Evaluasi Pelaksanaan Program dan Kegiatan RKPD Sampai Tahun Berjalan dan Realisasi RPJMD

persen, pendidikan, rekreasi dan olahraga naik 3,11 persen, serta transportasi dan komunikasi naik 0,36 persen. I ndeks biaya produksi mengalami kenaikan sebesar 3,70 persen dari 118,72 pada tahun 2009 menjadi 123,11 pada tahun 2010. Kenaikan indeks ini disebabkan oleh naiknya indeks harga bibit sebesar 4,20 persen, upah buruh tani naik 4,03 persen, sewa lahan, pajak dan lainnya naik 3,96 persen, obat- obatan dan pupuk naik 3,64 persen, penambahan barang modal naik 3,52 persen dan transportasi naik 2,59 persen. I ndeks yang dibayar petani selama periode bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2010. I ndeks biaya konsumsi rumahtangga selalu lebih tinggi dibanding indeks biaya produksi dan pembentukan barang modal. I ndeks konsumsi rumahtangga berfluktuasi sepanjang tahun sedangkan indeks biaya produksi dan pembentukan barang modal mengalami kenaikan sepanjang tahun.

5. Evaluasi Pelaksanaan Program dan Kegiatan RKPD Sampai Tahun Berjalan dan Realisasi RPJMD

• Evaluasi I ndikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Sebagaimana amanat Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009 tentang RPJMD 2009-2014, kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2010 diukur berdasarkan pada 5 lima indikator kinerja utama yaitu : Tingkat Pengangguran Terbuka, Persentase Penduduk Miskin terhadap Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, I ndeks Disparitas Wilayah, serta I ndeks Pembangunan Manusia. Tabel Matrik Penetapan Indikator Utama No I ndikator Utama 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Target Realisasi Target Realisasi Target Target Target Target 1 Pertumbuhan Ekonomi 4,00 - 4,50 5,01 4,00 - 4,50 6,67 5,00 - 5,50 5,00 - 5,50 5,50 - 6,00 5,50 - 6,00 2 Tingkat Pengangguran Terbuka 6,20 - 6,40 5,08 6,00 - 6,20 4,25 5,80 - 6,00 5,60 - 5,80 5,40 - 5,60 5,20 - 5,40 3 Kemiskinan 16,50 - 16,90 16,68 15,50 - 16,50 15,26 15,00 - 15,50 14,50 - 15,00 14,00 - 14,50 13,50 - 14,00 4 I PM 68,90 - 69,00 71,06 69,00 -69,50 71,55 69,50 - 69,90 69,90 - 70,10 70,10 - 70,50 70,50 -71,00 5 Disparitas Wilayah 115,10 - 115,30 115,85 114,70 - 115,10 115,14 114,40 - 114,70 114,10 - 114,40 113,80 - 114,10 113,50 - 113,80 Kelima indikator tersebut merupakan representasi dari kinerja 9 sembilan agenda pembangunan yang akan dicapai secara bertahap dan berkelanjutan. Evaluasi terhadap I ndikator Kinerja Utama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Secara umum terjadinya pengangguran dapat disebabkan beberapa faktor antara lain : terbatasnya jumlah lapangan kerja yang tersedia, pertumbuhan penduduk yang relative cepat, iklim usaha yang kurang kondusif, terjadinya pemulangan tenaga kerja dari luar negeri TKI , kualitas SDM yang tidak linier dengan tingkat pendidikan yang dicapai, dan lebih urban oriented dibanding rural oriented. Sementara akibat dari tingginya tingkat pengangguran adalah ketidakstabilan sosial-ekonomi. Tingkat Pengangguran Terbuka Tpt Jaw a Timur Tahun 2 006- 2010 Dari hasil pelaksanaan Survei Angkatan Kerja Nasional Sakernas bulan Agustus 2009 melalui Survei Angkatan Kerja Nasional Sakernas, hampir tidak terlihat adanya dampak krisis ekonomi global. Pengangguran justru mengalami penurunan ketika terjadi krisis ekonomi. Namun demikian berkurangnya jumlah penganggur seperti yang disajikan pada Tabel 4.1, harus dipahami secara hati-hati, agar tidak menimbulkan persepsi yang salah terhadap kondisi yang ada, khususnya jika dikaitkan dengan kondisi kesejahteraan penduduk secara luas. Tabel I ndikator Ketenagakerjaan Agustus 2006- Agustus 2010 Kegiatan Utama 2006 2007 2008 2009 2010 1. Bekerja jutaan 17,67 18,751 18,882 19,305 18,698 2. Penganggur jutaan 1,575 1,366 1,296 1,033 0,829 3. TPAK 67,36 68,99 69,32 69,25 69,08 4. TPT 8,19 6,79 6,42 5,08 4,25 Sumber : Hasil Sakenas 2007 – 2009, BPS Jawa Timur Diperkirakan pada kondisi krisis, tenaga kerja Jawa Timur melakukan mekanisme penyesuaian dengan cara mencari pekerjaan sampingan dan mempekerjakan anggota rumahtangga usia produktif. Salah satu indikasi yang bisa ditunjukkan dari hasil Sakernas adalah banyak ibu rumah tangga yang masuk ke pasar kerja baik sebagai pekerja tidak dibayar pekerja keluarga maupun tenaga kerja usia lanjut yang sebenarnya sudah berada di luar angkatan kerja karena pensiun, dan kembali masuk dalam pasar kerja sebagai pekerja yang berstatus pengusaha mandiri. Kondisi ini mengklarifikasikan peranan signifikan sektor informal sebagai penyangga buffer perekonomian. Oleh karena itu sebaiknya berhati-hati dalam membuat proyeksi ketenagakerjaan yang mengkaitkan angka pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi. Tabel Jumlah Penduduk Usia Kerja yang Termasuk Bukan Angkatan Kerja Di Jaw a Timur Tahun 2008 - 2009 Bukan Angkatan Kerja 2009 2010 1. Sekolah 1.864.810 1.949.264 2. Mengurus Rumahtangga 5.500.513 5.624.245 3. Lainnya 1.567.651 1.459.055 Jumlah 8.932.974 9.032.564 Sumber : Hasil Sakenas 2008 – 2009, BPS Jawa Timur Hal lain yang juga perlu diperhatikan oleh pengambil kebijakan terkait dengan masalah ketenagakerjaan adalah dampak krisis ekonomi di pasar tenaga kerja. Dampak yang paling nyata adalah turunnya pendapatan riil, baik bagi pekerja informal pendatang baru dalam pasar kerja maupun bagi mereka yang berstatus karyawan. Penurunan pendapatan riil dapat disebabkan karena dampak langsung kenaikan harga barang dan jasa, atau bukan akibat penurunan pendapatan nominal. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa persoalan ketenagakerjaan tidak selesai ketika seseorang sudah bekerja. Status sebagai pekerja tidak memberikan jaminan bahwa dia sejahtera, dan status sebagai penganggur tidak selalu berarti bahwa dia miskin. I mplikasinya, menjadikan penganggur sebagai kelompok sasaran utama dalam program penanggulangan Gambar Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Timur Tahun 2002 – 2010 Sumber : BPS, PSE 2005, PPLS 2008 dan Susenas 20,34 19,52 19,10 19,95 21,09 19,98 18,51 16,68 15,26 13 15 17 19 21 23 25 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 krisis merupakan langkah yang menyesatkan. Oleh karena itu kelompok yang paling memerlukan perhatian adalah yang sudah bekerja tetapi tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan. Jumlah dan persentase penduduk miskin di Jawa Timur pada periode 2002-2010 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk miskin nampak terjadi penurunan dari 20,34 persen pada tahun 2002 menjadi 19,10 persen pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2005 dan 2006 Hasil SSN Panel Maret 2005 - 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu menjadi 7,14 juta orang atau 19,95 persen tahun 2005 dan 7,68 juta orang atau 21,09 persen tahun 2006. Selanjutnya dengan adanya program aksi mengatasi dampak kenaikan harga BBM PAMDKB pada tahun 2006 yang dilakukan secara berturut-turut diduga memberikan andil penurunan persentase jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2007 persentase penduduk miskin menjadi sebesar 19,98 persen, tahun 2008 menjadi sebesar 18,51 persen dan tahun 2009 menjadi sebesar 16,68 persen, dan selanjutnya menurun kembali menjadi 15,26 persen pada tahun 2010. Persentase Penduduk Miskin Terhadap Jumlah Penduduk Di Jaw a Timur Tahun 2006 – 2010 PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku selama kurun waktu lima tahun terakhir masing - masing Rp. 470,63 trilyun 2006, Rp. 534,92 trilyun 2007, Rp. 621,39 trilyun 2008, Rp. 686,85 trilyun 2009, dan Rp. 778,46 Pertumbuhan Ekonomi Adhk Tahun 2000 Jaw a Timur Tahun 2006- 2010 trilyun 2010. Nilai PDRB yang dihasilkan tersebut masih mengandung pengaruh perubahan harga, sehingga belum bisa digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan 2000, karena pertumbuhan ekonomi ini benar-benar diakibatkan oleh perubahan jumlah nilai produk barang dan jasa yang sudah bebas dari pengaruh harga pertumbuhan riil. Berdasarkan Tabel dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh 5,80 persen, kemudian meningkat pertumbuhannya menjadi 6,11 persen pada tahun 2007, menurun pada tahun 2008 menjadi 5,94 persen, 5,01 persen 2009, dan 6,76 persen 2010. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 mencapai 5,80 persen, sedikit melambat dari tahun sebelumnya akibat dampak dari keanikan harga BBM. Namun seiring berjalannya waktu, perekonomian Jawa Timur mampu bangkit pada tahun 2007 sehingga mencapai pertumbuhan sebesar 6,11 persen. Tabel Pertumbuhan Ekonomi Jaw a Timur Tahun 2 006 – 2010 Keterangan 2006 2007 2008 2009 2010 1. PDRB ADHB Miliar Rupiah 470.627 534.919 621.392 686.848 778.455 2. PDRB ADHK 2000 Miliar Rupiah 271.249 287.814 305.539 320.861 342.254 3. Pertumbuhan Ekonomi 5,80 6,11 5,94 5,01 6,67 Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : Angka Diperbaiki Angka Sementara Membaiknya kondisi ekonomi Jawa Timur tidak bertahan lama, karena pada akhir tahun 2007 hingga kuartal kedua tahun 2008, kenaikan harga minyak dunia meningkat hingga mencapai 147 dollar AS per barrel. Secara perlahan, kenaikan itu juga berdampak pada kenaikan harga BBM di dalam negeri yang pada akhirnya mendorong naiknya harga barang dan jasa. Kondisi ini terus berlanjut dengan terjadinya krisis finansial yang dimulai dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat, hingga meluas di berbagai negara di dunia termasuk I ndonesia. Bagai efek domino, Jawa Timur juga terkena imbas, sehingga pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 melambat kembali dan hanya mencapai 5,94 persen. Dampak Krisis Keuangan Global yang terjadi pada akhir tahun 2008 terus berlanjut hingga tahun 2009, ekspor beberapa komoditi unggulan Jawa Timur khususnya ke negara-negara Amerika dan Eropa ikut merosot, dan berakibat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2009 terus melambat dengan hanya tumbuh sebesar 5,01 persen. Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur mulai menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, sebagai dampak dari membaiknya perekonomian global yang mendorong naiknya ekspor Jawa Timur, baik ke luar negeri atau ke luar daerah. Dengan kondisi yang kondusif tersebut, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama tahun 2010 mampu mencapai level 6,67 persen. Per t u m b u h an Sek t o r al Tah u n 2 0 0 6 – 2 0 1 0 Pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur sebesar 5,80 persen, sedikit melambat dibandingkan tahun 2005 sebagai dampak terjadinya kenaikan harga BBM. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh paling cepat dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 9,62 persen, diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, serta sektor pengangkutan dan komunikasi yang masing-masing sebesar 8,58 persen, 7,46 persen, dan 6,77 persen. Sementara itu sektor pertanian dan sektor industri pengolahan sebagai sektor yang dominan di Jawa Timur, hanya tumbuh sebesar 3,09 persen dan 3,05 persen. Tabel Pertumbuhan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2 006- 2010 persen Sektor 2006 2007 2008 2009 2010 1 Pertanian 3,99 3,13 3,12 3,92 2,13 2. Pertambangan Penggalian 8,58 10,44 9,36 6,92 9,18 3. I ndustri Pengolahan 3,05 4,64 4,36 2,80 4,35 4. Listrik,Gas Air Bersih 4,07 11,81 3,11 2,72 6,43 5. Konstruksi 1,42 1,21 2,71 4,25 6,64 6. Perdagangan, Hotel Restoran 9,62 8,39 8,19 5,58 10,67 7. Pengangkutan Komunikasi 6,77 7,77 8,38 12,98 10,07 8. Keuangan, Sewa, Jasa Perusahaan 7,46 8,47 8,05 5,30 7,27 9. Jasa-jasa 5,27 5,88 6,32 5,76 4,34 PDRB 5,80 6,11 5,94 5,01 6,67 Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : Angka Diperbaiki Angka Sementara Pengaruh kenaikan harga BBM pada tahun 2005 mulai berkurang pada tahun 2007, sehingga pada tahun 2007 perekonomian Jawa Timur tumbuh sebesar 6,11 persen. Sektor listrik, gas, dan air bersih tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu sebesar 11,81 persen, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran masing-masing sebesar 10,44 persen, 8,47 persen dan 8,39 persen. Sedangkan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian yang masih menjadi penyumbang terbesar kedua dan ketiga dalam perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh 4,64 persen dan 3,13 persen. Krisis keuangan global yang terjadi pada semester I I tahun 2008 berpengaruh pada melambatnya perekonomian Jawa Timur tahun 2008, sebesar 5,94 persen. Tercatat beberapa sektor yang mengalami perlambatan pertumbuhan adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor konstruksi, dan sektor pertanian masing-masing tumbuh sebesar 4,36 persen, 3,11 persen, 2,71 persen dan 3,12 persen. Sektor-sektor yang masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan masing-masing tumbuh sebesar 9,36 persen, 8,38 persen, 8,19 persen, dan 8,05 persen. Dampak krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berlanjut hingga tahun 2009, ekspor komoditas unggulan Jawa Timur ke luar negeri menurun tajam, sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Pada tahun 2009 perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh sebesar 5,01 persen, dimana sebagian besar sektor ekonomi juga tumbuh melambat. Beberapa sektor yang masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa-jasa masing- masing tumbuh sebesar 12,98 persen, 6,92 persen, dan 5,76 persen. Sektor- sektor andalan Jawa Timur seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian masing-masing hanya tumbuh sebesar 5,58 persen, 2,80 persen dan 3,92 persen. Sementara sektor lainnya rata-rata masih tumbuh pada level 2 sampai 4 persen. Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur membaik seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian global, sehingga pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mencapai 6,67 persen, pertumbuhan tertinggi selama lima tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa Timur ini terutama didukung oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang tumbuh sebesar 10,67 persen. Membaiknya kondisi perekonomian global memberi dampak terhadap membaiknya daya beli masyarakat yang mendorong sektor perdagangan, baik perdagangan luar negeri maupun perdagangan antar wilayah. Sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan tercatat mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 10,07 persen; 9,18 persen, dan 7,27 persen. Sementara itu, sektor industri pengolahan Tabel Indeks Williamson Jawa Timur Tahun 2005-2009 Tahun Indeks Williamson Perubahan 1 2 3 2005 116,57 1,50644 2006 116,31 -0,22304 2007 115,71 -0,51586 2008 115,26 0,21606 2009 115,86 0,52056 2010 115,14 -0,62144 Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : Angka Diperbaiki Angka Sementara dan sektor pertanian tumbuh masing-masing sebesar 4,35 persen dan 2,13 persen. Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di suatu wilayah umumnya berfluktuasi seiring dengan tingkat perubahan PDRB per kapitanya. Melebar atau menyempitnya kesenjangan itu juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat, selain itu juga sangat dipengaruhi oleh kreatifitas Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan segala potensi yang ada untuk meningkatkan output daerah. Kondisi tersebut tergambarkan pada indeks Williamson baca : I ndeks Kesenjangan dengan PDRB per kapita sebagai tolok ukur penghitungan. I ndeks Disparitas Wilayah Jaw a Timur Kesenjangan ekonomi antar kabupaten kota di Jawa Timur yang ditunjukkan dengan I ndeks Disparitas Williamson dalam periode tahun 2005 – 2009 mengalami kemajuan yang signifikan dengan indeks yang cenderung menurun. Tercatat bahwa indeks pada tahun 2005 sebesar 116,57. Dari kolom 3 Tabel di atas diketahui bahwa indeks kesenjangan tersebut mengalami peningkatan sebesar 1,51 persen dibanding dengan tahun 2004. Diduga karena semakin melebarnya kesenjangan pada tahun 2005 karena dampak kenaikan harga BBM yang menyebabkan perubahan struktur ekonomi secara nasional maupun Jawa Timur. Sebagai akibat tingginya laju inflasi yang terjadi selama tahun 2005 berdampak semakin menurunnya kemampuan daya beli masyarakat secara umum, yang pada akhirnya semakin melebarnya kesenjangan antar wilayah. Namun kondisi tersebut tidak berlanjut di tahun-tahun berikutnya, dan kesenjangan semakin menyempit. Pada tahun 2006 indeks kesenjangan bernilai 116,31 atau terjadi penurunan sebesar 0,22 persen, indeks pada tahun 2007 sebesar 115,71 atau mengalami penurunan sebesar -0,52 persen. Adanya kenaikan harga BBM mulai 24 Mei 2008 serta terjadi krisis global menyebabkan melebarnya tingkat kesenjangan di Jawa Timur, yaitu ditunjukkan dengan naiknya nilai indeks Disparitas Williamson sebesar 115,26 atau mengalami kenaikan sebesar 0,22 persen dibanding tahun 2007. Kenaikan harga BBM 2008 tidak berlangsung lama, karena pada akhir tahun 2008 harga BBM kembali menurun secara bertahap sehingga belum berdampak menyempitnya kesenjangan di Jawa Timur pada tahun 2009. Pada tahun 2009 indeks sebesar 115,86, masih terjadi sedikit kenaikan sebesar 0,52 persen dibanding dengan data tahun 2008. Tetapi perekonomian semakin membaik pada tahun 2010, dengan ditunjukkan indeks ini yang menurun menjadi 115,14 atau terjadi penurunan -0,62 persen. I ndeks pembangunan manusia jaw a timur tahun 2006 – 2010. St at u s p em b an g u n an m an u sia Secara umum angka I PM di Jawa Timur selama periode 2006 - 2010 menunjukkan kenaikan. Pada tahun 2006 nilainya 69,18, dan selanjutnya meningkat 69,78 2007; 70,38 2008; 71,06 2009 dan 71,55 2010. Dari hasil penghitungan I PM lihat di Lampiran tahun 2010, diperoleh gambaran bahwa 19 Kabupaten Kota mempunyai I PM lebih tinggi daripada I PM Jawa Timur, sedangkan 19 kabupaten lainnya memiliki nilai I PM di bawah angka I PM Jawa Timur. Nilai I PM tertinggi dicapai oleh Kota Blitar sebesar 77,28 sedangkan urutan kedua ditempati Kota Surabaya dengan nilai I PM 77,18 dan urutan ketiga adalah Kota Malang sebesar 77,10. Urutan terendah I PM adalah Kabupaten Sampang dengan nilai 59,58 dimana angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang hanya sebesar 58,68. Tabel Perkembangan Angka IPM Selama di Jawa Timur, Tahun 2006-2010 No. Tahun I PM Angka I PM Tertinggi Angka I PM Terendah Jml. Kab dengan I PM di baw ah rata- rata Jatim Jml. Kab dengan I PM di atas rata- rata Jatim 1. 2006 69,18 75,58 56,27 19 19 2. 2007 69,78 75,88 56,99 19 19 3. 2008 70,38 76,60 57,66 19 19 4. 2009 71,06 76,98 58,68 19 19 5. 2010 71,55 77,28 59,58 19 19 Sumber : BPS RI Keterangan : Angka Diperbaiki Angka Sementara Angka Sangat Sementara Secara garis besar, nilai I PM di tiap kabupaten kota mengalami kenaikan dari tahun 2006 hingga 2009 walaupun tidak menunjukkan kenaikan yang drastis. Kenaikan I PM ini dikarenakan adanya berbagai program pemerintah baik provinsi maupun kabupaten kota untuk meningkatkan angka I PM, seperti program di bidang kesehatan, pendidikan maupun ekonomi dan peningkatan kualitas sarana prasarana masyarakat lainnya. Keberhasilan program tersebut juga tergantung pada pola pikir masyarakat setempat dalam pemanfaatan sarana tersebut. Perlu disadari bahwa investasi pembangunan dalam rangka pembangunan manusia yang dalam hal ini dipotret dalam angka I PM, hasilnya tidak langsung berdampak di tahun berikutnya. Sebagai contoh usaha peningkatan rata-rata lama sekolah MYS yang dimanifestasikan dalam program wajar dikdas 9 tahun pendidikan dasar, maka hasilnya akan terasa pada beberapa tahun kemudian. Kecep at an Pen cap aian Pem b an g u n an M an u sia Kemajuan atau kemunduran pencapaian pembangunan manusia diukur dengan reduksi shortfall ketertinggalan per tahun, dimana besaran shortfall periode 2006-2009 adalah 1,67. Posisi masing-masing kabupaten kota yang berkaitan dengan pencapaian pembangunan manusia dicerminkan oleh besaran I PM dan reduksi shortfall per tahun yang dibandingkan dengan reduksi shortfall Provinsi Jawa Timur sebagaimana terlihat. Pada gambar di bawah ini terdapat 9 kabupaten kota yang memiliki reduksi shortfall lebih tinggi dan angka I PM yang juga lebih tinggi dari angka I PM Jawa Timur. Kemudian pada kuadran I I hanya terdapat 2 kabupaten kota yang memiliki shortfall lebih tinggi dari shortfall Jawa Timur tetapi mempunyai I PM yang lebih rendah daripada Jawa Timur yaitu Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Ngawi. Sedangkan kabupaten kota yang memiliki reduksi shortfall dan I PM keduanya lebih rendah dari pada Jawa Timur berada di kuadran I I I sebanyak 17 daerah. Kabupaten kota yang berada di kuadran I V atau memiliki I PM lebih tinggi dari Jawa Timur tetapi mempunyai reduksi shortfall rendah sebanyak 10 daerah. Daerah yang memiliki shortfall terendah adalah Kabupaten Bangkalan 1,48, sedangkan yang mempunyai shortfall paling bagus adalah Kota Batu 1,79. Berdasarkan indeks kesehatan, angka tertinggi berhasil dicapai Kota Blitar yaitu sebesar 78,65 dan angka terendah sebesar 60,10 dicapai oleh Kabupaten Probolinggo. Gambar Pengelompokkan KabupatenKota di Jawa Timur Berdasarkan IPM Tahun 2009 dan Reduksi Shortfall Tahun 2006-2010 Kabupaten Kota 01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri 02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar 03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang 04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo 05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan 06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto 07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun 08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya 09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu 10 Banyuwangi 20 Magetan Sumber : BPS RI 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 71 72 73 74 75 76 77 78 79 IPM Shortfall 60 80 1,4 1,5 I II III IV 1,6 1,7 1,8 70 Pada Gambar berikut dapat dilihat bahwa sebanyak 18 kabupaten kota berada pada kuadran I yang memiliki nilai I PM dan indeks kesehatan yang lebih tinggi dari angka Jawa Timur. Hanya 2 kabupaten yang menempati kuadran I I yaitu Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Ngawi. Sedangkan pada kuadran I I I terdapat 17 kabupaten yang memiliki nilai I PM dan indeks kesehatan yang lebih Gambar Pengelompokkan KabupatenKota di Jawa Timur Berdasarkan IPM dan Indeks Kesehatan Tahun 2010 Kabupaten Kota 01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri 02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar 03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang 04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo 05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan 06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto 07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun 08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya 09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu 10 Banyuwangi 20 Magetan Sumber : BPS RI 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 71 72 73 74 76 77 78 79 75 IPM Indeks Kesehatan 60 80 75 65 55 II IV III I rendah daripada angka Jawa Timur, termasuk di dalamnya sebagian daerah tapal kuda. Kuadran I V ditempati oleh Kota Pasuruan dan Kota Batu. Dalam usaha meningkatkan nilai indeks kesehatan sebagai penunjang naiknya angka I PM, maka pemerintah harus mengarahkan perhatian pada Gambar Pengelompokkan KabupatenKota di Jawa Timur Berdasarkan IPM dan Indeks Pendidikan Tahun 2010 Kabupaten Kota 01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri 02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar 03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang 04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo 05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan 06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto 07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun 08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya 09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu 10 Banyuwangi 20 Magetan Sumber : BPS RI 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 71 72 73 74 75 76 77 78 79 IPM Indeks Pendidikan 60 70 80 80 60 III I II IV 50 90 daerah yang masih memiliki indeks kesehatan rendah, yaitu dengan pembangunan sarana kesehatan yang memadai. Selain itu masyarakat yang berada di daerah tersebut sangat membutuhkan adanya pembinaan terhadap pola pikir mereka tentang pentingnya pemanfaatan sarana kesehatan secara optimal. Dalam penghitungan I PM pada tingkat kesehatan penduduk dicerminkan oleh besaran angka harapan hidup. Peningkatan angka harapan hidup akan bisa dicapai apabila ada upaya untuk meminimalkan angka kematian bayi maupun kematian ibu melahirkan. Beberapa faktor yang cukup sensitif terhadap perubahan angka kematian bayi dan ibu adalah pola makanan yang bergizi dan penolong kelahiran persalinan. Variabel lainnya yaitu indeks pendidikan pada tahun 2010 tertinggi dicapai Kota Malang 89,59 sedangkan nilai terendah dicapai Kabupaten Sampang 52,31. Dari Gambar 4.9, kuadran I ditempati sebanyak 19 kabupaten kota yang mencakup seluruh wilayah kota. Pada kuadran I I terdapat 3 kabupaten kota yang memiliki nilai I PM yang lebih rendah dari Jawa Timur dengan indeks pendidikan yang lebih tinggi dari indeks Jawa Timur yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Madiun, sebanyak 16 Kabupaten berada di kuadran I I I dan tidak ada yang menempati kuadran I V. Dari hasil penghitungan indeks kesehatan dan indeks pendidikan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar wilayah dengan indeks kesehatan rendah juga merupakan daerah yang memiliki indeks pendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang ada yaitu semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki di suatu wilayah maka tingkat kesehatan masyarakatpun juga semakin rendah. Dari kedua gambar di atas terlihat bahwa kondisi kesehatan dan pendidikan penduduk yang tinggal di sebagian besar wilayah tapal kuda relatif rendah dibandingkan rata-rata kabupaten kota di Jawa Timur, sehingga komponen tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap rendahnya angka status pembangunan manusia di wilayah tapal kuda. Rendahnya kedua variabel tersebut, diduga karena pengaruh kultur yang cukup melekat pada masyarakat di wilayah tersebut serta pengaruh akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan yang relatif masih sulit bagi masyarakat tapal kuda. Hal ini dapat diartikan bahwa usaha dalam meningkatkan I PM akan mengalami kesulitan jika dilihat dari segi kesehatan maupun pendidikan, karena kedua komponen tersebut berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat yang tidak mudah mengalami perubahan. Komponen ketiga yaitu PPP Purchasing Power Parity daya beli, juga perlu dilihat seberapa jauh mempengaruhi angka I PM. Variabel ini cukup berpengaruh, karena identik dengan capaian kesejahteraan masyarakat secara ekonomi. Gambar berikut ini menunjukkan daerah yang berada di kuadran I sebanyak 8 kabupaten kota dengan 2 daerah di antaranya adalah Kabupaten Blitar dan Kabupaten Sidoarjo, sedangkan sisanya adalah daerah perkotaan. Tidak satupun kabupaten kota menempati kuadran I I . Pada kuadran I I I ditempati oleh 19 kabupaten yang sebagian besar wilayahnya juga merupakan daerah tapal kuda, sedangkan pada kuadran I V terdapat 11 kabupaten. Sebaran nilai I PM dan PPP yang ditunjukkan pada Gambar tersebut memperlihatkan bahwa nilai PPP tertinggi pada tahun 2009 dicapai oleh Kota Surabaya 67,14 sedangkan untuk PPP terendah adalah Kabupaten Bojonegoro 59,08. Secara umum, nilai PPP di Jawa Timur lima tahun terakhir mengalami perbaikan meskipun mengalami beberapa kendala akibat faktor intern dan ekstern. Tetapi dari pengalaman menghadapi krisis ekonomi, kabupaten kota dapat menggeliatkan ekonominya dan daya beli masyarakat pada tahun 2010 seluruh kabupaten kota mengalami peningkatan sehingga mampu mendongkrak I PM. Secara visual kondisi kabupaten kota menurut I PM dan I ndeks PPPnya sebagaimana gambar berikut: Gambar Pengelompokkan KabupatenKota di Jawa Timur Berdasarkan IPM dan Indeks PPP Tahun 2010 Kabupaten Kota 01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri 02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar 03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang 04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo 05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan 06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto 07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun 08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya 09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu 10 Banyuwangi 20 Magetan Sumber : BPS RI 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 71 72 73 74 75 76 77 78 79 IPM Indeks PPP 60 70 80 60 II IV I III 70 RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN 1. Arah Kebijakan Perekonomian Daerah • Kondisi Ekonomi Daerah 2010 dan Perkiraan Tahun 2011 Perkembangan ekonomi Jawa Timur tahun 2010 dibanding tahun sebelumnya memperlihatkan pertumbuhan yang baik di hampir semua sektor, walaupun pertumbuhan di sektor pertanian mengalami kontraksi akibat pola musiman dan kondisi iklim yang kurang bersahabat. Beberapa fenomena ekonomi yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur antara lain kondisi ekonomi global yang terus membaik, ekonomi domestik nasional cukup stabil, serta keberangkatan Jemaah Haji, Perayaan Lebaran I dul Adha, Natal dan Tahun Baru 2011, disamping penyerapan anggaran akhir tahun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan seluruh Pemerintah Kabupaten Kota se-Jawa Timur serta pembangunan beberapa infrastruktur jalan tol dan bangunan rumah layak huni untuk fakir miskin. Dengan kondisi perkembangan global dan domestik yang mendukung tersebut membuat kinerja perekonomian Jawa Timur pada triwulan I V tahun 2010 baik secara y-on-y maupun c-to-c tumbuh tinggi, masing-masing sebesar 7,16 persen dan 6,67 persen. Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2010 Motor penggerak pertumbuhan ekonomi y-on-y umumnya didominasi oleh sektor non tradable goods, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yang masing-masing tumbuh sebesar 11,16 persen, 9,74 persen dan 9,00 persen. Disamping tumbuh tinggi, ketiga sektor ini juga memberikan kontribusi yang tinggi terhadap PDRB Jawa Timur, dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran berkontribusi sebesar 3,04 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,84 persen, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 0,50 persen. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sebagian besar didorong oleh perdagangan barang-barang konsumsi baik makanan maupun non makanan, dan restoran, sementara pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi sebagian besar didorong oleh subsector komunikasi dan subsektor angkutan rel, dan pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan terutama karena subsektor perbankan cukup berhasil dalam menjalankan fungsi intermediarisnya. Meskipun sektor non tradable goods tumbuh cukup baik, tetapi sektor lain khususnya sektor tradable goods juga mengalami pertumbuhan dengan cukup tinggi seperti sektor industri pengolahan sebesar 5,93 persen dengan kontribusi pertumbuhan sebesar 1,58 persen; sektor pertambangan dan penggalian 9,25 persen dengan sumber pertumbuhan 0,22 persen. Sektor pertanian tumbuh sebesar 1,50 persen dengan sumber pertumbuhan sebesar 0,19 persen. Sektor lain juga tumbuh pada tingkat yang relatif tinggi seperti sektor listrik, gas dan air bersih 8,31 persen dengan sumber pertumbuhan 0,11 persen. Sektor konstruksi tumbuh 8,80 persen dengan sumber pertumbuhan 0,29 persen, dan sektor jasa-jasa sebesar 4,08 persen dengan sumber pertumbuhan 0,39 persen. Perkembangan ekonomi Jawa Timur secara q-to-q juga dimotori oleh sektorsektor non tradable goods, sementara sektor pertanian karena pola musiman dan perubahan iklim yang kurang bersahabat membuat pertumbuhannya negatif sebesar 19,37 persen terutama subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, kehutanan dan perikanan, sementara subsektor peternakan tumbuh positif karena penggemukan berat ternak cukup berhasil dalam menyambut perayaan Lebaran I dul Adha. Sektor-sektor non tradable goods sangat dominan pada pertumbuhan ekonomi Jawa Timur q-to-q. Hal ini diduga karena fenomena ekonomi yang telah disebutkan di atas ehingga membuat perkembangan yang cukup nyata di dalam roda ekonomi Jawa Timur, seperti sektor konstruksi tumbuh 3,47 persen dengan sumber pertumbuhan 0,11 persen; sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 2,12 persen dengan sumber pertumbuhan 0,66 persen; sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh 3,42 persen dengan sumber pertumbuhan 0,26 persen; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan tumbuh 3,35 persen dengan sumber pertumbuhan 0,18 persen; dan sektor jasa-jasa tumbuh 3,32 persen dengan sumber pertumbuhan 0,30 persen. Secara kumulatif Januari – Desember tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur c-to-c dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009 mencapai 6,67 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10,67 persen, selain tumbuh tinggi, ternyata sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi penyumbang sumber pertumbuhan tertinggi, mencapai 3,19 persen hampir separuh total pertumbuhan ekonomi cto-c. Sektor berikutnya yang juga mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor angkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor konstruksi dan sektor listrik, gas dan air bersih, yang masing-masing tumbuh sebesar 10,07 persen, 9,18 persen, 7,27 persen, 6,64 persen dan 6,43 persen, dengan kontribusinya terhadap pertumbuhan selama Januari – Desember tahun 2010 masing-masing sebesar 0,72 persen, 0,20 persen, 0,39 persen, 0,21 persen dan 0,09 persen. Sementara sektor industri pengolahan dan sektor pertanian walau hanya mampu tumbuh sebesar 4,35 persen dan 2,13 persen, tetapi keduanya memberikan sumbangan yang besar yakni 1,13 persen dan 0,33 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tiga sektor ekonomi utama Jawa Timur masih dimotori oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri pengolahan dan sektor pertanian, meskipun pada tahun 2010 ini sektor pengangkutan dan komunikasi sumber pertumbuhannya cukup tinggi mencapai 0,72 persen. Pengukuran PDRB menurut penggunaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengukuran PDRB menurut lapangan usaha sektoral, yang disajikan dalam satu kerangka kerja. Meskipun demikian, penghitungan PDRB menurut penggunaan dilakukan secara independen dengan menggunakan data dasar yang relatif berbeda. Jika pembahasan PDRB sektoral lebih menitikberatkan pada proses produksi serta faktor pendapatan yang diturunkan balas jasa faktor produksi, maka PDRB menurut penggunaan menjelaskan tentang penggunaan atas pendapatan tersebut. Selain itu, melalui komponen penggunaan atau permintaan akhir final demand juga dapat dilihat keterkaitannya dengan penyediaan barang dan jasa domestik. Distribusi PDRB Menurut Penggunaan Perkembangan struktur ekonomi di Jawa Timur akibat dari proses pembangunan ekonomi yang terjadi selama kurun waktu tersebut tidaklah terlepas dari pertumbuhan maupun perubahan perilaku yang terjadi di masing- masing komponen penggunaan akhir. Setiap komponen mempunyai perilaku yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Sebagaimana yang terjadi di negara- negara berkembang, sebagian besar produk barang dan jasa yang beredar di wilayah domestik digunakan untuk memenuhi permintaan konsumsi akhir. Dari tahun ke tahun seluruh nilai tambah yang dihasilkan ternyata sebagian besar masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akhir, dengan kata lain bahwa dari produk domestik yang dihasilkan sebagian besar digunakan untuk memenuhi konsumsi akhir rumahtangga. Pada tahun 2010 konsumsi rumah tangga tercatat sebesar 68,00 persen dari seluruh pengeluaran di Jawa Timur, atau sekitar 529,38 triliun rupiah yang terdiri atas 303,88 triliun rupiah untuk konsumsi makanan dan 225,50 triliun rupiah untuk konsumsi non makanan. Jika dibandingkan dengan data tahun sebelumnya angka ini nampak relatif lebih tinggi. Pada tahun 2009 persentase konsumsi rumahtangga sebesar 67,50 persen dengan konsumsi makanan sebesar 39,34 persen dan 28,15 persen untuk non makanan. Dalam struktur permintaan akhir, transaksi ekspor menggambarkan berbagai produk barang dan jasa yang tidak dikonsumsi di wilayah ekonomi domestik karena dikonsumsi oleh pihak negara lain maupun propinsi lain. Secara total, nilai ekspor menunjukkan peningkatan sejalan dengan semakin bertambahnya permintaan pasar luar negeri terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh Jawa Timur, sebagaimana digambarkan pada Tabel 3.5. Pada tahun 2010 kontribusinya mencapai 48,57 persen atau sekitar 378,10 triliun rupiah, sedangkan pada tahun 2009 kontribusinya sebesar 46,23 persen atau 317,54 triliun rupiah. Berbeda dengan transaksi ekspor, impor menjelaskan tentang adanya tambahan penyediaan produk supply di wilayah ekonomi domestik. I mpor juga terdiri dari produk barang dan jasa. Tidak berbeda jauh dengan ekspor, impor barang dan jasa juga berasal dari produk luar negeri maupun provinsi lain. I mpor bukan merupakan produk yang dihasilkan di dalam wilayah ekonomi domestik, oleh karena itu impor harus dikeluarkan dari perhitungan PDRB. Dengan demikian, maka PDRB akan menggambarkan produk yang benar-benar dihasilkan oleh Jawa Timur. Perkembangan yang terjadi pada transaksi impor menunjukkan semakin kuatnya ketergantungan Jawa Timur terhadap produk negara dan provinsi lain. Pada tahun 2010 kontribusi impor mencapai 45,64 persen atau sekitar 355,31 triliun rupiah, sedangkan pada tahun 2009 sebesar 41,69 persen atau 286,33 triliun rupiah. Tingginya peran ekspor dan impor dalam perekonomian Jawa Timur dimungkinkan karena Provinsi Jawa Timur merupakan pusat industri dan perdagangan di kawasan wilayah I ndonesia Timur. Pembentukan Modal Tetap Bruto PMTB pada data PDRB menurut penggunaan lebih menjelaskan tentang bagian dari pendapatan income yang direalisasikan menjadi investasi. Sedangkan perubahan inventori perubahan stok merupakan perubahan dalam bentuk ” persediaan” atas berbagai barang yang belum digunakan lebih lanjut dalam proses produksi, konsumsi ataupun investasi kapital. Pembentukan Modal Tetap Bruto dan perubahan stok merupakan variabel yang bisa digunakan untuk menghitung besarnya investasi yang ditanam. Pada tahun 2010 investasi yang terserap di Jawa Timur tercatat sebesar 152,24 triliun rupiah 19,56 persen dari total PDRB dan perubahan stok sebesar 8,85 triliun rupiah 1,14 persen. I nvestasi yang ditanam ini berasal baik dari masyarakat Jawa Timur sendiri maupun dari masyarakat luar Jawa Timur. I nvestasi berguna untuk memompa kapasitas dari unit kegiatan ekonomi yang belum terpakai secara optimal. Pemerintah memerlukan sejumlah dana untuk melaksanakan tugas dan fungsinya diantaranya untuk melayani masyarakat dan sebagai regulator. Konsumsi akhir pemerintah mencakup berbagai pengeluaran pemerintah dalam penggunaan berbagai produk barang dan jasa, baik dari hasil produksi domestik maupun impor. Pengeluaran pemerintah mencakup berbagai pengeluaran pemerintah untuk menunjang aktivitasnya. Pada tahun 2010 konsumsi akhir pemerintah mencapai 60,38 triliun rupiah atau bisa juga dikatakan dari total PDRB Jawa Timur sebesar 7,76 persen digunakan untuk konsumsi pemerintah. Sementara pada tahun 2009 konsumsi pemerintah sebesar 7,85 persen atau sebesar 53,90 triliun rupiah. Sebagai regulator, sebenarnya yang utama bukan besarnya dana yang dikonsumsi pemerintah, tetapi yang lebih penting adalah seberapa efisen dana tersebut mendorong perekonomian di Jawa Timur. Kondisi perekonomian di Jawa Timur sudah mengindikasikan ke arah keadaan yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya yang menunjukkan peningkatan secara signifikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi Jawa Timur telah mencapai 5,80 dan pada tahun 2007 yaitu mencapai 6,11 . Selanjutnya pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mencapai 5,94 , pada tahun 2009 mencapai 5,01 dan diperkirakan pada tahun 2010 masih berkisar 6,50 sedangkan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi sekitar 6,63 . Tantangan dan Prospek Perekonomian Daerah Tahun 2011 dan Tahun Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tahun 2011 dan 2012, jika ditinjau berdasarkan sektor ekonomi diperkirakan tidak banyak mengalami perubahan yang mendasar bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana pertumbuhannya masih akan ditopang oleh tiga sektor pendukung utama yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan, dan sektor pertanian. Dari sisi moneter, seperti kestabilan nilai tukar rupiah, terkendalinya laju inflasi dan kestabilan tingkat suku bunga perbankan akan mempengaruhi prospek perekonomian Jawa Timur tahun 2011 dan 2012. Dengan perkiraan relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan suku bunga perbankan serta dukungan kebijakan moneter yang hati-hati, serta laju inflasi rata-rata bisa ditekan pada angka sekitar 5 -6 per tahun, maka prospek ekonomi Jawa Timur 2011 dan 2012 akan lebih baik dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya, sehingga pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2011 diperkirakan sebesar 6,0 - 6,6 dan tahun 2012 bisa mencapai 6,0 -7,0 . Di bidang perbankan, diharapkan bank-bank di Jawa Timur dapat terus meningkatkan dukungannya pada sektor riil dengan difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui subsidi bunga dan penjaminan kredit kepada UMKM serta revitalisasi KKMB Konsultan Keuangan Mitra Bank, sehingga peran bank- bank di Jawa Timur dapat ditingkatkan untuk dapat memberikan kredit-kredit modal usaha kepada UMKM dengan bunga yang terjangkau. • Arah Kebijakan Keuangan Daerah Sumber-sumber keuangan daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, penggalian sumber-sumber potensi baru untuk menambah penerimaan Pendapatan Asli Daerah PAD, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diperoleh berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Analisa dan Perkiraan Sumber- sumber Pendanaan Daerah Dengan ditetapkannya kebijakan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilaksanakan dengan lebih berorientasi kepada kepentingan daerah yang dimplementasikan dalam bentuk program kegiatan SKPD. Untuk itu, pengalokasian anggaran dan pemanfaatan potensi dan sumber daya daerah diharapkan dapat memberi kepuasan kepada masyarakat, membuka kesempatan lapangan kerja, pemberdayaan ekonomi masyarakat, utamanya UMKM serta diberbagai bidang. Provinsi sebagai daerah otonom, berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan memanfaatkan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota sehingga tidak terjadi overlapping untuk membangun kebersamaan dalam meningkatkan kesejahteraan. Prediksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD Provinsi di Jawa Timur Tahun 2012 dari Pos Pendapatan Daerah sebesar Rp. 10.122.540.947.463,00 sedangkan Pos Belanja Daerah dari pos Belanja Langsung adalah sebesar Rp 4.919.167.474.058,00 dan pos Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 5.303.373.473.405,00. Total kebutuhan belanja Daerah Tahun 2012 adalah sebesar 10.222.540.947.463,00 Dengan struktur pendapatan dan belanja tersebut, APBD Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 mengalami defisit sebesar Rp. 100.000.000.000,00. Defisit APBD 2012 tersebut ditutup dari selisih antara Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan Daerah sebesar Rp. 100.000.000.000,00 yang berasal dari Estimasi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun 2011 sebesar Rp . 200.000.000.000,00 dan Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp. 100.000.000.000,00 Sumber pendapatan APBD Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 terdiri dari Pendapatan Asli Daerah PAD sebesar Rp. 7.885.613.999.895,00 Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat sebesar Rp. 2.212.126.947.568,00 dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah sebesar Rp 24.800.000.000,00. Pendapatan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah PAD berasal dari Pajak Daerah sebesar Rp. 6.372.050.000.000,00 Retribusi Daerah sebesar Rp 59.231.844.269,00. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan Rp. 291.647.519.426,00 dan dari Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah sebesar Rp. 1.162.684.636.200,00 Sedangkan pendapatan yang bersumber dari Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak sebesar Rp. 864.625.248.568,00 Dana Alokasi Umum DAU sebesar Rp. 1.347.501.699.000,00 dan pendapatan yang bersumber dari Lain- lain pendapatan daerah yang sah Pendapatan Hibah sebesar Rp 24.800.000.000,00. Selanjutnya pada Pos Pembiayaan Daerah yang terdiri dari Pos Penerimaan dan Pengeluaran meliputi Pos Penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran 2011 SiLPA sebesar Rp 200.000.000.000,00 dan Pos Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp. 100.000.000.000,00. Kebijakan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur tahun 2012 diarahkan pada: Arah Kebijakan Pendapatan Daerah a. Optimalisasi usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah dalam rangka taxing power di daerah. b. Menghapus pajak kendaraan bermotor roda dua yang tahun pembuatannya lama, dan menaikkan pajak kendaraan bermotor roda empat mewah. c. Mendorong pemerintah pusat untuk meningkatkan pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan melalui Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil sumber daya alam. d. Mengembangkan pendapatan daerah yang bersifat netral, dengan meminimalkan timbulnya dampak distortif atas pengenaan pajak atau retribusi daerah terhadap perekonomian. e. Meningkatkan kontribusi BUMD dengan upaya pengelolaan BUMD yang lebih efisien dan efektif. f. Penghapusan retribusi yang membebani masyarakat kecil. g. Menciptakan hubungan sinergis antara eksekutif dan legislatif dalam penetapan APBD berlandaskan pemahaman bersama, bahwa hubungan DPRD dan gubernur wakil gubernur tidak semata atas dasar sistem peraturan perundangan yang berlaku, tapi juga konsensus-konsensus etis, dan nilai-nilai budaya lokal yang didasarkan pada keadilan, kebebasan dan kebaikan bersama, meletakkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok politik, birokrasi dan pribadi, serta mengedepankan prinsip-prinsip good governance. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, komponen Pendapatan Daerah terdiri dari 3 tiga kelompok yaitu Pendapatan Asli Daerah PAD, Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan cerminan kemampuan dan potensi daerah, sehingga besarnya penerimaan PAD dapat mempengaruhi kualitas otonomi daerah. Semakin tinggi kualitas otonomi daerah, maka ketergantungan dengan Pemerintah Pusat semakin berkurang. Sedangkan Dana perimbangan merupakan sumber Pendapatan Daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan Pemerintahan Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah utamanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi Daerah menetapkan bahwa pelimpahan kewenangan dari pemerintah ke Pemerintah Provinsi , dari Pemerintah Provinsi ke Pemerintah Kabupaten Kota atau sebaliknya dalam pemungutan pajak agar ditetapkan oleh Peraturan Daerah. Langkah Pemerintah Daerah meninjau kembali perda-perda tentang pajak dan retribusi harus dilakukan agar tidak berakibat pada penerimaan pajak dan retribusi. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah dilaksanakan melalui rencana kerja sebagai berikut : 1. Meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya peningkatan kualitas pelayanan diarahkan pada tujuan untuk semakin mendekatkan dan memudahkan masyarakat serta menyederhanakan sistem dan prosedur pelayanan yang wujud nyatanya adalah percepatan waktu dan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan. Pengembangan sarana dan prasarana untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan melalui penambahan tempat pelayanan yaitu pelayanan Drive Through, Pelayanan Samsat Link, Payment Point, Samsat Corner, Samsat Keliling, Samsat Delivery, Samsat Quick Respon SQR. Selain itu pengembangan Teknologi I nformasi dilingkungan KB Samsat antara lain SMS I nfo Samsat, SMS JT, dan SMS Komplain. 2. Memanfaatkan sumber daya dan mensinergikan Potensi Daerah. Dengan Program Kegiatan Peningkatan dan Pengembangan Pengelolaan Keuangan Daerah, peningkatan hubungan kerjasama antar Dinas dilingkungan Provinsi Jawa Timur dan dengan Pemerintah Pusat BUMN dalam rangka peningkatan penerimaan Bagi Hasil dari Pemerintah, pengembangan fasilitasi kerja sama dengan Kabupaten Kota dibidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. 3. Mewujudkan Sumber Daya Manusia SDM Aparatur yang potensial, profesional serta membangun sistem kelembagaan yang berbasis kompetensi. SDM dalam pengertian ini mencakup kuantitas dan kualitas. Kedua aspek tersebut harus dikembangkan secara berimbang dan paralel. Beberapa kebijakan yang dilakukan adalah melalui diklat, pelatihan etika pelayanan, pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemungutan Pendapatan Asli Daerah. Rencana Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012 disusun dengan memperhatikan, mempertimbangkan potensi peluang dan dinamika permasalahan serta perkembangan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu Kebijakan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2012 antara lain diarahkan pada : Arah Kebijakan Belanja Daerah. a. Meningkatkan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, pangan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang berkualitas; b. Program-program penanggulangan kemiskinan serta pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan serta partisipatif; c. Pembangunan infrastruktur pedesaan dalam rangka memperluas lapangan kerja di pedesaan melalui pendekatan program padat karya; d. Stimulus pertumbuhan sektor riil melalui bantuan dana bergulir bagi usaha mikro, kecil dan menengah UMKM dalam rangka memberdayakan UMKM; e. Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi belanja dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas, kesenjangan potensi ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan masyarakat terhadap pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi makro; f. Meningkatkan efektivitas kebijakan penciptaan kerja sama yang harmonis antara eksekutif, legislatif, serta partisipasi masyarakat dalam pembahasan dan penetapan anggaran belanja daerah; g. Pemenuhan belanja sesuai urusan-urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, baik urusan wajib maupun urusan pilihan sesuai dengan peraturan perundangan; h. Melanjutkan proyek-proyek strategis yang bersifat tahun jamak multi years sesuai tahapan; i. Belanja penanganan bencana alam dan paska bencana alam dialokasikan dengan pola “ Dana siap pakai on call” yang sewaktu-waktu dapat dibelanjakan. j. Memenuhi prinsip keadilan tidak hanya terkonsentrasi pada lokus tertentu serta dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakat; k. Mengacu pada sinkronisasi kebijakan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten Kota. Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 membawa pro dan kontra terhadap pelaksanaan pembiayaan atas beberapa kewenangan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Mekanisme pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah diutamakan semaksimal mungkin berasal dari potensi penerimaan asli daerah baik melalui pajak daerah, retribusi daerah maupun dari laba BUMD dan penerimaan lain yang dianggap sah serta potensi penerimaan lain yang masih belum terjangkau oleh PAD atau lebih dikenal dengan Kapasitas Fiskal Daerah. Arah Kebijakan Pembiayaan Daerah. Dalam jangka panjang ketika daerah telah mampu mengalokasikan dana pembangunan ke semua urusan yang menjadi kewenangannya, maka ada kemungkinan daerah akan mengalami kekurangan dana untuk melaksanakan pembangunan. Namun kenyataannya tidaklah demikian, karena pembebanan belanja pegawai pusat yang didaerahkan juga menjadi beban DAU sehingga banyak daerah yang justru mengalami kekurangan dana. Walaupun akhirnya pemerintah pusat memberikan tambahan jumlah DAU kepada daerah yang mengalami defisit, namun kemungkinan akan terjadi kondisi daerah kekurangan dana untuk melaksanakan pembangunan tetap saja ada. Langkah yang diperlukan untuk mengatasi hal tersebut adalah peran pembiayaan daerah yang menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Jika pendapatan daerah lebih kecil daripada belanja daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang defisit, dan harus ditutupi dengan penerimaan daerah. Sebaliknya, jika pendapatan daerah lebih besar daripada belanja daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang surplus, dan harus digunakan untuk pengeluaran daerah yang di diharapkan dari sumber-sumber lain, seperti : masyarakat, swasta serta pemerintah pusat APBN. Kebijakan Umum peningkatan sumber pembiayaan adalah dengan meningkatkan manajemen pembiayaan daerah yang mengarah pada akurasi, efisiensi, efektifitas dan profitabilitas. Sedangkan strategi yang diambil adalah sebagai berikut : 1. Apabila APBD surplus maka harus digunakan untuk pengeluaran daerah. Sedangkan pinjaman kepada Pemerintah Pusat Daerah lain dan atau pendanaan belanja diutamakan untuk membayar pokok utang, penyertaan modal investasi daerah, pemberian peningkatan jaminan sosial ; 2. Apabila APBD Defisit, maka dapat dipenuhi melalui Apabila APBD defisit, maka ditutupi dari penerimaan : Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu Silpa; Pencairan dana cadangan; Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; Penerimaan pinjaman daerah; Penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan penerimaan piutang daerah ; 3. Apabila Sisa Lebih Perhitungan Anggaran tidak mencukupi untuk menutup defisit APBD, maka ditutup dengan dana pinjaman. Adapun strategi Pembiayaan Daerah Provinsi Jawa Timur tahun 2012 diarahkan : a. Dar i Sisi Su m b er Pen er im aan Daer ah Sumber penerimaan daerah Provinsi Jawa Timur dalam lima tahun mendatang dilaksanakan dalam kerangka arah kebijakan sebagai berikut : 1. Penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu Silpa sebagai sumber penerimaan pada APBD tahun berikutnya; 2. Menyisihkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu Silpa untuk menambah Dana Cadangan sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006; 3. Penggunaan pinjaman, baik dari dalam maupun luar negeri, melalui penerbitan obligasi daerah ataupun bentuk pinjaman lainnya untuk membiayai pembangunan infrastruktur publik dan proyek-proyek besar lainnya. 4. Memperluas dan meningkatkan kerja sama kemitraan dengan swasta dalam pembiayaan pembangunan melalui berbagai model, antara lain, Leasses and Concession LC, Built, Operations and Transfer BOT, atau Public Private Partnership; 5. Pembiayaan pembangunan dengan pola cost-sharing antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten kota; 6. Mengembangkan privatisasi swastanisasi; 7. Meningkatkan pemanfaatan pembiayaan dari sumber Corporate Social Responsibility CSR dan Program Kemitraan Bina Lingkungan PKBL 8. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja APBD; 9. Optimalisasi lembaga keuangan mikro seperti: pengembangan model-model pembiayan tangung renteng ; 10. Pembentukan regulasi yang mendorong termobilisasinya pembiayaan oleh swasta dan masyarakat; 11. Optimalisasi pemanfaatan zakat, infaq dan shodaqoh ZI S. b . Dar i Sisi Su m b er Pen g elu ar an Daer ah Sumber pengeluaran daerah Provinsi Jawa Timur dalam lima tahun mendatang dilaksanakan dalam kerangka arah kebijakan sebagai berikut: 1. Melakukan pembayaran hutang pokok yang menjadi kewajiban Pemerintah Provinsi Jawa Timur; 2. Penyertaan modal Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur kepada BUMD untuk perbaikan kinerjanya; 3. Memberikan Public Service Obligation PSO kepada BUMD yang tarif layanannya ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Faktor Pendorong Jawa Timur Optimis Pembangunan Tahun 2012 Bisa Lebih berhasil : 1. Momentum Untuk Jawa Timur Terus Bangkit dan Tumbuh Sedang Terjadi 2. Saat Krisis Keuangan Dunia 2008-2009; Tahun 2009 Jatim tumbuh 5,1 , nasional 4,5 ; Tahun 2010 Jatim 6,67 Nasional 6 . 3. Potensi Jawa Timur untuk Tumbuh menjadi Provinsi Maju semakin Besar a. Jaminan I nvestasi b. Potensi Sumber Daya Alam c. Dukungan I nfrastruktur PRI ORI TAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN DAERAH

1. Tujuan dan Sasaran Pembangunan