Penetapan Status Tersangka Sebagai Alasan Pengajuan Praperadilan Berdasarkan KUHAP Dan Peraturan MK
C. Penetapan Status Tersangka Sebagai Alasan Pengajuan Praperadilan Berdasarkan KUHAP Dan Peraturan MK
Undang-undang merupakan dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum, apabila kurang sesuai dengan dasar falsafah
54 Lihat Dalam Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
55 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm 19-20. 56 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit., hlm. 95.
negara dan pandangan hidup bangsa, maka sudah tentu penegakan hukum tidak akan mencapai sasarannya. KUHAP yang pada awalnya terbentuk dikatakan sebagai karya agung bangsa indonesia telah mengatur hak-hak tersangka. Hak-hak tersebut antara lain hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim, serta hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada saat pemeriksaan, dalam Pasal 52 KUHAP secara jelas disebutkan.
Para pembentuk KUHAP menyadari bahwa keterangan yang diperoleh secara paksa merupakan penyimpangan yang harus dihindari dan mempunyai konsekuensi hukum tertentu. Oleh karena itu pada penjelasan Pasal 52 KUHAP menyebutkan bahwa memperoleh hasil yang tidak menyimpang dari yang sebenarnya, maka pemeriksaan tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut karena itu harus dicegah adanya tekanan atau paksaan terhadap tersangka atau terdakwa.
Ketentuan pada Pasal 52 KUHAP akan lebih sempurna bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 117 KUHAP yang secara tegas menyatakan bahwa keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Guna menjamin pelaksanaan Pasal 52 dan Pasal 117 KUHAP, keberadaan Pasal 54 KUHAP tidak dapat diabaikan. Pasal
54 KUHAP menjelaskan kehadiran penasehat hukum dalam mendampingi tersangka merupakan sesuatu yang bersifat imperatif, yang berarti tidak dapat 54 KUHAP menjelaskan kehadiran penasehat hukum dalam mendampingi tersangka merupakan sesuatu yang bersifat imperatif, yang berarti tidak dapat
Polisi sebagai “pintu gerbang” dari sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) dalam memperoleh keterangan seringkali melakukan
penyimpangan-penyimpangan. Aturan hukum yang ada diabaikan dan dianggap sebagai batu krikil yang menghalangi proses pemeriksaan. Dalam prakteknya, tersangka tidak mempunyai kebebasan dalam memberikan keterangan dan juga tidak selalu dihadirkan penasehat hukum dalam setiap pemeriksaan. Kehadiran penasehat hukum dianggap sebagai penghalang yang akan mempersulit proses penyidikan. 58
Dinegara ini, bukti yang diperoleh kepolisian sebagai penyidik memang jarang dipermasalahkan. KUHAP sendiri lebih menitik beratkan pada prosedur semata-mata dan tidak juga mempertimbangkan masalah bagaimana implementasi prosedur itu sendiri. Hal ini berbeda dengan hukum acara pidana di negara-negara yang menganut common law system , dimana prinsip due process of law dipegang teguh. Dalam sistem hukum acara pidana due process of law secara teguh, dimana yang dipertimbangkan dalam masalah pembuktian adalah bagaimana cara kepolisian memperoleh bukti-bukti yang relevan dengan suatu kasus yang tengah
dihadapi dan bukan perolehan bukti-buktian saja. 59 Mengingat bahwa demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan
adanya pengurangan-pengurangan dari hak asasi tersangka, namun bagaimanapun
57 Made Darma Weda, “Kronik Dalam Penegakan Hukum Pidana”, (Jakarta: Candi Mas, 1999), hlm. 22.
58 Ibid., hlm. 23. 59 Ibid., hlm. 24.
hendaknya selalu berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur didalam undang- undang. Maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak
tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan praperadilan. 60 Pasal 1 butir 10 KUHAP menyebutkan praperadilan adalah wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang yakni:
a. Sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya yang tidak diajukan ke pengadila
Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan 61
60 Loebby Loqman, Op.Cit., hlm. 90. 61 Lihat Dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana.
Dari ketentuan Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP tersebut diatas, jelas bahwa dalam Praperadilan ini, pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa tentang apakah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah atau tidak, memeriksa dan atau memutuskan tentang perkara tuntutan ganti kerugian.
Hakim sebagaimana yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal ini pengadilan wajib untuk mengadili dan
memeriksa hal tersebut yang membuat hakim harus menerimanya. 62 Sehingga penulis simpulkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang KUHAP, perihal sah tidaknya penetapan status tersangka tidak diatur didalamnya.
Hingga pada akhirnya pada tanggal 17 Februari Bachtiar Abdul Fatah mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar ke Mahkamah Konstitusi, yang permohonannya anatara lain:
62 Sudarmi, Op.Cit., hlm. 3.
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dan berdasarkan hasil penyidikan tersebut untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya”
3. Menyatakan frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka (14) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”
4. Menyatakan frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempuyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”
5. Menyatakan frasa “melakukan tindak pidana” dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka tau terdakwa dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
6. Menyatakan Pasal 77 huruf (a) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat
7. Menyatakan frasa “sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan maka sidang dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
Berdasarkan Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, walaupun permohonan pemohon dikabulkan hanya sebagian, namun telah terjadi perubahan yang fundamental terhadap objek praperadilan. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yang diajukan oleh seorang terpidana kasus korupsi biormediasi fiktif PT. Chevron
Pasific Indonesia atas nama Bachtiar Abdul Fatah. 63
63 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796 Diakses pada hari Kamis 30 November 2017, pukul 20:30 Wib.
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian:
a. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17
dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dima knai bahwa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
b. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17
dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal
dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
c. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
d. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 64
64 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.