K2507020 SKRIPSI diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Teknik Mesin, Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan

DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS DI SMK N 5 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012

Oleh : HUDZAIFAH K2507020 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK DAN KEJURUAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Juli 2012

commit to user

commit to user

DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS DI SMK N 5 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012

Oleh : HUDZAIFAH K2507020 SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Teknik Mesin, Jurusan Pendidikan

Teknik dan Kejuruan

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK DAN KEJURUAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Juli 2012

commit to user

commit to user

commit to user

 Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Q.S Al Lail ayat 5-7)

 Sebaik-baik ciptaan Tuhan adalah ciptaan yang berguna bagi ciptaanNya yang lain

 Maju bukan sebuah cita-cita, tapi sedang dilakukan

 Tidak ada yang lebih dicintai oleh para pecinta kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri, dari mana pun datangnya, dari siapa pun berasal, dan dalam bentuk apapun adanya, bahkan dia bersedia mengabdi kepada kebenaran itu dengan mengarahkan segenap jiwa raganya. (al-Kindi)

commit to user

Teriring syukur kepada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :

 “Bapak dan Ibu”

Doamu yang tiada terputus, kerja keras yang tiada henti, pengorbanan yang tak terbatas dan kasih sayang yang tiada terbatas pula. Semuanya membuatku bangga memiliki kalian. Tiada kasih sayang yang seindah dan setulus dari yang kalian berikan kepadaku.

 “Zulaikah, Habibah, Salamah, dan Erna Widhi Rahayu” Orang-orang yang selalu memompa semangatku dan mendorong

langkahku dengan perhatian dan semangat  Hanif Syaifudien dan Hasan Musthofa

Dua sahabat terdekat dari bangku SMA hingga meja kuliah,  Fauzi Sukri

Seorang yang memberikan semangat dalam menimba ilmu dari buku-buku

 Program Pendidikan Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret Surakarta

 Almamater

commit to user

Hudzaifah. ANALISIS PEMAKAIAN SERAGAM SEKOLAH SISWA SMK

DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS DI SMKN 5 SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2011/2012. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juli 2012.

Tujuan penelitian ini adalah: (1)mengetahui bagaimana pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta yang dievaluasi sesuai dengan metode evaluasi CIPP, yaitu dari Context, Input, Process hingga Product,(2)mengetahui sejauh mana pemahaman penyeragaman siswa dalam pelaksanaan pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta ditinjau dari teori pendidikan kritis, (3)mengetahui pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta pada siswa yang kurang mampu.

Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan menggunakan metode CIPP (Context, Input, Process, Produck). Data dari penelitian ini bersumber dari data kualitatif yang diperkuat oleh data kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh dari sampel siswa SMKN 5 Surakarta sejumlah 289 siswa melalui kuesioner. Validitas data kuantitatif yang digunakan adalah validitas internal dan eksternal, sedangkan reabilitas data dalam penelitian ini merujuk pada rumus alpha yang dikemukakan oleh Saifuddin. Data kualitatif diperoleh dengan cara wawancara, observasi, dan dengan analisis dokumen. Sampel penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling yaitu, siswa, WKS-2, Guru Kesiswaan, dan Guru piket. Selanjutnya kedua jenis data dianalisis dengan metode analisis deskriptif.

Hasil penelitian pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta dengan metode evaluasi CIPP dari tiap indikator evaluasi sebagai berikut: (1) Context pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta berdasarkan ketiga indikator sebagai berikut, (a)pemakaian seragam sekolah bertujuan untuk mendisiplinkan siswa ketika belajar di SMKN 5 Surakarta, juga sebagai penanggulangan keberagaman siswa yang berasal dari lingkungan dan kondisi sosial ekonomi yang beragam, (b)pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta menciptakan kedisiplinan berpenampilan di sekolah, (c)pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta telah direncanakan oleh pihak kesiswaan, koprasi dan dibantu oleh beberapa siswa yang dilibatkan. (2)Input pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta berdasarkan ketiga indikator sebagai berikut,(a) dasar dari pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta berasal dari rujukan yang sangat jelas, yaitu bersumber dari Kep.Dikdasmen. N0. 100/C/Kep/1991, (b) kemampuan penanganan pihak sekolah dalam pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta dijalankan rutin yaitu dengan adanya jadwal petugas piket pagi kesiswaan yang bertujuan untuk mendisiplinkan siswa, (c) pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 surakarta memungkinkan timbulnya proses intimidasi dikarenakan sepatu siswa sudah tidak turut diseragamkan. (3)Process, pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta, terdapat ketidakmapanan siswa pada saat kegiatan program, sehingga pihak sekolah (semua aparat yang terlibat) bekerja secara ekstra yang ditunjukkan dari hasil pengukuran kepada siswa secara sistematis melalui angket penelitian pada indikator penanganan kemampuan program yang didominasi oleh kategori sangat tinggi. (4)Product pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta berdasarkan data tiga indikator sebagai berikut, (a)pemakaian seragam sekolah akan terus diterapkan dalam program pendisiplinan berpenampilan siswa di SMKN 5 Surakarta, (b)pemakaian seragam sekolah di SMK N 5 Surakarta memberikan pengaruh bahwasanya pendidikan yang berlangsung condong seperti yang di ungkapkan Fraire, yaitu berpola pendidikan gaya bank. Kata Kunci: Seragam sekolah, pendidikan kritis, CIPP

commit to user

Hudzaifah. SCHOOL UNIFORM USAGE ANALYSIS OF SMK STUDENTS ON

CRITICAL REVIEW OF EDUCATION IN SMKN 5 SURAKARTA

ACADEMIC YEAR 2011/2012. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Sebelas Maret University, July: 2012.

The purpose of this research are (1)to know the use of a school uniform in SMKN 5 Surakarta who evaluated in accordance with the methods evaluation CIPP, namely from the Context, Input, Process to Product, (2)to know how much understanding of uniformity in the implementation of the use of students in SMKN 5 Surakarta in terms of critical educational theory, (3)to know of uniform usage in school SMK N 5 Surakarta on students who are less able to

This research is an evaluation study using the CIPP (Context, Input, Process, Produck). The data ’s research come from the quantitative data that is reinforced by the qualitative data. Quantitative data obtained from a sample of students SMKN 5 Surakarta by the number of 289 students through a questionnaire. The validity of the quantitative data used are the internal and external validity, where as reliability of the data in this research refers to the alpha formula proposed by Saifuddin. Qualitative data obtained by interview, observation, and document analysis. Research sample was taken by purposive sampling techniques, such as students, vice-principal,teacher. The next two types of data were analyzed with descriptive analysis.

The result research on the use of a school uniform in SMKN 5 Surakarta with the methods evaluation CIPP of every indicators evaluation as follows: (1)Context, the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta by three indicators, as follows, (a)the use of school uniforms aim to discipline students when studying in SMK 5 Surakarta, as well as students' response to the diversity of environmental and socio-economic conditions of diverse, (b)the use of school uniforms in SMKN 5 Surakarta create dressed in school discipline, (c)the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta have been planned by the student, cooperatives and assisted by some of the students involved. (2)Input, the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta by three indicators, as follows, (a)the basis of the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta comes from referrals are very clear, that is sourced from Kep.Dikdasmen. N0. 100/C/Kep/1991, (b) handling capability of the school in the use of school uniforms in SMK 5 Surakarta routine is executed with the schedule of student affairs officer on duty in the morning aiming to discipline the student, (c)the use of school uniforms in SMKN 5 Surakarta allow the intimidation because students have not participated shoes uniform. (3)Process, use of uniform on the SMKN 5 Surakarta, students are unsettled at the time of program activities, so that the school (all officers involved) extra work is evident from the results of measurements to students systematically through

a questionnaire study on indicators handling capability program which is dominated by the very high category. (4)Product, the use of school uniforms in Surakarta SMK 5 based on data from the following three indicators, (a)the use of school uniforms will continue to be applied in disciplinary program looking students SMKN 5 Surakarta, (b)the influence of school uniforms in SMK N 5 Surakarta, education that lasts such as Freire says, like bank style education.

Keywords: implementation a school uniform, critical education, CIPP.

commit to user

Segala pujibagi Allah SWT Maha Pengasih lagi Penyayang, yang memberikan ilmu, inspirasi dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS PEMAKAIAN SERAGAM SEKOLAH SISWA SMK DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS DI SMKN 5 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012 ”

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagaian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Teknik Mesin, Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universtas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaiakan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan.

3. Ketua Program Pendidikan Teknik Mesin, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Drs. Suwachid, M.Pd, selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Drs. Emilly Dardy, M. Kes, selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Basori, S.Pd., M.Pd, selaku Dosen Tertunjuk Pembimbing I sebagi penguji validitas internal kuesioner CIPP.

7. Kepala SMKN 5 Surakarta, yang telah memberikan kesempatan dan tempat guna pengambilan data dalam penelitian.

8. Drs. Supartin, selaku WKS-2 SMKN 5 Surakarta, yang telah member bimbingan dan bantuan dalam penelitian ini.

9. Sukidi S.Pd dan Drs. Suharyono, selaku Guru Kesiswaan SKMN 5 Surakarta, yang telah meluangkan waktu ngajar untuk pengambilan data dari siswa melalui kuesioner.

commit to user

semangatnya baik di Facebook ataupun ketika bertemu langsung di kampus tercinta.

11. Para siswa SMKN 5 Surakarta yang telah bersedia berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini.

12. Teman-teman PTM angkatan 2007, yang telah membersamai dan saling menyemangati bersama dalam proses penyelesaian skripsi.

13. Teman-teman adik tingkat PTM angkatan dibawah saya, yang telah memberikan semangat dan dorongan juga rasa bangga bisa cepat lulus dengan masa studi lebih cepat dari pada saya.

14. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, 12 Juli 2012

Penulis Hudzaifah

commit to user

Tabel Halaman

1. Tabel 2.1. Rangkuman Indikator CIPP dari beberapa ahli ....................... 25

2. Tabel 2.2. Sintesis rangkuman indikator CIPP dari beberapa ahli ........... 26

3. Tabel 2.3. Indikator yang terpilih dalam penelitian ................................ 27

4. Tabel 3.1. Jadwal penelitian ..................................................................... 33

5. Tabel. 3.2. Data peserta didik sekolah menengah kejuruan (SMK)Negri 5 Surakarta 2011/2012 ........................................................ 35

6. Tabel. 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ................................ 38

7. Tabel. 3.4 hasil reabilitas ujicoba instrument angket penelitian .............. 41

8. Tabel 3.5 Kriteria Penilaian Komponen ................................................... 44

9. Tabel 3.6 Skor Item Instrumen Tiap Indikator ........................................ 45

10. Tabel 3.7 kriteria tiap indikator dalam penelitian ................................... 49

11. Tabel 4.1 Deskripsi statsitik frekuensi Context indikator tujuan yang akan dicapai ......................................................................... 61

12. Tabel 4.2 Deskripsi statsitik frekuensi Context indikator kondisi lingkungan .................................................................................. 63

13. Tabel 4.3 Deskripsi statsitik frekuensi Context indikator merencanakan keputusan .......................................................... 64

14. Tabel 4.4 Deskripsi statistik frekuensi Input indikator sumber-sumber yang ada .......................................................... 66

15. Tabel 4.5 Deskripsi statistik frekuensi Input indikator kemampuan subyek dalam menunjang program ...................... 67

16. Tabel 4.6 Deskripsi statistik frekuensi Input indikator strategi untuk mencapai tujuan ................................................ 68

17. Tabel 4.7 Deskripsi statistik frekuensi Process indikator kegiatan program .................................................................... 70

18. Tabel 4.8 Deskripsi statistik frekuensi Process indikator kemampuan penanganan program ........................................... 71

19. Tabel 4.9 Deskripsi statistik frekuensi Process indikator pemanfaatan sarana dan prasarana ........................................... 72

20. Tabel 4.10 Deskripsi statistik frekuensi Product

commit to user

21. Tebel 4.11 Deskripsi statistik frekuensi Product indikator hal yang dilakukan setelah program berjalan .......................... 74

22. Tabel 4.12 Deskripsi statistik frekuensi Product indikator pengaruh program .................................................................... 75

23. Tabel 4.13 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal E.1.1 Berseragam sekolah lengkap ................................................................... 84

24. Tabel 4.14 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal E.1.2 Berseragam sesuai dengan jadwal seragam sekolah ................................ 85

25. Tabel 4.15 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal E.1.3 Memakai wear pack saat praktikum ....................................................... 86

26. Tabel 4.16 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal F3.1 Seorang pelajar itu adalah orang-orang yang berseragam sekolah ......... 88

27. Tabel 4.17 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal F3.2 Setiap perkataan guru wajib ditaati .......................................................... 89

28. Tabel 4.18 Analisis statistik deskriptif frekuensi item soal F3.2 Ilmu yang didapat di sekolah sama dengan ilmu yang diberikan oleh guru .................................................................. 90

commit to user

Gambar Halaman

1. Gambar 2.1.Alur kerangka berfikir penelitian dengan model CIPP ........... 30

2. Gambar 3.1 Denah Gedung SMKN 5 Surakarta ......................................... 32

3. Gambar 3.2. Diagram alur penelitian .......................................................... 54

commit to user

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sekolah adalah sebuah tempat yang memberikan kenangan mendalam bagi siapa saja yang pernah merasakan sekolah. Berbagai pengalaman yang menakjubkan sekaligus mengharukan didapatkan penulis ketika di bangku sekolah. Hampir sebagian orang memiliki pengalaman unik di sekolah. Unik karena sekolah memang bukan sekadar tempat menumbuhkan pengetahuan tetapi juga tempat perjumpaan sejumlah orang. Beberapa orang percaya jika sekolah didirikan untuk mengabadikan sebuah pengalaman yang tidak lekang oleh waktu.

Sekolah identik dengan hal-hal yang menuntut sikap disiplin, salah satu dari sikap disiplin itu adalah pemakaian seragam sekolah. Seragam sekolah yang menjadi identitas siswa bersekolah memiliki kenangan yang mendalam bagi semua orang yang pernah memakainya. Widji Thukul adalah seorang sastrawan aktif dalam dunia puisi Indonesia juga seorang yang pernah memakai seragam sekolah mengabadikan kenanganya dalam sebuah karya puisi yang berjudul Kenangan Anak-Anak Seragam. Baju seragam sekolah menjadi kenangan getir bagi Wiji Thukul yang berasal dari keluarga miskin. Baju seragam juga belum selesai menjadi masalah orang tua dan siswa di awal tahun pelajaran 2011/2012, di tahun ajaran baru tersebut ditemukan berbagai masalah, dan menjadi berita, obrolan, diskusi, bahkan duka-lara bagi orang tua yang tidak mampu membeli baju seragam sekolah.

Berita tentang seragam sekolah di awal tahun pelajaran 2011/2012 yang ditulis oleh Sasongko dalam Solopos (posted, 23 Juni 2011), Sekitar sepuluh warga mendatangi Kantor DPRD Sukoharjo. Mereka meminta bantuan anggota DPRD untuk memberikan penjelasan mengenai jenis dan harga yang ditetapkan untuk seragam sekolah. Di lokasi lain Sasongko menuliskan dalam Solopos (posted, 25 Juli 2011), DPRD dan LSM di Karanganyar ramai-ramai membantah dugaan adanya aliran dana dari potongan uang seragam untuk menutup kasus pengadaan seragam. Indrawati menuliskan dalam Solopos (posted, 14 Juli 2011),

commit to user

Komisi IV DPRD Karanganyar menilai sejumlah sekolah di Karanganyar tidak transparan dalam pengadaan seragam bagi sejumlah peserta didik baru. Mereka bahkan menantang para pengelola sekolah untuk terang-terangan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Penyeragaman siswa melalui pemakaian seragam sekolah ini berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No.052/C/Kep/D/82. Sekolah secara resmi berhak memakaiakan seragam sekolah terhadap siswanya dengan berbagai alasan bahwa seragam sekolah merupakan sebuah alat untuk membuat kerapian, kedisiplinan dan keteraturan siswa dalam melaksanakan pendidikan. Seragam sekolah juga sebagai peniada kelas ekonomi dari masing-masing siswa yang heterogen.

Sebagian orang mengatakan bahwa seragam sekolah adalah sebentuk sikap disiplin, tetapi disiplin ini lebih bersifat militeristik, birokratis, dan formalistik yang sering ditentang oleh siswa sendiri. Baju seragam hanya berhasil mendisiplinkan siswa dalam berpakaian di dalam kelas atau di dalam sekolah, akibatnya banyak siswa yang tidak memiliki disiplin belajar dan etos pembelajar. Mereka hanya merasa perlu belajar saat memakai seragam, atau saat menjelang ujian.

Pemakaian seragam sekolah hingga saat ini adalah sebuah kewajiban bagi setiap siswa yang belajar di sekolah. Penelitian yang sudah ada tentang seragam sekolah yang penulis dapati adalah penelitian yang dilakukan Elisabetta Gentile dan Scott A. Imberman dari Universitas Houston, mereka meneliti seragam sekolah sebagai metode untuk mencapai sukses yang berhubungan dengan perbaikan perilaku, kedisiplinan dan prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sekolah-sekolah di Southwest, Washington, D.C. Amerika Serikat yang memberlakukan peraturan berseragam, menunjukkan perbaikan pada skor ujian bahasa dan peningkatan tingkat kehadiran antara 0,2 dan 0,4 persen poin . Penelitian terhadap pemakaian seragam sekolah belum banyak dilakukan di Indonesia baik dampak dan gejala apa saja jika pemakaian seragam itu diterapkan kepada siswa di sekolah. Peneliti

commit to user

mengambil salah satu sekolah yaitu SMKN 5 Surakarta dengan mempertimbangkan bahwa SMKN 5 Surakarta sebagai sekolah formal, memiliki tanggung jawab yang sama dengan sekolah-sekolah lain dalam rangka turut serta mencerdaskan anak bangsa. SMKN 5 Surakarta adalah sekolah yang mengedepankan kedisiplinan dan etos pembelajar yang tinggi, terbukti berdasarkan dari prestasi-prestasi yang pernah diraihnya. Salah satu dari prestasi tersebut adalah pada ekstra PASILIMKA (Pasukan Inti SMKNegeri 5 Surakarta) minggu 08/01/2012 yang berhasil memboyong trhopi dan uang pembinaan saat mengikuti Lomba Baris Berbaris (LBB) tingkat Se-jateng DIY di Universitas Widya Dharma Klaten yang diadakan Ramaka V , sebagai Juara Umum 2 LBB Ramaka V, dan Juara Umum 1 Kriteria Danton Terbaik. Latar belakang tersebut di atas telah menjadikan penulis sangat tertarik untuk mengkaji dan mengadakan penelitian dengan judul "ANALISIS PEMAKAIAN SERAGAM SEKOLAH SISWA SMK DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN KRITIS DI SMKN 5 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012 ”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah, mengajukan beberapa pertanyaan yang berusaha penulis jawab melalui penelitian ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain :

1. Bagaimanakah pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta yang dievaluasi sesuai dengan metode evaluasi CIPP, yaitu dari Context, Input, Process hingga Product?

2. Sejauh mana penyeragaman siswa dalam pelaksanaan pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta ditinjau dari teori pendidikan kritis?

3. Bagaimanakah pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta pada siswa yang kurang mampu?

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain untuk:

1. Mengetahui bagaimana pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta yang dievaluasi sesuai dengan metode evaluasi CIPP, yaitu dari Context, Input, Process hingga Product.

2. Mengetahui sejauh mana penyeragaman siswa dalam pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta ditinjau dari teori pendidikan kritis.

3. Mengetahui pemakaian seragam sekolah di SMKN 5 Surakarta pada siswa yang kurang mampu?

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis terkait dengan kontribusi tertentu dari penyelenggaraan penelitian terhadap perkembangan teori dan ilmu pengetahuan serta dunia akademis. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis sebagai berikut :

a. Memberikan sumbangan pemikiran pada pendidikan, khususnya tentang pendidikan kritis dalam kaitanya dengan pemakaian seragam sekolah siswa SMK.

b. Bahan informasi bagi pembaca untuk menambah pengetahuan tentang pemakaian seragam sekolah siswa SMK.

c. Bahan perbandingan untuk penelitian yang relevan.

d. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar teoritis untuk pengembangan penelitian lebih lanjut yang sejenis.

commit to user

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis berkaitan dengan kontribusi praktis yang diberikan dari penyelenggaraan penelitian terhadap obyek penelitian, baik individu, kelompok, maupun organisasi. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat praktis sebagai berikut :

a. Masukan dan bahan pertimbangan khususnya dalam pemakaian seragam sekolah pada SMKN 5 Surakarta.

b. Bahan pertimbangan bagi guru agar mencapai tujuan proses belajar mengajar dalam tinjauan pendidikan kritis.

commit to user

BAB II LANDASAN TEORI

Landasan teori pada dasarnya merupakan pengkajian terhadap pengetahuan ilmiah yang sudah ada. Pengkajian dapat berbentuk konsep-konsep, hukum-hukum, dan prinsip-prinsip yang relevan dengan permasalahan yang dikemukakan. Kajian ini diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya unsur- unsur yang dapat mendukung penelitian yang sedang dilakukan, dengan mengkaji teori yang relevan dengan masalah yang dirumuskan merupakan langkah awal untuk mencari jawaban atas masalah itu. Sesuatu hal yang terpenting adalah teori yang digunakan untuk memecahkan masalah, dikutip dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Penelitian ini memiliki aspek landasan teori yang diuraikan meliputi : A. Tinjauan Pustaka yang memuat; l. Tinjauan Seragam Sekolah, 2. Tinjauan Pendidikan Kritis, 3. Model Evaluasi CIPP. B. Kerangka Berfikir.

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Seragam Sekolah

a. Pengertian Seragam Sekolah

Seragam dalam kamus bahasa indonesia berarti sama, sesuai, sepakat, sebau, (pakaian dsb) yang sama potongan dan warnanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1010). Sedangkan definisi sekolah, Topatimasang(1998) menyatakan:

Sekolah dalam bahasa aslinya, yakni skhole, scola, scolae atau scola (Latin), keempat kata ini secara harafiah berarti waktu luang atau waktu senggang atau waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar. Orang Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan mengunjungi suatu tempat atau tempat orang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan dibutuhkan untuk mereka ketahui (hlm.5).

Seragam sekolah berdasarkan arti dari kedua kata dasar yang telah dipaparkan di atas berarti pakaian yang sama potongan dan warnanya yang digunakan untuk melakukan kegiatan sekolah. Dhakidae(2003) menyatakan,

commit to user

“untuk keperluan Ketahanan Sekolah diciptakan pakaian seragam, sebagai pakaian digunakan untuk saat belajar di sekolah, yang disaturagamkan, yang diatur bentuk/model, warna, tambahan atribut dan cara penggunaanya (hlm.582) ”.

b. Sejarah Pemakaian Seragam Sekolah di Indonesia

Peraturan pertama yang mengatur tentang pemakaian seragam sekolah di Indonesia adalah Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No.052/C/Kep/D/82:

Bahwa pembinaan dan pengembangan kesiswaan sangat perlu untuk menciptakan suasana dan tata cara kehidupan sekolah yang baik dan sehat, sehingga akan menjamin terselenggaranya proses belajar mengajar dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya. … bahwa menciptakan suasana dan tata kehidupan sekolah yang baik merupakan modal dasar dari usaha meningkatkan ketahanan sekolah dalam rangka mewujudkan sekolah sebagai pusat kebudayaan. … bahwa usaha meningkatkan ketahanan

sekolah dapat dicapai bila para siswa memiliki rasa bangga yang wajar dan tidak berlebihan- lebihan terhadap sekolahnya … bahwa agar usaha tersebut di atas dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka perlu adanya pakaian seragam sekolah Bagi Siswa Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Tingkat Atas Dalam Lingkungan Pembinaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah (Dakidae, 2003:581).

Seragam sekolah yang ada hingga sekarang, memiliki sejarah yang sangat berarti bagi beberapa golongan tertentu di Indonesia. Firdaus(2009) menyatakan bahwa:

Secara historis, peraturan yang pertama kali mengatur seragam sekolah secara nasional adalah Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82. SK yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 17 Maret 1982 ini (khusus berlaku untuk sekolah negeri) mengharuskan siswa SD (Sekolah Dasar) memakai pakaian putih-merah, siswa SMP(Sekolah Menengah Pertama) memakai putih-biru, dan siswa SMA(Sekolah Menengah Atas) memakai putih-abu-abu. Peraturan ini tidak mengakomodasi pemakaian busana muslimah bagi para siswa, terutama dalam kaitannya dengan jilbab.

Penelitian yang dilakukan Alatas(2003) tentang kasus jilbab di sekolah-sekolah negeri di Indonesia tahun 1982-1991, busana muslimah yang umumnya terdiri atas jilbab, kemeja lengan panjang, dan rok panjang, tidak

commit to user

diperbolehkan dipakai sebagai seragam sekolah. Persoalan tersebut sempat memunculkan masalah terkait dengan pelarangan pemakaian jilbab di beberapa SMA di Indonesia.

Firdaus(2009) menanggapi tentang permasalahan jilbab tahun 1982- 1991 sebagai berikut: Masalah pelarangan pemakaian jilbab sudah muncul beberapa tahun

sebelum SK 052/C/Kep/D/82 disahkan. Pada 1979, pengelola Sekolah Pendidikan Guru Negeri Bandung bermaksud memisahkan sejumlah siswi yang memakai jilbab dengan siswa-siswi lainnya. Tindakan diskriminatif ini jelas ditolak oleh para siswi sehingga sempat terjadi ketegangan antara pihak sekolah dengan mereka. Masalah ini baru selesai tatkala Ketua Majelis Ulama Jawa Barat, EZ Muttaqien, ikut campur dalam soal ini. Setelah kasus di Bandung pada 1979, bermunculan sejumlah kejadian lain terkait pemakaian jilbab di sekolah. Pengesahan peraturan pada 1982 tentang seragam sekolah yang tidak mengakomodasi jilbab dan busana muslimah, membuat kasus-kasus pelarangan pemakaian jilbab meningkat. Dalam catatan Alwi Alatas, ada sekira 35 SMA di berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Jember, dan Solo yang terlibat kasus semacam itu. Selain karena peraturan pemerintah yang tidak akomodatif, pelarangan itu juga terjadi akibat adanya kecurigaan bahwa siswi-siswi yang memakai jilbab merupakan anggota gerakan Islam fundamentalis. Pada 1980-an, gerakan Islam memang sedang mendapat sorotan, sekaligus represi dari pemerintah, sehingga kecurigaan terhadap ekspresi-ekspresi keislaman di ruang publik menjadi begitu besar. Selama bertahun-tahun, larangan memakai jilbab terus terjadi, sejumlah kasus besar dan kecil muncul, diselingi protes dan pelbagai kontroversi. Masalah pelarangan itu baru selesai pada 1991 tatkala pemerintah mengesahkan peraturan baru tentang seragam sekolah yang mengakomodasi pakaian muslimah, yakni SK 100/C/Kep/D/1991.

Firdaus (2009), menyatakan lebih lanjut bahwa, “Heboh pemakaian jilbab di sekolah-sekolah Indonesia pada 1979 - 1991 menunjukkan, siswa ternyata tidak dapat diatur secara semena-mena oleh pemerintah sebagai pengelola pendidikan ”. Siswa yang memakai jilbab ke sekolah memiliki tata nilai tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan murid-murid lainnya. Tata nilai tertentu inilah yang hendak disampaikan melalui pemakaian jilbab. Bentuk visual jilbab atau busana muslimah yang mereka pakai merupakan pernyataan yang jelas tentang identitas mereka. Jilbab saat ini sudah tidak

commit to user

menjadi masalah bagi sekolah-sekolah atau bagi siswa yang memang ingin mengenakannya, bahkan yang terjadi adalah jilbabisasi.

c. Seragam Sekolah sebagai Identitas

Ibrahim(2007:241) menyatakan bahwa, “Fashion, pakaian, busana sudah menjadi bagian penting dari gaya trend, penampilan keseharian kita, sebagai fenomena budaya dan komunikasi, fashion sesungguhnya dapat berucap banyak tentang identitas pemakainya ”, dalam bahasa Indonesia fashion diartikan sebagai cara, kebiasaan, basa-basi, mode, pakaian. Pakaian yang akan dikaji dalam peneletian ini adalah seragam sekolah. Seragam sekolah merupakan pakaian yang dipakai sebagai penampilan seorang siswa di sekolah sehari-hari, dalam fenomena budaya dan komunikasi pemakaian seragam sekolah juga berucap banyak tentang identitas pemakainya.

Ibrahim(2007:243) menyatakan bahwa, “Pakaian yang kita pakai dapat menampilkan berbagai fungsi, sebagai bentuk komunikasi, pakaian dapat menyampaikan artifaktual yang bersifat non-verbal. Pakaian dapat melindungi pemakainya dari cuaca buruk, atau dalam olahraga tertentu dari kemungkinan cedera ”. Wear pack merupakan salah satu dari jenis seragam sekolah dikenakan siswa SMK di laboratorium atau bengkel, memiliki fungsi dapat melindungi pemakainya dari kecelakaan kerja dan cedera.

Pakaian juga dapat membantu pemakainya dalam menyembunyikan bagian-bagian tertentu dari tubuh pemakainya dan karenanya pakaian memiliki fungsi kesopanan. Desmond Morris, dalam Manwatching: A Field Guide to Human Behavior (1997), dalam Ibrahim(2007:243), “Pakaian juga menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display) karena ia mengafiliasikan budaya kita ”, tidak terlalu sulit untuk mengenali negara atau daerah asal-usul seseorang dari pakaian yang mereka kenakan. Ibrahim(2007:243) menyatakan, “Pakaian dapat menunjukkan identitas nasional dan kultural si pemakainya ”, hal ini serupa dengan seragam sekolah yang dipakai oleh pelajar dari taman kanak-kanan, sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas ataupun sekolah menengah kejuruan. Seragam sekolah menunjukkan identitas dan jenjang pendidikan pemakainya, dari

commit to user

seragam sekolah dapat langsung diidentifikasi seorang pemakai seragam sekolah terhadap jenjang pendidikan yang sedang dijalaninya, begitu pula dengan tempat sekolah seorang pelajar dapat diketahui hanya dari seragam sekolahnya.

Persepsi seorang terhadap penampilan orang lain adalah benar menurut orang tersebut, persepsi tersebut akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap orang lain. “Orang membuat kesimpulan tentang siapa Anda, sebagian juga melalui apa yang anda pakai, apakah kesimpulan tersebut terbukti akurat atau tidak, tak ayal akan mempengaruhi pikiran orang tentang anda dan bagaimana mereka bersikap pada anda ” (Ibrahim,2007:243).

d. Seragam Sekolah sebagai Langkah Penyeragaman

Soedjatmoko(1989) dalam Ibrahim(2009:271) menyatakan bahwa, “Konformitas merupakan bahaya terbesar untuk perkembangan kreativitas”.

Partanto dan Dahlan(1994:358) menyatakan bahwa, “Konformitas berarti kesesuaian, kecocokan, keselarasan, penyesuaian ”, dalam hal ini tindakan penyeragaman merupakan bahaya terbesar dalam perkembangan kreativitas. Kegiatan penyeragaman adalah kegiatan membuat kesamaan, kesesuaian untuk mencapai kata sepakat.

Penyeragaman melalui pemakaian seragam sekolah terhadap siswa bersifat wajib dilaksanakan dan ditaati, hal ini berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No.052/C/Kep/D/82, seperti yang telah diutarakan di atas. Sekolah secara resmi berhak memakaiakan pakaian seragam sekolah terhadap siswanya. Penjelasan tentang seragam sekolah dijelaskan dalam Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No.052/C/Kep/D 82, Bab II sebagai berikut:

(1)Pakaian Seragam Sekolah bila dikenakan sebaik-baiknya akan meninggikan citra siswa pada umumnya dan nama sekolah masing-masing pada khususnya, untuk mencapai itu maka perlakuan terhadap seragam sekolah hendaknya: a) bersih, lebih baik lagi jika disetrika; b) rapih, baju/blus dimasukkan celana/rok, kancing-kancing digunakan, memakai ikat pinggang, tidak menambah atribut selain yang ditentukan; c) tidak lusuh warnanya; d) tidak membiarkan yang robek dan lepas jahitanya,

commit to user

supaya ditisik dan dijahit kembali; e) digunakan lengkap (sedapat mungkin) sesuai yang ditentukan; f) digunakan sesuai fungsinya, untuk upacara berbeda dengan untuk tidak upacara (harian). (2) Pakaian Seragam Sekolah yang dikenakan seenaknya sendiri akan menurunkan citra siswa dan merusak nama sekolahnya, yaitu jika pakaian seragam tersebut: kotor, kumal, lusuh, robek/lepas jahitanya, baju dikenakan di luar celana, kemeja terbuka terlihat dada, atribut lain terpasang di sana-sini, sepatu tidak mengenal semir atau dicuci dan sebagainya. (dalam Dhakidae, 2003:582- 583)

Pemakaian seragam sekolah kepada siswa di sekolah bertujuan untuk membuat siswa mudah diarahkan, diatur, dan agar siswa berdisiplin diri. Dhaki dae (2003:583) manyatakan bahwa, “Penghormatan pantas diberikan kepada pakaian seragam karena pakaian itu adalah metoda bagaimana memperlakukan tubuh dan dengan demikian tubuh anak-anak itu menjadi tubuh yang lunak, decile, dapat diperintah, governable body ”.

Pakaian seragam tidak berarti hanya pakaian sebagai identitas, melainkan bentuk pendisiplinan. Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No.052/C/Kep/D 82, Bab III manyatakan sebagai berikut:

Berpakaian Seragam Sekolah memerlukan tertib dan disiplin, yaitu sikap menaati peraturan secara berpakaian dan mematuhi ketentuan yang telah disepakatkan. Sikap mental untuk taat dan patuh terhadap peraturan serta tata tertib akan menumbuhkan kesadaran hukum dan disiplin diri, disiplin yang tumbuh dari dalam, tanpa paksaan dan tekanan orang lain. Disiplin diri untuk membentuk disiplin kelompok, yang pada akhirnya memperkuat disiplin nasional (Dhakidae 2003:583).

Proses penyeragaman dalam dunia pendidikan masih terus terjadi, tidak hanya di tingkat fisik, seperti pakaian atau buku ajar, tapi juga tidak jarang dalam berpendapat. Siswa dituntut berpendapat yang serba sama untuk segala hal. “Penyeragaman yang semula hanya untuk kebutuhan fisik(pakaian) bahkan akhirnya dapat berubah menjadi penyeragaman pengetahuan/pikiran ” (Ibrahim,2007:276), tidak ada pertanyaan, tidak ada masalah, yang ada hanyalah menerima penyeragaman pengetahuan, sehingga minim kreasi. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dalam dunia pendidikan, dimana

commit to user

kondisi yang berkemungkinan ilmu pengetahuan mengalami perlambatan dalam perkembanganya.

e. Seragam dan Intimidasi

Partanto & Dahlan(1994:286) menyatakan bahwa intimidasi adalah Penggertakan, gertakan, atau ajaran dengan ancaman. Parsons(2009:60) menyatakan bahwa “Intimidasi berarti menyakiti seseorang dengan cara-cara

tertentu. Intimidasi dapat dilakukan oleh satu orang atau atau lebih. Intimidasi juga berarti sesorang atau orang-orang yang sama melakukan perbuatan menyakiti tersebut lebih dari satu kali ”. Perilaku intimidasi menurut Parsons(2009:24) adalah, “Sesuatu yang endemik, dimulai ditahun pertama sekolah dan mengganas sepanjang karier akademik seorang siswa ”. Seorang siswa memulai belajarnya di sekolah pada tahun pertama, baik tingkat TK hingga SMA/SMK wajib mengenakan seragam sekolah, kaitanya dengan perilaku intimidasi, seragam sekolah memiliki urun andil terhadap proses intimidasi, lebih jelasnya Parsons(2009:25) menjelaskan tiga jenis perilaku intimidasi sebagai berikut:

Intimidasi verbal atau tertulis : mengata-ngatai seperti menggunakan ejekan yang bermuatan rasis, seksis, atau homofobik; ledekan terhadap penampilan fisik, kemampuan atau status sosial ekonomi; telepon yang berisi ancaman dan menakut-nakuti; nota, e-mail, dan sms yang menyakitkan. Intimidasi fisik: memukul, menendang, menginjak, menyerang; melemparkan benda-benda, melakukan sentuhan seksual yang tidak diinginkan; mencuri atau merusak benda-benda atau milik pribadi; mengancam dengan senjata; mengancam melakukakan kekerasan, melakukan paksaan. Intimidasi sosial : merangkai rumor dan gossip; mengucilkan, mempermalukan, atau mencemooh seseorang; secara publik menceritakan

informasi-informasi pribadi

seseorang, termasuk menanyangkan gambar atau tulisan pada web site; mengunakan pertemanan atau status untuk melakukan paksaan atau manipulasi perilaku.

Proses intimidasi merupakan proses yang bertahap, dimulai dari intimidasi verbal atau tertulis, kemudian intimidasi fisik, dan yang terakhir adalah intimidasi sosial. Intimidasi dalam seragam sekolah terjadi ketika seorang siswa tidak dapat memakai seragam sekolah, kemudian ejekan dan gunjingan mengarah kepada siswa yang tidak memakai seragam sekolah.

commit to user

Ejekan dan gunjingan tidak hanya berasal dari sesama siswa, melainkan juga dari guru dan kepala sekolah, selanjutnya adalah adanya sanksi kepada siswa yang tidak mengenakan seragam sekolah, jika masih tidak puas dengan menghukum secara fisik, bisa jadi siswa yang tidak memakai seragam sekolah masih dicemooh dan dikucilkan di dalam kelas.

2. Tinjauan Pendidikan Kritis

a. Definisi pendidikan kritis

Pendidikan kritis menurut Nuryanto (2011); Pendidikan kritis (critical pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang

meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran ini dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena orientasi

politiknya yang berlawanan dengan mazhab liberal dan konservatif, dalam konteks akademik, mazhab ini disebut dengan “The New Sociology Of

Education” Atau “Critical Theory Of Education.(hlm. 1)”

Henry Giroux (1993) dalam Nuryanto(2011:1) menyebut mazhab ini adalah pendidikan radikal (radical education), sedangkan Allman (1998) dalam Nuryanto(2011:1) menyebutnya dengan pendidikan revolusioner (revolusionery pedagogy). Mazhab Kritis tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogen, namun para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (McLaren,1998) dalam Nuryanto(2011:2).

Berbagai sudut pandang para pakar di atas tentang pendidikan kritis dapat dikatakan bahwa pendidikan kritis adalah sebuah sarana yang menjembatani pengetahuan seseorang dengan realitas lingkungan di sekitarnya agar dapat membuat keadaan di masa depan lebih baik dari sekarang. Realitas lingkungan yang ada adalah kesemua yang berhubungan dengan proses berlangsungnya pendidikan, dalam hal ini adalah proses berlangsungnya pembelajaran yang terjadi di sekolah ataupun di luar sekolah.

Nuryanto(2011:2) menyatakan bahwa, “Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan

commit to user

dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan politik yang lebih luas ”, secara jelas menunjukan bahwa di dalam institusi pendidikan tidaklah bersifat netral, independen, dan bebas dari kepentingan-kepentingan, melainkan juga menjadi bagian dari isntitusi sosial lain yang menjadi ajang pertarungan kepentingan. Berbagai kepentingan di dalam pendidikan akan membentuk wajah institusi pendidikan dan mempengaruhi subyektifitas siswa. Subyektifitas manusia tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas. Secara garis besar Nuryanto(2011) menyatakan bahwa:

Subyektifitas manusia dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajari, lingkungan belajar di sekolah, lingkungan sosial tempat berinteraksi, lingkungan keluarga sistem politik yang mengatur kehidupan publik, media masa dan televisi, dan entitas-entitas lain yang membentuk dan mempengaruhi kesadaran individu (hlm. 2).

Kesadaran kritis siswa perlu dibangun agar mereka mampu memandang secara sebab akibat kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas mereka. Terdegradasinya sikap kritis manusia disebabkan oleh berlangsungnya intimidasi atau penindasan, eksploitasi dan dominasi, sehingga kesadaran kritis adalah kata kunci yang sangat penting dalam pendidikan kritis.

Kincholoe(2005), pendidikan kritis berbasis kepada keadilan dan kesetaraan. Pendidikan tidak berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan (Nuryanto, 2011:3). Visi sosial dan pendidikan yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan tidak hanya tertuang di dalam tulisan dan kata, tetapi juga termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari (Nuryanto,2011:3), sehingga kejelasan dan kekonsistenan yang direncanakan secara teori harus sesuai dengan praktek di lapangan.

Sekolah seringkali menampakkan wajah yang ambigu, kontradiktif, dan paradoks. Sekolah dalam sudut pandang lain dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun kadang pada prakteknya bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi-kulturalisme.

Taylor(1983) menyatakan :

commit to user

Untuk mendukung peningkatan kesadaran kritis, ada tiga tahapan dalam pendidikan kritis yang selalu diajarkan di kelas. Tahap pertama adalah naming, yaitu tahap menanyakan sesuatu, dalam tahap ini merupakan latihan untuk menanyakan sesuatu baik yang berkaitan dengan teks, realita sosial ataupun sturktur ekonomi politik. Tahap kedua adalah reflecting, yaitu dengan mewujudkan pertanyaan mendasar untuk mencari akar persoalan, dalam tahapan ini dimaksudkan agar siswa untuk berfikir kritis dan reflektif. Pada tahap ketiga, adalah acting, yaitu proses pencarian alternatif untuk memecahkan persoalan. Tahapan ini merupakan tahapan praksis, refleksi dan aksi merupakan dua sisi dari satu koin yang sama dalam pendidikan kritis. Tiga tahap ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan (Nuryanto,2011;10).

Nuryanto(2011) filsafat pendidikan kritis didasarkan pada beberapa asumsi berikut ini : … (a) manusia diyakini memiliki kapasitas untuk berkembang dan berubah

karena memiliki potensi untuk belajar, dibekali dengan kapasitas berfikir dan self-reflection; (b) manusia, sebagai mahluk yang tidak sempurna, mampunyai panggilan ontologism, dan historis untuk menjadi manusia yang lebih sempurna; (c) manusia, dalam bahasa Colin Lankshear(1993) adalah “mahluk praksis yang hidup secara otentik hanya ketika terlibat dalam transformasi dunia”… (hlm.10).

Nuryato merangkumkan pandangan yang berakar dari filsafat ke dalam tiga asumsi dasar tersebut. Ketiga asumsi tersebut sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pendidikan kritis.

b. Teori pendidikan kritis

Lather(1986) menyatakan, “Sumber yang dijadikan rujukan sebagai basis teori dan metodologi Pendidikan kritis ada tiga: teori kritis Frankfurt, Antonio Gramsci, dan Paulo Fraire ” (Nuryanto,2011:11). Ketiga sumber tersebut sangat popular bagi mereka yang memiliki perhatian teori imu sosial dan teori sosial kritis.

commit to user

1. Pokok pikiran Antonio Gramsci (hegemoni dan pendidikan)

Livingstone (1976:235) menyatakan bahwa, “Hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah a social condition in which all aspects of social reality

are dominated by

a single class ”(Nuryanto,2011:33). “Single class” disini diartikan secara tepat untuk sekarang adalah “dominant group”(kelompok dominan) sebagai penggambaran kompleksitas kekuasaan yang bermain.

Nuryanto (2011) menyatakan bahwa; Konsep hegemoni bisa digunakan sebagai alat analisis untuk

memahami mengapa kelompok-kelompok subordinat secara sukarela mau berasimilasi ke dalam pandangan dunia kelompok dominan, yang pada giliranya membuat kelompok ini menjadi mudah untuk terus melanggengkan dominasi dan kekuasaan mereka. Gramsci berpendapat situasi seperti ini memungkinkan karena kelompok dominan menerapkan apa yang dia sebut sebagai hegemoni yaitu rule by consent and by virtue of moral and intellectual authority . Dengan demikian, untuk mempertahankan posisi kelompok dominan selalu berupaya untuk mengamankan persetujuan

spontan kelompok marginal dengan cara menegosiasikan penciptaan konsesus politik dan ideologi (Dominic Strinati:1995) (hlm.33).

Penelitian ini, menyinggung hegemoni pemakaian seragam sekolah, dimana kelompok pemakai seragam sekolah secara lengkap merupakan komunitas yang dominan, dibandingkan dengan kelompok siswa yang tidak memakai seragam sekolah secara lengkap. Siswa yang mampu membeli seragam sekolah serta mengenakanya membuat percaya dan yakin bahwa pendidikan layak mereka dapatkan di bangku sekolah.

Boggs(1976) menyatakan: Proses hegemoni melibatkan penetrasi dan sosialisasi nilai,

Dokumen yang terkait

MODEL MULTI SITUS DI CABANG MUHAMMADIYAH KARTASURA UNTUK EFISIENSI PENGELOLAAN WEB BERBAGAI AMAL USAHA Husni Thamrin dan Albert Septiawan Program Studi Informatika Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta Email: husni.thamrin

0 0 9

PAKOM PELATIHAN DAN PENDAMPINGAN PENYUSUNAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS LESSON STUDY Rita Pramujiyanti Khotimah, Masduki, N. Setyaningsih Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unversitas Muhammadiyah Surakarta Email: r

0 1 8

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN PENELITIAN DAN PENULISAN KARYA ILMIAH BAGI GURU MATEMATIKA SMASMK MUHAMMADIYAH DI KLATEN DAN SUKOHARJO Masduki dan Muhammad Noor Kholid Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta E

0 0 8

PEMITRA BAGI PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MATEMATIKA GURU DAN SISWA SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH PROGRAM KHUSUS DI BOYOLALI Sutama, Sabar Narimo, dan Suyatmini Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta Email : sutamaums.ac.id Abstra

0 0 7

PAKOM DAUR ULANG SAMPAH ANORGANIK DI DESA NGADIREJO, KARTASURA, SUKOHARJO Ambarwati dan Sri Darnoto Prodi Kesehatan Masyarakat FIK UMS Jl. A. Yani Tromol Pos I, Pabelan, Surakarta E mail: ambarwatiums.ac.id ABSTRAK - PAKOM PELATIHAN PENDAURULANGAN SAMPAH

1 2 11

PERANCANGAN ANIMASI TIGA DIMENSI MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK BLENDER DI CABANG MUHAMMADIYAH KARTASURA Sukirman Pendidikan Teknik Informatika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta Email: sukirmanums.ac.id ABSTRAK - PERANC

0 0 7

K8408059 Skripsi Diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi - Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

0 0 60

PENGARUH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP BERAT BADAN BAYI UMUR 0-6 BULAN KARYA TULIS ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Saint Terapan

0 0 48

SKRIPSI UJI KUANTITATIF DAN KUALITATIF DNA PULE PANDAK (Rauvolfia serpentina L.) Rizqi Hapsari H0708062

0 1 38

HUBUNGAN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN TEBAL PARENKIM GINJAL PADA PEMERIKSAAN USG ABDOMEN FOKUS GINJAL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 62