Paulo Fraire (pendidikan kritis yang membebaskan)
2. Paulo Fraire (pendidikan kritis yang membebaskan)
Adeny&Risakotta(2001) menyatakan sebagai berikut: Fraire membangun ide-idenya dengan cara mempertimbangkan dua
hal yang kontradiktif. Pikiran dialektis ini dimulai dengan ide atau praktik (tesis) yang harus ditolak, kemudian diusulkan antitesisnya, yaitu ide atau pikiran yang melawan tesis yang ditolak. Istilah terkenal dalam pikiran Fraire adalah “Pendidikan Menurut Teori Banking ”. Teori banking tersebut ditolak oleh Fraire (halm.14).
Adeny&Risakotta(2001), “Metafor banking berasumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah semacam barang, seperti uang, yang dapat ditrasfer dari satu orang ke orang lain. Pendidikan banking berarti ilmu pengetahuan ditransfer dari pengajar kepada pelajar(hlm. 14), dengan kata lain siswa menerima pengetahuan seperti layaknya hadiah atau barang yang dibeli, dan pengajar menganjurkan siswanya harus menerima apa saja yang diberikan oleh gurunya.
Fraire(1985), menyatakan bahwa: … dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan
sebuah anugrah yang dihibahkan oleh mereka yang menggagap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Pengetahuan dapat diartikan sebagai sesuatu yang dimiliki oleh seorang guru, dan akan diberikan kepada siswa yang sebelumnya siswa dianggap bodoh, tidak tahu apa-apa dan siap menerima pengetahuan layaknya gelas kosong yang siap diisi oleh air minum (hlm. 51).
Fraire(1985), sebagaimana kebiasaan pendidikan gaya bank antara lain sebagai berikut :
1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berfikir, murid difikirkan.
4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihanya, murid menyetujuinya.
commit to user
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatanya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
(hlm. 51-52)
Pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai mahluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda yang dapat diatur, semakin banyak siswa yang menyimpan tabungan yang dititipkan kepada mereka, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritis mereka, semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya, mereka semakin cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya serta pandangan terhadap realitas yang terpotong-potong sebagaimana yang ditanamkan dalam diri mereka.
Fraire(1985), menyatakan bahwa; Kemampuan pendidikan gaya bank untuk mengurangi atau
menghapuskan daya kreasi pada murid serta menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah. Kaum penindas memanfaatkan humanitarianisme mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi diri mereka sendiri. Oleh karena itu naluriah mereka akan selalu menentang setiap usaha percobaan dalam bidang pendidikan yang akan merangsang kemampuan kritis dan tidak puas dengan pandangan terhadap dunia yang berat sebelah, tetapi selalu mencari ikatan yang menghubungkan satu hal dengan hal-hal lainya atau satu masalah dengan masalah lain (hlm.52).
Fraire menawarkan lawan dari pendidikan banking, yaitu “Pendidikan hadap masalah” atau dalam bahasa Adeny dan Risakotta
(2001) “Penddikan yang Menonjolkan Masalah Sosial” (PMMS). Perbedaan kedua teori ini sangatlah jauh, dalam pendidikan banking semua kekuasaan dan ilmu pengetahuan di tangan pengajar, siswa dianggap bodoh, belum tahu apa- apa. “Siswa dikayakan oleh belas kasihan guru
commit to user
yang rela menyetor ilmu pengetahuan kepada otak siswa nya” (Adeny dan Risakotta,2001:14). Teori PMMS mengasumsikan bahwa murid-murid juga memiliki ilmu pengetahuan, walaupun mereka belum mengerti ilmu yang diketahui oleh gurunya(Adeny&Risakotta,2001:15). Guru seharusnya hadir sebagai seorang yang dapat membimbing siswanya agar menjadi sadar akan masalah-masalah di dalam dunianya, kemudian siswa mencari cara sendiri untuk memecahkan masalahnya.
Fraire(1985) menyatakan bahwa; Metode pendidikan gaya bank menekankan pentingnya hal-hal yang
tetap dan karenanya menjadi reaksioner; sementara pendidikan hadap masalah (yang tidak mau menerima suatu masa kini yang “baik-baik saja maupun masa depan yang telah ditakdirkan) mendasarkan dirinya kepada kekinian yang dinamis dan karenanya revolusioner. Pendidikan hadap masalah adalah sikap revolusioner terhadap masa depan (hlm.68).
Bentuk bahasa yang dikemukakan oleh Adeny&Risakotta, yaitu “pendidikan hadap masalah” Fraire dibahasakan menjadi PMMS. Teori Fraire menurut Adeny&Risakotta(2001) menyatakan bahwa, “Ilmu
pengetahuan bukan merupakan barang yang dimiliki oleh seseorang, tetapi kemampuan/keterampilan untuk melihat dan mengerti kenyataan melalui bahasa yang tepat ” (hlm.15). Maksud dari bahasa yang tepat adalah pemecahan masalah yang telah didapati untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Tujuan pendidikan kritis menurut Fraire adalah, “Membuka cakrawala pelajar (dan juga si guru), supaya dengan kesadaran yang lebih mendalam mereka dapat mengerti masalah-masalah nyata dalam dunia mereka sendiri ” (Adeny&Risakotta,2001:16). Penulis menekankan bahwa PMMS merupakan pendidikan yang kritis, sehingga siswa dibimbing supaya tidak secara mentah menerima struktur sosial, ekonomi, budaya, agama, dan politik, tetapi dengan mempersoalkan terlebih dahulu. Pengajar menolong siswa untuk mengkritik kenyataan sturktural yang tidak adil dengan cara dialogis, sehinga PMMS dimulai dengan pengalaman dan
commit to user
pengetahuan siswa sendiri. Guru dan siswa bersama-sama mempersoalkan hal-hal yang dianggap menyusahkan kehidupan rakyat.
Peneliti mengusung pemakaian seragam sekolah sebagai permasalahan dalam penelitian ini, sehingga baik guru, siswa, orang tua wali murid mempertanyakan mengapa sekolah harus mengenakan seragam sekolah, karena kehadiranya hingga sekarang masih ada yang dibuatnya bermasalah ketika akan belajar di bangku sekolah, berawal dari mempertanyakan hal yang kecil seperti seragam sekolah, akan membawa kepada sebuah permasalahan yang lebih besar dan kompleks. Adeny&Risakotta menyatakan bahwa:
Guru yang kritis-radikal menolong siswa untuk mempersoalkan struktur ketidakadilan yang lebih besar dari konteks lokal mereka. Dalam PMMS memang dimulai dengan pengetahuan lokal, tetapi struktur ketidakadilan tidak hanya muncul dari konteks lokal, melainkan dari struktur daerah, sturktur nasional, dan struktur global. Guru yang radikal menolong siswa untuk membuka cakrawala siswanya agar bisa mengerti konteks yang lebih besar (2001:17).
Seragam sekolah jika memang dirasa memberikan ketidakadilan bagi siswa, peran mendasar pendidikan kritis untuk menguak permasalahan dari yang kecil semacam ini sangat dibutuhkan agar nantinya pendidikan menjadi sebuah keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.
Pendidikan kritis hadir memberikan solusi sekaligus pengharapan. Adeny&Risakotta(2001) menyatakan bahwa, “Pengharapan menurut Fraire tidak sama dengan rasa optimis, dapat saja dalam situasi tertentu kita menjadi pesimis, tetapi kita tetap membutuhkan pengharapan sebagai keharusan ontologism(ontological necessity) ”(hlm.17). Maksud dari keharusan ontologism disini adalah pengharapan diharuskan untuk kehidupan manusia yang sejati, dengan demikian pengharapan memang sikap normatif, yaitu sikap etis yang menjadikan syarat untuk hidup baik.
Pengharapan memiliki dua unsur, unsur pertama adalah sikap kritis atau tidak puas dengan kenyataan. Kedua pengharapan merupakan kepercayaan bahwa dunia yang penuh dengan penderitaan orang tertindas
commit to user
dapat dirubah(Adeny-Risakotta,2001:17), jika sikap kritis dalam diri seorang siswa tidak ada, maka pengharapan keadilan dalam pendidikan tidaklah diperlukan. Kemugkinan yang ada adalah mengikut serta dengan kenyataan yang ada, menerimanya dengan selaras sebuah kenyataan. Unsur yang kedua menyatakan bahwa pengharapan itu bukanlah mimpi-mimpi yang kosong melainkan kemungkinan nyata yang belum diuji.