Resume Rancangan Awal RKPD Prov Jatim Th 2012

(1)

PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk jangka waktu 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Terkait dengan amanat tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menyusun RPJPD Tahun 2005-2025 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2009 dan RPJMD Tahun 2009-2014 yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009. Selanjutnya RPJMD tersebut dijabarkan ke dalam RKPD yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaanya dengan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Penjabaran tahun ke-dua dari RPJMD 2009-2014 telah dijabarkan kedalam rencana tahunan sebagaimana Peraturan Gubernur Nomor 52 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2011 dan dengan mengacu pada ayat 2 pasal 25 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RKPD 2011 tersebut telah dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan APBD Tahun 2011, setelah sebelumnya melalui proses penyepakatan Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Angaran Sementara (PPAS) APBD 2011 sebagaimana amanat Ayat (1) Pasal 83 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007


(2)

tentang Perubahan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan substansi arahan program dan kegiatan pada RKPD 2011 tersebut secara derivative memberikan acuan teknis pelaksanaan APBD Tahun 2011 yang strukturnya diformulasikan kedalam 9 agenda dan 18 Prioritas Pembangunan.

RKPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 merupakan penjabaran tahun ke-tiga, yang penyusunannya berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah dan Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2014, dengan memperhatikan hasil kinerja pembangunan yang dicapai pada tahun sebelumnya, fenomena yang ada, isu strategis yang akan dihadapi pada tahun pelaksanaan RKPD, mempertimbangkan sinergitas antar sektor dan antar wilayah serta penjaringan aspirasi secara bertahap melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang secara partisipatif dilakukan mulai dari Tingkat Desa/ Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten/ Kota yang selanjutnya diformulasikan melalui forum Musrenbang RKPD Provinsi.

Pagu indikatif yang menjadi substansi penting pada RKPD ini merupakan gambaran investasi Pemerintah yang dalam penjabarannya diinteraksikan dengan komponen sumberdaya yang lain, seperti dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. Terhadap kegiatan yang dibiayai dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dokumen RKPD ini merupakan sub sistem penting sebagai input dalam penyusunan program dan penganggaran SKPD.

Dokumen RKPD ini merupakan dokumen publik, sehingga pelibatan semua stakeholder dalam proses penyusunan rencana program dan kegiatan menjadi pengarusutamaan (mainstreaming) dalam proses penyusunan dokumen ini. Dengan prinsip tersebut, diharapkan dokumen RKPD ini harus dapat diakses oleh semua stakeholder baik dalam tahap pelaksanaan, pengawasan, pengendalian maupun evaluasi.


(3)

2.

Dasar Hukum Penyusunan

Landasan hukum penyusunan RKPD ini adalah:

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi Jawa Timur juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 Peraturan Tentang mengadakan perubahan dalam Undang-Undang Tahun 1950 Nomor 2 dari hal pembentukan Provinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 32);

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 3851);

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Republik I ndonesia Nomor 2286);

4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2004 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia 4421);

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4844);

6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4438);

7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4700);


(4)

8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4723);

9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4725);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4578);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja I nstansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4614);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4663);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4664);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4737);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4741);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik


(5)

I ndonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4815);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4816); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara

Penyusunan dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4817);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik I ndonesia Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik I ndonesia Nomor 4725);

20. Peraturan Presiden Republik I ndonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014;

21. Peraturan Presiden Republik I ndonesia Nomor 29 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011;

22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;

24. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2025;

25. Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Timur Nomor 38 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2014.


(6)

3.

Maksud dan Tujuan

RKPD tahun 2012 dimaksudkan untuk menjadi pedoman dalam penyusunan Rancangan KUA dan PPA Sementara yang akan disampaikan kepada Panitia Anggaran DPRD untuk dibahas, disepakati dan dituangkan dalam Nota Kesepakatan KUA dan PPA antara Gubernur dan Pimpinan DPRD. Selanjutnya akan dijabarkan dalam RKA SKPD sebagai lampiran Raperda APBD untuk dibahas dan memperoleh persetujuan DPRD.

Adapun tujuannya adalah untuk mewujudkan program pembangunan Jawa Timur yang terintegrasi dan berkelanjutan sesuai dengan visi, misi dan amanat RPJMD yang dilaksanakan dengan :

1. Menciptakan kepast ian kebij akan sebagai komit m en Pemerint ah dalam penyelenggaraan urusan Pemerint ahan m elalui penj abaran rencana st rat egis ke dalam rencana operasional dan memelihara konsist ensi ant ara capaian t uj uan perencanaan st rat egis j angka menengah dengan t uj uan perencanaan dan penganggaran t ahunan pem bangunan daerah; 2. Mem berikan gam baran mengenai proyeksi Rencana Kerangka Ekonomi

Daerah t ahun 2012 sebagai pat okan dalam penyusunan rencana pendapat an yang akan digunakan unt uk mem biayai belanj a dan pem biayaan pem bangunan daerah;

3. Mem berikan arah bagi seluruh st akeholder pem bangunan daerah dalam m erumuskan dan m enyusun perencanaan sert a part isipasi dalam pem bangunan daerah t ahun 2012;

4. Menyat ukan t uj uan kegiat an semua SKPD melalui penet apan t arget I ndikat or Kinerj a Ut am a ( I KU) dalam rangka pencapaian visi dan misi Pemerint ah Provinsi Jaw a Tim ur sehingga menj adi inst rum en bagi Pemerint ah Daerah dalam menyusun Laporan Ket erangan Pert anggung Jaw aban ( LKPJ) , Laporan Penyelenggaraan Pemerint ahan Daerah ( LPPD) dan Laporan Kinerj a Pemerint ah Daerah ( LKPD) ;

5. Menet apkan program priorit as untuk masing-masing urusan pemerintahan dalam rangka pencapaian target I ndikator Kinerja Utama (I KU) yang ditetapkan dalam RPJMD.


(7)

EVALUASI HASI L PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAI AN

KI NERJA PENYELENGGARAAN PEMERI NTAHAN

1. Gambaran Umum Kondisi Daerah

Aspek Geografis dan Demografi

Provinsi Jawa Timur secara geografis terletak pada 111o 0’ hingga 114o4’ Bujur Timur dan 7o12’ hingga 8o48’ Lintang Selatan yang terbagi menjadi dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah, sedangkan luas Kepulauan Madura hanya sekitar 10% . Luas wilayah Provinsi Jawa Timur mencapai 4.713.014,67 Ha dan terbagi atas 29 wilayah kabupaten dan 9 kota, wilayah pesisir dan laut sejauh 12 mil dari garis pantai, ruang di dalam bumi serta wilayah udara. Batas-batas wilayah Provinsi Jawa Timur sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa - Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Selatan)

Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali - Pulau Bali

Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera I ndonesia

Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah

Panjang bentangan barat-timur sekitar 400 kilometer. Lebar bentangan utara-selatan di bagian barat sekitar 200 kilometer, sedangkan di bagian timur lebih sempit, hanya sekitar 60 kilometer. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150 kilometer sebelah utara Jawa. Di sebelah timur Madura terdapat gugusan pulau, paling timur adalah Kepulauan Kangean, dan paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian selatan terdapat dua pulau kecil, Nusa Barung dan Pulau Sempu.

Kondisi kawasan pada Provinsi Jawa timur terbagi menjadi 4 aspek antara lain: kondisi kawasan terpencil, kondisi kawasan pesisir, kondisi kawasan


(8)

pegunungan dan kondisi kawasan kepulauan dengan kondisi hidrologi yang terbagi menjadi 3 aspek antara lain : Daerah aliran sungai, sungai danau dan rawa, debit air yang secara luas terbagi dalam empat Satuan Wilayah Sungai (SWS) yakni SWS Brantas, SWS Bengawan Solo, SWS Pekalen Sampean, SWS Maduran dan kepulauan. Secara umum wilayah Provinsi Jawa Timur merupakan kawasan subur dengan berbagai jenis tanah seperti Halosen, Pleistosen, Pliosen, Miosen, dan Kwarter yang dipengaruhi adanya gunung berapi, sekitar 20,60 % luas wilayah yaitu wilayah puncak gunung api dan perbukitan gamping yang mempunyai sifat erosif, sehingga tidak baik untuk dibudidayakan sebagai lahan pertanian. Sebagian besar wilayah Jawa Timur mempunyai kemiringan tanah 0-15 % , sekitar 65,49 % dari luas wilayah yaitu wilayah dataran aluvial antar gunung api sampai delta sungai dan wilayah pesisir yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi dan dataran aluvial di lajur Kendeng yang subur, sedang dataran aluvial di daerah gamping lajur Rembang dan lajur Pegunungan Selatan cukup subur.

Apabila dilihat dari iklim/ curah hujan pola musim penghujan berjalan dari bulan november (33,4oC) dan keadaan terendah di bulan agustus (13.6oC) dengan kelembaban 31 sampai 98 % . Curah hujan di Jawa Timur dikaitkan dengan tinggi tempat memperlihatkan bahwa semakin tinggi tempat cenderung semakin tinggi pula curah hujannya, terutama pada ketinggian lebih dari 500 meter dpl dan kondisi ketinggian tersebut banyak lokasi dataran tinggi dengan kelerengan 40 % maka dengan curah hujan yang tinggi (januari – april) tersebut diperlukan pelestarian kawasan lindung dan peresapan air tanah untuk mengindari adanya bencana.

Kondisi geologi Jawa Timur yang cukup kaya akan potensi sumberdaya mineral, memiliki sekitar 20 jenis bahan galian yang mendukung sektor industri maupun konstruksi, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat lajur, yaitu: pertama lajur Rembang terbentuk oleh batu lempung napalan dan batu gamping merupakan cekungan tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi; kedua lajur Kendeng terbentuk batu lempung dan batupasir, potensi lempung, bentonit, gamping; ketiga lajur Gunung Api Tengah terbentuk oleh endapan material gunung api kuarter, potensi bahan galian konstruksi berupa


(9)

batu pecah (bom), krakal, krikil, pasir, tuf; keempat lajur Pegunungan Selatan terbentuk oleh batu gamping dengan intrusi batuan beku dan aliran lava yang mengalami tekanan, potensi mineral logam, marmer, onyx, batu gamping, bentonit, pospat, terutama tersebar wilayah Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Lumajang, Jember dan Banyuwangi.

Penggunaan lahan pada Provinsi Jawa Timur terdiri dari penggunaan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan perlindungan setempat, kawasan cagar alam, suaka alam dan cagar budaya, kawasan rawan bencana, kawasan lindung geologi. Kawasan budidaya terdiri dari kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian, kawasan perikanan, kawasan industri, kawasan permukiman, kawasan pariwisata, kawasan pertambangan, kawasan perkebunan, kawasan peternakan.

Potensi pengembangan Provinsi Jawa Timur untuk lahan pertanian di Jawa Timur meliputi pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hortikultura. Lokasi dari potensi pengembangan wilayah untuk pertanian di Provinsi Jawa Timur disesuaikan dengan wilayah kondisi geografis dari masing-masing Kabupaten/ Kota Provinsi Jawa Timur.

Potensi pengembangan wilayah untuk kawasan perikanan lebih dititik beratkan pada perikanan tangkap dan budidaya perikanan. Dalam menunjang pengembangan ekspor komoditi, pengembangan perikanan perlu didukung dengan pengembangan pengelolaan pasca panennya berserta fasilitas penunjangnya yang menunjang kualitas. Potensi dari pengembangan untuk kawasan perikanan tangkap dapat dikembangkan dengan pengembangan minapolitan, pengembangan komoditi perikanan, pengembangan pelabuhan perikanan nusantara (PPN), pengembangan pelabuhan perikanan pantai (PPP), dan pengembangan pangkalan pendaratan ikan (PPI ). Lokasi dari pengembangan kawasan perikanan tangkap terdapat pada seluruh perairan yang berada di Provinsi Jawa Timur.

Sedangkan potensi pengembangan budidaya perikanan di Jawa Timur dibedakan menjadi perikanan budidaya air payau, budidaya air tawar, dan budidaya air laut. Sektor perikanan budidaya air payau di Provinsi Jawa Timur


(10)

sudah berkembang di kawasan Ujung Pangkah, Panceng Kabupaten Gresik, dan Sedati di Kabupaten Sidoarjo yang didominasi oleh budidaya ikan bandeng. Sedangkan wilayah lain yang memiliki budidaya perikanan tambak benur/ udang di Situbondo. Untuk perikanan air tawar di Provinsi Jawa Timur tersebar di berbagai wilayah dengan potensi sumber daya air cukup. Pengembangan perikanan darat dibagi menjadi perikanan kolam, mina padi dan perairan umum. Perikanan budidaya air laut merupakan potensi dasar provinsi Jawa Timur yang dapat dikembangkan sebagai penunjang perikanan tangkap, prospek tersebut dapat memberikan motivasi terhadap nelayan untuk memberdayakan potensi kelautan di Jawa Timur.

Kawasan untuk pengembangan pertambangan di wilayah Provinsi Jawa Timur dibagi menjadi kawasan pertambangan mineral, pertambangan batubara, pertambangan minyak dan gas bumi dan kawasan potensi panas bumi. Pengembangan kawasan pertambangan mineral di Jawa Timur dibagi menjadi kawasan pertambangan mineral logam, mineral non logam dan batuan. Dimana potensinya terdapat pada masing-masing Kabupaten/ Kota di Jawa Timur. Potensi pengembangan kawasan pertambangan batubara di wilayah Provinsi Jawa Timur berada di wilayah Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung. Untuk pengembangan kawasan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi lokasinya berada pada wilayah kerja minyak dan Gas Bumi (Data berdasarkan Dinas ESDM), untuk potensi pengembangan kawasan potensi panas bumi di wilayah Provinsi Jawa Timur terdapat pada lokasi-lokasi yang berada pada daerah pegunungan di Jawa Timur.

Kawasan peruntukan industri di Provinsi Jawa Timur meliputi: kawasan peruntukan industri yang terdiri dari: kawasan industri kecil/ rumah tangga, kawasan industri agro; dan kawasan industri yang terdiri dari: kawasan industri ringan, kawasan industri berat dan kawasan industri petrokimia. Pengembangan kawasan peruntukan industri di Provinsi Jawa Timur seluas kurang lebih 19.742 Ha atau 0,41% dari luas Jawa Timur. Lokasi dari potensi pengembangan dari industri terdapat pada masing-masing Kabupaten/ Kota di Jawa Timur.

Kawasan pengembangan pariwisata di Provinsi Jawa timur dibagi dalam: kawasan wisata alam, kawasan wisata budaya, kawasan wisata


(11)

buatan/ taman rekreasi dan kawasan wisata lainnya. Pengembangan potensi untuk Kawasan Pariwisata di Jawa Timur dikembangkan melalui empat koridor pengembangan, yakni pengembangan koridor A, koridor B, koridor C, dan koridor D. Yang pada masing-masing koridor memiliki pusat pengembangan untuk Pariwisata.

Kawasan rawan bencana alam merupakan kawasan yang diindikasikan sebagai kawasan yang sering terjadi bencana. Di wilayah Provinsi Jawa Timur, kawasan rawan bencana dikelompokkan dalam kawasan rawan bencana tanah longsor, kawasan rawan bencana gelombang pasang, kawasan rawan bencana banjir dan kawasan rawan bencana kebakaran hutan dan angin kencang.

Berdasarkan Data dari Jawa Timur Dalam Angka, kependudukan di Provinsi Jawa Timur dapat diketahui pola persebaran dan juga kepadatannya pada masing-masing Kota dan Kabupaten. Adapun jumlah penduduk yang ada di wilayah Jawa Timur hingga Tahun 2008 diketahui sejumlah 37.094.836 jiwa. Dari jumlah tersebut, secara adminsitratif penduduk terbesar berada pada Kota Surabaya yaitu 2.630.079 jiwa atau 7,09% dari total jumlah penduduk, dan Penduduk terkecil jumlahnya berada pada Kota Mojokerto, yaitu sebesar 113.201 jiwa atau 0,31% dari Total Jumlah Penduduk Jawa Timur.

Penduduk di wilayah Provinsi Jawa Timur memiliki pola sebaran yang pada umumnya terbagi dalam dua kelompok besar yaitu di kawasan perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan data series, Pada tahun 1995 penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan di seluruh wilayah Provinsi Jawa Timur berjumlah 5.725.640 jiwa atau sekitar 25% dari jumlah penduduk seluruhnya. Pada tahun 1995 jumlah ini meningkat menjadi 32% yaitu 10.850.400 jiwa. Dan pada tahun 2000 jumlahnya menjadi 40% atau sekitar 14.211.229 jiwa. Sementara untuk penduduk yang bermukim di kawasan perdesaan pada tahun 1995 merupakan 75% dari jumlah penduduk keseluruhan atau sebanyak 17.334.962 jiwa. Pada tahun 1995 jumlahnya menurun menjadi 68% atau sekitar 22.993.602 jiwa, dan semakin anjlok lagi tinggal 60% atau sejumlah 20.554.769 jiwa pada tahun 2000 (data berdasarkan analisa penduduk dalam RTRWP Jatim 2005 - 2020).

Pada 5 (lima) tahun berikutnya, yaitu di Tahun 2005, diketahui bahwa jumlah penduduk perkotaan mengalami tren laju perkembangan yang agak


(12)

menurun menjadi 21.582.612 jiwa dan penduduk perdesaan menjadi sejumlah 21.582.612 jiwa. Dalam hal perkembangan, walaupun secara kuantitas bertambah, prosentase penduduk perkotaan terhadap penduduk perdesaan mengalami sedikit stagnansi. Namun demikian, untuk tahun-tahun berikutnya proporsi penduduk perkotaan diprediksi mengalami perkembangan seiring dengan proses urbanisasi pada area terdampak dari pusat-pusat pertumbuhan.

Berdasarkan data BPS, dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional yang dilaksanakan pada Agustus 2009 diketahui bahwa pekerja di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 442,8 ribu orang selama setahun. Sejalan dengan peningkatan jumlah pekerja tersebut, maka jumlah pengangguran mengalami penurunan sebesar 25, 43% atau sejumlah 262.800 orang. Dengan demikian jumlah angkatan kerja mengalami peningkatan sebesar 159,9 ribu orang. Penyerapan tenaga kerja selama hingga Tahun 2009 sebesar 422.779 orang, menunujukkan perbedaan peningkatan antara laki-laki dan perempuan, dimana jumlah pekerja perempuan meningkat 228,6 ribu orang dan pekerja laki-laki meningkat sebesar 194,2 ribu orang. Dominasi peningkatan penduduk perempuan yang bekerja umumnya hanya sebagai pekerja keluarga sehingga tidak selalu memberikan implikasi yang positif terhadap peningkatan pendapatan pekerja, karena penambahan jumlah tenaga kerja hanya terserap sebagai pekerja keluarga atau membantu kepala rumahtangga/ suami dalam melakukan kegiatan ekonomi yang sifatnya informal.

Selanjutnya yang digunakan sebagai indikator utama terkait dengan keberhasilan dalam menangani masalah pengangguran adalah Tingkat pengangguran terbuka (TPT), yang merupakan perbandingan antara jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Timur pada 2009 mencapai 5,08 % atau mengalami penurunan 1,34 % poin dibandingkan keadaan pada 2008 (6,42 % ). Perubahan jumlah angkatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan perubahan jumlah penduduk usia kerja, menyebabkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) relatif stabil yaitu berkisar pada angka 69 yang berarti dari 100 penduduk usia kerja terdapat sekitar 69 orang masuk dalam kelompok angkatan kerja. Pada keadaan 2009, angka TPAK mencapai 69,25 sedangkan setahun sebelumnya


(13)

pada 2008 angka TPAK sebesar 69,32.Kondisi ekonomi global yang tertekan dan penuh ketidakpastian menyebabkan prakiraan keadaan ekonomi khususnya dalam jangka pendek menjadi jauh lebih sulit. Dari hasil proyeksi laju pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional dan bank investasi tidak jauh berbeda dengan perkiraan pemerintah terkini yaitu antara 4,5% hingga 5,5% sepanjang Tahun 2009. Sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan yaitu konsumsi masyarakat dan investasi akan menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi sepanjang Tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi hanya terjadi selama semester I / 2009 dan bertahap pulih kembali memasuki semester I I / 2009. Pola pertumbuhan ini sesuai dengan perkiraan siklus global dan pola pengeluaran pemerintah.

Sejalan dengan pulihnya pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk yang bekerja juga mengalami peningkatan. Berdasarkan distribusi sektoral, jumlah tenaga kerja yang terserap pada Agustus 2009 masih didominasi oleh sektor pertanian (42,9 persen). Dibandingkan dengan Agustus 2008, ada 3 sektor yang mengalami peningkatan jumlah tenaga kerja cukup tinggi, yaitu Jasa, Transportasi dan Perdagangan yaitu masing-masing 8,21 % , 7,68 % dan 4,17 % . Sementara sektor I ndustri, dan Lainnya (Pertambangan, Keuangan, Listrik, Gas dan Air) mengalami penurunan jumlah tenaga kerja. Nampaknya ketiga sektor tersebut yang paling besar terkena dampak krisis ekonomi global, sehingga akan mengalami perlambatan pertumbuhan jika tidak ada kebijakan khusus dalam mengatasi permasalahan ketenagakerjaan pada ketiga sektor tersebut.

Data ketenagakerjaan menunjukkan bahwa peningkatan tenaga kerja terjadi pada sektor informal, terutama yang dikategorikan sebagai berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja tidak tetap (pekerja bebas baik sektor pertanian maupun non pertanian). Di sisi lain, tenaga kerja yang berada di sektor formal khususnya yang berstatus berusaha dibantu buruh tetap mengalami penurunan dalam kurun waktu satu tahun. Hal ini dapat diartikan bahwa penyerapan tenaga kerja terjadi lebih karena inisiatif pribadi para pencari kerja tersebut dan bukan karena keberhasilan program penciptaan lapangan kerja melalui investasi dan ekspansi usaha swasta. Jika melihat status pekerjaan


(14)

berdasarkan klasifikasi formal dan informal, maka pada Agustus 2009 sekitar 73,12 persen tenaga kerja bekerja pada kegiatan informal.

Sektor informal memang menawarkan peluang kerja yang lebih fleksibel dalam hal persyaratan namun lemah dalam hal jaminan keberlangsungan pekerjaan tersebut (job security). Pekerja sektor informal rentan terhadap gejolak ekonomi dan cenderung tidak menentu penghasilannya khususnya para pekerja bebas (pekerja tidak tetap) yang hanya bekerja sesekali saja dan berpindah-pindah majikan maupun jenis pekerjaannya. Pekerja sektor informal juga umumnya tidak dilindungi oleh fasilitas kesehatan, perlindungan kecelakaan, maupun jaminan pensiun.

Data ketenagakerjaan menunjukkan bahwa peningkatan tenaga kerja terjadi pada sektor informal, terutama yang dikategorikan sebagai berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja tidak tetap (pekerja bebas baik sektor pertanian maupun non pertanian). Di sisi lain, tenaga kerja yang berada di sektor formal khususnya yang berstatus berusaha dibantu buruh tetap mengalami penurunan dalam kurun waktu satu tahun. Hal ini dapat diartikan bahwa penyerapan tenaga kerja terjadi lebih karena inisiatif pribadi para pencari kerja tersebut dan bukan karena keberhasilan program penciptaan lapangan kerja melalui investasi dan ekspansi usaha swasta. Jika melihat status pekerjaan berdasarkan klasifikasi formal dan informal, maka pada Agustus 2009 sekitar 73,12 persen tenaga kerja bekerja pada kegiatan informal.

Sektor informal memang menawarkan peluang kerja yang lebih fleksibel dalam hal persyaratan namun lemah dalam hal jaminan keberlangsungan pekerjaan tersebut (job security). Pekerja sector informal rentan terhadap gejolak ekonomi dan cenderung tidak menentu penghasilannya khususnya para pekerja bebas (pekerja tidak tetap) yang hanya bekerja sesekali saja dan berpindah-pindah majikan maupun jenis pekerjaannya. Pekerja sektor informal juga umumnya tidak dilindungi oleh fasilitas kesehatan, perlindungan kecelakaan, maupun jaminan pensiun.


(15)

2. Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi

Pertumbuhan Sektoral

Pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur sebesar 5,80 persen, sedikit melambat dibandingkan tahun 2005 sebagai dampak terjadinya kenaikan harga BBM. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh paling cepat dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 9,63 persen, diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, serta sektor pengangkutan dan komunikasi yang masing-masing sebesar 8,41 persen, 7,49 persen, dan 7,37 persen. Sementara itu sektor pertanian dan sektor industri pengolahan sebagai sektor yang dominan di Jawa Timur, hanya tumbuh sebesar 3,96 persen dan 3,09 persen.

Pengaruh kenaikan harga BBM pada tahun 2005-2006 mulai berkurang pada tahun 2007, sehingga tahun 2007 perekonomian Jawa Timur nampak meningkat dengan tumbuh sebesar 6,11 persen. Sektor listrik, gas, dan air bersih tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu sebesar 13,70 persen, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran masing-masing sebesar 10,35 persen, 8,40 persen dan 8,39 persen. Sedangkan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian yang masih menjadi penyumbang terbesar kedua dan ketiga dalam perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh 4,77 persen dan 3,14 persen.

Krisis keuangan global yang terjadi pada semester I I tahun 2008 berpengaruh pada melambatnya perekonomian Jawa Timur tahun 2008, sebesar 5,94 persen. Tercatat tiga sektor besar yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian mengalami perlambatan pertumbuhan. Sektor-sektor yang masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan masing-masing tumbuh sebesar 9,31 persen, 8,98 persen, 8,07 persen, dan 8,05 persen.

Dampak krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berlanjut hingga tahun 2009, ekspor komoditas unggulan Jawa Timur ke luar negeri


(16)

menurun tajam, sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Pada tahun 2009 perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh sebesar 5,01 persen, dimana sebagian besar sektor ekonomi juga tumbuh melambat. Beberapa sektor yang masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa-jasa masing-masing tumbuh sebesar 12,98 persen, 6,92 persen, dan 5,76 persen. Sektor-sektor andalan Jawa Timur seperti Sektor-sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian masing-masing hanya tumbuh sebesar 5,58 persen, 2,80 persen dan 3,92 persen. Sementara sektor lainnya rata-rata masih tumbuh pada level 2 sampai 4 persen.

Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur membaik seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian global, sehingga pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mencapai 6,67 persen, pertumbuhan tertinggi selama lima tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa Timur ini terutama didukung oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang tumbuh sebesar 10,67 persen. Membaiknya kondisi perekonomian global memberi dampak terhadap membaiknya daya beli masyarakat yang mendorong sektor perdagangan, baik perdagangan luar negeri maupun perdagangan antar wilayah. Sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan tercatat mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 10,07 persen; 9,18 persen, dan 7,27 persen. Sementara itu, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian tumbuh masing-masing sebesar 4,35 persen dan 2,13 persen.

Laju I nflasi Jaw a Timur Tahun 2006 – 2010

Laju inflasi Jawa Timur dalam lima tahun terakhir masih tergolong dalam kategori rendah, masih dibawah 2 digit. Kondisi yang cukup rawan hanya terjadi pada tahun 2008 dengan laju inflasi cukup tinggi yaitu 9,66 persen akibat naiknya harga BBM seiring dengan tidak terkendalinya harga minyak dunia. Walaupun kenaikan BBM di tahun 2008 tersebut sempat dikoreksi di


(17)

penghujung tahun, namun multiplier effects akibat kenaikan tersebut sudah terlanjur terjadi sehingga inflasi hampir menembus dua digit.

Memasuki tahun 2009 sebenarnya sudah terlihat tanda-tanda akan rendahnya inflasi. Sisa andil akibat penurunan BBM pada bulan Desember 2008 masih berlanjut di bulan Januari 2009 sehingga inflasi Januari 2009 yang biasanya cukup tinggi karena naiknya harga bahan makanan terdorong deflasi 0,05 persen.

Pada tahun 2010, Jawa Timur hanya mengalami sekali inflasi, yaitu pada bulan Maret sebesar 0,21. Bayang-bayang tingginya inflasi terlihat setelah Pemerintah mengumumkan naiknya biaya Jasa Perpanjangan STNK dan naiknya Tarif Dasar Listrik khusus bagi pelanggan 1200 VA ke atas pada bulan Juli dan Agustus. I nflasi mencapai antiklimak setelah pada bulan Desember laju kenaikan harga beras dan cabe menjadi tidak terbendung akibat faktor cuaca sehingga mengakibatkan inflasi 1,02 persen. Kumulatif inflasi Tahun 2010 ditutup sebesar 6,96 persen, angka yang sama dengan tingkat inflasi nasional.

Dibandingkan dengan inflasi ibukota provinsi di pulau Jawa, inflasi Jawa Timur masih lebih rendah dari inflasi Semarang, Yogyakarta dan Surabaya, namun lebih tinggi dari inflasi Jakarta, Serang dan Bandung. Hal serupa terjadi pula dengan inflasi nasional yang besarannya tidak berbeda dengan inflasi Jawa Timur. Diantara ibukota provinsi di pulau Jawa, inflasi tertinggi terjadi Yogyakarta sebesar 7,38 persen dan terendah terjadi di Bandung sebesar 4,53 persen.

PDRB Per Kapita Jaw a Timur Tahun 2006 – 2010

PDRB sebagai salah satu indikator makro ekonomi di Jawa Timur, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini selalu menunjukkan peningkatan. Selanjutnya jika besaran PDRB tersebut diberi penimbang dengan jumlah penduduk, karena penduduk merupakan pelaku pembangunan yang menghasilkan output (PDRB), akan diperoleh angka PDRB per kapita.

Peningkatan PDRB per kapita disebabkan karena pertumbuhan PDRB ADHB yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2006 PDRB per kapita Jawa Timur mencapai Rp. 12,87 juta,


(18)

kemudian meningkat menjadi Rp. 14,55 juta pada tahun 2007. Selanjutnya meskipun pada tahun 2008 gaung Krisis Keuangan Global sudah mulai mendunia, PDRB perkapita Jawa Timur masih terus meningkat yaitu sebesar Rp. 16,75 juta (2008) dan tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp. 18,42 juta. Kondisi perekonomian yang membaik pada tahun 2010, memberikan dampak meningkatnya PDRB perkapita menjadi Rp 20,77 juta.

I ndeks Gini Ratio Tahun 2009 – 2010

Berdasarkan nilai gini rasio, tingkat ketimpangan rata-rata konsumsi per kapita di Jawa Timur 2009-2010 masuk dalam kategori rendah (kurang dari 0,36). Nilai gini rasio tahun 2010 sebesar 0,31, meningkat dibandingkan tahun 2009 yang nilainya 0,29, naik 0,02 poin. Terjadinya penurunan ketimpangan selama 2009-2010 ini terutama terjadi di wilayah pedesaan, yang turun sebesar 0,02 poin, sedangkan penurunan di wilayah perkotaan hanya sebesar 0,01 poin. Walaupun nilai gini rasio pada wilayah perkotaan dan perdesaan, masuk dalam kategori ketimpangan rendah, namun terdapat perbedaan sebesar 0,07 poin antara wilayah perkotaan dan perdesaan di tahun 2010. Perbedaan ini semakin meningkat dibandingkan tahun 2009, yang memiliki perbedaan sebesar 0,06 poin. I ni menjadi indikasi bahwa wilayah perdesaan memiliki kecenderungan lebih cepat menuju tingkat pemerataan sempurna.

Pemerataan Pendapatan Versi Bank Dunia Tahun 2007 – 2010

Pada periode 2007 – 2010, ketimpangan pemerataan pendapatan versi Bank Dunia di Jawa Timur, cenderung mengalami perbaikan. Artinya ketimpangan pendapatan lambat laun mengecil seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik. Penduduk yang mempunyai pendapatan berkategori 20 persen ke atas pada tahun 2007 dapat menikmati kue ekonomi sebanyak 43,47 persen bergerak mengecil masing-masing 43,22 persen (2008); 42,55 persen (2009) dan 41,81 persen (2010). Sedangkan untuk yang berpendapatan 40 persen menengah dan 40 persen ke bawah semakin banyak yang dapat menikmati kue pembangunan. Dengan demikian kesenjangan semakin menurun,


(19)

dan semakin dirasakannya kue ekonomi di tingkat pendapatan yang lebih bawah.

Pada tahun 2007, penduduk yang berpendapatan 40 persen ke bawah semakin dapat menikmati hasil geliat ekonomi dari 19,83 persen menjadi 19,92 persen (2008); 19,86 persen (2009) dan 19,73 persen (2010). Berdasarkan skala kesenjangan yang telah ditetapkan, karena penduduk yang berpendapatan 40 persen ke bawah menikmati hasil kegiatan ekonomi di atas nilai 17 persen, maka ketimpangan pendapatan yang terjadi selama kurun waktu 2006 – 2010 itu termasuk kategori ketimpangan pendapatan rendah.

I ndeks Disparitas Wilayah Jaw a Timur Tahun 2006 - 2010

Output daerah yang merupakan representasi dari kekayaan daerah dan kesejahteraan masyarakat adalah dua hal yang berbeda, pertanyaanya apakah ada kaitan antara kekayaan daerah (regional prosperity) dan kesejahteraan masyarakat (community welfare) di suatu daerah. Asumsi bahwa tingkat kekayaan daerah yang tinggi juga akan berdampak terhadap tingginya kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut memerlukan gambaran kondisi disparitas regional. Rendahnya ketimpangan regional dalam hal kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antar daerah (equalization policy) yang dijalankan pemerintah, terutama melalui instrumen fiskal (fiscal policy) seperti transfer dari pusat, transfer antar daerah dan kebijakan lain.

Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di suatu wilayah umumnya berfluktuasi seiring dengan tingkat perubahan PDRB per kapitanya. Melebar atau menyempitnya kesenjangan itu dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, juga sangat dipengaruhi oleh kreatifitas Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan segala potensi yang ada untuk meningkatkan output daerah. Kondisi tersebut tergambarkan pada indeks Williamson (baca : I ndeks Kesenjangan) dengan PDRB per kapita sebagai tolok ukur penghitungan.

Kesenjangan ekonomi antar kabupaten/ kota di Jawa Timur yang ditunjukkan dengan I ndeks Disparitas Williamson dalam periode tahun 2006 – 2010 mengalami kemajuan yang signifikan dengan indeks yang cenderung


(20)

menurun. Pada tahun 2006 indeks kesenjangan bernilai 115,87 atau terjadi penurunan sebesar -0,60 persen, indeks pada tahun 2007 sebesar 115,34 atau mengalami penurunan sebesar -0,46 persen.

Adanya kenaikan harga BBM mulai 24 Mei 2008 serta terjadi krisis global menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan tahun 2007. Tetapi perlambatan ekonomi pada tahun 2008 itu belum begitu terasa, karena tingkat kesenjangan di Jawa Timur yang ditunjukkan dengan nilai indeks Disparitas Williamson mengalami penurunan sebesar -0,07 persen atau mempunyai indeks 115,26. Kenaikan BBM dan krisis finansial khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika yang dikenal sebagai subprime mortgage sangat terasa pada tahun 2009.

Pertumbuhan ekonomi melambat dari 5,94 pada tahun 2008 menjadi 5,01 persen pada tahun 2009, dan indeks Williamsonpun juga melebar dari 115,26 pada tahun 2008 menjadi 115,85 atau mengalami pelebaran sebesar 0,51 persen. Beruntungnya, dampak dari krisis finansial tersebut tidak berlanjut pada tahun 2010. Selain karena sudah berpengalaman dalam menghadapi situasi krisis sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998, fundamental ekonomi dalam negeri jauh lebih baik dibanding tahun 1998, maka Jawa Timur kembali mengalami pertumbuhan ekonomi yang siginifikan. Apalagi Jawa Timur sangat mengandalkan sektor riil, dan berbeda struktur perekonomiannya dibanding Jakarta yang sangat mengandalkan sektor perbankan yang notabene sangat rentan terhadap krisis finansial. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mampu mencapai 6,67 persen, merupakan tertinggi selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan pada tahun 2010 ini cukup berkualitas karena indeks kesenjangan wilayahnya menurun menjadi 115,14 atau terjadi penurunan -0,61 persen dibanding tahun sebelumnya.

Persentase Penduduk di Atas Garis Kemiskinan Di Jaw a Timur Tahun

2006 – 2010

Pembangunan yang telah dilakukan selama ini telah memberikan andil yang cukup besar dalam proses terciptanya kesejahteraan masyarakat. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena lebih dari 78 persen penduduk selama kurun waktu


(21)

lima tahun terakhir, telah dapat memenuhi kebutuhan minimumnya. Pada tahun 2006 persentase penduduk di atas garis kemiskinan di Jawa Timur mencapai 78,91 persen dan naik terus menjadi 84,74 persen pada tahun 2010.

3. Aspek Kesejahteraan Masyarakat

Fokus Kesejahteraan Sosial

Angka I PM yang dihasilkan dalam analisis ini bertujuan untuk melihat keterbandingan/ posisi pembangunan manusia antar kabupaten/ kota di seluruh I ndonesia. Penghitungan I PM Jawa Timur dalam analisis ini memakai standar harga Jakarta Selatan. Oleh karena itu angka I PM menurut kabupaten/ kota yang dihasilkan dari penyusunan laporan I PM ini dapat dibandingkan dengan kabupaten/ kota dan provinsi lain.

I ndeks Pembangunan Manusia ( I PM)

Secara umum angka I PM di Jawa Timur selama periode 2009 - 2010 menunjukan kenaikan. Pada tahun 2009 nilainya 71,06, dan selanjutnya meningkat menjadi 71,55 pada tahun 2010. Dari hasil penghitungan I PM tahun 2010, diperoleh gambaran bahwa 19 Kabupaten/ Kota mempunyai I PM lebih baik daripada I PM Jawa Timur, sedangkan 19 kabupaten lainnya memiliki nilai I PM di bawah angka I PM Jawa Timur. Nilai I PM tertinggi dicapai oleh Kota Blitar sebesar 77,28 sedangkan urutan kedua ditempati Kota Surabaya dengan nilai I PM 71.18 dan urutan ketiga adalah Kota Malang sebesar 77,10. Urutan terendah I PM adalah Kabupaten Sampang dengan nilai 59,58, angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang hanya sebesar 58,68.

Secara garis besar, nilai I PM di tiap kabupaten/ kota mengalami kenaikan dari angka tahun 2009 hingga 2010 walaupun tidak menunjukkan kenaikan yang drastis. Hal ini dikarenakan adanya berbagai program pemerintah baik provinsi maupun Kabupaten/ kota untuk meningkatkan angka I PM, seperti program di bidang kesehatan, pendidikan maupun ekonomi dan peningkatan kualitas sarana prasarana masyarakat lainnya. Keberhasilan program tersebut


(22)

juga tergantung pada pola pikir masyarakat setempat dalam pemanfaatan sarana tersebut.

Fokus Seni Budaya dan Olah Raga

Pelestarian seni budaya tradisi merupakan milik masyarakat dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab masyarakat. Pemerintah harus mampu memfasilitasi serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat dalam upaya melestarikan seni budaya tradisi yang tumbuh, berkembang dan menjadi bagian dari masyarakat. Dalam hal ini pemerintah daerah dan masyarakat harus menyediakan ruang, tempat dan waktu bukan hanya untuk seniman dan budayawan dalam melestarikan dan mengembangkan seni budaya tetapi juga pemberdayaan seniman dan budayawan serta masyarakat secara luas.

Seni Budaya Daerah

Permasalahan yang dihadapi dalam pelestarian dan pengembangan seni budaya daerah adalah lemahnya partisipasi masyarakat dalam mengenal dan mengapresiasi budayanya sendiri. Secara filosofis sebenarnya kebudayaan adalah identitas utama suatu kelompok masyarakat. Kebudayaan timbul dengan tujuan membedakan ciri khas suatu kelompok dengan kelompok lain. Namun, esensi ini sering dilupakan oleh banyak kelompok karena beberapa faktor. Salah satu faktor utamanya adalah kehadiran budaya populer.

Tak bisa dipungkiri bahwa pemikiran masyarakat tergerus oleh lahirnya budaya populer (popular culture). Kehadiran budaya populer biasanya melalui iklan atau media yang menargetkan masyarakat biasa. Ada benarnya jika budaya populer bersifat politis dan berorientasi ekonomi. Kondisi sebagian masyarakat I ndonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa Timur khususnya adalah mengikuti trend yang ada dan sering melupakan sesuatu yang sudah lama terbangun dalam kehidupannya. Hal ini ditambah pula dengan alasan menyamai atau “ ingin berbudaya seperti” negara lain. Sehingga timbullah kesamaan di antara beberapa negara, misalnya kehadiran fashion-fashion Paris yang tersebar dipusat perbelanjaan mewah di I ndonesia. Ada juga musik-musik modern luar negeri yang merambah I ndonesia sebagai target pemasaran. Hal ini mengakibatkan budaya asli suatu kelompok akan terpinggirkan karena tidak


(23)

memiliki kekuatan untuk tawar menawar (bargaining power) dengan aliran utama yang lebih dianggap modern. Bahkan pada kasus yang lebih ekstrim, karena kurang diperhatikannya budaya sendiri bisa terjadi pengakuan suatu benda budaya oleh negara lain. Contoh kasus nyata terpinggirnya budaya daerah di I ndonesia adalah hampir punahnya pementasan wayang orang ludruk. Hanya segelintir orang yang mau menyaksikan pertunjukan budaya itu. I ni menjadi bukti lemahnya kekuatan masyarakat daerah untuk bangga pada budayanya sendiri.

Kehadiran budaya populer tidaklah salah, namun kita harus bisa memegang budaya tanpa meninggalkan identitas budaya daerahnya. Alasannya adalah budaya secara filosofis merupakan jembatanan targenerasi dan budaya daerah juga merupakan warisan yang harus tetap dilestarikan dan sebenarnya dapat disisasati sebagai alat pembangun daerah. Dua konsep inilah yang harus tersosialisasi dan harus dilekatkan pada masyarakat terlebih dahulu, sehingga pada akhirnya masyarakat memilki loyalitas terhadap budayanya sendiri.

Pelestarian dan pengembangan budaya daerah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum, namun dilakukan juga melalui sekolah-sekolah dengan tujuan agar generasi muda sejak kecil dibina untuk mencintai seni budaya daerahnya sendiri. Di Jawa Timur sudah banyak sekolah-sekolah yang ikut tergabung dalam Paguyuban Peminat Seni Tradisi di Sekolah (PPST) yang pada tahun 2010 berjumlah 58 group, dan pada tahun 2011 ini meningkat menjadi 62 group. Diharapkan setiap tahun akan terus meningkat sehingga upaya kita untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya daerah semakin meningkat pula.

Jumlah Group Kesenian Di Jaw a Timur

Pembangunan Olah raga ditujukan kepada peningkatan prestasi olah raga di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi maupun di lingkungan masyarakat luas. Selain itu pembangunan olahraga juga ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan mental masyarakat, memajukan olah raga


(24)

dengan meningkatkan mutu prestasi keolah ragaan di Jawa Timur, memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat.

Disamping pembangunan olahraga, pemerintah memandang penting pada pendidikan jasmani dan olah raga yang diarahkan pada usaha membina kesehatan jasmani dan rohani bagi setiap anggota masyarakat serta usaha memasyarakatkan olah raga, mengolahragakan masyarakat dan meningkatkan prestasi.

Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah masih kurangnya fasilitas olahraga yang memenuhi standard sehingga perlu peningkatan. Kekurangan fasilitas olahraga tersebut sangat mempengaruhi prestasi olahraga di Jawa Timur, artinya belum semua daerah terfasilitasi dengan baik sehingga sangat sulit untuk mengembangkan prestasi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2008 telah mencoba memfasilitasi olahraga di daerah guna pembibitan atlit dengan mendirikan Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar Daerah (PPLD) yang terdiri dari 7 cabang olahraga bekerjasama dengan 10 kabupaten/ kota. PPLD tersebut diharapkan tiap tahun akan meningkat sehingga pembibitan atlit di daerah akan lebih merata.

Selain pembibitan atlet, pemerintah provinsi Jawa Timur juga melaksanakan pembinaan atlet prestasi melalui KONI . KONI pada saat ini adalah melakukan persiapan menghadapi PON 2012 di Riau guna mempertahankan gelar Juara Umum, melalui :

1. Konsolidasi tentang evaluasi kegiatan dan target medali kepada cabang-cabang olahraga prestasi;

2. Melakukan komparasi terhadap hasil yang dicapai dalam kejurnas sepanjang tiga tahun terakhir;

3. Meningkatkan kegiatan guna mendukung Program Jatim 100 yaitu target Jawa Timur untuk mencapai 100 medali;

4. Melaksanakan Pemuusatan Latihan Daerah (PUSLATDA) secara berkelanjutan dengan menerapkan promosi dan degradasi serta penentuan langkah strategis, cerdas, realistis, keseriusan, kesungguhan dan dukungan bagi penyiapan Kontingen Jawa Timur dalam mempertahankan prestasi pada PON XVI I I Tahun 2012 di Riau.


(25)

5. Memfasilitasi atlet Jawa Timur ke berbagai kejuaraan baik regional. Nasional maupun internasional.

Selain kegiatan guna persiapan PON 2012 di Riau, KONI juga membina atlet-atlet muda yang berkualitas. Fokus kegiatan didasarkan pada kondisi yang dimiliki utamanya yang berhubungan dengan :

a. Atlet eks PON XVI I / 2008 yang masih berpotensi meraih medali dengan usia maksimum sesuai ketentuan pada PON XVI I I / 2012 Riau;

b. Atlet-atlet yang memperoleh medali emas dalam PORPROV I I / 2009 serta atlet junior yang berpotensi pada Kejuaraan Nasional dan mampu bersaing dengan prestasi senior yang masuk dalam Puslatda Jatim 100/ I I Tahun 2011;

c. Keterlibatan instansi lain yang terkait dalam kegiatan pembinaan prestasi olahraga;

d. Tekad Jawa Timur untuk tetap mempertahankan Juara Umum Adapun Atlet dan pelatih yang dibina adalah 583 atlet serta 110 pelatih;

4. Aspek Daya Saing

Kemampuan Ekonomi Daerah

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2009-2010 di Jawa Timur, terjadi peningkatan rata-rata konsumsi per kapita, dari Rp. 380.163 per kapita sebulan, menjadi 408.038 ribu rupiah per kapita sebulan, atau terjadi peningkatan sebesar 7,33 persen selama setahun. Namun demikian, perlu hati-hati dalam menafsirkan peningkatan rata-rata pengeluaran per kapita ini, karena belum tentu menjadi gambaran peningkatan kesejahteraan. Karena peningkatan konsumsi bisa dipengaruhi oleh terjadinya peningkatan harga yang terukur melalui inflasi, bukan karena pendapatan yang meningkat. Selain dengan membandingkan dengan tingkat inflasi, perilaku konsumsi terkait dengan pendapatan dijelaskan dalam Hukum Engel1

1 Dalam Hukum Engel (Engel, Ernst; 1857, 1895) menyebutkan bahwa persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan.


(26)

Karena periode pencacahan Susenas baik 2009 maupun 2010 adalah Bulan Juli, maka tingkat inflasi yang digunakan adalah year on year Juli 2010 yang sebesar adalah 6,47 persen2

Berdasarkan besaran rata-rata konsumsi per kapita penduduk selama sebulan menurut kabupaten/ kota di Jawa Timur tahun 2010, Kota Malang merupakan wilayah yang tertinggi, diikuti oleh seluruh Kota di Jawa Timur, dan hanya Kabupaten Sidoarjo (urutan kesembilan), satu-satunya kabupaten yang berada di antara sepuluh besar tertinggi. Untuk rata-rata konsumsi per kapita terendah di Jawa Timur tahun 2010, adalah Kabupaten Sampang, diikuti Ngawi, dan Lumajang (tiga wilayah terendah). Namun demikian, bukan berarti rata-rata konsumsi per kapita sebulan yang lebih tinggi atau rendah, cerminan secara umum kondisi tingkat kesejahteraan. Karena tingkat kemahalan antar wilayah sangat bervariasi, maka perlu kehati-hatian dalam menerjemahkan situasi ini. . Bila dibandingkan dengan kenaikan konsumsi, ternyata tingkat inflasi ini sedikit lebih rendah dibandingkan peningkatan rata-rata konsumsi 2009-2010. Sementara itu, terjadi kenaikan persentase konsumsi pada kelompok makanan dari 52,73 persen persen tahun 2009, menjadi 54,78 persen tahun 2010. Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan tingkat inflasi dan perilaku konsumsi dalam Hukum Engel bahwa peningkatan rata-rata konsumsi per kapita 2009-2010 lebih dikarenakan peningkatan harga dan bukan menjadi cerminan peningkatan tingkat pendapatan atau kesejahteraan.

Pada wilayah dengan situasi tingkat kesejahteraan yang menurun, maka amatan dilakukan menurut wilayah (desa atau kota). Karena dalam penghitungan inflasi hanya terbatas pada cerminan harga konsumen dan tidak dapat dipecah dalam wilayah perdesaan atau perkotaan, maka digunakan Hukum Engel untuk menjelaskan situasi ini. Selama 2009-2010 di Jawa Timur, persentase konsumsi makanan di wilayah perkotaan, meningkat dari 50,17 persen menjadi 52,12 persen atau naik 3,88 poin. Untuk wilayah perdesaan juga mengalami peningkatan, dari 59,19 persen menjadi 61,49 persen, atau naik 3,8 poin.

2 Inflasi dapat digunakan dalam pembahasan ini, namun dengan asumsi kuantitas dan kualitas dari yang dikonsumsi selama 2009 dan 2010 relatif sama,


(27)

Cerminan perbedaan kemahalan wilayah ini tercermin dari keberadannya wilayah-wilayah kota pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan wilayah Kabupaten. Padahal secara umum memang di wilayah kota memiliki tingkat kemahalan yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten, terkecuali Kabupaten Sidoarjo. Selain itu, deviasi yang ada antar wilayah di Provinsi Jawa Timur diindikasikan cukup lebar, karena rata-rata konsumsi provinsi yang berada pada posisi moderat, memisahkan 11 wilayah di atas dan 27 wilayah di bawah rata-rata konsumsi per kapita provinsi.

Pada dasarnya kebutuhan manusia dibagi dalam dua kelompok, yaitu kebutuhan makanan dan non makanan. Kebutuhan makanan pada batas tertentu akan mencapai titik maksimal, sementara itu kebutuhan non makanan bisa dikatakan hampir tidak terbatas. Dalam hukum Engel (Engel Law) disebutkan bahwa semakin tinggi pendapatan/ kesejahteraan seseorang, maka proporsi pengeluaran untuk makanan semakin menurun, sedangkan pengeluaran untuk non makanan akan terjadi sebaliknya yaitu proporsinya akan semakin meningkat.

Secara umum dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dikatakan bahwa pengeluaran penduduk Jawa Timur untuk kebutuhan non makanan dari tahun ke tahun proporsinya relatif statis yaitu sekitar 45 persen, sedangkan proporsi kebutuhan makanan sekitar 55 persen. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa meskipun secara umum tingkat pendapatan semakin meningkat, namun pada kenyataannya belum mampu meningkatkan derajat kesejahteraan penduduk. Hal ini mungkin dikarenakan makin tingginya perubahan harga yang tidak sebanding dengan perkembangan pendapatan. Kondisi ini tercermin dari pola konsumsi penduduk yaitu lebih besarnya proporsi pengeluaran untuk kebutuhan makanan dibandingkan pengeluaran untuk kebutuhan non makanan.

Masyarakat Jawa Timur harus siap menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi, keterbukaan informasi, serta perdagangan bebas antar negara. Pada era globalisasi ini masyarakat harus mampu untuk memanfaatkan berbagai peluang dan meraih berbagai kesempatan. Geliat perekonomian Jawa Timur hampir sebanding dengan Provinsi DKI , namun kelebihannya adalah Provinsi Jawa Timur memiliki potensi sumber daya alam


(28)

yang lebih baik. Dari sektor pertanian telah memberikan kontribusi PDRB sebesar 15,75 persen, atau sebesar Rp. 122,62 triliun (tahun 2010) dan menempati posisi ke 3 (tiga) dalam perekonomian Jawa Timur. Di sisi lain tenaga kerja yang terserap juga sangat besar yaitu 7,94 juta orang (Tahun 2010), atau sebesar 42 persen dari jumlah tenaga kerja yang ada di Jawa Timur. Perbandingan antara nilai PDRB sektor pertanian dan jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian terlihat sangat timpang dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Artinya tingkat produktivitas sektor pertanian dari tahun ke tahun masih sangat rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sektor lainnya. Kondisi inilah yang sering menimbulkan kesenjangan pendapatan antara tenaga kerja di sektor pertanian dengan tenaga kerja di sektor lainnya. Sementara itu sebagian besar penduduk miskin adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Untuk itu dibutuhkan dukungan teknologi pertanian yang lebih canggih dalam meningkatkan besaran PDRB, yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan petani di Jawa Timur.

Pada tahun 2006 produktivitas sektor pertanian mencapai Rp. 10,14 juta. sektor listrik, gas dan air masih tercatat memiliki produktivitas tertinggi yaitu sebesar Rp. 207,78 juta, diikuti sektor lembaga keuangan sebesar 119,42 juta, sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp. 83,54 juta, sektor industri sebesar Rp. 57,38 juta, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 36,79 juta, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp. 31,50 juta, sektor jasa-jasa sebesar Rp. 20,26 juta dan sektor konstruksi sebesar Rp. 21,37 juta.

Mencermati kondisi yang demikian itu, dapat dijelaskan bahwa produktivitas sektor tertinggi adalah sektor listrik, gas dan air. Meskipun nilai PDRB yang dihasilkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan sektor pertanian, tetapi tenaga kerja yang dibutuhkan relatif sangat kecil, karena sebagian besar sudah menggunakan teknologi yang cukup canggih. Sebaliknya sektor pertanian meskipun nilai PDRB yang dihasilkan cukup besar tetapi tenaga kerja yang diserap juga besar. Karena proses produksi umumnya masih dengan cara tradisional sehingga PDRB yang dihasilkan juga masih belum maksimal.


(29)

Pada tahun 2007 sektor pertanian mengalami peningkatan produktivitas sebesar 5,32 persen, atau menjadi Rp. 10,68 juta, sedangkan sektor lainnya rata-rata meningkat di atas 8 persen, kecuali sektor konstruksi dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya mengalami peningkatan sebesar 3,37 persen dan 4,82 persen. Sektor listrik, gas dan air memiliki peringkat produktivitas tertinggi yang meningkat cukup besar yaitu 80,53 persen

Sejalan dengan meningkatnya nilai tambah sektor pertanian, tahun 2008 produktivitas sektor pertanian meningkat sebesar 16,79 persen, atau menjadi sebesar Rp. 12,47 juta. Namun demikian posisi produktivitas sektor pertanian masih yang terendah karena sektor lain juga mengalami peningkatan cukup tinggi. Sektor listrik, gas dan air, dengan jumlah tenaga kerja yang sedikit mempunyai produktivitas yang cukup tinggi sebesar Rp. 457,38 juta. Sektor lainnya seperti sektor industri, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran rata-rata juga masih tumbuh sebesar 16,81 persen, 13,15 persen, dan 15,65 persen. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor lembaga keuangan dan sektor jasa-jasa rata-rata produktivitasnya meningkat dibawah 8 persen.

Pada tahun 2009 produktivitas sektor listrik, gas dan air mulai terkontraksi hingga sebesar -5,61 persen, diperkirakan penurunan ini terjadi karena produksi dan harga per kwh listrik selama tahun 2009 berjalan stagnan, sementara jumlah tenaga kerja yang terserap masih terus bertambah. Namun demikian produktivitas sektor listrik, gas dan air masih yang tertinggi yaitu sebesar Rp. 431,72 juta. Sektor lainnya rata-rata masih mengalami peningkatan produktivitas, seperti sektor pertambangan dan penggalian meningkat sebesar 24,44 persen, sektor industri pengolahan meningkat sebesar 10,45 persen, sektor konstruksi 13,16 persen, sektor keuangan 10,28 persen dan sektor pertanian masih meningkat sebesar 8,56 persen. Sedangkan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya mengalami peningkatan sebesar 7,47 persen dan sektor jasa-jasa hanya meningkat sebesar 4,75 persen.

Pada tahun 2010, sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami peningkatan produktivitas terbesar, yaitu 49,52 persen atau menjadi Rp. 56,84 juta, diikuti oleh sektor konstruksi sebesar 38,28 persen. Sementara itu,


(30)

produktivitas sektor listrik, gas dan air bersih yang sempat terkontraksi pada tahun 2009, kembali meningkat pada tahun 2010 yaitu sebesar 6,56 persen. Sedangkan sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor lembaga keuangan produktivitasnya masing-masing meningkat sebesar 14,05 persen; 7,26; 6,42 persen; 22,04 persen; dan 10,46 persen.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa rendahnya produktivitas sektoral adalah ketimpangan output yang dihasilkan dibandingkan dengan impornya. Hal ini dapat disebabkan karena minimnya penggunaan teknologi, sumber daya manusia, serta pasar. Oleh karena itu output yang dihasilkan tidak berimbang dengan penggunaan tenaga kerjanya, khususnya di sektor pertanian.

Nilai Tukar Petani ( NTP) Jaw a Timur Tahun 2010

Rata-rata NTP Jawa Timur tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 0,56 persen dibanding data tahun 2009 yaitu dari 98,19 menjadi 98,74. Kenaikan tersebut disebabkan kenaikan indeks harga yang diterima petani (7,49 persen) lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani (6,90 persen). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai tukar produk pertanian terhadap barang konsumsi rumah tangga petani dan biaya produksi tahun 2010, secara umum masih lebih tinggi dibanding kondisi tahun 2009.

Selama tahun 2010, NTP Jawa Timur bulan Januari sampai dengan Juli lebih tinggi dibanding dengan bulan yang sama tahun 2009, sedangkan Bulan Agustus sampai dengan Desember lebih rendah. Jika dilihat besarnya perubahan, kenaikan NTP terbesar terjadi pada bulan September sebesar 0,84 persen karena indeks harga yang diterima petani mengalami kenaikan sebesar 0,97 persen sedangkan indeks harga yang dibayar petani hanya naik sebesar 0,13 persen. Penurunan NTP terbesar terjadi pada bulan Desember sebesar 0,44 persen karena indeks yang diterima petani naik sebesar 0,92 persen sedangkan indeks yang dibayar petani naik 1,36 persen.

Jika dilihat NTP masing-masing sub sektor pada tahun 2010, NTP tertinggi terjadi pada sub sektor hortikultura sebesar 110,60, sedangkan NTP terendah terjadi pada sub sektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 92,51.


(31)

Kenaikan NTP terbesar terjadi pada sub sektor hortikutura sebesar 3,89 persen, yaitu dari 106,46 menjadi 110,60 sedangkan penurunan terbesar terjadi pada sub sektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 7,78 persen, yaitu dari 100,31 menjadi 92,51.

Rata-rata indeks harga yang diterima petani pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 7,49 persen dari 118,88 menjadi 127,78. Kenaikan indeks ini disebabkan oleh naiknya indeks harga yang diterima petani pada empat sub Sektor yaitu sub Sektor hortikultura naik 2,20 persen dari 128,77 menjadi 131,60, tanaman pangan naik 9,58 persen dari 112,37 menjadi 123,14, perikanan naik 6,41 persen dari 118,85 menjadi 126,47, peternakan naik 2,72 persen dari 129,83 menjadi 133,36. Semetara itu sub sektor tanaman perkebunan rakyat turun 1,99 persen dari 121,62 menjadi 119,20.

I ndeks Diterima Petani

Selama bulan Januari sampai dengan Desember 2010 indeks harga yang diterima petani sub sektor hortikultura dan peternakan lebih tinggi dibanding sub sektor lainnya maupun indeks kompositnya. I ndeks harga yang diterima petani sub sektor tanaman perkebunan rakyat cenderung turun terus dan paling rendah. I ndeks harga yang diterima petani sub Sektor hortikultura mengalami fluktuasi harga yang lebih tajam dibanding sektor lainnya karena pengaruh faktor musiman dan iklim yang cukup dominan.

Rata-rata I ndeks harga yang dibayar petani tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 6,90 persen dibanding indeks tahun 2009 yaitu dari 121,04 menjadi 129,40. Kenaikan tersebut disebabkan naiknya indeks harga kelompok konsumsi rumah tangga serta indeks biaya produksi dan pembentukan modal. Rata-rata indeks harga kelompok konsumsi rumah tangga mengalami kenaikan sebesar 7,85 persen dari 121,67 pada tahun 2009 menjadi 131,22 pada tahun 2010. Kenaikan indeks kelompok ini disebabkan naiknya indeks harga sub kelompok makanan sebesar 9,50 persen, makanan jadi naik 8,83 persen, perumahan naik 7,77 persen, sandang naik 6,40 persen, kesehatan naik 3,63


(32)

persen, pendidikan, rekreasi dan olahraga naik 3,11 persen, serta transportasi dan komunikasi naik 0,36 persen.

I ndeks biaya produksi mengalami kenaikan sebesar 3,70 persen dari 118,72 pada tahun 2009 menjadi 123,11 pada tahun 2010. Kenaikan indeks ini disebabkan oleh naiknya indeks harga bibit sebesar 4,20 persen, upah buruh tani naik 4,03 persen, sewa lahan, pajak dan lainnya naik 3,96 persen, obat-obatan dan pupuk naik 3,64 persen, penambahan barang modal naik 3,52 persen dan transportasi naik 2,59 persen. I ndeks yang dibayar petani selama periode bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2010. I ndeks biaya konsumsi rumahtangga selalu lebih tinggi dibanding indeks biaya produksi dan pembentukan barang modal. I ndeks konsumsi rumahtangga berfluktuasi sepanjang tahun sedangkan indeks biaya produksi dan pembentukan barang modal mengalami kenaikan sepanjang tahun.

5. Evaluasi Pelaksanaan Program dan Kegiatan RKPD Sampai Tahun

Berjalan dan Realisasi RPJMD

Evaluasi I ndikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah

Sebagaimana amanat Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009 tentang RPJMD 2009-2014, kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2010 diukur berdasarkan pada 5 (lima) indikator kinerja utama yaitu : Tingkat Pengangguran Terbuka, Persentase Penduduk Miskin terhadap Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, I ndeks Disparitas Wilayah, serta I ndeks Pembangunan Manusia.

Tabel Matrik Penetapan Indikator Utama

No I ndikator Utama

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Target Realisasi Target Realisasi Target Target Target Target

1 Pertumbuhan Ekonomi (% )

4,00 - 4,50 5,01 4,00 - 4,50 6,67 5,00 - 5,50 5,00 - 5,50 5,50 - 6,00 5,50 - 6,00

2 Tingkat Pengangguran Terbuka (% )

6,20 - 6,40 5,08 6,00 - 6,20 4,25 5,80 - 6,00 5,60 - 5,80 5,40 - 5,60 5,20 - 5,40

3 Kemiskinan (% ) 16,50 - 16,90 16,68 15,50 - 16,50 15,26 15,00 - 15,50 14,50 - 15,00 14,00 - 14,50 13,50 - 14,00

4 I PM 68,90 - 69,00 71,06 69,00 -69,50 71,55 69,50 - 69,90 69,90 - 70,10 70,10 - 70,50 70,50 -71,00


(33)

Kelima indikator tersebut merupakan representasi dari kinerja 9 (sembilan) agenda pembangunan yang akan dicapai secara bertahap dan berkelanjutan. Evaluasi terhadap I ndikator Kinerja Utama tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Secara umum terjadinya pengangguran dapat disebabkan beberapa faktor antara lain : terbatasnya jumlah lapangan kerja yang tersedia, pertumbuhan penduduk yang relative cepat, iklim usaha yang kurang kondusif, terjadinya pemulangan tenaga kerja dari luar negeri (TKI ), kualitas SDM yang tidak linier dengan tingkat pendidikan yang dicapai, dan lebih urban oriented dibanding rural oriented. Sementara akibat dari tingginya tingkat pengangguran adalah ketidakstabilan sosial-ekonomi.

Tingkat Pengangguran Terbuka ( Tpt ) Jaw a Timur Tahun 2 006- 2010

Dari hasil pelaksanaan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan Agustus 2009 melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), hampir tidak terlihat adanya dampak krisis ekonomi global. Pengangguran justru mengalami penurunan ketika terjadi krisis ekonomi. Namun demikian berkurangnya jumlah penganggur seperti yang disajikan pada Tabel 4.1, harus dipahami secara hati-hati, agar tidak menimbulkan persepsi yang salah terhadap kondisi yang ada, khususnya jika dikaitkan dengan kondisi kesejahteraan penduduk secara luas.

Tabel I ndikator Ketenagakerjaan Agustus 2006- Agustus 2010

Kegiatan Utama 2006 2007 2008 2009 2010

1. Bekerja (jutaan) 17,67 18,751 18,882 19,305 18,698

2. Penganggur

(jutaan) 1,575 1,366 1,296 1,033 0,829

3. TPAK (% ) 67,36 68,99 69,32 69,25 69,08

4. TPT (% ) 8,19 6,79 6,42 5,08 4,25

Sumber : Hasil Sakenas 2007 – 2009, BPS Jawa Timur

Diperkirakan pada kondisi krisis, tenaga kerja Jawa Timur melakukan mekanisme penyesuaian dengan cara mencari pekerjaan sampingan dan


(34)

mempekerjakan anggota rumahtangga usia produktif. Salah satu indikasi yang bisa ditunjukkan dari hasil Sakernas adalah banyak ibu rumah tangga yang masuk ke pasar kerja baik sebagai pekerja tidak dibayar/ pekerja keluarga maupun tenaga kerja usia lanjut yang sebenarnya sudah berada di luar angkatan kerja karena pensiun, dan kembali masuk dalam pasar kerja sebagai pekerja yang berstatus pengusaha mandiri. Kondisi ini mengklarifikasikan peranan signifikan sektor informal sebagai penyangga (buffer) perekonomian. Oleh karena itu sebaiknya berhati-hati dalam membuat proyeksi ketenagakerjaan yang mengkaitkan angka pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi.

Tabel Jumlah Penduduk Usia Kerja

yang Termasuk Bukan Angkatan Kerja Di Jaw a Timur Tahun 2008 - 2009

Bukan Angkatan Kerja 2009 2010

1. Sekolah 1.864.810 1.949.264

2. Mengurus Rumahtangga 5.500.513 5.624.245

3. Lainnya 1.567.651 1.459.055

Jumlah 8.932.974 9.032.564

Sumber : Hasil Sakenas 2008 – 2009, BPS Jawa Timur

Hal lain yang juga perlu diperhatikan oleh pengambil kebijakan terkait dengan masalah ketenagakerjaan adalah dampak krisis ekonomi di pasar tenaga kerja. Dampak yang paling nyata adalah turunnya pendapatan riil, baik bagi pekerja informal (pendatang baru dalam pasar kerja) maupun bagi mereka yang berstatus karyawan. Penurunan pendapatan riil dapat disebabkan karena dampak langsung kenaikan harga barang dan jasa, atau bukan akibat penurunan pendapatan nominal. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa persoalan ketenagakerjaan tidak selesai ketika seseorang sudah bekerja. Status sebagai pekerja tidak memberikan jaminan bahwa dia sejahtera, dan status sebagai penganggur tidak selalu berarti bahwa dia miskin. I mplikasinya, menjadikan penganggur sebagai kelompok sasaran utama dalam program penanggulangan


(35)

Gambar

Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Timur Tahun 2002 – 2010

Sumber :BPS, PSE 2005, PPLS 2008 dan Susenas

20,34 19,52 19,10 19,95 21,09 19,98 18,51 16,68 15,26 13 15 17 19 21 23 25

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

krisis merupakan langkah yang menyesatkan. Oleh karena itu kelompok yang paling memerlukan perhatian adalah yang sudah bekerja tetapi tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan.

Jumlah dan persentase penduduk miskin di

Jawa Timur pada periode 2002-2010 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk miskin nampak terjadi penurunan dari 20,34 persen pada tahun 2002 menjadi 19,10 persen pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2005 dan 2006 (Hasil

SSN Panel Maret 2005 - 2006), terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu menjadi 7,14 juta orang atau 19,95 persen (tahun 2005) dan 7,68 juta orang atau 21,09 persen (tahun 2006). Selanjutnya dengan adanya program aksi mengatasi dampak kenaikan harga BBM (PAMDKB) pada tahun 2006 yang dilakukan secara berturut-turut diduga memberikan andil penurunan persentase jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2007 persentase penduduk miskin menjadi sebesar 19,98 persen, tahun 2008 menjadi sebesar 18,51 persen dan tahun 2009 menjadi sebesar 16,68 persen, dan selanjutnya menurun kembali menjadi 15,26 persen pada tahun 2010.

Persentase Penduduk Miskin Terhadap Jumlah Penduduk Di Jaw a

Timur Tahun 2006 – 2010

PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku selama kurun waktu lima tahun terakhir masing - masing Rp. 470,63 trilyun (2006), Rp. 534,92 trilyun (2007), Rp. 621,39 trilyun (2008), Rp. 686,85 trilyun (2009), dan Rp. 778,46

Pertumbuhan Ekonomi Adhk Tahun 2000 Jaw a Timur Tahun

2006-2010


(36)

trilyun (2010). Nilai PDRB yang dihasilkan tersebut masih mengandung pengaruh perubahan harga, sehingga belum bisa digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan 2000, karena pertumbuhan ekonomi ini benar-benar diakibatkan oleh perubahan jumlah nilai produk barang dan jasa yang sudah bebas dari pengaruh harga (pertumbuhan riil).

Berdasarkan Tabel dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh 5,80 persen, kemudian meningkat pertumbuhannya menjadi 6,11 persen pada tahun 2007, menurun pada tahun 2008 menjadi 5,94 persen, 5,01 persen (2009), dan 6,76 persen (2010).

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 mencapai 5,80 persen, sedikit melambat dari tahun sebelumnya akibat dampak dari keanikan harga BBM. Namun seiring berjalannya waktu, perekonomian Jawa Timur mampu bangkit pada tahun 2007 sehingga mencapai pertumbuhan sebesar 6,11 persen.

Tabel Pertumbuhan Ekonomi Jaw a Timur Tahun 2 006 – 2010

Keterangan 2006 2007 2008 2009*) 2010* *)

1. PDRB ADHB (Miliar

Rupiah) 470.627 534.919 621.392 686.848 778.455

2. PDRB ADHK 2000 (Miliar

Rupiah) 271.249 287.814 305.539 320.861 342.254

3. Pertumbuhan Ekonomi

(% ) 5,80 6,11 5,94 5,01 6,67

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki * * ) Angka Sementara

Membaiknya kondisi ekonomi Jawa Timur tidak bertahan lama, karena pada akhir tahun 2007 hingga kuartal kedua tahun 2008, kenaikan harga minyak dunia meningkat hingga mencapai 147 dollar AS per barrel. Secara perlahan, kenaikan itu juga berdampak pada kenaikan harga BBM di dalam negeri yang pada akhirnya mendorong naiknya harga barang dan jasa. Kondisi ini terus


(37)

berlanjut dengan terjadinya krisis finansial yang dimulai dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat, hingga meluas di berbagai negara di dunia termasuk I ndonesia. Bagai efek domino, Jawa Timur juga terkena imbas, sehingga pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 melambat kembali dan hanya mencapai 5,94 persen.

Dampak Krisis Keuangan Global yang terjadi pada akhir tahun 2008 terus berlanjut hingga tahun 2009, ekspor beberapa komoditi unggulan Jawa Timur khususnya ke negara-negara Amerika dan Eropa ikut merosot, dan berakibat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2009 terus melambat dengan hanya tumbuh sebesar 5,01 persen.

Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur mulai menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, sebagai dampak dari membaiknya perekonomian global yang mendorong naiknya ekspor Jawa Timur, baik ke luar negeri atau ke luar daerah. Dengan kondisi yang kondusif tersebut, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama tahun 2010 mampu mencapai level 6,67 persen.

Per t u m b u h an Sek t o r al Tah u n 2 0 0 6 – 2 0 1 0

Pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur sebesar 5,80 persen, sedikit melambat dibandingkan tahun 2005 sebagai dampak terjadinya kenaikan harga BBM. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh paling cepat dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 9,62 persen, diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, serta sektor pengangkutan dan komunikasi yang masing-masing sebesar 8,58 persen, 7,46 persen, dan 6,77 persen. Sementara itu sektor pertanian dan sektor industri pengolahan sebagai sektor yang dominan di Jawa Timur, hanya tumbuh sebesar 3,09 persen dan 3,05 persen.


(38)

Tabel Pertumbuhan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2 006- 2010 ( persen)

Sektor 2006 2007 2008 2009*) 2010* *)

1 Pertanian 3,99 3,13 3,12 3,92 2,13

2. Pertambangan & Penggalian 8,58 10,44 9,36 6,92 9,18

3. I ndustri Pengolahan 3,05 4,64 4,36 2,80 4,35

4. Listrik,Gas & Air Bersih 4,07 11,81 3,11 2,72 6,43

5. Konstruksi 1,42 1,21 2,71 4,25 6,64

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 9,62 8,39 8,19 5,58 10,67

7. Pengangkutan & Komunikasi 6,77 7,77 8,38 12,98 10,07

8. Keuangan, Sewa, & Jasa

Perusahaan 7,46 8,47 8,05 5,30 7,27

9. Jasa-jasa 5,27 5,88 6,32 5,76 4,34

PDRB 5,80 6,11 5,94 5,01 6,67

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur Keterangan : * ) Angka Diperbaiki * * ) Angka Sementara

Pengaruh kenaikan harga BBM pada tahun 2005 mulai berkurang pada tahun 2007, sehingga pada tahun 2007 perekonomian Jawa Timur tumbuh sebesar 6,11 persen. Sektor listrik, gas, dan air bersih tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu sebesar 11,81 persen, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran masing-masing sebesar 10,44 persen, 8,47 persen dan 8,39 persen. Sedangkan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian yang masih menjadi penyumbang terbesar kedua dan ketiga dalam perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh 4,64 persen dan 3,13 persen.

Krisis keuangan global yang terjadi pada semester I I tahun 2008 berpengaruh pada melambatnya perekonomian Jawa Timur tahun 2008, sebesar 5,94 persen. Tercatat beberapa sektor yang mengalami perlambatan


(39)

pertumbuhan adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor konstruksi, dan sektor pertanian masing-masing tumbuh sebesar 4,36 persen, 3,11 persen, 2,71 persen dan 3,12 persen. Sektor-sektor yang masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan masing-masing tumbuh sebesar 9,36 persen, 8,38 persen, 8,19 persen, dan 8,05 persen.

Dampak krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berlanjut hingga tahun 2009, ekspor komoditas unggulan Jawa Timur ke luar negeri menurun tajam, sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Pada tahun 2009 perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh sebesar 5,01 persen, dimana sebagian besar sektor ekonomi juga tumbuh melambat. Beberapa sektor yang masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa-jasa masing-masing tumbuh sebesar 12,98 persen, 6,92 persen, dan 5,76 persen. Sektor-sektor andalan Jawa Timur seperti Sektor-sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian masing-masing hanya tumbuh sebesar 5,58 persen, 2,80 persen dan 3,92 persen. Sementara sektor lainnya rata-rata masih tumbuh pada level 2 sampai 4 persen.

Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur membaik seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian global, sehingga pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mencapai 6,67 persen, pertumbuhan tertinggi selama lima tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa Timur ini terutama didukung oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang tumbuh sebesar 10,67 persen. Membaiknya kondisi perekonomian global memberi dampak terhadap membaiknya daya beli masyarakat yang mendorong sektor perdagangan, baik perdagangan luar negeri maupun perdagangan antar wilayah. Sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan tercatat mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 10,07 persen; 9,18 persen, dan 7,27 persen. Sementara itu, sektor industri pengolahan


(1)

2.

Peningkatkan Aksesibilitas dan Kualitas Pelayanan Kesehatan

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) mewujudkan pelayanan kesehatan yang murah dan memadai, terutama bagi masyarakat miskin, untuk meningkatkan produktivitas masyarakat; (b) meningkatkan jumlah, jaringan, dan kualitas pusat kesehatan masyarakat; (c) mengembangkan pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana, prasarana, dan tenaga kesehatan; (d) mewujudkan lingkungan perumahan yang sehat dan sanitasi yang layak; dan (e) terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan air bersih. 3.

Perluasan Lapangan Kerja

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a)

mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja di sektor formal maupun informal, utamanya Penempatan Tenaga Kerja I ndonesia ke Luar Negeri ; (b) meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, melalui penguatan sarana dan prasarana UPT- Pelatihan Kerja bertaraf I nternasional, (c) menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki ketentuan ketenagakerjaan yang berkaitan rekrutmen, outsourcing, pengupahan dan PHK, serta memperbaiki ketentuan-ketentuan yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan; (d) Perluasan lapangan kerja melalui Program Transmigrasi.

4.

Peningkatan Efektivitas Penanggulangan Kemiskinan

, dengan implementasi kebijakan yang diarahkan pada pengurangan 493.004 Rumah Tangga Sangat Miskin dan meningkatkan kapasitas keberdayaan masyarakat melalui Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan, Program Pengembangan Lembaga Ekonomi Pedesaan, Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Membangun Desa serta optimalisasi Tim Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dalam mensinergikan program program penanggulangan kemiskinan.Guna mewujudkan hal tersebut, perlu kerja sama antar Pemerintah, antar program SKPD dan antar pelaku baik dari sisi pendanaan, penguatan kapasitas dan pemasaran maupun perlindungan usaha. Di samping itu, dalam penanggulangan kemiskinan juga memerlukan dukungan regulasi yang memihak masyarakat miskin dan kondisi keamanan lingkungan yang kondusif. Pada sisi lain, masyarakat miskin perlu ditumbuhkan harapan dan


(2)

kepercayaan diri bahwa mereka mempunyai potensi diri yang dapat dikembangkan, etos keras dan disiplin baik dalam mengelola waktu untuk meningkatkan produktivitas, serta mempunyai tanggungjawab atas apa yang dilakukan.

5.

Peningkatan Kesejahteraan Sosial Rakyat

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk memberdayakan kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk anak-anak telantar, fakir miskin, manusia lanjut usia (manula/ lansia), penyandang cacat, masyarakat miskin, dan masyarakat di wilayah terpencil, tertinggal dan wilayah rawan bencana,

6.

Revitalisasi Pertanian dan Pengembangan Agroindustri/ Agrobisnis

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) meningkatkan pemberdayaan petani/ nelayan dan lembaga-lembaga pendukungnya, (b) meningkatkan produktivitas, daya saing, dan nilai tambah produk pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, (c) Meningkatkan efisiensi usahatani melalui rekayasa teknologi berbasis sumberdaya lokal, (d) meningkatkan pengembangan agroindustri dan agrobisnis untuk memberdayakan perekonomian rakyat, (e) Meningkatkan pengamanan ketahanan pangan, (f) Stabilisasi harga pangan, (g) percepatan penganekaragaman pangan, (i) mengembangkan kawasan agropolitan regional.

7.

Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk : (1) memperluas akses kepada sumber permodalan; (2) mengembangkan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah, (3) memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan berwawasan gender, dengan fokus kegiatan, (4) memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru berkeunggulan, (5) mengembangkan UKM agar memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing (6) meningkatkan kualitas SDM koperasi dan UMKM serta penataan kelembagaan koperasi.

8.

Peningkatan I nvest asi, Ekspor Non- Migas, dan Pariw isata

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) menyederhanakan prosedur perijinan


(3)

investasi, melalui optimalisasi pelayanan perijinan terpadu (P2T); (b) menciptakan kepastian hukum yang menjamin kepastian usaha, termasuk mengurangi tumpang tindih kebijakan antar pusat dan daerah serta antar sektor; (c) menyempurnakan kelembagaan investasi yang berdaya saing, efisien, transparan, dan non-diskriminatif; (d) meningkatkan penyediaan infrastruktur, dan (e) meningkatkan ekspor non migas, baik antar negara melalui peningkatan mutu dan jumlah produk serta memperluas negara tujuan ekspor, maupun antar wilayah di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa, melalui pembukaan perwakilan dagang di berbagai daerah di I ndonesia serta meningkatkan penggunaan e-comerce; (f) meningkatkan pengembangan jenis dan kualitas produk-produk wisata, serta meningkatkan investasi di bidang pariwisata daerah.

9.

Peningkatan Daya Saing I ndustri Manufaktur

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) meningkatkan utilitas kapasitas terpasang melalui optimalisai kapasitas produksi sesuai dengan permintaan pasar; (b) memperkuat struktur industri, melalui penyeimbangan industri hulu dan hilir; (c) memperkuat basis produksi terutama produk-produk yang berbahan baku lokal; dan (d) meningkatkan daya saing industri melalui peningkatan kualitas produk dengan mengacu pada standar produksi nasional (SNI ), agar dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja.

10.

Pembangunan dan Pemeliharaan I nfrastruktur

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) meningkatkan pemeliharaan inftrastruktur; (b) mempercepat perbaikan infrastruktur yang rusak, terutama infrastruktur pertanian dan pedesaan, serta infrastruktur ekonomi strategis; (c) meningkatkan kapasitas pelayanan infrastruktur, terutama di daerah pedesaan, dan daerah tertinggal, serta infrastruktur yang melayani masyarakat miskin, dan infrastruktur yang menghubungkan dan/ atau melayani antar-daerah. (d) Meningkatkan pengembangan dan pemanfaatan potensi sumber energi terbarukan (e) Mengembangkan konversi energi dari minyak tanah ke gas elpiji secara lebih efektif dan tepat.


(4)

11.

Pemeliharaan Kualitas dan Fungsi Lingkungan Hidup, serta

Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Penataan Ruang

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) menciptakan keseimbangan antara pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan pemeliharaan kualitas dan fungsi lingkungan hidup; (b) mencegah terjadinya atau berlanjutnya pencemaran lingkungan melalui medium air, udara, maupun tanah; (c) mendorong pengembangan industri yang ramah lingkungan; (d) mencegah terjadinya atau berlanjutnya perusakan hutan akibat kegiatan-kegiatan ilegal, serta mencegah meluasnya areal lahan kritis; (e) memulihkan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang rusak; (f) mengembangkan manajemen dan mekanisme penanggulangan bencana alam, terutama di wilayah rawan banjir dan tanah longsor; (g) membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup, dan berperan aktif melakukan kontrol sosial terhadap kualitas lingkungan hidup; (h) menyusun rencana rinci/ detail tata ruang secara komprehensif;

12.

Percepatan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan Peningkatan

Pelayanan Publik,

dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) mempercepat perwujudan perubahan pola berpikir dan orientasi birokrasi dari dilayani menjadi melayani masyarakat; (b) mempercepat perwujudan birokrasi yang efisien, kreatif, inovatif, bertanggung jawab, dan profesional untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; (c) meningkatkan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada semua tingkat dan lini pemerintahan; (d) meningkatkan kualitas pelayanan publik menjadi pelayanan prima; (e) mendorong partisipasi masyarakat untuk turut merumuskan program dan kebijakan layanan publik.

13.

Peningkatan Kualitas Kesalehan Sosial demi Terjaganya Harmoni

Sosial,

dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, budi pekerti, memupuk etos kerja, menghargai kemajemukan sosial budaya, dan menjadi kekuatan pendorong mencapai Jawa Timur makmur dan berakhlak; (b) meningkatkan pemahaman,


(5)

penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai agama dan budi pekerti dalam kehidupan masyarakat sehari-hari; dan (c) mendorong terciptanya kehidupan intra dan antar-umat beragama yang saling menghormati untuk mewujudkan suasana yang aman dan damai; (d) menyelesaikan dan mencegah konflik antar-umat beragama; dan (e) meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat agar dapat memperoleh hak-hak dasar dalam memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya. Arah kebijakan diatas difokuskan pada Fasilitasi dan kegiatan bidang keagamaan di Jawa Timur melalui pemberian bantuan sarana peribadatan, fasilitasi pembinaan kerukunan umat beragama, bantuan sarana pendidikan keagamaan.

14.

Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan di Semua

Bidang, dan Terjaminnya Kesetaraan Gender

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) menciptakan keadilan dan kesetaraan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan; (b) meningkatkan perbaikan angka I ndeks Pembangunan Gender (Gender-related Development I ndex, GDI ), dan angka I ndeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement, GEM); (c) terjaminnya perlindungan dan kesejahteraan anak dan perempuan; dan (d) meningkatkan pelayanan keluarga berencana, dan kesehatan reproduksi yang berkualitas sebagai upaya pengendalian pertambahan penduduk.

15.

Peningkatan Peran Pemuda dan Pengembangan Olahraga,

dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) meningkatkan peran serta pemuda dalam pembangunan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama; (b) meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat terhadap kesehatan dan kebugaran jasmani dalam upaya pembentukan watak bangsa; (c) meningkatkan upaya pembibitan dan pengembangan prestasi olahraga secara sistematik, berjenjang, dan berkelanjutan.

16.

Penghormatan, Pengakuan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi

Manusia

, dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) meningkatkan penegakan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif; (b)


(6)

terjaminnya konsistensi peraturan perundang-undangan; (c) meningkatkan pemahaman dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

17.

Peningkatan Keamanan dan Ketertiban, dan Penanggulangan

Kriminalitas,

dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) meningkatkan peran serta masyarakat untuk mencegah kriminalitas dan gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungan masing-masing; (b) meningkatkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta peredaran narkoba; (c) mendorong peningkatan perlindungan dan pengayoman masyarakat.

18.

Percepatan Penanganan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sosial

Ekonomi Dampak Lumpur Panas Lapindo,

dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (a) mengurangi keresahan sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya masyarakat akiibat semburan lumpur Lapindo; dan (b) mempercepat revitalisasi infrastruktur fisik untuk stabilisasi dan normalisasi aktivitas investasi ekonomi dan perdagangan.