Majalah Budaya
3.1 Majalah Budaya
Majalah Budaya (1951-1965) adalah majalah bulanan kebu- dayaan dan diterbitkan oleh Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan di Yogyakarta. Kantor
redaksinya terletak di Jalan Mahameru 11 Yogyakarta. Yang pernah menjabat sebagai redaksi antara lain: Kirdjomuljo, Nasjah Djamin, Kusnadi, Loekman Effendi, Motinggo Boesje, Idrus Is-
mail, SK Wiryono, Hartoyo Andangjaya, Rachmadi Ps, dan S Wandhi. Setiap nomor penerbitan selalu memuat: catatan re- daksi, esai-esai ilmiah, ulasan dan kritikan di bidang seni sastra,
seni lukis, seni musik, seni tari, seni tradisional, puisi-puisi (asli dan terjemahan), cerpen (asli dan terjemahan), naskah drama, sktesa-sketsa, dan berita kebudayaan.
Majalah ini menerima karya dari pengarang mana pun (ter- masuk pengarang Lekra), tidak memihak golongan tertentu. Puisi-puisi selalu hadir setiap nomor dan berasal dari penyair-
penyair dari Yogyakarta maupun dari luar kota Yogyakarta. Me- nurut Widati dkk (2003), penyair-penyair yang mengisi majalah Budaya sejak terbit (1951) sampai berhenti terbit (1965) antara
lain ialah: Mansur Samin (kelahiran Batangtoru, Sumatra Utara,
29 April 1930); GDE Mangku (Bali); W.S. Rendra (lahir di Sura- karta, 7 November 1935); Djamil Suherman (lahir di Surabaya,
24 April 1924); Hidjas Yamani (lahir di Banjarmasin, 23 Maret 1933); Isma Sawitri (lahir di Langsa, Aceh, 21 November 1940); Motinggo Boesye (lahir di Lampung, 21 November 1937); Ar-
maya (lahir di Banyuwangi tahun 30-an); Saini KM (lahir di Su- medang, 16 Juni 1938); Soepriyadi Tomodihardjo; S. Anantaguna
(lahir di Klaten, 9 Agustus 1930); Awang Shabriansah; Imam Soetrisno ; Klara Akustia ; Sapardi Djoko Damono (lahir di Su- rakarta 20 Maret 1940); HR Bandaharo (lahir di Medan, 1 Mei 1917); Hertoto; Kaswanda Saleh (lahir di Surakarta); Kirdjomuljo (lahir di Yogyakarta ); Kusni Sulang; Made Kirtya; Muhammad Ali (lahir di Surabaya, 23 April 1927); M. Saribi AFN (lahir di Klaten, 15 Desember 1936); Sanyoto Suwito; Trisno Sumardjo (lahir di Surabaya, 6 Desember 1916); Isra; Djoko Subagijo; Tim- bul Darminto; Soebagjo Sastrowardojo (lahir di Madiun, 1 Fe- bruari 1924), Suparwata Wiraatmaja (lahir di Sragen, 22 Juli 1938), Budi Darma (lahir di Sragen), dan sebagainya.
Dari penyair-penyair tersebut, jika dijumlah hanya ada tiga orang penyair kelahiran Yogyakarta, mereka adalah Kirdjomuljo, Djoko Subagijo, dan Timbul Darminto; sedangkan yang tinggal di Yogyakarta pada periode itu antara lain: WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Imam Sutrisno, Motinggo Boesye, Soebagjo Sas- trowardojo, Suparwata Wiraatmaja, dan Budi Darma.
Bagaimana puisi-puisi penyair Yogyakarta dan luar Yogya- karta yang terbit lewat majalah Budaya pada periode Demokrasi Terpimpin? Menurut penelitian Widati, dkk (2003) terhadap 195 puisi yang ditulis oleh 64 orang penyair pada periode 1945-1965, ada 6 tema yang tampak, yaitu: kepahlawanan, individual, ling- kungan, sosial, relegius, dan percintaan. Sementara itu, jika kita ingin mengetahui bagaimana corak puisi khususnya yang ditulis oleh penyair kelahiran Yogyakarta, atau bukan kelahiran Yogya- karta tetapi tinggal di Yogyakata, jelas diperlukan penelitian yang suntuk, tetapi untuk melihat apakah jenis puisi naratif terje- jak pada karya-karya mereka, dapat dirunut pada puisi-puisi yang bertemakan kepahlawanan dan sosial. Ini tampak pada puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Orang-orang yang turun di stasiun”, Budaya , Januari-Februari-Maret 1962. Tulisnya antara lain: mereka tiba darimana/ dalam lusuh bergegas turun di seta- siun/ketika itu hari sudah hampir senja/beberapa wanita mendekat dengan Bagaimana puisi-puisi penyair Yogyakarta dan luar Yogya- karta yang terbit lewat majalah Budaya pada periode Demokrasi Terpimpin? Menurut penelitian Widati, dkk (2003) terhadap 195 puisi yang ditulis oleh 64 orang penyair pada periode 1945-1965, ada 6 tema yang tampak, yaitu: kepahlawanan, individual, ling- kungan, sosial, relegius, dan percintaan. Sementara itu, jika kita ingin mengetahui bagaimana corak puisi khususnya yang ditulis oleh penyair kelahiran Yogyakarta, atau bukan kelahiran Yogya- karta tetapi tinggal di Yogyakata, jelas diperlukan penelitian yang suntuk, tetapi untuk melihat apakah jenis puisi naratif terje- jak pada karya-karya mereka, dapat dirunut pada puisi-puisi yang bertemakan kepahlawanan dan sosial. Ini tampak pada puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Orang-orang yang turun di stasiun”, Budaya , Januari-Februari-Maret 1962. Tulisnya antara lain: mereka tiba darimana/ dalam lusuh bergegas turun di seta- siun/ketika itu hari sudah hampir senja/beberapa wanita mendekat dengan
Atau puisi Gde Mangku yang berjudul “Revolusi” seperti ini: saat ini kami berjuang/tersebab lapar dan setia/pantai dan jurang adalah milik kami/dan perempuan yang tercinta// kalau kumati/matilah kami bagi mereka yang datang membawa kembang/ dunia teramatlah ramah/ bunga-bunga merah/ bagai mata kekasih/ dan tangis bayi/riak danau tengah hari/… Bandingkan dengan sajak karya Agam Wispi yang dimuat Budaya, Maret 1957 yang juga berjudul “Repolusi”: kupancing kau masuk hutan/ kau ikuti aku seperti bayangan/ tinggal pantai hilang lautan/ bertimbun bangkai di kota/ pita merah dan matahari/ cinta berdarah sampai mati//.
Atau puisi Mansur Samin yang berjudul “Gerilya”. Peluk mata bermimpi raga/Luasa dan percaya dialah Nina/Tapi di mana pernah jumpa/zaman Gerilya sepanjang bukit utara/Membalurkan warna te- ngadah duga/ orang-orang terbakar tersayat dalam kamar// . Lalu bandingkan dengan gaya penulisan Klara Akustia yang juga di- muat dalam Budaya seperti ini: Aku adalah dendam yang mengem- pedu/ pahit menanar di dalam darah/ ke Berlin! Ke goa Nazi/ kita maju mulut mengunci/ sekeliling rumah abu, kekasih mati/sumpah Pepe pu- tera Perancis:/ kali ini hatitak kenal ampun/ Ukraina, Polandia, Lu- xemburg, Auschwitz/ tengkorak menghiasi/ fasis lari/ mulut makin me- ngunci: Jerman!/ ini dendam minta meledak/ Hitler/ engkau bikin kita gila/pemburu haus darah kasta Aria/kali ini kasih sudah kiamat//
Atau, secara lengkap mari kita bandingkan karya seorang penyair Lekra Klara Akustia yang pernah dimuat di majalah Budaya , nomor Maret-April 1957, dengan puisi berjudul “Napas- Napas Sepanjang Malioboro” karya Djoko Subagio penyair asli kelahiran Yogyakarta yang dimuat dalam majalah Budaya bulan Mei 1957, berikut ini
NYI MARSIH Kepada Penari Senen
Saban malam Nyi Marsih mesti menari hati sepi jiwa hampa
Nyi Marsih datang dari desa rumah tinggal abu suami entah di mana nyi Marsih pergi ke kota saban malam menari, menari
Nyi Marsih tidak tahu revolusi tetapi cinta merdeka merdeka baginya tanah nyi Marsis sedih rumah dan suami musna
Nyi Marsih tidak tahu krisis moral dia senyum dan menari dicium dan memberi nyi Marsih tidak merdeka dan perut keroncongan
Saban malam nyi Marsih menari hati menanti kapan merdeka.
NAPAS-NAPAS SEPANJANG MALIOBORO
I Pagi lunak-lunak merabai teras toko, di jalan kuda andong deras lewat perempatan, tercambuk dukanya membusa di mulut tua I Pagi lunak-lunak merabai teras toko, di jalan kuda andong deras lewat perempatan, tercambuk dukanya membusa di mulut tua
II Sekali bayangku kabur di kaca toko, terasa dunia ini makin ramah, dan dua pengemis cilik membuntuti welasku, datanglah diriku dekat padanya, mata itu redup, selembut hati yang kubawa.
III Tengadah wajah-wajah menatapi langit mendung, mentari makin pingsan, orang tanpa nama berlarian, satu harapan bisa mimpi indah ini malam, sepilah hari dihantar pagi.
IV Kembali aku kenang di jalan pulang, Malioboro sepanjang Tugu, gadis bergaun merah darah berkedipan, teras toko makin sepi, keretaku lari sepanjang rel ketikur.