PENETAPAN STATUS TERSANGKA OLEH POLISI N

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum memiliki ciri-ciri adanya perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan,

pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan peradilan tata usaha negara. 1 Oleh karena itu, demi terselenggaranya negara hukum diperlukan peraturan perundang- undangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada berpengecualian. 2 Sedangkan didalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kericuhan-

kericuhan, hal mana timbul sebagai akibat adanya perbedaan kebutuhan antara sesama anggota masyarakat. Sebelum adanya peradaban manusia yang tinggi, maka yang kuatlah yang selalu menang dalam segala hal. Pada masa yang demikian itu, hukum belum lagi dikenal, karena itu masing-masing anggota masyarakat dapat menjadi hakim sendiri. Dengan adanya kemajuan peradaban manusia, dirasakan pula perlunya dibuat ketentuan-ketentuan yang sama-sama mereka sepakati, ketentuan-ketentuan mana yang bersifat mengikat dan mengandung ancaman hukum bagi barang siapa yang melanggarnya. Tujuan dari

1 Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 142.

2 Konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Negara Republik Indonesia Nomor3209).

pada dibuatnya peraturan-peraturan yang bersifat mengikat itu tidak lain ialah agar didalam kehidupan bermasyarakat terdapat ketertiban, dimana hak dari masing-masing anggota dilindungi, disamping menjadi kewajiban dari pihak-

pihak lain untuk menaati setiap ketentuan yang telah disepakati bersama itu. 3 Sejalan dengan politik hukum nasional kita yang menghendaki

diciptakannya hukum nasional yang mempunyai ciri kodifikatif dan unifikatif hukum dibidang-bidang tertentu berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka lahirlah Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimuat dalam L.N. Tahun 1981 No.76 dan TLN No.3209, yang dengan tegas mencabut Herziene Inlandsch Reglement (HIR) (1941 No. 44) Jo Undang-undang No. 1 Drt. Tahun 1951 (L.N. Tahun 1951 No. 59 dan TLN No. 81) sepanjang yang mengatur hukum acara pidana.

Dengan lahirnya KUHAP merupakan era baru dalam dunia peradilan pidana di Indonesia. Selain merupakan produk nasional yang menggantikan hukum ciptaan kolonial, juga memberikan spesialisasi, diferensiasi dan kompartemenisasi dalam pelaksanaan dan pembagian tugas antara penyidik, penuntut umum dan hakim dalam pelaksanaan penegakan hukum, yang mengandung koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi

dalam pelaksanaan tugas tersebut. 4 KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa

konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya

3 R.Atang Ranoemihardjo, “Hukum Acara Pidana”, (Bandung: Tarsito, 1983), hlm. 13. 4 Ratna Nurul Afiah, “Praperadilan dan Ruang Lingkupnya”, (Jakarta: Akamedia

Pressindo, 1986), hlm. 2.

dituntut untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bersikap tindak, harus sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, terutama terhadap mereka yang tersangkut dalam peradilan pidana. Untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang dinamakan praperadilan.

Dengan adanya lembaga praperadilan, KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Menurut Pasal 77 KUHAP, pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini tentang: 5

1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan

2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP adalah upaya hukum sebagai sarana kontrol untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang dilindungi, sesuai dengan semangat atau ruh seperti yang

5 Ibid , hlm. 3 5 Ibid , hlm. 3

Jika dikaitkan dengan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP, kewenangan Praperadilan justru ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata- mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, melainkan juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum. Hal itu sesuai dengan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP,yang menyatakan:

“Yang dimaksud dengan ‘kerugian karena dikenakan tindakan lain’ ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak s ah menurut hukum”.

Bahwa dalam perkara aquo, Hakim yang mengadili perkara Praperadilan secara tegas menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk obyek Praperadilan, dengan alasan hal tersebut tidak diatur baik dalam KUHAP khususnya Pasal 1 angka 10 Jo Pasal 77 Jo Pasal 82 ayat (1) Jo Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) maupun dalam peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Atas alasan itu, penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim yang mengadili perkara Praperadilan dilakukan karena dalam peraturan perundang- undangan yang ada, baik KUHAP maupun undang-undang lain, tidak mengatur masalah keabsahan penetapan tersangka sebagai obyek Praperadilan. Hakim yang mengadili perkara Praperadilan telah menempatkan dirinya bukan hanya sekedar corong undang-undang (quipronoce les paroles de al loi) sebagaimana dikatakan

Montesqeou, tetapi telah menerapkan hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.

Sementara kita ketahui bahwa Indonesia menganut system hukum Eropa Continental yang bersifat positivise m vide Pasal 1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. Dimana dalam pasal tersebut terdapat azas “ Nullum delictum sine praevia lege poenali ” , yang artinya “Peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu”. Hal tersebut memiliki arti yang sangat penting yakni tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana atau dihukum sebelum adanya undang- undang yang mengatur perbuatan tersebut. Azas tersebut dikenal dengan azas legalitas. 6 Dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh

digunakan analogi (kias), hal tersebut pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan Negara-negara khususnya di Indonesia dan juga di Negeri Belanda. Scholten menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif. 7

Demikian juga pendapat Moeljatno, penafsiran ekstensif dan analogi bertentangan dengan azas legalitas sebab azas ini mengharuskan adanya suatu

aturan sebagai dasar. 8 Bila kita analisis tentang perluasan objek praperadilan tentang penetapan

Tersangka hanya berpatokan pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU- XII/ 2014, tanggal 28 April 2015, yang dalam kenyataannya belum diundangkan

6 R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, (Bandung: Karya Nusantara, 1983), hlm. 27.

7 Moeljatno,” Azas – azas Hukum Pidana”, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 26. 8 Ibid , hlm. 29.

secara resmi di dalam Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia.

Bahwa bila kita kaitkan dengan penemuan hukum tersebut telah sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, perlu dilihat beberapa hal seperti metode penemuan hukum seperti apa yang digunakan Hakim yang mengadili perkara Praperadilan, ketepatan metode penemuan hukum yang dipilih, dan argumentasi yuridis yang dibangun oleh Hakim yang mengadili perkara Praperadilan dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya sehingga sampai pada kesimpulan, mengabulkan atau menolak Permohonan Praperadilan.

Hakim yang mengadili perkara Praperadilan dalam pertimbangan hukumnya berpandangan bahwa pengaturan masalah sah atau tidaknya penetapan tersangka dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain belum atau tidak jelas, sehingga diperlukan interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan yang ada guna memperjelas apakah keabsahan penetapan tersangka termasuk dalam wewenang praperadilan yang diatur dalam hukum positif Indonesia. Alasan ini tentu sejalan dengan tujuan digunakannya interpretasi atau penafsiran dalam penemuan hukum, yaitu untuk menafsirkan perkataan dalam undang-undang dengan tetap berpegang pada kata-kata/bunyi peraturannya, manakala suatu peristiwa konkrit tidak secara jelas dan tegas dianut atau diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. 9

Tap MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Keppres Nomor 17 Tahun 1994 juga mengamanatkan bahwa pembentukan hukum tidak hanya

9 Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH), “Hasil Eksaminasi (Padang: Univ Andalas, 10- 11 Maret 2015)”, hlm. 11.

melalui perundang-undangan namun juga dengan yurisprudensi, dengan memberikan peran yang lebih kepada lembaga peradilan dalam menentukan arah perkembangan hukum bagi perwujudan keadilan sosial dalam masyarakat melalui

putusan hakim. 10 Dengan demikian, hakim harus dapat melakukan penemuan hukum, penafsiran hukum dan penerapan hukum agar dapat menghasilkan

putusan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. 11

Atas hal-hal tersebut, penetapan status tersangka yang diajukan sebagai alasan praperadilan menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Penetapan Status Tersangka Oleh Polisi Negara Republik Indonesia Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Putusan Nomor: 14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn-Praperadilan Siwajiraja)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Hukum tentang Praperadilan Menurut Hukum Di Indonesia?

10 O.C Kaligis, “Praperadilan Indonesia dalam Perkembangannya”, (Jakarta: OC Kaligis & Associates, 2004), hlm. 5.

11 Sudikno Mertokusumo dan A. Plito ,”Bab-Bab tentang Penemuan Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 36-37.

2. Bagaimana Mekanisme Penetapan Status Tersangka didalam Tindak Pidana oleh Polisi Negara Republik Indonesia?

3. Bagaimana Analisis Yuridis Penetapan Status Tersangka Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah:

1. Untuk mengetahui Pengaturan Hukum Tentang Praperadilan Menurut Hukum Di Indonesia.

2. Untuk mengetahui Mekanisme Penetapan Status Tersangka oleh Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI).

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan Hukum Acara Pidana di Indonesia tentang sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka oleh Polisi Negara Republik Indonesia yang diajukan sebagai alasan Praperadilan.

Sedangkan manfaat penulisan yang ingin diperoleh setelah tujuan penulisan diatas, maka manfaat penulisan ini antara lain:

1. Secara Teoritis Penulisan skripsi ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan perbandingan 1. Secara Teoritis Penulisan skripsi ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan perbandingan

2. Secara Praktis Penelitian ini secara praktis dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak terkait termasuk praktisi hukum dalam upaya penegakan hukum dan pengajuan Praperadilan dengan tepat, juga sebagai informasi bagi masyarakat mengenai pengaturan Praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia, serta dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu terutama tentang Praperadilan.

D. Keasliaan Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Penetapan Status Tersangka Oleh Polisi Negara Republik Indonesia Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor:14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn – Praperadilan Siwajiraja)” merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Setelah penulis memahami kasus korban pembunuhan Indra Gunawan (Alias Kuna) pemilik toko Air Softgun di Jl. Ahmad Yani Medan yang tewas ditembak dan terbunuh didepan toko miliknya. Tersangka selaku pemohon Siwajiraja mengajukan permohonan Praperadilannya dan dimenangkan oleh Hakim Erintuah Damanik selaku Hakim Tunggal yang menangani kasus tersebut pada Pengadilan Negeri Medan, maka penulis tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Penulis telah memeriksa judul- Penulisan skripsi yang berjudul “Penetapan Status Tersangka Oleh Polisi Negara Republik Indonesia Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor:14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn – Praperadilan Siwajiraja)” merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Setelah penulis memahami kasus korban pembunuhan Indra Gunawan (Alias Kuna) pemilik toko Air Softgun di Jl. Ahmad Yani Medan yang tewas ditembak dan terbunuh didepan toko miliknya. Tersangka selaku pemohon Siwajiraja mengajukan permohonan Praperadilannya dan dimenangkan oleh Hakim Erintuah Damanik selaku Hakim Tunggal yang menangani kasus tersebut pada Pengadilan Negeri Medan, maka penulis tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Penulis telah memeriksa judul-

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian dan Tujuan Praperadilan

Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga yang diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan dalam BAB X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang

memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. 12 Jika melihat istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “praperadilan” maka maksud dan artinya yang

harfiah berbeda. Pra art inya sebelum atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan disidang pengadilan.

12 M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, (Jakarta: Edisi Kesatu, Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.

Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar- benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris “rechter commissaris” di negeri Belanda dan “judge d’ Instruction ” di Perancis

benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara. Misalnya, penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi (misalnya perkara tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian) ataukah tidak. Meskipun ada kemiripan dengan hakim komisaris, namun wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sah atau tidak. Apakah

penghentian penyidikan atau penuntutan sah atau tidak. 13 Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissaris (hakim yang

memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yaitu di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa ( dwang mid-delen ), penahanan,

penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat. 14 Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), Praperadilan mempunyai wewenang terbatas, tidak seluas seperti hakim komisaris (rechter commissaris) di Belanda atau judge d’instruction di Perancis yang disamping menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, dan penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.

13 Andi Hamzah, “Hukum Acara Pidana Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 187.

14 Oemar Seno Adji, “Hukum-Hukum Pidana”, (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 88.

Dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dinyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus tentang: 15

1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan

3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa maksud ataupun tujuan diadakan lembaga praperadilan ini merupakan kontrol/pengawasan atas jalannya hukum acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak tersangka /terdakwa. Kontrol tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Kontrol vertikal, yakni kontrol dari atas kebawah.

2. Kontrol horizontal, yakni kontrol kesamping antara penyidik, penuntut umum timbal balik tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.

15 Hasil Eksaminasi, ”Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, 10 – 11 Maret 2015”, Hlm 5-7

Pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat, dalam waktu tujuh hari harus sudah dijatuhkan putusan. Hal ini membedakan dengan perkara

biasa yang tidak ditentukan batas waktu penyelesaiannya. 16

2. Pengertian Tersangka dan Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana

a. Tersangka

Sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHAP Pasal 1 butir ke 14 bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, dan butir ke 15 menyatakan bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili disidang pengadilan; namun demikian berdasarkan suatu azas yang terpenting dalam Hukum Acara Pidana ialah: “Azas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innoucent) ” yang telah dimuat dalam Pasal 8 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; LN. Tahun 1970 Nomor 74, bersumber pada azas tersebut diatas maka setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut di depan sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) . Oleh karena itu wajarlah apabila tersangka/terdakwa dalam tiap tingkatpemeriksaan memperoleh hak-hak tertentu bagi menjamin adanya perlindungn terhadap harkat martabat manusia. Demikianlah menurut Pasal 50 KUHAP, tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan

16 Moch. Faisal Salam, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek”, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 322.

selanjutnya dijukan kepada penuntut umum, serta segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, hal mana mencegah terbengkalainya suatu perkara sehingga tersangka tidak bisa segera mengetahui bagaimana nasibnya. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya, dan dalam semua tingkat pemeriksaan tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim, selanjutnya berhak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa dan berhak pula mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum

yang dipilihnya sendiri (Pasal 51 sampai 54 dan 55 KUHAP). 17

b. Penyidikan

Penyidikan merupakan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP memberi defenisi penyidikan sebagai berikut:

“Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur didalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing .

Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh Undang-undang segera setelah mereka

17 R.Atang Ranoemihardjo, Op. Cit., hlm. 54-55.

dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum”. 18

Penyidikan terhadap suatu tindak pidana merupakan suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara dan menemukan pelakunya. 19 Sesuai konteks Pasal

1 Angka 2 KUHAP, dengan konkrit dan faktual dimensi penyidikan dimulai ketika terjadi tindak pidana, sehingga melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut:

a. Tindak pidana yang telah dilakukan

b. Tempat dilakukannya tindak pidana (locus delicti)

c. Waktu dilakukaannya tindak pidana (tempus delicti)

d. Cara dilakukannya tindak pidana

e. Dengan alat apa dilakukannya tindak pidana.

Dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang telah terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sementara itu penyidik didalam KUHAP adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri

18 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 120. 19 Harum M. Hussein, ”Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana”, (Jakarta:

Rineka Cipta, 1991), hlm. 104.

Sipil Tertentu yang diberi tugas dan wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. 20

3. Polri dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

a. Polisi Negara Republik Indonesia

Secara teoritis pengertian mengenai polisi tidak ditemukan, tetapi penarikan pengertian polisi dapat dilakukan dari pengertian kepolisisan sebagaimana diatur didalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang- undangan”. Dari kutipan atas bunyi pasal tersebut maka dapat diketahui polisi adalah sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan

pelaksanaan tugas sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan. 21 Ditinjau secara etimologis istilah polisi dibeberapa negara memiliki

ketidaksamaan, sepeerti di Yunani istilah polisi dengan sebutan “pol ite a”, di Inggris “police” juga dikenal adanya istilah “constable”, di Jerman “polizei”, di Amerika dikenal dengan “sheriff”, di Belanda “politie”, di Jepang “koban” dan “chuzaisho” walaupun sebenarnya istilah koban merupakan sebuah nama pos polisi di wilayah kota dan chuzaiso adalah pos polisi di wilayah pedesaan, dan di

indonesia dengan sebutn “polisi” dan “kepolisian”. Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “polisi” telah dikenal didalam bahasa Yunani, yakni “politea”. Kata “politea” digunakan sebagai title buku pertama Plato, yakni

20 Juni Sjafrien, “Say No To Korupsi”, (Jakarta: Visimedia, 2012), hlm. 103.

21 Lihat Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

”politea” yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. 22 Kemudian dikenal sebagai suatu bentuk

negara, yaitu negara polisi (polizeistaat) yang artinya negara yang menyelenggarakan keamanan dan kemakmuran atau perekonomian, meskipun negara polisi ini kemudian dijalalankan secara absolut. Didalam negara polisi tersebut dikenal dua konsep polisi (polizei) , yakni sicherheitpolizei yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan, dan verwaltungpolizei atau wohifartpolizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warga negara.

Negara polisi ini sebagai awal timbulnya pemikiran negara hukum di Barat sebagai reaksi terhadap pemerintah raja-raja absolut yang hampir menyeluruh didunia Eropa sehingga dalam negara polisi ini dikenal dengan slogan yang berbunyi “sallus publica suprema lex princep legibus solutus est” yang

maknanya kepentingan umum sebagai yang harus diutamakan. 23 Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, istilah “Polisi” memiliki beberapa arti, antara lain: 24

1. Sebagai badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (seperti menangkap orang yang melanggar undang- undang dsb).

22 Azhari, “Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur- Unsurnya”, (Jakarta: UI Press, 1995), hlm. 19.

23 Sadjijono dan Teguh Bagus Santoso, “Hukum Kepolisian Di Indonesia Studi Kekuasaan Dan Rekonstruksi Fungsi Polri Dalam Fungsi Pemerintahan”, (Surabaya: LaksBang PRESSIndo, 2017), hlm. 11.

24 W.J.S. Purwodarminto, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, (Jakarta; Balai Pustaka, 1986), hlm. 763.

2. Anggota dari badan pemerintahan tersebut diatas merupakan pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan negara.

b. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Berbicara tentang sistem hukum, yang dimakudkan adalah sistem hukum positif Indonesia yaitu sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Sistem pada umumnya diartikan sebagai suatu kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mempengaruhi sehingga merupakan suatu keseluruhan yang utuh dan berarti. Pada dasarnya suatu sistem hukum adalah suatu struktur formal, namun apabila berbicara tentang sistem hukum indonesia maka yang dimaksud disini adalah struktur formal kaidah kaidah hukum yang berlaku dan asas-asas yang mendasarinya dimana pada gilirannya didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila. 25

Peradilan pidana adalah suatu proses yang didalamnya terdapat beberapa badan atau lembaga penegak hukum beserta aparaturnya yang bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Oleh karena itu, peradilan pidana dapat dipahami sebagai suatu proses menyangkut kegiatan-kegiatan atau aktivitas- aktivitas dari badan peradilan pidana. kegiatan didalam proses itu sendiri merupakan kegiatan bertahap dan berkelanjutan, yang dimulai dari kegiatan

25 Mochtar Kusuma Atmadja dan B. Arief Sidharta, “Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I”, (Bandung: Alumni, 2000), hlm 121.

penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan hakim. 26

Sistem peradilan pidana memiliki tiga komponen utama yaitu penegak hukum, pengadilan dan masyarakat. Komponen utama yang dimaksud disini bukanlah komponen kajian dalam sistem peradilan pidana, melainkan komponen

utama dalam sistem peradilan pidana tersebut. 27 Sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System , suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi

penegak hukum 28 (Law enforcement officer) di Amerika Serikat. Pemahaman tentang sistem peradilan pidana dapat dilihat dari elemen kata yang melekat dalam

sistem peradilan pidana tersebut. Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem. Menurut Samudra Wibawa sistem merupakan hubungan antara beberapa unsur dimana unsur yang satu tergantung kepada unsur yang lain, bila salah satu unsur hilang maka sistem tidak

dapat berjalan. 29 Peradilan merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan dan secara keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah menunjukkan kepada suatu proses yaitu proses

26 Elwi Danil, “Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 220.

27 Tollib Effendi, ”Sistem Peradilan Pidana”, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013), hlm. 7.

28 Indriyanto Seno Adji, “Arah Sistem Peradilan Pidana”, (Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji dan rekan, 2005), hlm. 4.

29 Samodra Wibawa, “Kebijakan Publik (Proses dan Analisis)”, Cetakan I, (Jakarta; Intermedia, 1994), hlm. 50-51.

untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan. Sedangkan “pidana” yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientifict by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi dan ataupun penderitaan yang diberikan dapat mengganggu keberadaan

fisik maupun psikis dari orang yang terkena pidana itu. 30 Selain dari pada itu, sistem peradilan pidana juga merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan

kejahatan dengan tujuan untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan dan mengusahakan agar kejahatan tersebut tidak terulang kembali. Sistem peradilan pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekuen dan terpadu antar subsistem maka akan bermanfaat menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat, mengetahui keberhasilan atau kegagalan subsistem secara terpadu serta memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada

individu maupun masyarakat. 31

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala

30 Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-teori dan Kebijakan Pidana”, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 4.

31 Abdussalam dan DFM Sitompul, “Sistem Peradilan Pidana”, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hlm. 3-4.

yang bersangkutan. 32 Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3209), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Republik Negara Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3710),

32 Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 43.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya: buku, hasil-hasil penelitian dan yang relevan dengan skripsi ini.

c. Dalam hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks komulatif, internet dan seterusnya. 33

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian skripsi ini digunakan metode penelitian Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan yakni: buku-buku, pendapat sarjana, bahan kuliah, surat kabar, artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk memperoleh atau menari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan Penetapan Status Tersangaka Oleh Polisi Negara Republik Indonesia yang diajukan sebagai alasan praperadilan.

33 Ibid, hlm. 52.

4. Analisis Data

Secara umum ada 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode analisis kualitatif, dimana data berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut: BAB I

PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian

penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PRAPERADILAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Pada bab ini akan membahas mengenai Pengaturan Hukum tentang Praperadilan Di Indonesia. Pembahasaan bab kedua ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai Pengaturan Praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia, pembahasan mengenai

Kewenangan Hakim dalam melaksanakan Praperadilan dan Penetapan Status Tersangka sebagai alasan Pengajuan Praperadilan menurut KUHAP dan Peraturan MK.

BAB III MEKANISME

STATUS TERSANGKA DIDALAM TINDAK PIDANA OLEH POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENETAPAN

Dalam bab ini akan dibahas pengaturan tentang Mekanisme Penetepan Status Tersangka didalam tindak pidana oleh Polisi Negara Republik Indonesia. Pembahasan bab ketiga ini akan dimulai dengan pembahasan Tugas dan Wewenang Polisi Negara Republik Indonesia, dan selanjutnya pembahasan mengenai Mekanisme POLRI didalam melakukan Penetapan status tersangka pada tindak pidana di indonesia

BAB IV ANALISIS YURIDIS PENETAPAN STATUS TERSANGKA SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN PRAPERADILAN

Bab keempat ini membahas mengenai Gambaran Kasus dan Analisis Kasus terhadap Putusan Nomor14/Pid.Pra/2017/PN.Mdn.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab Kesimpulan dan

Saran. Merupakan ringkasan dari bab-bab yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PRAPERADILAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

A. Pengaturan Praperadilan Menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia

Praperadilan adalah lembaga baru yang lahir bersamaan dengan kelahiran KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri atau berdiri sendiri selepas pengadilan negeri, karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada pengadilan negeri. 34 Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan

KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan `hukum. Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam Bab X bagian kesatu, sebagai salah satu bagian ruang

lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. 35 Praperadilan merupakan lembaga baru yang ciri dan eksistensinya,

yaitu: 36

1. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri,

2. Dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri,

34 HMA Kuffal, “Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum”, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 251.

35 M. Yahya Harahap, Loc.Cit., hlm. 1. 36 Ibid

3. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri,

4. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.

Keberadaan lembaga praperadilan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal, atau dengan kalimat yang lebih tegas dapat dikatakan bahwa diadakannya praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa. 37 Kehadiran lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di

Indonesia merupakan babak baru dalam rangka menciptakan dan mewujudkan peradilan pidana yang lebih baik dan lebih manusiawi. Praperadilan termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaga Praperadilan yang dikenal dalam KUHAP merupakan mekanisme kontrol yang berfungsi dan berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum

menjalankan tugas dalam peradilan pidana. 38

37 HMA Kuffal, Op. Cit., hlm. 253-254. 38 Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana cetakan ke-2

telah diperbaiki, (Jakarta: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1982), hlm. 114.

Terhadap putusan praperadilan apakah dapat dimintakan upaya-upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa diatur didalam Pasal 83 KUHAP yang berbunyi:

1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding

2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam

daerah hukum yang bersangkutan 39

Melihat perumusan Pasal 83 KUHAP diatas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan upaya-paya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Namun prinsip tersebut tidak bersifat mutlak, karena pada ayat (2) menentukan pengecualian, yakni dalam hal hakim yang memimpin sidang praperadilan tersebut menetapkan bahwa penhentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah tidak sah, penyidik dan penuntut umum diberikan kesempatan untuk mengajukan banding kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan dan putusan banding ini merupakan

putusan akhir. 40 Menurut pedoman pelaksanaan KUHAP, dalam hal ini maka surat permintaan tersebut setelah diterima/dicatat dalam Register Kepaniteraan

kemudian dikirim ke Pengadilan Tinggi dengan memperlakukan ketentuan-

39 Lihat Dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

40 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit., hlm. 103.

ketentuan pada acara permohonan banding, baik mengenai tenggang waktu serta tata cara lainnya. 41

Penyebab terjadinya upaya hukum Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia berdasarkan objek dari pada praperadilan, yaitu:

1. Adanya Suatu Penangkapan Yang Tidak Sah Mengacu kepada ketentuan yang diatur didalam Pasal 1 ayat (20) KUHAP yang menjelaskan bahwa: “Penangkapan ialah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Bahwa yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik dan penyidik pembantu. Penyelidik dapat pula melakukan penangkapan asalkan atas perintah penyidik. Artinya dalam melakukan penangkapan penyidik harus membawa surat tugas dan surat perintah penangkapan. Dari istilah penangkapan tersebut diatas berangkat pada faktor-faktor penyebab terjadinya praperadilan yakni tahap penangkapan yang tidak sah. Secara singkat dapat didefenisikan bahwa penangkapan yang tidak sah tersebut, dimana maksudnya adalah penangkapan yang tidak berdasarkan undang-undang. 42

41 Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Op.Cit., hlm. 131. 42 Loebby Loqman, “Pra-Peradilan Di Indonesia”, (Bandung: Ghalia Indonesia, 1984),

hlm. 53

2. Adanya Suatu Penahanan Yang Tidak Sah Mengenai penahanan yang tidak sah dilakukan tanpa alasan yang

berdasarkan undang-undang sesuai syarat sahnya penahanan yakni: 43

a. Adanya dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup

b. Penahanan harus dilakukan dengan surat perintah atau penetapan

c. Penahanan hanya dapat dilaksanakan terhadap pelaku yang disebut didalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP mengatur dan membuat perincian tindak pidana mana yang dibenarkan pelakunya dapat dikenakan penahanan, yakni: Tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberi bantuan yang ancaman hukumannya pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih & Melakukan atau percobaan maupun memberi bantuan terhadap tindak pidana.

d. Penahanan tidak melebihi masa penahanan, setiap aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan hanya berwenang melaksanakan penahanan sesuai dengan batas maksimal yang diberi undang-undang kepada instansi. Lewat batas maksimal penahanan yang telah diberikan undang-undang mengakibatkan tindakan penahanan batal demi hukum dan dianggap sebagai tindakan penahanan yang tidak sah karena bertentangan dengan undang- undang.

e. Penahanan tidak melampaui hukuman yang dijatuhkan, penahanan yang melampaui hukuman pemidanaan dianggap merupakan penahanan tanpa alasan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang.

3. Ganti Rugi Berdasarkan Pasal 95 ayat 1 KUHAP yang menjelaskan: “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.

43 Ibid., hlm. 55.

4. Rehabilitasi Berdasarkan Pasal 97 ayat 3 KUHAP yang menjelaskan: “Permintaan

rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77”.

B. Kewenangan Hakim dalam Melaksanakan Praperadilan

Peraturan tentang wewenang kehakiman selain diatur dalam undang- undang pokok kekuasaan kehakiman No.48 tahun 2009 juga diatur dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 mengenai pengaturan kewenangan praperadilan dimana terdapat beberapa pengaturan mengenai wewenang kehakiman. Wewenang kehakiman mulai terlihat pada saat pemeriksaan pendahuluan. 44

Pada Tahap pemeriksaan pendahuluan, wewenang hakim untuk melaksanakan suatu pemeriksaan dalam praperadilan yaitu seperti yang diatur pada Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP. Selain itu dari pada kedua Pasal terebut Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP yang juga menyatakan kewenangan Praperadilan. Untuk lebih jelasnya disini akan dijelaskan mengenai wewenang Praperadilan yang diberikan undang-undang secara lebih rinci, yaitu:

44 Sudarmi, “Tinjauan Terhadap Putusan Praperadilan Yang Berkaitan Dengan Penetapan Seseorang Menjadi Tersangka”, (Yogyakarta: Jurnal Hukum, 2015), hlm. 2.

a. Wewenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan

Adalah kewenangan yang utama yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan yaitu memeriksa dan memutuskan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan. 45

Apabila penangkapan atau penahanan dirasakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hal ini berarti bahwa tersangka yang dikenakan tindakan penahanan dan penangkapan dapat meminta kepada Praperadilan untuk memeriksa tentang sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan oleh aparat penegak hukum. Pemeriksaan tersebut ditujukan kepada pejabat instansi atau penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk menangkap atau menahan orang misalnya penyidik ataupun penuntut umum.

Dalam hal ini timbul permasalahan bahwa apakah hakim juga dapat dapat di Praperadilankan, karena hakim juga merupakan jabatan yang dijabat seseorang yang mempunyai wewenang untuk menahan orang lain (terdakwa) yang diatur didalam Pasal 26 dan 27 KUHAP. Hal ini masih membingungkan sampai sekarang karena tidak ada undang-undang yang menyatakan bahwa hakim tidak dapat dipraperadilankan. Kalaupun ada ketentuan tersebut hanya berupa Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tanggal 10 Desember 1983 Nomor: M 14. PW.07.03 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh dipraperadilankan.

45 Hadari Djinawi Tahir, “Pokok-Pokok Pikiran Dalam KUHAP”, (Bandung: Pustaka Setia, 1981), hlm. 3.

Menurut Darwan Prits bahwa pembatasan yang diberikan oleh Menteri Kehakiman ini kurang pada tempatnya, karena hakim juga dapat melakukan penahanan. Disamping itu dengan keputusan menteri kehakiman tersebut berarti Eksekutif telah mencampuri Yudikatif. Oleh karena itu pengaturan tentang pengecualian hakim tidak dapat dipraperadilankan sebaiknya diatur didalam undang-undang. Sampai sekarang belum ada undang-undang yang menyatakan hal tersebut, tetapi tidak pernah ada orang yang mempraperadilankan seorang hakim. Secara logis juga tidak mungkin suatu lembaga pemutus perkara memeriksa dan menguji kewenangannya sendiri, walaupun demikian hendaknya

peraturan atau ketentuan ini dituangkan dalam ketentuan undang-undang. 46

b. Wewenang memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.