka 5 % memberikan tambahan energi bagi CMA. Komposisi kimia pati tapioka (per 100 gram bahan) adalah energi 307 kalori, kadar air 9.1 %, karbohidrat 88.2 %, protein 1.1 %, lemak 0.5 %, fosfor 125 mg, kalsium 84 mg,


(46)

dan besi 1 mg (Yengkokpam et al., 2007). Cendawan mikoriza arbuskula diduga tetap membutuhkan karbohidrat untuk meningkatkan infektivitasnya (kemampuan CMA untuk menginfeksi akar) pada tanaman kedelai.

Orlowska et al. (2005) menyatakan bahwa kolonisasi akar merupakan ukuran kompatibilitas isolat CMA dengan tanaman. Kompatibilitas isolat tercermin dari naiknya komponen pertumbuhan dan hasil tanaman. Selanjutnya, Karepesina (2007) melaporkan bahwa pengaruh inokulum tanah CMA dari bawah tegakan jati Ambon dapat meningkatkan persen infeksi akar terbaik, yaitu pada semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah CMA yang berasal dari Banda 4 dan Salahutu 1 dengan peningkatan sebesar 89.7 % dan 89.3 % terhadap kontrol.

Gambar 9. Infeksi CMA pada Akar Kedelai 12 MST (a = akar yang tidak terinfeksi, b = hifa internal, c = vesikula; perbesaran 40x)

Jumlah Spora CMA

Bahan perekat dan bahan pelapis berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah spora CMA. Interaksi antara bahan perekat dan bahan pelapis menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap jumlah spora CMA (Lampiran 9). Bahan perekat tapioka 5 % (68.9) dan molases 90 % (64.6) dapat meningkatkan jumlah spora yang lebih banyak dibandingkan kontrol (52.2) (Tabel 11). Hal ini diduga karena inokulum CMA dapat menempel pada benih baik pada

b c


(47)

bahan perekat tapioka 5 % maupun molases 90 %. Bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 memiliki jumlah spora CMA lebih tinggi (79.9) dibandingkan kontrol maupun bahan pelapis lainnya (54.7-63.0). Bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 nyata meningkatkan jumlah spora inokulum CMA (Tabel 12). Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan Karepesina (2007) bahwa setelah trapping dengan menggunakan inang Sorghum vulgare menunjukkan bahwa jumlah spora CMA yang diperoleh berkisar antara 32-54 spora per 50 g tanah untuk lokasi Banda dan 20-40 spora per 50 g tanah untuk lokasi Salahutu.

Tabel 11. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Jumlah Spora CMA pada 12 MST

Perlakuan Jumlah Spora CMA

Kontrol 52.2 b

Tapioka 5 % (b/v) 68.9 a

Molases 90 % (v/v) 64.6 a

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Tabel 12. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Jumlah Spora CMA pada 12 MST

Bahan Pelapis Jumlah Spora CMA

Gambut:gipsum (0:0) 54.7 b

Gambut:gipsum (0:100) 63.0 b

Gambut:gipsum (25:75) 58.4 b

Gambut:gipsum (50:50) 79.9 a

Gambut:gipsum (75:25) 58.0 b

Gambut:gipsum (100:0) 57.4 b

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Uji Perkecambahan Spora

Uji perkecambahan spora dilakukan dengan mengukur panjang hifa spora CMA. Perlakuan bahan perekat menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peubah panjang hifa spora CMA. Akan tetapi, perlakuan bahan pelapis tidak


(48)

berpengaruh nyata terhadap panjang hifa, kecuali bahan pelapis gambut:gipsum (0:100) pada pengamatan hari ke-4 berpengaruh nyata terhadap panjang hifa spora CMA (Tabel 13). Pada perlakuan tanpa bahan perekat (kontrol), ada kecenderungan peningkatan panjang hifa pada setiap hari pengamatan (hari ke-4 - 16), yaitu 2.29 – 2.35 m. Perlakuan bahan pelapis gambut:gipsum (0:100) pada pengamatan hari ke-4 menunjukkan panjang hifa tertinggi (2.37 m) dibandingkan dengan bahan pelapis lainnya (2.14-2.27 m). Interaksi perlakuan bahan perekat dan bahan pelapis memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap panjang hifa.

Hasil pengamatan terhadap panjang hifa menunjukkan bahwa perlakuan tanpa bahan perekat (kontrol) dapat meningkatkan pertumbuhan hifa spora CMA. Adanya perlakuan bahan perekat tapioka 5 % maupun molases 90 % menyebabkan kontaminasi pada media pertumbuhan atau media agar untuk perkecambahan spora CMA. Selain itu, bahan perekat tapioka 5 % maupun molases 90 % menutupi hifa yang tumbuh dari spora CMA sehingga menghambat pengukuran panjang hifa pada saat pengamatan.

Tabel 13. Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap Panjang Hifa Spora CMA

Perlakuan Panjang Hifa (hari)

4 8 12 16

……… m……… Bahan Perekat (b/v)

Kontrol 2.29 a 2.31 a 2.32 a 2.35 a

Tapioka 5 % 2.16 b 2.13 b 2.15 b 2.17 b

Molases 90 % 2.25 ab 2.26 a 2.30 a 2.29 a

Bahan Pelapis (b/v)

Gambut:gipsum (0:0) 2.15 b 2.18 2.20 2.21

Gambut:gipsum (0:100) 2.37 a 2.32 2.33 2.34

Gambut:gipsum (25:75) 2.14 b 2.16 2.22 2.21

Gambut:gipsum (50:50) 2.21 b 2.21 2.23 2.30

Gambut:gipsum (75:25) 2.27 b 2.28 2.25 2.26

Gambut:gipsum (100:0) 2.26 b 2.27 2.28 2.31

Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %


(1)

PELAPIS UNTUK PELAPISAN BENIH KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) DENGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA

Nama : SITI KHODIJAH

NIM : A24051110

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag. Sc NIP : 19590225 198203 2 001 NIP : 19660826 199203 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Agr NIP : 19611101 198703 1 003


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara pasangan Bapak Gopalit Gurukinayan dan Ibu Aman Kembaren yang dilahirkan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada tanggal 25 Desember 1985. Penulis menempuh jenjang pendidikan dasar di SD Negeri 048 Suka Ramai, Kabupaten Kampar Riau pada tahun 1998. Pada tahun 2002 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Budi Murni Lau Baleng Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penulis menamatkan pendidikan menengah umumnya di SMU Negeri 1 Tualang Kabupaten Siak, Riau pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) Kabupaten Siak, Riau, dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

Selama masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor penulis adalah penerima Beasiswa Utusan Daerah dari Kabupaten Siak. Tahun 2008, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Dasar-dasar Ilmu dan Teknologi Benih pada tahun 2008/2009. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan judul “Evaluasi Efektivitas Bahan Perekat dan Pelapis untuk Pelapisan Benih Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula”, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS dan Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag. Sc.


(3)

Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Evaluasi Efektivitas Bahan Perekat dan Pelapis untuk Pelapisan Benih Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS selaku pembimbing skripsi pertama yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tugas akhir penulis.

2. Dra. Yenni Bakhtiar, M.Ag. Sc selaku pembimbing skripsi kedua yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tugas akhir penulis.

3. Dr. Ir. Memen Surachman, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji, terima kasih atas saran dan masukan yang diberikan.

4. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro, M. Agr. sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama studi di IPB.

5. Dr. Bambang Marwoto, Apt, M.Eng sebagai kepala Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong Tangerang, yang telah memberi izin dan tempat bagi penulis untuk melaksanakan penelitian.

6. Farida RM, Ph.D dan para personil Laboratorium Agromikrobiologi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, pak Wahid, pak Firman, pak Asep, pak Mahmud, terima kasih atas fasilitas dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan penelitian.

7. Bapak, ibu, dan seluruh keluarga atas doa, cinta, motivasi dan kasih sayang yang selalu tercurah untuk penulis.


(4)

8. Penulis menyampaikan terima kasih kepada H. Arwin, SH sebagai Bupati Kabupaten Siak Sri Indrapura dan jajarannya, atas pemberian beasiswa yang diberikan kapada penulis selama perkuliahan di IPB.

9. Teman-teman pringgoners (Neneng, Supatmi, Nani, Helni, Novia, Santi, Dyah, Putri, Vivi, Dede, Didin, Dibo) atas segala dukungan dan kebersamaannya.

10.Warno, Shandra, Ratih, Yunus, dan para asisten Dastekben 2008/2009 serta teman-teman AGH’42 atas kebersamaan yang tak terlupakan.

11.Teman seperjuangan Anita Nurjanah selama penelitian di Serpong, terima kasih atas semua bantuan yang diberikan.

Semoga hasil penelitian ini berguna bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Desember 2009 Penulis


(5)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Botani Tanaman Kedelai ... 4

Invigorasi Benih Kedelai... 5

Cendawan Mikoriza Arbuskula... 6

Pelapisan Benih (Seed Coating) ... 9

Tapioka ... 10

Molases ... 11

Gambut ... 12

Gipsum ... 13

BAHAN DAN METODE ... 15

Waktu dan Tempat ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian... 15

Pelaksanaan Penelitian ... 17

Pengamatan ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Hasil ... 24

Pembahasan ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40

Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(6)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis serta Interaksinya terhadap Beberapa

Parameter Tanaman Kedelai ... 25

2. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Daya Tumbuh Kedelai

pada 1 MST ... 26

3. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Daya Tumbuh Kedelai

pada 1 MST ... 26

4. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Tinggi Tanaman pada 2 MST ... 27

5. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Tinggi Tanaman pada 3 MST ... 27

6. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Jumlah Daun per Tanaman pada 2 MST ... 29

7. Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Bobot Kering Tajuk dan Bobot Kering Akar pada 7 MST ... 31

8. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Jumlah Bintil Akar pada 7 MST ... 32

9. Pengaruh Interaksi Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Bobot Kering Bintil Akar pada 7 MST ... 32

10. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Persentase Infeksi Akar

Kedelai pada 12 MST ... 33

11. Pengaruh Bahan Perekat terhadap Jumlah Spora CMA

pada 12 MST ... 35

12. Pengaruh Bahan Pelapis terhadap Jumlah Spora CMA

pada 12 MST ... 35

13. Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap

Panjang Hifa Spora CMA ... 36

14. Pengaruh Bahan Perekat dan Bahan Pelapis terhadap