Uji Kepanggahan
2. Kurva Massa Ganda ( Double Mass Curve )
Analisis kurva massa ganda sama halnya dengan analisis regresi. Analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.
Koefisien Determinasi (R 2 ) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai
2 R 2 adalah antara 0 dan 1. Nilai R yang kecil berarti kemampuan variabel- variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat
terbatas. Nilai R 2 yang mendekati 1 berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variasi variabel dependen.
Gambar 14. Kurva Hubungan Antara Stasiun Bojongmanik dengan 5 Stasiun lain
Sumber: Analisis Penulis
Hubungan Stasiun Bojongmanik dengan 5 stasiun lainnya memiliki nilai R 2 = 0,9962. Ini berarti 5 stasiun lain sangat mendukung dalam
analisis di Stasiun Bojongmanik. Begitu pula dengan 5 stasiun lainnya, masing-masing memiliki nilai R 2 diatas 0,99, yang di lampirkan pada
lampiran 5.
Uji kepanggahan data yang dilakukan dengan perhitungan korelasi dan kurva massa ganda yang telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa 6 stasiun hujan yang ada di DAS Ciujung yang diantaranya adalah Bojongmanik, Pamarayan, Pipitan, Cibeureum, Pasir Ona, dan Sampang Peundeuy dapat digunakan dalam analisis kekeringan dengan menggunakan Theory of Run .
C. Analisis Kekeringan dengan Theory of Run Kekeringan adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal yang terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih yang akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan air yang dicanangkan.
1. Indeks Kekeringan
Indeks kekeringan (durasi kekeringan dan jumlah kekeringan) yang dihasilkan dapat diterapkan dalam:
a) Perencanaan bangunan air seperti menentukan kapasitas tampungan waduk;
b) Pengoperasian bangunan air seperti operasi bangunan irigasi di musim kemarau;
c) Penanggulangan dan pengurangan dampak kekeringan, meliputi penyusunan strategi yang bersifat reaktif dan proaktif.
Tingkat keparahan kekeringan yang dinyatakan oleh suatu nilai tunggal dari durasi kekeringan (dalam bulan) dan jumlah kekeringan (dalam mm). Untuk menggambarkan besarnya tingkat keparahan kekeringan digunakan periode ulang dalam satuan tahun.
Kandungan keparahan kekeringan dalam suatu seri data hujan mengindikasikan kekeringan yang terkandung dalam seri data debit. Pada Kandungan keparahan kekeringan dalam suatu seri data hujan mengindikasikan kekeringan yang terkandung dalam seri data debit. Pada
2. Data Hujan Bulanan Hasil Pengamatan
Data hujan yang digunakan untuk perhitungan indeks kekeringan adalah data hujan bulanan dengan panjang 17 tahun untuk masing-masing stasiun hujan. Perhitungan parameter statistik hujan bulanan pada 6 stasiun hujan meliputi nilai Mean, Standar Deviasi, Skewness, dan Kurtosis. Perhitungan nilai Mean, Standar Deviasi, Skewness, dan Kurtosis hujan bulan Januari di Stasiun Bojongmanik seperti dibawah ini dan ditabulasi pada Tabel 7.
Tabel 7. Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (mm)
OKT NOP DES Total
95 90 157 218 286 2403 20 St. Dev
Sumber: Analisis Penulis
Berikut contoh perhitungan Standar Deviasi, Skewness dan Kurtosis bulan Januari di Stasiun Bojongmanik.
a) Standar Deviasi
n∑x 2 2 -( ∑ x
√ i=1
i=1 i
n (n-1) 17 . 3139037-46312380
17 (17-1)
b) Skewness n ∑ xi−X
Cs = n−1 n− s
(17-1) (17-2) 161 3
c) Kortosis
n (n-1) 2 4 ∑ xi-X 3 (n-1)
Ck = [
s 4 ]-[ n-2 (n-3) ]
n-1 n-2 (n-3)
17 (17-1) 2 42660834993 3 (17-1)
161 4 ]-[ 17-2 (17-3) ]
17-1 17-2 (17-3)
3. Nilai Surplus dan Defisit dari Run
Nilai surplus dan defisit diperoleh dengan mengurangkan data asli tiap-tiap bulanan setiap tahunnya dengan rata-rata dari seluruh data pada Nilai surplus dan defisit diperoleh dengan mengurangkan data asli tiap-tiap bulanan setiap tahunnya dengan rata-rata dari seluruh data pada
Bulan Januari
D (t,m) = X (t,m) – Y (m) = 299 – 400 = -101 ( defisit ) Bulan Februari
D (t,m) = X (t,m) – Y (m) = 221 – 286 = -65 ( defisit ) Bulan Maret
D (t,m) = X (t,m) – Y (m) = 294 – 244 = 50 ( surplus )
Tabel 8. Nilai Surplus dan Defisit Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (mm)
No Thn Bln
SEP OKT NOP DES 1 1998
38 -26 -43 -184 4 2001
60 20 72 7 105 -105 -143 -34 5 2002
-75 -145 -138 -136 6 2003
-58 -95 -154 -213 7 2004
129 -37 33 -15 9 2006
-84 -63 -113 -128 10 2007
85 -17 214 104 -26 12 2009
-37 -42 442 -104 13 2010
-38 -4 157 -102 16 2013
Sumber: Analisis Penulis
Grafik Hujan Surplus dan Defisit Stasiun Bojongmanik
Waktu (Bulan)
Hujan Bulanan
Hujan Rata-Rata Bulanan
Gambar 15. Hujan Bulanan dan Hujan Rata-Rata Bulanan di Stasiun Bojongmanik
Sumber: Analisis Penulis
Grafik di atas merupakan grafik keadaan surplus dan defisit di stasiun Bojongmanik. Terlihat di bulan Januari dan bulan Februari tinggi hujan bulanan, yaitu 299 mm dan 221 mm terletak di bawah hujan rata-rata bulanan yang memiliki nilai 400 mm dan 286 mm, ini artinya pada bulan Januari dan bulan Februari terjadi defisit secara berurutan. Pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei tinggi hujan bulanan, yaitu 294 mm, 365 mm, dan 323 mm di atas hujan rata-rata bulanan yang memiliki nilai 244 mm, 180mm, dan 181 mm, yang berarti nilai hujan yang terjadi surplus. Pada bulan Juni dan September tinggi hujan bulanan kembali berada di bawah hujan rata-rata bulanan, yaitu 42 mm dan 63 mm, namun nilai defisitnya tidak terlalu besar. Bila dikumulatifkan, ada 4 bulan yang tinggi hujannya di bawah rata-rata. Nilai inilah yang menjadi durasi kurangnya hujan selama
1 tahun pada tahun 1998 di stasiun Bojongmanik. Pada grafik 1 lampiran 6 halaman 5 menggambarkan keadaan surplus dan defisit sepanjang 17 tahun di Stasiun Bojongmanik yang memperlihatkan durasi kekeringan tiap tahunnya dan durasi maksimum pada tahun tersebut.
4. Durasi Kekeringan
Perhitungan durasi kekeringan, menggunakan Persamaan (3). Bila perhitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai nol (0) dan negatif diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif yang berurutan, maka jumlahkan nilai satu (1) tersebut sampai dipisahkan kembali oleh nilai nol (0), untuk kemudian menghitung dari awal lagi. Langkah ini dilakukan dari data tahun pertama berurutan sampai data tahun terakhir. Perhitungan nilai durasi kekeringan hujan bulanan pada stasiun Bojongmanik tahun 1998 seperti di bawah ini dan di tabulasikan pada Tabel 9.
Bulan Januari Karena nilai Run adalah -101 yang berarti defisit maka diberi nilai 1
Bulan Februari Karena nilai Run adalah -65 yang berarti defisit dan berurutan dengan
bulan Januari, maka diberi nilai 2
Bulan Maret
Karena nilai Run adalah 50 yang berarti surplus maka diberi nilai 0
Tabel 9. Durasi Kekeringan Kumulatif Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (bulan)
No Thn Bln
SEP OKT NOP DES 1 1998
Sumber: Analisis Penulis
Setelah dihitung dan diberi nilai 1 (satu) atau 0 (nol) maka didapatkan durasi terpanjang disetiap tahunnya dimana durasi terpanjang tersebut digunakan untuk perhitungan nilai maksimum durasi kekeringan selama kurun waktu T. Diperlihatkan pada pertengahan tahun 2002 sampai awal tahun 2004 secara berurutan terjadi defisit hujan, yang artinya durasi hujan maksimum di Stasiun Bojongmanik adalah 21 bulan.
Nilai maksimum durasi kekeringan selama kurun waktu T (2 tahun,
5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun) dihitung berdasarkan periode waktu (bulanan) untuk masing-masing tahun selama 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun kemudian dirata-ratakan, dan menghasilkan durasi kekeringan untuk tiap periode tersebut. Hasilnya ditabulasikan pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Durasi Kekeringan Terpanjang Stasiun Bojongmanik (bulan) No
Thn Bln
T.15 th T.20 th 1 1998
T.10 th
Sumber: Analisis Penulis
Pada periode ulang 10 tahun dan 15 tahun didapatkan hasil periode ulang 10 tahun, yaitu 13 bulan, lebih besar dari periode ulang 15 tahun yang hasilnya 12 bulan. Pada umumnya periode ulang yang lebih besar menghasilkan nilai yang lebih besar juga. Untuk kasus ini dikarenakan panjang data yang dimiliki 17 tahun sehingga data yang di rata-ratakan untuk mengetahui periode ulangnya kurang dan menghasilkan data yang ditabulasikan pada Tabel 10.
5. Jumlah Kekeringan Kumulatif
Menghitung jumlah defisit atau jumlah kekeringan hampir sama dengan cara menghitung nilai durasi kekeringan. Jika durasi kekeringan berurutan dan lebih dari satu maka pada bulan selanjutnya merupakan nilai kumulatifnya, demikian pula halnya dengan jumlah kekeringan. Jumlah defisit nya yang akan dikumulatifkan.
Bila perhitungan pada Tabel 8 yang dihasilkan adalah positif diberi nilai nol (0) dan negatif diberi nilai sebesar nilai yang ada bila terjadi negatif Bila perhitungan pada Tabel 8 yang dihasilkan adalah positif diberi nilai nol (0) dan negatif diberi nilai sebesar nilai yang ada bila terjadi negatif
Bulan Januari Nilai Run adalah -101 yang berarti defisit maka nilainya tetap karena bulan pertama
Bulan Februari Nilai Run adalah -65 yang berarti defisit maka diberi nilai -65+(-101) = -166
Bulan Maret Nilai Run adalah 50 yang berarti surplus maka diberi nilai 0
Tabel 11. Jumlah Kekeringan Kumulatif Hujan Bulanan Stasiun Bojongmanik (mm)
No Thn Bln JAN
SEP OKT NOP DES 1 1998
0 -26 -69 -254 4 2001
0 0 0 0 0 -105 -248 -283 5 2002
-502 -647 -785 -921
- - - - 6 2003
0 -37 0 -15 9 2006
-358 -421 -534 -662 10 2007
0 -17 0 0 -26 12 2009
-268 -310 0 -104 13 2010
-269 -273 0 -102 16 2013
0 -15 -50 -122
Sumber: Analisis Penulis
Setelah dihitung nilai kekeringan kumulatif maka didapatkan kekeringan kumulatif terbesar disetiap tahunnya dimana nilai kekeringan Setelah dihitung nilai kekeringan kumulatif maka didapatkan kekeringan kumulatif terbesar disetiap tahunnya dimana nilai kekeringan
Nilai maksimum jumlah kekeringan selama kurun waktu T (2 tahun,
5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun) dihitung berdasarkan periode waktu (bulanan) untuk masing-masing tahun selama 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun kemudian dirata-ratakan, dan menghasilkan jumlah kekeringan untuk tiap periode tersebut. Hasilnya ditabulasikan pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Jumlah Kekeringan Terpanjang Stasiun Bojongmanik (mm)
No Tahun
T.10 th T.15 th T.20 th 1 1998
Sumber: Analisis Penulis
Pada periode ulang 10 tahun dan 15 tahun didapatkan hasil periode ulang 10 tahun, 1000 mm, lebih besar dari periode ulang 15 tahun yang hasilnya 848 mm. Pada umumnya periode ulang yang lebih besar menghasilkan nilai yang lebih besar juga. Untuk kasus ini dikarenakan panjang data yang dimiliki 17 tahun sehingga data yang di rata-ratakan Pada periode ulang 10 tahun dan 15 tahun didapatkan hasil periode ulang 10 tahun, 1000 mm, lebih besar dari periode ulang 15 tahun yang hasilnya 848 mm. Pada umumnya periode ulang yang lebih besar menghasilkan nilai yang lebih besar juga. Untuk kasus ini dikarenakan panjang data yang dimiliki 17 tahun sehingga data yang di rata-ratakan
6. Klasifikasi Tingkat Kekeringan
Untuk mengklasifikasi tingkat kekeringan yang terjadi di setiap stasiun dihitung dari jumlah curah hujan bulanan dibandingkan dengan jumlah curah hujan normal. Curah hujan normal adalah nilai rata-rata hujan suatu bulan diseluruh tahun pengamatan. Perhitungan klasifikasi tingkat kekeringan pada stasiun Bojongmanik pada bulan Januari tahun 1998, 1999, dan 2000 seperti di bawah ini dan ditabulasikan pada Lampiran 6 halaman
31 dan 34. Bulan Januari 1998
P bulanan
% Kekeringan
P rata-rata x 100% 299
400 x 100%`
Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa hujan yang terjadi di bulan Januari 75% dibawah hujan normal yang berarti masuk ke dalam klasifikasi “Kering”.
Bulan Januari 1999
P bulanan
% Kekeringan
P rata-rata x 100% 352
400 x 100%`
Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa hujan yang terjadi di bulan Januari 88% dibawah hujan normal yang berarti masuk ke dalam klasifikasi “Normal”.
Bulan Januari 2000
P bulanan
% Kekeringan
P rata-rata x 100% 321
400 x 100%`
= 80 % Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa hujan yang terjadi di bulan Januari 80% dibawah hujan normal yang berarti masuk ke dalam klasifikasi “Kering”.
Kesimpulan yang didapat dari perhitungan klasifikasi tingkat kekeringan bulan Januari di seluruh tahun pengamatan stasiun Bojongmanik seperti di perlihatkan pada Tabel 13 dibawah ini. Tabel 13. Klasifikasi Tingkat Kekeringan Bulan Januari Stasiun Bojongmanik
Tingkat Kekeringan
Tinggi Curah Hujan (mm) Durasi (tahun)
Sangat Kering
P = 200 - 279
Amat Sangat Kering
P = < 200
Sumber: Analisis Penulis (Data Lampiran 6, Halaman 31, Tabel 55)
Klasifikasi tingkat kekeringan hujan di atas dapat ditabelkan yang hasilnya memperlihatkan pola hujan yang terjadi disetiap stasiun hujan. Tabel 14 dibawah ini memperlihatkan tingkat klasifikasi di stasiun Bojongmanik yang hasilnya sebagai berikut, basah terjadi 45%, normal 6,4%, kering 13%, sangat kering 13%, dan amat sangat kering 23%.
Tabel 14. Klasifikasi Tingkat Kekeringan Stasiun Bojongmanik
No Thn Bln
B N K SK ASK 1 1998
B B B 8 - 3 - 1 2 1999
KK
B B B ASK
B B B B B 7 2 3 - - 3 2000
2 - - 2 8 6 2003
- 1 - - 11 7 2004
B 8 2 2 - - 8 2005
B B B 9 - - 1 2 11 2008
B 6 - 2 3 1 14 2011
B 8 - 2 1 1 15 2012
B B 10 - - 1 1 17 2014
Persentasi Tingkat Kekeringan (%)
Sumber: Analisis Penulis
Tabel 15. Rekapitulasi Klasifikasi Persentasi Tingkat Kekeringan DAS Ciujung (%)
No Stasiun
5 Pasir Ona
42,6
8,3 16,7 15,2 17,2
6 Sampang Peundeuy 41,1 14,2 12,2 14,7 17,6
Sumber: Analisis Penulis (Data Lampiran 6, Halaman 34-35, Tabel 61-66)
Keterangan:
B : Basah
N : Normal K : Kering SK : Sangat kering ASK : Amat sangat kering
Gambar 16. Pemetaan Hasil Rekapitulasi Klasifikasi Persentasi Tingkat Kekeringan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung Skala 1:333.333
Sumber: Analisis Penulis