Majalah Basis
3.2 Majalah Basis
Sedikit berbeda dengan majalah kebudayaan Budaya, maja- lah Basis diterbitkan oleh penerbit swasta Katolik tahun 1951. Pada awalnya majalah ini diasuh oleh para rohaniwan Katolik
antara lain: Djojoseputro, S.J., Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, S.J., Rachmat Subagyo, S.J., dan Prof. Dr. N. Drijarkara, S.J. Majalah ini ingin menyumbangkan gagasan pikiran bagi pembangunan
bangsa di bidang politik, ekonomi, hidup berkeluarga, kesenian, dan kesusastraan (Hartoko, 1984: 326).
Dalam perkembangannya sejak tahun 1957 setelah redaksi dipegang oleh Dick Hartoko, S.J. bidang seni sastra mulai banyak disuguhkan. Sejak itu hingga tahun 1965 di majalah Basis selalu hadir rubrik puisi dengan redaksi Sapardi Djoko Damono. Para penyair yang mengisinya datang dari Yogyakarta dan luar kota Yogyakarta. Bahkan menurut Hartoko (Ibid) tujuh jilid majalah Basis dari Oktober 1961 sampai dengan September 1968, para pengarang, sastrawan dan penulis yang tidak tergabung dalam Lekra menulis dalam Basis sehingga suatu ketika setelah majalah Sastra yang dianggap sebagai corong Manikebu ditutup penyair Trisno Sumardjo dengan tersenyum penuh kesedihan berkata, “Sekarang hanya Basis-lah yang sanggup dan berani memuat sajak-sajak saya.”
Para penyair yang menerbitkan puisinya di Basis dalam pe- riode Demokrasi Terpimpin antara lain: Ajip Rosidi, WS Rendra, Subagyo Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Hartojo Andangdjaja, Moh. Saribi, Sapardi Djoko Damono, Soekarno Hadian, Soeparwata Wiraatmadja, Timbul Darminto, Trisnanto, Made Sumantha, S. Tarno, M. Popy Hutagalung, Darmanto Yatman, Rachmat Djoko Pradopo, Gunawan Mohamad, Ayat Rohaedy, Sitor Situmorang, Trisno Sumardjo, Wisnu Wardana, Trim Su- tedja, Umbu Landu Paranggi, Heru Sutopo, Budiman S. Hartoyo, Bakdi Soemanto, Saini KM, Mansur Samin, Husain Landitjing, Andre Hardjana, Budiman S Hartojo, Piek Ardiyanto Supriyadi, Suripan Sadi Hutomo, Dharmadji Sosropuro, dsb.
Sementara itu, Basis lebih dibanjiri karya penyair luar kota Yogyakarta dibandingkan dengan penyair-penyair yang tinggal di Yogyakarta. Mereka yang tinggal di Yogyakarta antara lain: WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Rachmat Djoko Pradopo dan Dharmadji Sosropuro. Seperti halnya puisi-puisi yang terbit lewat majalah Budaya, untuk mengetahui tema-tema apa yang mendominasi puisi-puisi yang terbit di Basis dibutuhkan peneli- tian yang suntuk pula. Oleh karena makalah ini lebih ke arah mencari jejak apakah puisi-puisi di Basis juga dijumpai gaya Sementara itu, Basis lebih dibanjiri karya penyair luar kota Yogyakarta dibandingkan dengan penyair-penyair yang tinggal di Yogyakarta. Mereka yang tinggal di Yogyakarta antara lain: WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Rachmat Djoko Pradopo dan Dharmadji Sosropuro. Seperti halnya puisi-puisi yang terbit lewat majalah Budaya, untuk mengetahui tema-tema apa yang mendominasi puisi-puisi yang terbit di Basis dibutuhkan peneli- tian yang suntuk pula. Oleh karena makalah ini lebih ke arah mencari jejak apakah puisi-puisi di Basis juga dijumpai gaya
AFRIKA SELATAN Kristus pengasih putih wajah
kulihat dalam injil bergambar dan arca-arca gereja dari marmar— Orang putih bersorak; “Hosannah!” dan ramai berarak ke sorga.
Tapi kulitku hitam, Dan sorga bukan tempatku berdiam. bumi hitam iblis hitam dosa hitam Karena itu: aku bumi lata aku iblis laknat aku dosa melekat aku sampah di tengah jalan.
Mereka membuat rel dan sepur hotel dan kapal terbang Mereka membuat sekolah dan kantor pos gereja dan restoran tapi tidak buatku tidak buatku. Diamku di batu-batu pinggir kota Mereka membuat rel dan sepur hotel dan kapal terbang Mereka membuat sekolah dan kantor pos gereja dan restoran tapi tidak buatku tidak buatku. Diamku di batu-batu pinggir kota
Mereka boleh memburu Mereka boleh membakar Mereka boleh menembak
Tetapi istriku terus berbiak seperti rumput di pekarangan mereka seperti lumut di tembok mereka seperti cendawan di roti mereka Sebab bumi hitam milik kami Tambang intan milik kami Gunung Natal milik kami
Mereka boleh membunuh Mereka boleh membunuh Mereka boleh membunuh Sebab mereka kulit putih dan kristus pengasih putih wajah.
jangan aku disuruh diam
barangkali jalan aspal bakal jadi alas kaparan tubuhku dan darah yang menggenang air suci penghabisan kan hilang dari pandang segala yang kusayang serta airmata kekasih bakal membencanai bumi atau keganasan penjara bakal merampas seluruh usia tapi itulah kata yang mesti kukatakan karena melihat bintang yang memijar-mijar barangkali jalan aspal bakal jadi alas kaparan tubuhku dan darah yang menggenang air suci penghabisan kan hilang dari pandang segala yang kusayang serta airmata kekasih bakal membencanai bumi atau keganasan penjara bakal merampas seluruh usia tapi itulah kata yang mesti kukatakan karena melihat bintang yang memijar-mijar
tidak manisku sayang lepaskan aku dengan bulan senyummu kerna airmata akan melunglaikan sendi-sendi hati ini mesti kupijakkan kaki ke depan mesti kuucapkan kata-kata berkejap di bintang dengan tanganku dengan napasku kerna lihatlah jalan lurus membentang dalam kata-kataku dan di ujungnya tempat yang kita citakan hidup yang gairah menghidupkan di tengah cinta dan kasih sayang keluarga manusia berpadu di atas bumi dirahmati Tuhan
jangan aku disuruh diam manisku tundalah dulu gunung-gunung yang merenung biru biarlah bunga-bunga berkering airmata menanti kunjungan kita kerna kaki tak boleh berhenti tangan tak boleh istirah di atas bumi kita yang mengaduh yang gemetar keberatan beban: dosa, airmata, keluh dan kekecewaan yang menanti tangan-tangan yang mancur keringat dan jiwa yang betrani menanggung buat singkirkan segala: ilalang semak jiwa yang menutupi kesuburan bumi tercinta dan benalu-benalu di nasib kita bersama jangan aku disuruh diam manisku tundalah dulu gunung-gunung yang merenung biru biarlah bunga-bunga berkering airmata menanti kunjungan kita kerna kaki tak boleh berhenti tangan tak boleh istirah di atas bumi kita yang mengaduh yang gemetar keberatan beban: dosa, airmata, keluh dan kekecewaan yang menanti tangan-tangan yang mancur keringat dan jiwa yang betrani menanggung buat singkirkan segala: ilalang semak jiwa yang menutupi kesuburan bumi tercinta dan benalu-benalu di nasib kita bersama